Senin, 31 Januari 2011

DUNIA SUDAH GELAP KETIKA CREW FILM MEMIKIRKAN NASIBNYA

17 Maret 1979

Dunia ini serasa sedang gelap

 Dunia sudah gelap ketika crew film memikirkan nasibnya.
Nasib crew film tidak jauh dengan nasib yang ada dalam cerita di film, nasib si miskin, ratapan anak tiri


DI tahun 1977 dan 1978 film seperti alat pengisap debu. Ia berproduksi dengan gila dan mengisap karyawan untuk dijadikan orang-orang gemuk berkantung tebal. Bayangkan 1977 produksi film nasional mencapai 134 buah judul. Tahun 1978 merosot jadi 67 judul, tapi toh masih terasa serasa panen. Namun pada awal 1979 ini angin mati. Produksi film menjadi suram dan karyawannya gentayangan memikirkan nasib di kemudian hari. Tatkala tulisan ini diturunkan jatah untuk 1979 baru jalan 6 buah produksi. Akibat Bercinta, Ira Puteri Sepatu Roda, Kisah Cinderella, Bayang-bayang Kelabu, Benci Tapi Rindu, dan Perempuan Segala Musim. Maka badaipun menyerang hidup lebih dari lima ratus anggota Parfi serta tak sedikit dari sekitar seribu orang Karyawan Film Indonesia (KFT) terpaksa menjadi penganggur berbulan-bulan lamanya. Bisa Mampus Di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tiba-tiba diselenggarakan pementasan sandiwara Jangan Kirimi Aku Bunga yang didukung bintang film seperti: Rahayu Effendy, Dedy Soetomo, Wahab Abdi, Hendra Cipta, Bung Salim dan Mansyur Syah.

Orang lalu menuduh bahwa orang-orang film memang sedang kurang kerjaan sekarang. Karena itu di antara mereka ada yang terjun ke drama. Wahab Abdi atau Soekarno M. Noor tidak mau mengatakan bahwa bintang film main drama karena pasarannya sepi. Tapi mereka berdua memang sedang tidak ada kontrak pada waktu pementasan itu berlangsung. Chaerul Umam, sutradara AI Kautsar sudah 7 bulan menganggur sejak filmnya yang terakhir Bidan Aminah. Untuk menyambung hidup, bekas pemain drama ini kemudian mencari objekan lain. Ia bikin kaset cerita untuk lagu-lagu Adi Bing Slamet. "Lumayan sambil menunggu produksi berikutnya," kata sutradara itu. Seperti Umam bintang baru Yati Surachman, sejak filmnya yang terakhir Ballada Sumirah juga mengaku sudah 7 bulan jadi penganggur. "Kalau nggak main film, nggak ada kerjaan, malasnya jadi terpelihara," kata Yati. Dia masih menunggu sampai akhir tahun, kalau masih tetap sepi, ada rencananya untuk cari kerjaan sebagai pegawai kantor. "Dunia ini serasa gelap, saya tak tahu harus kerja apa. Harapan saya sederhana: agar perfilman bisa seramai dulu lagi," kata Agus Elyas, seorang asisten sutradara yang berusia 25 tahun.

Ia kejeblos ke film sejak 1971 sebagai juru lampu. Honornya hanya Rp 30 ribu. Kemudian naik perlahan-lahan sebagai "pencatat". Sebagai asisten sekarang ia dapat Rp 500 ribu. Tapi sejak menyelesaikan Akibat Godaan pasarannya sepi. Sudah lima bulan ia termangu-mangu karena tak ada produksi. Lalu ia sering melirik-lirik, kalau-kalau "koperasi film" yang belakangan ini banyak disebut-sebut sudah mulai berfungsi. Setidak-tidaknya untuk mengganjal saku sementara. "Tapi saya kira sepuluh tahun lagi itu baru terujud," kata Agus kepada Said Muchsin dari TEMPO. Agus adalah andalan keluarga untuk membantu nafkah ayahnya yang sudah pensiun di Depkes sejak 1972. Ia pernah berniat untuk menukar profesi melihat gelagat gawat belakangan ini. Tapi setelah fikir kali fikir, ia batalkan sendiri mengingat akan mulai dari nol lagi. Terpaksa ia terus mondar-mandir ke pusat perfilman Haji Usmar Ismail di Kuningan, kalau-kalau ada produksi baru. "Dari dulu sampai sekarang importir itu tak pernah benar," umpatnya "ketika belum lahir SK, mereka mengejar quota saja, tak pernah memikirkan cerita yang benar dan bagus.

Sekarang ini mereka berjingkrak selagi kita jadi penganggur ! " "Suruhlah lagi importir bikin film, agar kita semua kebagian kerja. Saya heran kalau ada yang senang melihat orang film nganggur," kata Eddy Hansudi seorang stundman yang sudah menyeberang jadi asisten unit. Ia masuk ke film 1970 sebagai heldriver, tertarik karena melihat masih sedikit ahli pemain pengganti yang baik. Dalam film Marabunta misalnya ia membuat adegan tabrakan 2 mobil sampai hancur. Untuk pekerjaan yang mempertaruhkan maut itu, honornya antara empat sampai lima ratus ribu rupiah. "Dunia film sepi, saya bisa mampus," kata lelaki yang berusia 36 tahun itu. Dia mengakui bahwa organisasi seperi Parfi dan KFT memang baik, tapi dalam keadaan seperti sekarang, tak bisa berbuat banyak -- misalnya memberikan bantuan uang. Untuk mengisi kekosongan sekarang, dia coba-coba cari order untuk sound system gedung. Hasilnya paling banter Rp 25 ribu sebulan. Untuk orang film jumlah ini memang seperti sebiji ikan teri saja. "Idealisme saya sebagai stundman tidak lenyap. Kalau film ramai saya akan kembali," kata ayah dari dua orang anak ini.


Hanya saja dia tetap khawatir, seandainya produksi film mulai gila lagi, belum tentu ada film yang membutuhkan seorang stundman. "Kerjaan saya memang cari penyakit," kata jagoan itu sambil menunjuk kaki kanannya yang sempat hancur. Kecelakaan itu terjadi April tahun lalu, sehingga ia terpaksa mengeluarkan biaya setengah juta untuk biaya operasi. Tak apa. Tahun itu juga ia sempat menyabet 6 buah film. Resafel Kabinet Pembantu juru lampu Mohammad Nur, tak mau pindah kerja. Ia mengangap keadaan sekarang sebagai batu ujian. " Gali lubang, tutup lubang dan mulai main hutang," ujarnya menjawab pertanyaan bagaimana akalnya menyelamatkan diri. Anak Betawi asli berusia 25 tahun ini, sudah menguntit dua puluh film -- termasuk dokumenter. Honor tertinggi yang pernah diterimanya Rp 150 ribu. Kadang-kadang dikibulin produser sehingga pernah hanya dapat Rp 75 ribu. "Saya tak punya pilihan lain. Anak-anak perlu makan. Kran uang saya di film, lain tidak, pengetahuanpun tak punya," ujarnya. Biasanya tukang lampu ini paling sedikit dapat 3 buah film cerita satu tahun. Tahun 1977 ia sempat kerja untuk 8 film.

Tahun ini masih menjadi pertanyaan besar. Amir Sanusi, seorang juru lampu mengatakan bahwa tahun ini produksi paling-paling akan mencapai 30 judul. Berbeda dengan Nur, Amir bersedia jadi supir kalau ada yang mengajak. "Film lesu sekarang, 1982 saya kira tentu ada resafel kabinet. Seorang pejabat kalau keluarkan peraturan, sulit bersedia menggantinya dengan peraturan baru. " Rahayu Efendy (37 tahun), bintang film yang sempat dikasih julukan bom sex tidak terlalu pesimis dengan keadaan sekarang. "Ini kan baru peraturan tentang impor, peraturan produksi belum. Saya kira tak perlu pesimis," kata Rahayu. Dia mengatakan, 1965-1968 film juga lesu. "Sekarang tak seberapa dibandingkan tahun itu, jadi jangan buru-buru kaget," katanya lebih lanjut.

Main di TV diakuinya sebagai pelarian. "Kalau produksi sepi, satu tahun satu film. saya mau ngapain yang sepuluh bulan itu?" tanyanya. Jadi Sopir Bagi Kahayu kendati ada 5 besar bintang film yang pakai standar honor yang bikin gentar produser, pemain-pemain lain selalu masih kebagian rezeki. Empat buah film sebagai peran pembantu dalam satu tahun baginya sudah memadai untuk hidup. Dia juga mengatakan bahwa artis film yang sudah di atas 30 tahun harus sudah bisa survival. Di samping itu setiap artis tidak bisa disamaratakan. Setiap orang memiliki ukuran hidup yang berbeda-beda. Ia sendiri kelihatannya cukup sabar untuk menunggu kebijaksanaan Menterl Penerangan Ali Murtopo, karena untuk setahun ini ia masih ada persediaan. "Tapi jangan sampai nganggur selama satu tahun, ah!" ujarnya. Amir, juru lampu tadi, tentu saja tak mungkin sabar seperti Rahayu. Honor harian Amir hmya Rp 5 ribu. Kadang-kadang sempat ketiban film iklan dengan honor Rp 10 ribu sebulan. Tapi sekarang makan siangnya saja sudah mulai tidak teratur. Padahal waktu masih menjadi sopir Presiden Taxi, ia bisa mengoper Rp 10 ribu sekali tarik. Dengan uang itu ia sempat beli rumah di bilangan Cempaka Putih seharga Rp 150 ribu.

Tapi untuk kembali sebagai sopir taxi sekarang agaknya sulit. "Banyak saingan dan setorannya berat," kata Amir. "Sebaliknya dalam keadaan sekarang, berharap dari film sulit sekali." Seperti Rahayu, Tuty S. produser pemilik PT Tuty Jaya Film juga tidak begitu resah dengan keadaan sepi ini. Dia termasuk produser "film murni" yang tidak berproduksi untuk mendapatkan jatah impor. Dia mengaku tidak pernah menjadi "kuli" dari para importir yang seradak-seruduk bikin film untuk mempertahankan bisnis impornya. Berhentinya produksi dari raksasa-raksasa itu tentu saja tidak mempengaruhi aktivitasnya Terhadap SK Menpen No. 244 tahun 1978 yang dituding oleh banyak orang sebagai gara-gara topan badai, Tuty malah berkata: "Mungkin Pemerintah ingin tahu apa sebenarnya faktor sesungguhnya yang membuat banyak produksi pada saat yang lalu. Dorongan idealisme atau sekedar melaksanakan kewajiban?" Sebaliknya Bai Isbahi (36 tahun) sutradara menantu Tuty S terang-terangan mengatakan susah. "Saya ini kan orang lapangan, kalau film sepi merupakan suatu problema yang susah saya pecahkan," ujarnya. Dia mengatakan kalau film tidak bisa menghidupi lagi dia akan terjun jadi sopir atau pemain band. "Kalau terus-terusan sepi, yang tertutup bukan hanya kemungkinan dapat penghasilan dari film itu, tapi juga kesempatan berkarya, saya hanya cukup dua film satu tahun," ujarnya. Ada seorang juru kamera yang sudah lama siap dengan keadaan pasang surut seperti sekarang.

Dia adalah Fes Tarigan MA. Orang ini lulusan All Union State Government Institute of Cinema to Oraphy Moscow 1971. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia segera sadar bahwa film di negeri ini memang belum menjadi industri. "Saya termasuk yang tidak semata-mata mengandalkan film cerita, saya lebih beruntung bisa mengerjakan film-film iklan," ujarnya. Meskipun belakangan ini ia tergolong juru kamera yang laris, sepak terjangnya di dalam film-film iklan tetap. Kabarnya rumahnya yang mentereng juga sebuah Citroen baru yang dipakainya sekarang, justru datang dari film iklan. Tarigan sudah mengkombinasikan idealisme dengan kenyataan bahwa film masih merupakan sumber yang labil. Karena itu tak heran kalau dia menggantungkan juga hidupnya dengan mengusahakan bus angkutan Jakarta-Bogor dengan hasil Rp 30 ribu sehari. Jadi keluarga tidak semata-mata bergantung dari uang lubang kameranya. "Honor juru kamera kita sudah termasuk tinggi, di Australia rata-rata $ 100 per hari, kita lebih dari itu. Hanya kontinyuitas kita tidak terjamin," kata Tarigan. Kemudian ia tambahkan: "Perfilman kita semustinya jadi industri dulu, di samping ada usaha mempertahankan kwalitas produksinya. Sebab kalau tidak mengarah ke industri, kalau kesempatan produksi kurang, bagaimana munkin kita punya kesempatan bikin kwalitas yang baik? " Bintang dan juga sutradara Wahab Abdi (41 tahun) pada mulanya juga membuat kombinasi seperti Tarigan.

Di samping main film ia juga main drama dan menjadi pengusaha yang menjual mesin ketik pada 1972. Ia mengakui pada masa itu dibanding dari film, duit dari mesin ketik lebih banyak. "Tapi hidup ini bukan kejar duit saja, tapi kreasi, hidup saya ini rupanya kayak roda," kata Wahab. "Sekarang sudah saya putuskan seratus prosen di film, tak ada kemungkinan ke dunia lain." Menghadapi akibat SK Menpen sekarang, Wahab masih tetap memegang keputusannya. Untuk mencari lapangan lain, memerlukan penyesuaian dan belajar. Itu makan waktu. "Kalau tak tekun dalam satu bidang ke mana-mana tak bakalan jadi," kata Wahab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar