Selasa, 01 Februari 2011

PENGKHIANATAN G.30.S/PKI / 1984


Judul semula: SOB (Sejarah Orde Baru). Film terlaris I di Jakarta, 1984, dengan 699.282 penonton, menurut data Perfin. Jumlah ini merupakan rekor tersendiri, yang belum terpecahkan hingga 1995. September 1998 diumumkan oleh Menpen Yunus Yosfiah, bahwa film ini tidak akan diputar/diedarkan lagi, di samping film-film "JAnur Kuning" (1979) dan "Serangan Fajar" (1981),karena berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seseorang: Presiden Soeharto.

Secara Sinematograpy film sangat baik sekali, memang sangat enak membuat film yang menggunakan biaya yang besar, dan penuh dengan fasilitas yang dipakai. Lokasi mana saja yang ingin dipakai shooying pastilah bisa tembus, mengingat film ini secara filmis sangat hebat. Fasilitas perang juga di dukung sehingga jadilah film yang baik. Penonton pun di wajibkan menontonnya. Awal pemutaran film yang berdurasi 3 jam ini sudah diantriin oleh anak SD/SMP/SMA di seluruh Indonesia dengan biaya di bebani pada orang tua mereka masing-masing dengan alasan mata pelajaran PSPB (Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa), tidak ..ketinggalan para pegawai negeri dan juga sejumlah aparatur negara dan TNI wajib menonton dan di kenakan bayaran masing-masing. Sudah pasti film ini yang paling laris dalam sejarah film Indonesia, di luar dari tekanan memaksa menontonnya. Bahkan tidak sampai situ saja, stiap tahun 30 Sept, TVRI pemerintah punya wajib menanyangkan film ini. Tapi semua orang masing ingin menontonnya juga, walaupun mereka sebel dengan propaganda film ini, tetapi ada nilai-nilai keasyikan menonton film ini. Rata-rata menyebutnya sebagai film yang serem sekali dan bisa membawa penonton kedalam kengerian, seram, takut, dagdigduk, hingga ke sebel, kasihan dan segala rasa dibawa oleh film ini. Sampai saat ini pun film ini masih di sukai untuk tontonan, diluar kandungan film yang propaganda dan sebagainya. Tetapi film ini masih terus di sukai orang. Dan sudah pasti film ini baik/bagus.

Pemutaran film karya Arifin C. Noer G.30.S/PKI yang mulai ditayangkan 30 September 1984, mulai tanggal 30 September tahun ini tidak akan ditayangkan lagi? banyak pertanyaan muncul. Ada apa sebenarnya dibalik penghentian penayangan film tersebut? apa motivasinya. Banyak yang menduga, setelah pernyataan dari mantan pengawal Bung Karno, Soekardjo Wilardjito,punya versi sendiri soal Supersemar banyak orang ingin tahu kebenaran cerita seputar peristiwa itu. yang mengembet kepada apakah G.30.S/PKI juga punya versi lain? Ada pula yang berpendapat bahwa film tersebut terlalu mengkultuskan "Pak Harto". Pihak Pemerintah melalui Dirjen RTF, Ishadi SK. mengatakan, “Yah, semata-mata ini sebagai penyegaran saja. Selama ini, setiap memperingati Hari Kesaktian Pancasila, yang diputarkan selalu film G.30.S/PKI”. 


Film yang menggambarkan tentang pemberontakan PKI melalui Gerakan 30 Septembernya yang menculik beberapa Jenderal AD dan berujung pada penumpasan PKI, dan akhirnya menjadi penyebab tumbangnya pemerintahan Orde Lama. Keseriusan sutradara kawakan Arifin C Noer dalam menggarap film itu tidak saja terlihat pada lamanya waktu penggarapan. Terhadap naskah dan pemeranan juga tampak usaha yang keras sekali. Selain bahan naskah versi pemerintah, dia juga mengambil bahan bahan dari Cornell University.

 
Ide Awal
Salah satu film Arifin yang paling kontroversial adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film ini digarap dikerjakan oleh Arifin C Noer setelah konon, G.Dwipajana, direktur PPFN saat itu berkonsultasi dengan Gunawan Mohamad ( Tempo ) dalam suatu pagi sambil jogging bersama dan berkata kalau PPFN ingin membuat film tentang Pak Harto yang bagus. Gunawan Mohammad lalu mengusulkan Arifin C Noer. Salah satu dari film yang diproduksi PPFN yang disutradarinya adalah film Penghianatan G 30 S PKI. Film ternyata sangat ampuh sebagai film propaganda anti komunis setelah diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September sekaligus untuk memperingati insiden Gerakan 30 September pada tahun 1965. Peraturan ini kemudian dihapus pada tahun 1997 ketika pelaku politik mulai merancang siasat cuci tangan dan kemudian memberikan peluang sisa-sisa ‘PKI’ yang masih hidup; besar kemungkinan mereka itu (sisa-sisa PKI) adalah orang-orang-nya Orde Baru yang disusupkan untuk menggarap PKI dari dalam. Sesuai dengan kepentingan politik sayap Amerika yang memang terus mempersiapkan menggusur komunis dari Indonesia.

Secara filmis ini film bagus, karena ini film propaganda Soeharto, dan orderan pemerintah maka film ini tidak layak masuk dalam FFI.


PENGALAMAN MEMBUAT FILM EDAN INI, ARIFIN C. NOER.
Di antara seluruh film arahannya, film Penumpasan Pengkhianatan G30 S PKI menjadi filmnya yang paling membekas dalam sejarah. Arifin bisa jadi beruntung, karena dari sekian banyak sutradara berbakat dia yang dipilih pemerintah Orde Baru untuk menggarap film sejarah kolosal paling ambisius yang menghabiskan biaya 800 juta sampai 1 milyar rupiah.

Di lain pihak, Arifin mungkin juga sedang sial. Pekerjaan itu menyita pikiran dan sebagian besar waktunya selama dua tahun penuh. Belum lagi proses pengambilan gambar yang melelahkan dengan melibatkan tidak kurang dari 122 pemain, 10.000 figuran, dan ratusan set film yang menyebar di Jakarta dan Bogor. 


Film Pengkhianatan G30 S PKI pertama kali diedarkan di bioskop-bioskop Indonesia pada paruh kedua tahun 1984. Antrian mengular calon penonton seolah menjadi pemandangan biasa di muka pelataran gedung bioskop yang memutar film ke-7 sejak debut penyutradaraan Arifin C. Noer tersebut.

Tak hanya di Jawa saja, antusiasme serupa juga nampak di luar pulau. Pekan pertama pemutarannya saja berhasil menyedot ratusan ribu penonton. Pewartaan Kompas (21/11/1984) menyebutkan sukses komersial film Pengkhianatan G30 S berhasil menghidupkan kembali distributor-distributor film luar daerah yang hampir bangkrut.

“Yah, kerja film memang di situ enaknya. Ada jackpotnya. Dengan hasil ini, semua kerugian produksi saya beberapa waktu lalu sudah lunas,” kata Tirtoyuwono dari Sanggar Film yang membeli hak edar film Pengkhianatan G30 S untuk wilayah Jawa Tengah dan Medan.

Di balik rekor komersialnya, pengalaman sang sutradara selama proses syuting ternyata lebih menakjubkan lagi. Arifin mendeskripsikan pengalamannya ini dengan sebutan “gila” dan “edan”. Arifin mengaku sangat kewalahan menata ribuan casting dan membawahi seluruh proses pengambilan gambar di saat bersamaan.

Arifin mendedikasikan hidupnya selama dua tahun penuh hanya untuk memikirkan kesempurnaan film pesanan pemerintah berbiaya fantastis itu. Kendati sudah disodori sumber-sumber dari pemerintah, Arifin tidak ingin sekedar mencerna dengan kepala kosong.

Pokoknya film ini harus sempurna, pikir Arifin. Untuk itu, ia mulai membaca banyak sumber, mencari saksi sejarah, dan mereka properti semirip mungkin dengan aslinya. Arifin juga mengutus kru riset kostum yang juga adalah istrinya, Jajang C. Noer, untuk memberondong Soeharto dengan pertanyaan-pertanyaan detail seputar baju dinas militer yang malah membuat Presiden Indonesia ke-2 itu merasa risih.

 Untuk urusan pemain, Arifin pun tidak ingin main-main. Ketimbang memakai bintang-bintang tenar yang berparas ganteng atau ayu, ia lebih memilih mencari pemain-pemain amatir yang memiliki ciri-ciri fisik mendekati tokoh asli.

Arifin ternyata memiliki metode pencarian pemain baru yang cukup efektif, meski menyita waktu. Menurut Jajang, sebelum proses syuting dimulai Arifin menyebar asisten-asisten produksi ke berbagai tempat ramai untuk mencari orang yang mirip dengan tokoh asli.

Saat proses pengambilan gambar dimulai, barulah sang sutradara dengan piawai mengarahkan akting sang pemain baru. Tentu saja ini menjadi pekerjaan berat bagi Arifin agar akting para pemain terlihat meyakinkan, belum lagi tokoh sejarah yang muncul dalam film Pengkhianatan G30 S jumlahnya mencapai ratusan.

Sayangnya, Arifin tidak berhasil menemukan “Soekarno”. Dari sekian banyak kandidat yang ada, Arifin tidak bisa mendapati aura kharismatik Pemimpin Besar Revolusi yang ia cari. Akhirnya, Arifin berpaling kepada Umar Kayam sebagai harapan terbaiknya.
Tempo (7/4/1984) melaporkan, saat didatangi Arifin, Umar Kayam seolah tak bisa mengelak lagi. Kendati menunjukan sikap positif, ahli sosiologi itu tidak serta merta setuju memainkan peranan Bung Karno. Terlebih dahulu, Kayam meminta syarat.

“Soekarno itu orang hebat. Jangan sampai film ini malah mendiskreditkannya,” pinta Kayam, diikuti anggukan Arifin.

Sumber yang sama juga menguraikan perasaan frustrasi Arifin akibat kegagalannya mengumandangkan suara asli Bung Karno dalam pidato 17 Agustus 1965. Sekeras apapun Arifin mencari, ia tetap tidak bisa menemukan rekaman suara pidato bertajuk “Tahun Berdikari” itu. Hanya salinan teksnya saja yang tersisa.

Arifin kemudian mengajak Kusno Sujarwadi, pemain watak berlogat Jawa yang khas untuk melakukan dubbing pidato Soekarno. Arifin merasa logat Jawa Sujarwadi apabila ditekuk sedemikian rupa dengan volume tertentu akan sangat pas mewakili suara asli Bung Karno.
Berdasarkan buku Yang Datang Telanjang: Surat-surat Ajip Rosidi dari Jepang, 1980-2002 (2008), Arifin C. Noer sempat mengutarakan keinginannya untuk berhenti membuat film dalam surat tertanggal 10 Februari 1984. Keputusan Arifin yang mendadak itu tentu saja mengundang rasa kaget sekaligus penasaran Ajip (hlm. 259). Seperti yang tersirat dalam surat balasan Rosidi kepada Arifin, nampaknya keputusan Arifin berkaitan dengan kekecewaannya terhadap hubungan kerja dengan Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Sejak tahun 1980, Arifin diketahui banyak menggarap film-film pesanan pemerintah yang bertutur tentang heroisme Soeharto, seperti Serangan Fajar (1981), Djakarta 1966 (1982), dan Pengkhianatan G30S PKI (1984).

Pengakuan Arifin ini juga keluar tidak lama setelah film Pengkhianatan G30S PKI selesai disunting. Sebelum dilepas ke bioskop, sekitar bulan Januari 1984, Presiden Soeharto dikabarkan sempat menyaksikan film buah karya Arifin itu di Istana Negara. Menurut Tempo (7/4/1984), Soeharto tidak banyak berkomentar, hanya saja ia merasa masih banyak yang belum diceritakan.

 Sejak akhir periode 1970-an, pemerintah memang semakin tertarik mendorong propaganda rezim lewat film. Orang yang diberikan tanggung jawab mengurus masalah ini ialah Brigadir Jenderal G. Dwipayana yang kala itu mengepalai PPFN.

Menurut Krishna Sen dalam Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru (2009), harapan pemerintah tersebut kemudian berkembang menjadi keinginan untuk tidak sekadar membuat film propaganda berbiaya besar, tetapi juga harus baik dan artistik. (hlm. 168). Atas dasar itu, Dwipayana sengaja menarik Arifin untuk dilibatkan dalam percobaan produksi film sejarah yang ceritanya diolah sendiri oleh pemerintah Orde Baru.

Bukan gaya Arifin C. Noer untuk mengikuti arahan orang lain. Kendati merasakan tekanan, ternyata Arifin tetap menerima tawaran Dwipayana. Dalam industri perfilman kala itu, negosiasi antara pemegang kapital dengan sutradara film memang sudah menjadi hal yang lumrah.

Jan van der Putten melalui tulisannya yang dirangkum dalam antologi Traditions Redirecting Contemporary Indonesian Cultural Productions (2017) menuturkan bahwa demi meyakinkan Arifin, Dwipayana mengatakan akan membiayai film Matahari-Matahari buah karya Arifin yang sempat mandek lantaran kekurangan dana. Sebagai gantinya, Arifin harus mau menjadi sutradara film pendidikan Orde Baru (hlm. 107).

Pada akhirnya, biaya produksi film yang bertutur tentang hubungan petani miskin dengan penyanyi dangdut idaman Arifin tidak pernah keluar dari kantong pemerintah. Arifin sendiri terjebak hubungan kerja dengan PPFN dari tahun 1980 sampai 1984. Walhasil, film Matahari-Matahari yang dia cita-citakan baru berhasil dibuat sekitar tahun 1985 atas bantuan Josephus Adisubrata dari Gramedia Film.

Selama membuat film Pengkhianatan G30S PKI, Arifin harus melewati gangguan yang berasal dari idealisme keseniannya sendiri. Jajang C. Noer sempat bilang bahwa suaminya itu rela berkeliling mencari narasumber dari pihak PKI untuk memperkaya referensi, namun hasilnya nihil.


Satu-satunya data yang bisa dipakai adalah naskah yang sudah disusun oleh Nugroho Notosusanto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu. Arifin merasa apa yang dimiliki sangat terbatas, padahal ia menginginkan lebih.

Hal senada juga pernah dipaparkan Tempo (7/4/1984) yang menyebut waktu dua tahun tidaklah cukup untuk menentukan arah cerita film sejarah sekompleks itu. Disebabkan porsi sejarahnya yang terlalu besar, Arifin sempat merasa kesulitan saat harus menggarap Pengkhianatan G30S PKI menggunakan kaidah perfilman yang biasa.

Selain itu, Arifin juga merasa kreativitasnya telah dipangkas karena ia tidak diperkenankan menciptakan tokoh fiktif, seperti yang pernah dilakukannya dalam Serangan Fajar melalui tokoh Temon. Akibatnya, Arifin merasa gagal lantaran cita-citanya mengubah Pengkhianatan G30S PKI menjadi film pendidikan yang punya nilai humanis tidak pernah tercapai.


Pengkhianatan G 30 S/PKI adalah judul film Indonesia dari tahun 1984 yang disutradarai oleh Arifin C Noer.

Cerita film ini adalah versi resmi pemerintah Orde Baru tentang peristiwa yang terjadi pada malam 30 September dan pagi 1 Oktober 1965 di Jakarta. Pada malam dan pagi hari itu terjadi pergolakan politik di Indonesia yang kemudian berujung pada pergantian rezim dari SoekarnoSoeharto. Pihak Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto mengatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan yang kemudian digagalkan oleh Soeharto sendiri. Inilah yang menjadi dasar film tersebut. ke Sampai hari ini masih banyak orang yang mempertentangkan kebenaran hal tersebut dan topik ini masih diselimuti banyak kontroversi dan rahasia. 

Pemerintahan Soeharto kemudian memerintahkan satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu, TVRI, untuk menayangkan film ini setiap tahun pada tanggal 30 September malam. Pada saat stasiun-stasiun televisi swasta bermunculan, mereka juga dikenai kewajiban yang sama. Peraturan ini kemudian dihapuskan pada tahun 1998 dan sejak saat itu film ini belum pernah lagi diputar di stasiun televisi Indonesia.

 
News
Sinema
 Wajah Aidit di Seluloid 

BERONDONGAN peluru Cakrabirawa merangsek ke tubuh Letnan Jenderal Achmad Yani pada malam Jumat Pahing, 30 September 1965. Saat tubuhnya terempas membentur pintu, putranya menyaksikan dari bawah meja setrika dengan wajah pasi. Jenazah Yani yang masih hangat lantas digeret keluar oleh para pelaku, memborehkan jejak darah yang berlimpah-ruah di permukaan ubin. 
Malam Jumat Pahing. Sebutan itu keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia, saat ia menyebutkan hari-H dari sebuah operasi rahasia. "Kita tak boleh terlambat," ujarnya kesal saat ada anggota Politbiro lain menyangsikan eksistensi Dewan Jenderal dan rencana mereka untuk melakukan kup terhadap Presiden Soekarno. 


Peristiwa malam Jumat Pahing yang kelak dikenal sebagai Gerakan 30 September itu direka ulang lewat film kolosal Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Itulah pertama kalinya masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interpretasi Syu'bah Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaimana ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika menunjukkan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran sutradara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh muslihat. 
Adalah Syu'bah Asa, budayawan yang kala itu wartawan majalah Tempo, yang didapuk Arifin sebagai sang gembong PKI. "Tadinya saya ingin memberikan perwatakan yang lebih utuh," ungkap mantan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta ini, "tapi Arifin bilang tak perlu karena dia hanya butuh beberapa ekspresi saja." 
Maka, seperti tersaji di film berdurasi 271 menit itu, pada saat Aidit muncul di layar, yang tersodor adalah fragmen-fragmen seperti mata yang mendelok-delok marah atau gaya merokok yang menderu-deru gelisah. "Saya tidak merasa sukses memainkan peran itu," kata Syu'bah. 
Tapi ia tak kecewa karena sejak awal tahu bahwa sosok Aidit dibutuhkan hanya sebagai pengimbang, bukan tokoh utama yang menjadi alasan film itu dibuat. Belum lagi menyangkut akses untuk mempelajari karakter Aidit yang sangat terbatas. Bahan riset minim, dan akses ke keluarga almarhum saat itu tak ada. "Waktu itu tidak mungkin menghubungi keluarga Aidit. Ada jurang besar yang tak terjembatani. Tidak seperti sekarang," ujar Syu'bah. Maka, selain dengan penafsirannya sendiri atas skenario yang ditulis Arifin, Syu'bah mendalami tokoh yang akan diperankannya melalui diskusi intens dengan Amarzan Ismail Hamid, penyair yang mengenal Aidit secara pribadi. 

Sepanjang malam mereka berdiskusi di Wisma Tempo Sirnagalih, Megamendung, Jawa Barat. 
Apa saja informasi penting yang ia dapatkan? "Amarzan bilang dia sudah bertemu pemimpin komunis dunia seperti Mao Tse Tung dan Ho Chi Minh. Semua karismatis di mata dia. Tapi Aidit tidak," ungkap Syu'bah. "Dari informasi itulah saya tafsirkan ke dalam gerak wajah." Namun, ketika besoknya syuting dilakukan, Syu'bah sempat ketiduran. "Kecapekan," tuturnya. Ketika film itu selesai, Syu'bah kembali mengunjungi Amarzan, menanyakan pendapatnya tentang peran yang ia mainkan. "Buruk," ujar sang penyair seperti diulangi Syu'bah. 
Amarzan, 66 tahun, yang dihubungi wartawan Tempo Arti Ekawati, menyatakan memang itu bukan peran yang gampang. "Sulit untuk menggambarkan sosok seorang Aidit," katanya. "Apalagi itu film propaganda. Semua yang ada di dalamnya dibuat berdasarkan keinginan sang pemesan." Di awal proses preproduksi, sebetulnya Amarzan sempat terlibat atas ajakan Arifin dan Danarto, yang menjadi direktur artistik film. "Saya memberikan masukan tentang setting suasana rapat-rapat PKI dan suasana pada waktu itu," tuturnya. Belakangan ia mengundurkan diri setelah sarannya tidak banyak didengar. 
Danarto pun tak bertahan lama dalam pembuatan film yang digarap selama dua tahun dengan melibatkan lebih dari 10 ribu pemain figuran itu. "Setelah berbulan-bulan melakukan riset, saya akhirnya juga mengundurkan diri sebagai art director karena soal honor," Danarto menandaskan. 


Bujet film ini sendiri tercatat Rp 800 juta, yang menjadikannya sebagai film termahal di awal 1980-an. 

l l l
EMBIE C. Noer, yang bertindak sebagai direktur musik film itu, ingat kata-kata Arifin saat mendeskripsikan film yang akan mereka buat dengan sangat singkat, "Ini film horor, Mbi." 
Bagi Embie, frasa sependek itu cukup menjadi dasar baginya untuk mengembangkan tafsir bebunyian. "Saya bukan cuma adiknya atau krunya, melainkan juga anaknya sekaligus muridnya sejak dia masih muda," tutur Embie. "Karena itu, yang sama-sama kami pahami adalah Aidit sebagai sebuah diskusi politik ketimbang sebagai rekonstruksi fakta yang debatable." 
Contoh kecil yang menunjukkan itu, antara lain, adegan Aidit merokok yang dianggap menyimpang dari kebiasaan Aidit sebenarnya yang tidak merokok-seperti diyakini sang adik, Murad Aidit. "Adegan itu justru menegaskan Mas Arifin sedang tidak merekonstruksi fakta, melainkan menyodorkan sebuah diskusi politik," kata Embie. Ia prihatin melihat pelbagai diskusi yang muncul saat itu tentang pencitraan Aidit, dan film itu secara umumnya, yang hanya ditakar dari sisi estetika, bukan secara substantif. "Banyak yang gagal membaca film ini," keluh Embie. Dalam wawancaranya dengan majalah ini 23 tahun silam, Arifin mengatakan bahwa niatnya membuat film ini adalah sebagai "film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian" (Tempo edisi 6/14, 7 April 1984). 


Berkaitan dengan tugasnya untuk memberi tafsir musikal pada film itu, Embie berkeyakinan bahwa ranah politik Indonesia, sampai detik ini, adalah konsep budaya Barat dengan para pionir seperti Ronggowarsito untuk sastra dan metafisika serta Raden Saleh untuk estetika. "Maka saya meramu suling bambu, tape double-cassette, keyboard, dengan semangat budaya pseudo-modern," ujarnya. 
Perdebatan yang sempat muncul mengenai sosok Aidit dalam film itu, seingat Jajang C. Noer, tak sampai menggelisahkan suaminya. "Dia sangat excited ketika melihat hasil akhirnya," tutur Jajang. 
Bagi Jajang, proses persiapan bahan untuk sosok Aidit adalah saat yang sibuk sekaligus mencemaskan. Mereka sibuk membuat kompilasi dari pelbagai bahan tertulis. Itulah yang diolah Arifin menjadi sebuah skenario. Yang membuat cemas, tim Arifin hanya memiliki satu foto Aidit, ketika sang figur berada di sebuah acara di Istora. Rumitnya lagi, foto itu pun tak begitu jelas. Persoalan menjadi sedikit lebih mudah setelah mereka berhasil mendapatkan sebuah pasfoto Aidit yang lebih jelas. "Ternyata bentuk fisik Aidit tak sebesar yang kami bayangkan semula," ujar Jajang. "Dari pasfoto itulah Mas Arifin punya kesan bahwa Aidit terlihat mirip Syu'bah. Bukan pada kepersisan wajah, tapi pada wibawa." Jajang mencontohkan, pencarian pada "kemiripan wibawa" ketimbang kemiripan wajah juga menjadi pertimbangan utama saat mencari pemeran Bung Karno, yang akhirnya jatuh pada Umar Kayam. 
Sudah selesaikah persoalan? Ternyata belum. 

Jajang mengungkapkan, mereka masih kesulitan mendapatkan ciri atau gestur khusus Aidit, meski sudah mencari informasi ke Subandrio dan Syam Kamaruzzaman. "Satu-satunya tambahan informasi yang muncul adalah bahwa Aidit itu dandy. Bukan dalam pengertian genit, tapi pada gaya busana. Dan di situlah repotnya," Jajang terkekeh sejenak. "Syu'bah nggak bisa dibilang dandy." 
Ihwal Aidit yang merokok itu, Jajang punya jawaban lain. Saat itu Arifin merasa merokok sebagai representasi dari The Thinker. "Secara visual terlihat lebih bagus penggambaran seseorang yang berpikir keras itu lewat rokoknya," ulas Jajang. "Itu sebabnya ada adegan di mana layar hanya dipenuhi asap rokok sebagai metafor sumpeknya suasana politik Indonesia." 
Dengan segala pro-kontra yang muncul akibat film Pengkhianatan G-30-S/PKI, satu hal yang tak bisa disangkal adalah generasi yang lahir pada 1970-an dan sesudahnya mendapatkan satu-satunya gambaran tentang sosok Aidit secara jelas hanya dari film itu. Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 1998, buku tentang Aidit kemudian bermunculan, termasuk yang ditulis oleh mereka yang mengenalnya lebih dekat.


MEMPERTANDINGKAN NASIONALISME INDONESIA 
DENGAN MASKULINITAS PADA SINEMA
Intan Paramadhitha 
Penerjemah: Tito Imanda 
Journal of Asian Cinema 2007
Dalam salah satu film paling berpengaruh pada masa rezim Orde Baru (1966-1998) di Indonesia, Pengkhianatan G30S/PKI (1984) buatan Arifin C. Noer, sebuahadegan menunjukkan anak perempuan seorang jenderal melihat dengan penuhkekaguman pada potret Sang ayah dalam seragam militernya (ilustrasi 1).
 
1 Sudut pandang dengan angle rendah dari potret tersebut menciptakan aura keagungan yangmeliputi figur jenderal tersebut. Anak tersebut mengatakan pada ibunya bahwa ia ingin memiliki emblem bintang di dadanya seperti yang dipakai oleh ayahnya. Sangibu, sambil meletakkan seragam suaminya di dalam lemari, menjawab bahwa ia harusberjuang dalam pertempuran untuk mendapatkan sebuah bintang. Sang ayah tidak hadir dalam setting rumah, namun seragam yang menjadi penggambaran dari kehadirannya, mengikat sang ibu dan anak perempuan. Adegan ini mendirikan sebuah kelelakian ideal dalam militer Indonesia dengan sang jenderal menjadi figur heroikayah ideal baik dalam ranah publik maupun domestik. Ini memperkenalkan budaya Bapakisme dalam politik Indonesia, yang diganggu untuk kemudian didirikan kembali di dalam dan di luar diegesis kefilman. Ditayangkan setiap tahun di televisi nasional sampai akhir kekuasaan Suharto,Pengkhianatan G30S/PKI kemungkinan merupakan artefak budaya paling penting yang bersaksi terhadap dominasi militer di bawah kepemimpinan Suharto. Krishna Sen telah menunjukkan bahwa “sebagian besar sejarah kemerdekaan Indonesia dalamsinema Orde Baru adalah sejarah TNI, terutama Angkatan Darat” (1994: 111).Menganalisis film sejarah yang ada di periode Orde Baru seperti Janur Kuning (1979)dan Serangan Fajar (1982), Sen membahas bagaimana film-film ini membesar-besarkanketergantungan rakyat Indonesia yang rapuh dan tidak pedulian kepada tentara untukmelindungi mereka dari ketidakadilan dan penderitaan (95). Sementara karakter utamanya adalah jenderal-jenderal yang berdedikasi, diantaranya adalah Suharto sendiri, kehadiran perempuan, anak-anak, rakyat miskin berlaku sebagai penekananuntuk memperbesar heroisme militer. Pengkhianatan G30S/PKI secara khusus dibuat oleh Suharto untuk menyediakan narasi resmi dari kudeta Partai Komunis Indonesia di tahun 1965 yang kontroversial. Film itu terutama menampilkanpenderitaan pahlawan militer yang menjadi korban PKI dan juga heroisme Suhartodalam menggagalkan kudeta. Maka, nasionalisme pada sinema Indonesia selama masaOrde Baru, didefinisikan dalam kerangka militerisme maskulin.Akhir dari kekuasaan Suharto di tahun 1998 ditandai oleh era Reformasi, yangmenjanjikan kebebasan berbicara setelah lebih dari 30 tahun tekanan.  
 
2 Ketika mediamerayakan bertambahnya kesempatan untuk berekspresi, konsepsi tentang bangsa,jender, kelas, dan etnisitas diteliti dan direka-ulang. Beberapa film seperti Pasir Berbisik (2002), Ada Apa Dengan Cinta? (2002), Eliana, Eliana (2003), dan Banyu Biru (2005) menantang konstruksi Orde Baru terhadap norma jender dan keluarga ideal.  
 
3 Dalamhal etnisitas, Ca Bau Kan (2002) adalah yang pertama untuk menawarkan representasimasyarakat Cina Indonesia yang rumit.
 
4 Semangat reformasi juga memberi inspirasiRiri Riza untuk membuat Gie, sebuah film yang berdasarkan buku harian Soe HokGie, seorang aktivis mahasiswa Cina-Indonesia yang menentang presiden pertama Indonesia, Sukarno, yang kemudian menjadi sosok populer sejak kematiannya karenagas beracun di Gunung Mahameru di tahun 1969.
 
5 Banyak penonton dan kritik mengatakan film ini tidak menggambarkan SoeHok Gie sebagai pahlawan sungguhan ataupun berusaha untuk menerangkan faktakudeta 1965 yang dibengkokkan dalam Pengkhianatan G30S/PKI. Namun, saya akanberargumen bahwa melalui penggambaran seorang pahlawan yang tidak biasa, Giemendefinisi ulang ide mengenai nasionalisme dan jender. Tulisan saya akan menelitibagaimana imajinasi kebangsaan selama Orde Baru dikonstruksikan oleh hubunganjender sebagaimana ditunjukkan dalam Pengkhiantan G30S/PKI; lalu saya mencobamenganalisa pergeseran dalam konsep jender dan bangsa dalam sinema pasca-Orde Baru dengan terutama meletakkan Gie dalam dialog dengan Pengkhianatan G30S/PKI. Sinema Indonesia dalam Periode Orde Baru Para akademisi film merujuk pada definisi Ben Anderson bahwa bangsa adalah“sebuah komunitas politik yang dibayangkan – dan dibayangkan sebagai secaraalamiah terbatas dan berdaulat” (1996: 6).
 
6 Beberapa memandang sinema nasionalmempromosikan “ide-ide mengenai koherensi dan persatuan dan makna kebudayaanyang stabil diasosiasikan dengan keunikan dari bangsa yang bersangkutan”(Dissnayake 1994: xii). Yang lainnya mengkritik asumsi dasar Anderson bahwakebangsaan tidak berubah setelah terbentuk dan Anderson gagal untuk melihatsifatnya yang berubah.
 
7 Analisis saya terhadap Pengkhianatan G30S/PKI akanmendemonstrasikan bagaimana ide Suharto terhadap nasionalisme, menggunakanistilah Anderson, tersebar, dan film-film pasca-Orde Baru seperti Gie mengangguproses pembayangan yang bulat tentang bangsa di era dimana fiksi-fiksi nasionalditantang. Sadar sepenuhnya akan kekuatan citra, rezim Suharto mengontrol sinemamelalui peraturan film dan penyensoran. Dalam peraturan Orde Baru tahun 1992, yang masih berlaku, sinema didefiniskan sebagai bentuk komunikasi massa untukmengembangkan budaya nasional dan untuk meningkatkan keamanan nasional.
 
8 Menekankan pada fungsi sinema dalam istilah komunikasi dan pedagogi dan bukansebagai seni, pemerintah menempatkan film di bawah Departemen Penerangan,bersama radio dan televisi, sedangkan literatur dan seni ditempatkan di bawahDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan.Politisasi sinema tidaklah unik maupun baru bagi rezim Suharto.
 
9 Perbedaanutama antara kebijakan film Suharto dengan era sebelumnya bersandar pada isu“keamanan nasional”. Sementara Sukarno berfokus pada penjagaan budaya nasionaldari pengaruh luar atau impor dari luar, gagasan Suharto mengenai “keamanan nasional” adalah untuk mengatur film-film lokal. Suharto, sesungguhnya,mengimplementasikan kebijakan pintu terbuka, membiarkan film-film Amerikamemenetrasi pasar Indonesia dan mengancam produksi lokal. Film-film import tidakdianggap sebagai representasi lokal yang berbahaya terhadap etnik, kelas dan konflikreligius. Film (Indonesia) harus setia pada “Bhineka Tunggal Ika”, dan makarepresentasi tekanan sosial yang menganggu persatuan harus dihindari.
 
10 Kekhawatiran rezim terhadap isu stabilitas dapat dimengerti karena Suhartoberkuasa setelah serentetan krisis ekonomi dan politik, yang mencapai puncaknyapada tragedi 1965. Berdasarkan versi sejarah Orde Baru, sebagaimana dinarasikandalam film Pengkhianatan G30S/PKI, anggota PKI merencanakan kudeta dan berakhirdengan keberhasilan membunuh enam jenderal dan satu perwira. Jenderal Suhartomemobilisasi tentara untuk menyelamatkan bangsa dari komunis yang ‘jahat’. Diantara 1965 dan 1966, tentara membunuh dan memenjarakan orang-orang yang dicurigai menjadi anggota PKI untuk ‘menstabilkan’ situasi.

 
11 “Stabilitas” kemudian menjadi kata kunci bagi Suharto untuk membedakan rezimnya dari periode sebelumnya yang tidak stabil. Di era dimana negara menaklukan bangsa (Anderson 1990: 109), “keamanan nasional” yang merujuk pada “keamanan internal” munculsebagai kontrol ketat pemerintah di semua sektor masyarakat. Sinema dalam periode Orde Baru dikontrol melalui berbagai tingkat produksi. Sementara penyensoran bukan fenomena yang baru dalam industri film, institusionalisasi sinema Orde Baru juga sangat bergantung pada pra-penyensoran. Sebelum syuting dimulai, naskah harus diajukan untuk persetujuan kepada Direktorat Film di Departemen Penerangan (Sen 1991: 66). Kadang-kadang Dewan akan menyarankan pembuat film untuk memodifikasi bagian-bagian dari film agar melewati sensor. Penyensoran yang ketat tidak berarti selalu menghasilkan tema film dan representasi yang homogen.
 
12 Namun, proses ini telah secara signifikan mendefinisikan batas-batas dari apa yang penonton Indonesia boleh bayangkan dan konsumsi, yang menggiring pada penyensoran-diri atas nama pembuat film- bahkansebelum penyensoran resmi dijalankan. Karena politik adalah topik yang tabu, sinema Indonesia dalam Orde Barusemestinya diisi oleh film-film yang apolitis. Film-film ini bisa mengenai keluarga, percintaan remaja, atau apapun yang terlihat tidak terkait dengan politik, namun batasantara politik dan bukan politik dapat ditembus, banyak diantara film-film inisesungguhnya mempromosikan ideologi Orde Baru. Politik mungkin muncul dalam film-film sejarah yang merepresentasikan bangsa dalam perjuangan, namunkompleksitas sejarah politik telah dihapus dan dibingkai dengan paradigma monolitik. Orde Baru. Pengkhianatan G30S/PKI ada di antara film-film berbiaya besar yangdiproduksi oleh Perusahaan Film Nasional (PFN) untuk mempromosikan citraSuharto sebagai pahlawan dan peran penting militer dalam sejarah Indonesia. Dalammendiskusikan kaitan antara maskulinitas dan nasionalisme, saya ingin membacaPengkhianatan G30S/PKI sebagai sebuah film proganda sejarah yang menunjukkanhubungan yang terjalin antara konsep pahlawan, jender dan identitas nasional. Pemujaan Terhadap Jenderal: Model Dominan MaskulinitasAkademisi telah menulis banyak sekali mengenai hubungan antara bangsa danjender. Joan W. Scott memandang jender sebagai tempat artikulasi kekuatan dan juga sebagai sebuah analisis untuk memahami berbagai jenis interaksi sosial dan politik(1999: 1069). Jender mengkonstruksikan politik dengan mendefiniskan hubunganantara kekuatan dominan dengan subordinat, atau antara bangsa dengan musuh-musuhnya. Contoh-contoh Scott, dimulai dari Nazi Jerman hingga AyatollahKhomeini di Iran, mendemonstrasikan bagaimana kekuatan yang berkuasa biasanya diasosiasikan dengan kekuatan dan maskulinitas, sementara musuh-musuhnyadideskripsikan sebagai “orang luar” yang lemah dan feminin (1072). 

Menyatakan bahwa semua bangsa dikonstruksi oleh perbedaan jender, Anne McClintock berargumen bahwa perempuan seringkali menjadi “pemangku bangsa” secarasimbolik, sedangkan laki-laki bertindak sebagai “agen nasional”, secara aktifmemberikan pelayanan mereka pada bangsa (1995: 354). Maskulinitas, lebih jauh lagi,paralel dengan harga diri dan kekuatan nasional.Bangsa yang dibayangkan dalam sinema era Orde Barumerefleksikan apa yang Cynthia Enloe sebut sebagai “ingatan yang dimaskulinisasi, penghinaan yangdimaskulinisasi, dan harapan yang dimaskulinisasi” (1989: 44). Sebagai aktor-aktorsungguhan yang membela kebebasan, kehormatan dan perempuan bangsa, laki-lakimembutuhkan beberapa “sifat-sifat kelelakian” dirangkum oleh Mosse sebagai keberanian, persaingan, stoisisme, kegigihan, kejantanan seksual, dan kontrol (1996:79). Beberapa sifat-sifat ini digetarkan dalam model dominan Indonesia terhadapkelelakian. Sebagai contoh, Sukarno seringkali dirujuk sebagai Bima dan Gatotkacayang perkasa dari tradisi wayang Hindu-Jawa untuk menampilkan dirinya sebagaipahlawan nasional “pemersatu dan penakluk” (Clark 2004: 131).

13 Namunsebagaimana ditunjuk oleh Marshall Clark, bentuk dominan dari maskulinitas padaOrde Baru direfleksikan pada konsep ideal priyayi kelas-atas mengenai penguasaanemosi (118).
 
14 Jenis kelelakian ini paling baik ditampilkan pada status “Bapak”, sebuahgelar yang diberikan Suharto pada dirinya sendiri yakni “Bapak Pembangunan”. “Bapak”atau “Pak” adalah cara formal untuk merujuk pada pria dewasa, namun jugaberarti ayah, seorang pria yang sudah menikah dan pria dengan posisi yang lebihtinggi yang memiliki kebijaksanaan, karisma, kekuatan, nilai-nilai keluarga danpenguasaan-diri. Ia juga biasanya seseorang yang peduli pada kesejahteraan keluargaatau kelompok. Meskipun sosok Ibu dapat juga memiliki tanggung jawab sosial yangsama, Bapak memiliki otoritas lebih sedangkan Ibu diharapkan untuk mendedikasikandiri tanpa mengharapkan kekuatan maupun prestise. 
 
15 Karena “Bapak” menunjukkan tingkatan, Sukarno lebih suka dipanggil ‘Bung’untuk menekankan kesetaraan dalam kerangka sosialis.
 
16 Sebaliknya, konsep “Bapakisme” adalah mendasar terhadap status militer Suharto sebagaimanapaternalisme mendefiniskan hubungan antara perwira yang lebih tinggi denganbawahan-bawahannya. Saya melihat konsep maskulin ideal “Bapakisme” Orde Barusebagai pemasukan nilai-nilai priyayi dan militerisme, yang keduanya membutuhkan disiplin-diri untuk menjadi model acuan di tempat kerja dan keluarga.
 
17 Kontrolseksual dan penghargaan terhadap keluarga membentuk disiplin-diri ini karena melaluiinstitusi keluargalah ideologi negara dapat diinternalisasi. Dalam Pengkhianatan G30S/PKI, konsep maskulin ideal Orde Baru ini disatukan dalam figur jenderalmiliter yang dikejami. Dapat diperhatikan di sini bahwa karena konsep ideal priyayiJawa yang membentuk kelelakian Orde Baru, maskulinitas militer tidak ditransformasikan menjadi hiper-maskulinitas model Hollywood.
 
18 Perilaku halus,tenang, penuh perhitungan dari jenderal-jenderal, terutama Suharto sebagai pahlawanutama, mengindikasikan model yang diinginkan dari maskulinitas berseberangandengan kekacauan, kegilaan kumpulan orang komunis.Penulis naskah dan pembuat film terkenal Arifin C. Noer dipilih untukmenyutradarai Pengkhianatan G30S/PKI karena Kepala Perusahaan Film Nasional,Dwipayana, yang juga merupakan jenderal militer, ingin memproduksi film-filmpropaganda yang juga memasukan estetika seni film.
 
19 Dengan rekaman arsip sepertiklip audio, rekaman suara, dan surat kabar sebagai tambahan dari narasi, musik yangmengaduk emosi, dan mise en scene yang secara seksama dibangun, Pengkhianatan G30S/PKI menyatukan bentuk dokumenter dengan bentuk tertentu film fiksi untuk menceritakan ‘kebenaran’ sejarah dari rezim.
 
20 Film tersebut menekankan dasar faktapada “data dari berbagai sumber seperti buku, majalah, surat kabar, dan wawancaradengan saksi-saksi,”
 
21 membuat klaim kebenaran namun pada saat yang sama,memasukkan melodrama gaya-Hollywood yang sangat emosional untuk membangunkembali skema pengkhianatan.Film tersebut membuka dengan pertemuan yang diadakan oleh PartaiKomunis Indonesia untuk mendiskusikan kabar burung tentang tujuh jenderal tentarayang merancang kudeta terhadap Presiden Sukarno. Sebagai pengikut setia Sukarno,anggota-anggota PKI setuju untuk menggagalkan rencana dengan mengatur alur untuk menculik jenderal-jenderal ini. Mereka pada akhirnya membunuh enam dari tujuh jenderal ini ditambah dengan satu perwira menengah, yang kesemuanya dikubur di dalam sumur. Ketika misi tersebut diketahui keesokan harinya, Suharto, ketika itu komandan Kostrad, mengirim pasukan tentaranya untuk mengamankan Jakarta dan menyelamatkan bangsa dari komunis-komunis jahat. Setelah kekuasaan Suharto berakhir di tahun 1998, film tersebut dituduh menipu masyarakat, terutama sejak banyak publikasi yang dilarang selama rezim Orde Baru kemudian membuka peran tentara dalam kudeta 1965 yang disponsori Amerika Serikat, dan dalam menciptakan mitos pemerintahan Orde Baru sebagai penyelamat bangsa yang kacau di bawah Sukarno. 
 
22 Melayani kepentingan penguasa, efek tumpah darah akibat kejadian 1965 sama sekali tidak tampil dalam Pengkhianatan G30S/PKI. Hubungan antagonistik anatara nasionalis (militer) dengan musuh (PartaiKomunis) dikonstruksi melalui pertandingan maskulinitas. Jenderal-jenderal yangmewakili kelelakian ideal Indonesia berlawanan dengan “yang lain”: PKI dansekutunya termasuk Gerwani yang dihubungkan dengan seksualitas berbahaya. Didalam film, sutradara Arifin C. Noer mengerjakan detil-detil dalam menggambarkanjenderal-jenderal sebagai petugas tingkat-tinggi militer yang penuh dedikasi dan ayahyang dikagumi. Banyak adegan mengambil tempat di rumah, menawarkan kilasankehidupan domestik tempat para jenderal memainkan peran ideal sebagai Bapak. Ranah feminin rumah menandakan bangsa yang rapuh diancam oleh gangguan musuh. Jenderal-jenderal seringkali jauh dari rumah namun seragamnya digunakansebagai sinekdok dari kehadirannya, memainkan peran penting dari pemistikan tubuh militer. Gambar dari jenderal-jenderal yang sehat dan terawat dalam seragamnyadengan isteri-isteri mereka dalam kebaya, dan anak-anak mereka di setiap kamar tidur(ilustrasi 2). 

Sementara jenderal-jenderal ditampilkan sebagai pria keluarga, anggotaPKI ditunjukkan menghabiskan sebagian besar waktu mereka dalam pertemuan-pertemuan. Satu-satunya perempuan yang hadir diantara mereka bukanlah isteriataupun ibu namun pendukung partai. Tidak seperti konsep ideal “Bapak”, parakomunis tidak dianggap sebagai sosok heroik, maupun memiliki sifat-sifat kekeluargaan.Narasi film bergerak dari penodaan tubuh nasional, diwakilkan oleh tubuhmiliter laki-laki, hingga penyelamatan yang ditawarkan sosok bapak yang utama.Narasi tersebut menggambarkan kerapuhan maskulinitas/bangsa pada awalnya, memfeminisasijenderaljenderal dalam adegan penyiksaan untuk menggambarkanbagaimana bangsa tak berdosa dirusak oleh musuh jahat. Biarpun begitu, kemunculanSuharto di akhir menghidupkan kembali kekuatan Bapakisme. Di dalam hampir setiapadegan penculikan, tentara PKI datang di tengah malam dan memaksa jenderal-jenderal untuk pergi dengan mereka meskipun mereka tidak berpakaian lengkap.Ketika Jenderal A. Yani memaksa untuk berpakaian dahulu, anggota PKImelarangnya dan membangkitkan kemarahannya. Konfrontasi tersebut diikuti gambarclose up anak laki-laki Yani bersembunyi di bawah meja lalu tentara-tentara PKImenembak sang jenderal hingga ia jatuh ke lantai. PKI tidak menunjukkanpenghormatan apapun pada tubuh maupun seragam sebagai atribut maskulinnya.Mereka tidak menghormati bangsa dengan cara yang sama ketika mereka mencerabutpara jenderal dari seragamnya. Perilaku tidak menghormati tubuh/bangsa berlanjutketika anggota PKI menyeret tubuh Yani, meninggalkan jejak darah di lantainya.Darah adalah citra yang bolak-balik muncul di dalam film. 
 
Meskipun darah didalam sinema biasanya mengingatkan pada konotasi menstrual atau feminin,sebagaimana ketika digunakan sebagai motif di dalam film horor yang membesarkanpenghinaan, darah dalam film ini secara signifikan berkaitan dengan pengorbanan dannasionalisme. Jejak darah tidak hanya ditemukan di dalam rumah Yani, namun juga dirumah Jenderal Pandjaitan. Sang jenderal, seorang Kristen yang taat, dibunuh ketika iasedang menundukkan kepala berdoa. Setelah anggota PKI menyeret tubuhnya,kamera menyorot Katrin, anak sang jenderal, terburu-buru dari kamarnya menuju kolam darah ayahnya di teras. Ia berlutut, menyentuh darah dengan tangannya, danmenyapu wajah dengannya. Citra dramatis wajah Katrin yang penuh dengan darahtidak ditampilkan sebagai gambar buruk. Dengan musik yang menyayat dantangisannya yang panjang dan penuh duka, darah menyimbolkan kesucian tubuh sangjenderal. Mengaitkan dengan darah dan pengorbanan Yesus, citra di sini mengubahsang jenderal menjadi seorang martir.Berlawanan dengan tubuh militer yang ideal dan gambar-gambar yangmenganggu pada saat kemurnian mereka diserang, tubuh-tubuh yang diasosiasikandengan partai Komunis dimunculkan sakit, rusak, atau berbahaya. Selama rapat PKI,anggota-anggotanya selalu merokok di bawah tanda “Dilarang Merokok”. Merekatidak dapat dipisahkan dari rokok kretek, kopi hitam dan begadang. Pengambilangambar dari jarak sangat dekat membingkai bibir hitam pemimpin Komunissementara ia membuat rencana, menciptakan gambar yang mengganggu di dalam miseen scene. Gaya hidup liar Komunis dapat dibaca sebagai kekurangan rasa horma tterhadap tubuhnya sendiri, mengindikasikan bahwa mereka tidak akan ragu untukmengejami tubuh lain.Sebagai musuh, Komunis juga diibliskan melalui citra Gerwani, paling seringtampil sebagai perempuan-perempuan yang mengancam secara seksual. Anggota-anggota Gerwani dilaporkan menampilkan tarian erotik pada anggota-anggota PKIdan sekutunya sebelum memutilasi para jenderal. 
 
 
Di dalam film, kamera bergerak melintasi Monumen Pancasila Sakti (monumen yang dibangun untuk mengenangtragedi 1965), menyediakan kita dengan gambar-gambar anggota PKI menusuk parajenderal dengan pisau mereka. Gambar berikutnya mefokuskan bagian lain daridinding dimana seorang pria dan wanita Gerwani menari dalam kontak yang dekat.Kamera bergerak ke kanan dimana makinbanyak gambar perempuan menari,memakai atasan sensual dan rangkaian bunga di leher mereka. Citra perempuanGerwani menari berdampingan dengan citra jenderal-jenderal disiksa dan dikubur,menciptakan persekutuan antara kekerasan PKI dan ketidak-pantasan seksualitas Gerwani.Representasi demikian terhadap Gerwani adalah sebuah fiksi Orde Baru karena tidak ada bukti jelas bahwa tarian seperti itu benar-benar terjadi. Malahan,Gerwani adalah organisasi feminis paling terkenal yang berjuang untuk keadilan dalam upah dan hak yang setara dalam politik. Untuk mengurung peran perempuan di dalam ranah domestik, ideologi Orde Baru membangun pembengkokan citra anggotaGerwani sebagai perempuan-perempuan amoral.
 
23 Meskipun Arifin C. Noer tidakmenggambarkan mitos seksual Gerwani secara terbuka, beberapa adegan di dalamfilm menghubungkan Gerwani dengan kejahatan feminin. Di dalam adegan penyiksaan, seorang perempuan tanpa nama memakai jaket merah menyabit jidatseorangjenderal dengan pisau silet (ilustrasi 3). Perempuan-perempuan Gerwanidigambarkan sebagai perempuan-perempuan berbahaya yang mampu menyebabkanluka pada tubuh lelaki, menyimbolkan ancaman penyunatan terhadap otoritas maskulin. Ini berlawanan dengan isteri-isteri setia para jenderal, yang menemani suamimereka hingga mereka dibawa pergi oleh PKI. Sebagaimana film tersebutmenunjukkan mereka dengan anak-anak dan tidak pernah diperlihatkan di luar rumah,menampilkan model keibuan Orde Baru (atau Ibuisme Negara) yang banyakakademisi telah diskusikan.
 
24 Tubuh-tubuh Gerwani maka diproduksi untuk menandakan apa yang disebutoleh Judith Butler sebagai “sebuah domain bagi mahluk hina” yang “tidak dapatdihidupi” dan “tidak dapat ditinggali” (1993:3). Zona ini dibutuhkan untukmenunjukkan batas dari tubuh jenderal sebagai metafora bagi tubuh nasional yangkoheren, stabil, yang dinodai namun kemudian dibangun kembali. Kemenonjolantubuh laki-laki bergantung pada mekanisme pengeluaran, sebagaimana ditulis olehButler: “subyek dibentuk melalui kekuatan pengusiran danpenghinaan, yang menghasilkan rupa dari sisi luar subyek, sisi luar yang terhina, yang walaubagaimanapun merupakan “sisi dalam” subyek sebagai penyangkalan yangdilakukannya sendiri.” (3). Subyek nasional maskulin harus menolak kehinaannyasendiri, dalam kasus ini dari kejahatan Gerwani, untuk meraih otoritas.Film ini mengkritisi hubungan intim Presiden Sukarno dengan komunisme sebagai tambahan pada otoritarianismenya dengan meluncurkan citra-citra yang menyorot model maskulinitas yang cacat. Dalam film ini, Sukarno digambarkanberbaring tak bergerak di ranjang, menekankan sakitnya yang serius, atau ia sedangmelihat melalui jendelanya dari ruangannya yang tertutup tanpa menunjukkanpergerakan yang berarti. Kontras dengan Suharto yang penuh pergerakan danantusias, citra kesakitan Sukarno menampilkan ketidakmampuan dan kurangnyakapasitas untuk tindakan. Lebih jauh lagi, tidak seperti para jenderal yang monogamidan setia pada keluarga, kepribadian Sukarno yang gemar perempuan ditampilkan. 
Meskipun isteri-isteri Sukarno tidak hadir dalam film, istana penuh oleh lukisan-lukisan perempuan dalam kebaya ketat dan patung-patung perempuan telanjang,menggarisbawahi reputasi presiden sebagai petualang seksual. 
 
Di dalam kerangka“Bapakisme” Orde Baru, jurang antara nilai-nilai keluarga dan seksualitas Sukarno,menggambarkan citra maskulinitas yang tidak diinginkan. Gie: Mempertanyakan Kelelakian, Mendefinisi Ulang BangsaPengunduran diri Suharto setelah demonstrasi mahasiswa besar-besaran ditahun 1998 membuka jalan bagi Indonesia untuk memasuki era Reformasi. Dalamiklim politik yang lebih sehat, media dan akademisi mulai secara terbukamempertanyakan bentukan narasi jender, seksualitas, etnisitas, dan politik Orde Baru.Meskipun niat Presiden Abdurrahman Wahid untuk menghapus hukum yangmelarang pengajaran komunisme dan Marksisme dikritik, orang-orang mulai memilikiakses pada buku-buku yang subyeknya tabu seperti tulisan-tulisan Pramoedya AnantaToer.Sinema Indonesia, meskipun begitu, tidak secara total direformasi. SementaraWahid telah menghapuskan Departeman Penerangan, yang membawahi film selamamasa Orde Baru, peraturan film tahun 1992 yang dibuat institusi tersebut masihberlaku. Badan Sensor Film(BSF) diubah menjadi Lembaga Sensor Film (LSF) ditahun 1994, namun ini bukan berarti perubahan signifikan. Malahan, penyensoranpasca-Suharto bukan saja dilakukan oleh pemerintah namun oleh masyarakat sipil,seperti organisasi Islam radikal yang dapat menuntut LSF untuk melarang sebuah film.
 
25 Daripada melihat pada institusi negara, saya menyarankan untuk melihatReformasi pada sinema dihubungkan dengan pergerakan film independen. Pembuatfilm independen baru muncul dengan gaya dan agenda yang bermacam-macam,berusaha untuk menyatakan posisi yang berbeda dari generasi yang lebih tua.Pergerakan-pergerakannya, meskipun terlalu berbeda-beda untuk digeneralisasi,dicanangkan oleh empat pembuat film muda yang membuat film eksperimentalKuldesak (1998) selama keadaan tidur industri film Indonesia.

 
26 Menyamakan dirimereka dengan Generasi X Hollywood, Riri Riza, Nan T. Achnas, Mira Lesmana, danRizal Mantovani mempertanyakan konsep identitas-identitas nasional dan identitas-identitas yang dijenderkan di akhir kekuasaan Suharto. Kemudian generasi baru inimenciptakan “i-sinema” sebuah manifesto yang ditandatangani oleh 13 pembuat filmbaru yang menyatakan bahwa, di dalam semangat kebebasan berekspresi mereka akanmencari cara (alternatif) untuk memproduksi dan mendistribusikan film-film tertentuuntuk mengakhiri stagnasi dalam industri film Indonesia. Gerakan ‘i’ (untukindependen) lama kelamaan menjadi arus utama ketika para pembuat film ini secarasukses mendirikan rumah produksi besar dan menghidupkan kembali industri filmnasional. 
Di tahun 2005, Gie disutradarai oleh veteran Kuldesak Riri Riza dan diproduksioleh koleganya Mira Lesmana di bawah bendera Miles Production. Film tersebutsangat diantisipasi tertama karena karakter pemberontak Soe Hok Gie adalah ikonsempurna untuk Reformasi. Film ini menggunakan drama politik 1965 sebagai latarbelakang, sebuah kesempatan langka dalam sinema Indonesia kecuali untuk film‘resmi’ Pengkhianatan G30S/PKI.
 
27 Terlebih lagi, aktor-aktor Cina tidak pernahmemainkan karakter utama dalam sinema Indonesia selama periode Suharto selaindari peran stereotipikal seperti misalnya pebisnis rakus. Saya telah menyebutkansebelumnya bahwa Gie bukanlah film pasca-Orde Baru pertama dengan tokoh protagonis Cina. Ca Bau Kan milik Nia Dinata menampilkan karakter Cina yangkompleks menantang konsepsi Orde Baru atas etnik dan identitas nasional. Gie,meskipun begitu, adalah film pertama di era Reformasi dengan pahlawan Cina, danketokohannya lebih mengarah ke intelektualitas daripada militeristik yangmengkomplikasi ide heroisme nasional dalam banyak film sejarah buatan Orde Baru. Setelah menonton filmnya, banyak kritikus film merasa kecewa danmenganggap film tersebut sebuah kegagalan karena tidak menggambarkan Soe HokGie sebagai “pahlawan sungguhan”, terutama karena Riza menggunakan seorang indodaripada seorang aktor CinaIndonesia untuk memainkan Gie. Hera Diani dari TheJakarta Post mengomentari“pendekatan sebatas-kulit pada karakter Gie dan politikIndonesia” Riza yang gagal membawa keluar Soe Hok Gie yang sungguhan, seorangaktivis mahasiswa legendarisdengan pikiran tajam dan kritiknya yang terus terang.Mengidealisasi Soe Hok Giesebagai “menantang, terus terang dan tidakterbengkokan dalam idealismenya,” Diani menyatakan bahwa meskipun adapenggambaran Gie sebagai remaja yang membela teman baiknya Han, karakternyasecara umum kurang dalam dan kurang digali. 

Sementara pengamatan Diani yangmenyebutkan bahwa karakter tersebut tidak berangkat dari karakter Soe Hok Giesungguhan ada benarnya, namun sebetulnya justru kurangnya heroisme pada karakter Soe Hok Gie inilah yang membuat film tersebut menantang konsep umum daripatriotisme lelaki. Riri Riza mengekspresikan kritisismenya, secara menarik, denganmerujuk pada citra-citra sinematik dari Pengkhianatan G30S/PKI, film ikonik, yang khusus dibuat Orde Baru menghadirkan ideal-ideal nasional dan maskulin.Gie milik Riza menyindir pada dan menjauh dari Pengkhianatan G30S/PKI milikNoer. Tidak seperti Noer, Riza menawarkan pandangan yang lebih simpatik terhadapanggota-anggota PKI. Sementara Noer berusaha untuk menekankan pada hal-halberbeda yang dianggap rendah, Riza menekankan pada PKI yang dikorbankan, atauorang-orang tak bersalah yang dicurigai sebagai anggota PKI. Teman baik Gie, Handigambarkan sebagai pendukung partai yang antusias yang meskipun pengetahuannyasedikit mengenai politik, percaya bahwa PKI akan meningkatkan kondisi hidupnyayang miskin. Film ini juga memvisualisasikan pembantaian anggota-anggota PKI oleh militer di Bali, sebuah narasi yang tidak hadir dalam Pengkhianatan G30S/PKI.Sebuah pandangan berbeda terhadap PKI mengisi jurang yang ditinggalkan Noer, namuncitra Sukarno tetap sama. Tentunya, film ini tidak bermaksud untuk memberikanpengampunan terhadap kegagalan Sukarno, namun lebih pada menantang ide daripengorbanan militer.Gie meletakan pertentangan antara politik Soe Hok Gie dengan otoritarianisme Sukarno. Serupa dengan Pengkhianatan G30S/PKI, kritik terhadap feodalistik danpaternalisme Sukarno diekspresikan melalui citra Sukarno sebagai seorang diktatordengan nafsu pada kekuasaan dan perempuan. Ketika Gie diundang ke istana, kameramembingkai Sukarno duduk di tahtanya, menerima ‘subyek’nya. Adegan inidinarasikan oleh suara Gie: “Sukarno serupa dengan raja-raja kuno. Ia mencintai kekuasaan dan memiliki banyak isteri.” Sebuah sudut pandang gambar dibuat ketika Sukarno melihat ke sekeliling ruangan; tamu-tamunya tiba-tiba menjadi buram ketikakamera berfokus pada seorang perempuan dalam kebaya Jawa yang sensual,menunjukkan tatapannya yang kuat sebagai petualang seksual dan penguasa diktator(ilustrasi 4). 

Selama adegan, Gie dan Sukarno tetap berjarak. Satu-satunya interaksiyang ditunjukkan diantara mereka di dalam istana adalah ketika Sukarno becandamengomentari setelan Gie yang kebesaran yang dipinjam dari temannya. Gie pulangke rumah dan membuang setelan itu, menyatakan secara tersirat bahwa sepertikostum itu, Gie tidak cocok berada di istana. Adegan tersebut mengingatkan kita pada adegan istana lain dalamPengkhianatan G30S/PKI, dimana kamera menyorot banyak sekali lukisan perempuan,menyorot kaitan antara maskulinitas cacat Sukarno, kegagalannya sebagai pemimpinnasional, dan kesenangannya terhadap perempuan. Dengan merujuk pada citra-citramilik Noer, Gie mengkritik karakter Sukarno yang patriarkal dan feodalistik. Namunperbedaan utama antara kedua film, berada pada konsep maskulinintas; daripadamengkontraskan kelelakian Sukarno yang sudah basi dengan Bapakisme militer yangdiidealkan, Riza menawarkan model maskulinitas yang sama sekali berbeda yangbertanding dengan ide hegemonik patriotisme lelaki. Beberapa bulan sebelum Gie diluncurkan, Riza, dalam perbincangan santai,memuji film Closermilik Mike Nichols dan merujuk pada karakter Jude Law dalamfilm sebagai wajahkontemporer dari kelelakian: sensitif, rapuh, dan seringkali plin-plan. Melihat pada film Riza sebelumnya Kuldesak, orang dapat mengatakan bahwaRiza meminjam model baru maskulinitas dari budaya populer Amerka. Kuldesakmenampilkan sosok protagonis laki-laki yang dianggap ‘tidak produktif’ di bawahnorma maskulin Orde Baru. Tidak memiliki kerja tetapdan uang, yang merekalakukan adalah bermimpi menjadi artis, sebagai musisi maupunpembuat film. Aksan,seorang karakter laki-laki terkenal dengan mantranya “Gue cuma pengen bikinfilm”
 
28, menyatakan bahwa pahlawannya adalah Quentin Tarantino dan RobertRodriguez, dan bukan pembuat film mapan di era Orde Baru seperti Syumanjaya danTeguh Karya.
 
29 Aksan berlawanan dengan dengan Bapak tipikal Orde Baru, seoranglaki-laki yang diasosiaskan dengan kekuasaan, tingkatan dan birokrasi. Ia menolakbudaya “Bapakisme” dalam industri film Indonesia, dimana hanya sutradara (pria)yang berpengalaman yang dapat membuat film dan berguru pada sutradara-sutradarabesar ini adalah satu-satunya cara untuk membuat film. Dalam Kuldesak, “Bapakisme”bahkan digambarkan secara negatif melalui karakter Yosef Gamarhada, yangmemperkosa karyawan wanitanya sendiri dan ditampilkan seperti, mengutip MarshallClark, seorang “dinosaurus monolitik” (2004: 121). Untukmenantang tipemaskulinitas Orde Baru ini, Riza mengedepankan seorang pahlawan yang menarik diri dan rapuh; tubuhnya yang enggan bergerak dan tidak teratur adalah ancaman karena ketidakmampuannya untuk masuk ke dalam sistem yang mapan.Model maskulinitas Riza bahkan tidak setia pada suara sungguhan Soe HokGie dalam buku hariannya, mengindikasikan bahwa politiknya membentuk Gie yangdibayangkan di layar. Tulisan Soe Hok Gie tidak hanya secara terus-menerusmengasosiasikan kepemimpinan cacat Sukarno dengan seksualitas perempuan, namunjuga menunjukkan sikap yang sangat kritis terhadap perempuan. Setelah kunjungannya ke istana, Soe Hok Gie menulis mengenai sekretaris pribadi Sukarno,
 
30 “Aku juga melihat sekretaris pribadinya yang berkebaya ketat dengan buah dada yangmenggiurkan. Terus terang saja aku melirik padanya, padahal dalam soal-soal sepertiini aku biasanya acuh tak acuh. Memang dia cantik tetapi aku dapat membayangkanbetapa kotornya hidup perkelaminan di sini” (2005: 126). Di matanya moral rusak danprinsip politik dijenderkan dan ditunjukkan oleh tubuh sang sekretaris. Lebih jauhlagi, menuduh “kecabulan” istana, Soe Hok Gie membandingkan gaya hidup Sukarno dengan A. Yani, salah satu dari jenderal militer yang dibunuh pada malam 30 September 1965:“Setahuku Yani juga bukan perwira yang mata keranjang. Bahkandalam tahun 1962 (?) ia pernah membuat peraturan yang melarangprajurit-prajurit Angkatan darat untuk mengambil isteri kedua tanpaizin komandan dan isteri pertamanya. Popularitas Yani sangat besar.Tetapi hal ini rupa-rupanya tidak disenangi oleh “somebody” di dalamIstana dan akhirnya ia memelihara isteri muda. Perwira-perwiraAngkatan Darat Republik Indonesia mulai kecewa yang terang-terangan bilang padaku bahwa karena tindakan Yani maka banyakperwira pertama dan menengah yang kecewa dan tidak menghormatiYani.” (155). Soe Hok Gie sungguhan, yang menyatakan bahwa perempuan akanmengalihkan perhatiannya dari perjuangannya, mengkontraskan kerusakan moralSukarno terhadap nilai keluarga monogami. Pengkhianatan G30S/PKImenggarisbawahi perbedaan antara lelaki yang mengangkat nilai ideal keluarga (parajenderal) dan lelaki yang menghancurkannya (komunis yang mementingkan dirisendiri dan Sukarno yang mata keranjang). Riza, meskipun begitu, tidak mengidealkanmoralitas para jenderal untuk menekan Sukarno. Meskipun ia memasukan kata-kataSoe Hok Gie mengenai ketidakmampuan perempuan untuk setara dengan laki-laki karena perempuan memikirkan baju dan pria-pria, ia tidak menyertakan banyakpandangan tidak setuju Soe Hok Gie terhadap perempuan dan pujiannya pada sosoksetia militer. Malah, ia memfokuskan frustrasi Gie pada atau dalam hubungan heteroseksual. Gie milik Riri Riza tidak mampu menyingkap perasaan romantisnya terhadapteman dekatnya Ira dan tidak responsif terhadap hasrat pacarnya Sinta (ilustrasi 5).Soe Hok Gie sungguhan, sebaliknya, mengejar tiga gadis berlainan, yang tidak benar-benar merespon pada dirinya namun “menangis histeris” ketika ia meninggal.
 
31 Didalam film, teman-teman Gie mempertanyakan maskulinitasnya dan memutuskanmembawa dia pada seorang pelacur sebagai “eksperimen”. Namun ketika iamenggodanya secara agresif, Gie tetap dingin dan tampak tidak nyaman. Iniberlawanan dengan banyak adegan intim dimana Gie bermain, tertawa dan memeluksahabatnya Han. Ketika Gie akan meninggal, kita mendapatkan visi bayangan Han melompat padanya setelah bertahun-tahun terpisah. Sama, ketika sulit bagi Gie untukdekat dan seksual terhadap perempuan, ia dapat mengekspresikan kekhawatiran dankerapuhannya secara verbal ketika ia bersama sahabat lelakinya, Herman Lantang.Beberapa kritik sadar akan homoerotisme yang disarankan dalam film,
 
32 namunmereka belum mendiskusikan mengapa citra-citra homoerotik dibuat padahal bukuhariannya memiliki suara heteroseksual. Saya berpikir bahwa hal ini dimaksudkanuntuk menekankan lagi jarak antara maskulinitas Giedengan “Bapakisme” militer.Tubuh seksual Gie tidak produktif karena tidak membawa pada penciptaan keluarga,esensi dari budaya dan politik Orde Baru. Sementara heteroseksualitas selalu dianggapsebagai apa yang membentuk nasionalime Indonesia. Seksualitas Gie menantangkonsepsi “maskulinitas nasional”.
 
33 Akhirnya, film ini memberikan makna baru bagi heroisme nasional denganmenyorot hubungan rumit antara penulisan dan kelelakian. Riza menerjemahkan Giesebagai “pahlawan dengan sedikit tindakan”: seorang intelektual yangmendefinisikanmaskulinitasnya melalui pena dari pada melalui pistol. Ketika Gie menulis artikel pedasmengenai “Kelelakian Seorang Jurnalis”, pena-nya menjadi sebuah “penismetaforikal”.
 
34 Maskulinitas Gie, maka, tidak otoritatif maupun tetap, ketika ia selaluberayun antara keinginan untuk membuktikankelelakiannya melalui tulisan danfrustrasinya dengan keterbatasan tulisan, menghasilkan jenis heroisme yang berbedayang dirumitkan dengan keresahan, ketidakpastian, dan ketidakmampuan. Frustrasi seksual Gie ketika berurusan dengan perempuan paralel dengan keresahannya mengenai jalannya sendiri sebagai seorang penulis daripada seorangpejuang taupun aktor politik. Ketidakmampuan menulis, atau ketidakmampuanpenulis untuk meraih pembacanya, direpresentasikan melalui ayah Gie. Tidak sepertianggota lain dari keluarganya, Gie dapat menghubungkan diri dengan ayahnya,seorang penulis yang memperhatikan lingkungannya namun tampak terlepas darikejadian-kejadian di sekelilingnya. Film ini mengkontraskan ibu Gie yang pekerjakeras dan sosok ayah yang lebih suka melihat ikan di dalam akuarium. Hanya Gieyang dapat memahami alienasi ayahnya sebagai penulis, namun di saat yang sama,halangan permanen ayahnya sebagai penulis juga menghantui dia dengankemungkinan menjadi lumpuh (ilustrasi 6). Pertentangan antara menulis/maskulinitasdapat dilihat ketika film ini memperbandingkan kekuatan tulisan Giedenganketidakmampuannya untuk menggerakan orang-orang. Mahasiswa lain mengejek Gie karena tidak menunjukkan cukup tindakan padahal ia mengkritik pedas pemerintahanSukarno. Kemudian, tulisan Gie ditekan bahkan disensor oleh rezim Suharto yangdulu ia dukung karena menyingkap kebenaran-kebenaran yang tidak mengenakan.Film ini tidak menawarkan solusi jelas akan frustrasi seksual, tekstual dan politik Gie.Krisis maskulinitas Gie terikat dengan pernyataan yang menghantui mengenai krisisbangsa, mengingatkan bagaimana “mimpi Soe Hok Gie akan pemerintahan yangbersih tidak menjadi nyata” bahkan setelah kejatuhan rezim Orde Baru.


KESIMPULAN Dengan merumitkan pemujaan pahlawan nasional dan menggambarkannyatercabik-cabik antara pemberontakan dan penarikan diri, hasrat homososial danhomoseksual, dan juga maskulinitas dan ketidakmampuan dari pen(a/is), film inimenyatakan bahwa keresahan Gie tetap ada meskipun bangsa telah memasuki babakbaru demokrasi. Film ini menuntut definisi ulang dari seorang pahlawan nasional diluar rancah militer di dalam sinema Indonesia. Gie sebagaimana film Riri Riza yanglain mempertanyakan identitas nasional dengan memikirkan ulang jender.35 SementaraBapakisme Orde Baru berangkat dari model priyayi digabungkan dengan militerismeyang diidealkan, elemen-elemen yang membentuk tipe baru maskulinitas yangdibayangkan setelah Reformasi tampak seperti mosaik lintas-budaya. Untukmenantang patriarki Orde Baru, Riza merujuk bukan hanya pada sang intelektualCina-Indonesia, seorang sosok pahlawan yang diragukan, namun juga pada model-model baru maskulinitas yang ditawarkan oleh budaya populer Amerika sepertikarakter Jude Law dalam Closer, dan ikon pop yang nyata seperti sutradara filmQuentin Tarantino dan penyanyi yang sudah almarhum Kurt Cobain. Hal itumengindikasikan krisis maskulinitas di sebuah era dimana tubuh nasional, yang dibayangkan berdiri sendiri melalui penyetujuan ulang kekuatan Bapakisme dalam Pengkhiantan G30S/PKI, dipecahkan. Maka kita melihat film-film memasangpertanyaan mengenai apa artinya menjadi seorang laki-laki dan keluar denganjawaban-jawaban seperti kelelakian ambigu Riri Riza hingga pahlawan laki-laki hiper-maskulin Rudi Sujarwo.36 Akhirnya, model hibrid kelelakian Riza mengindikasikan
 
Masih ingat adegan dimana Christin Pandjaitan mengusapkan darah bapaknya ke wajahnya? Darah dari hasil bredelan senapan organik ini menembus raga D.I Pandjaitan pada pakaian kebesarannya di malam 30 September 1965. Film pada pre-P4 karya Arifin C. Noer ini bisa dikatakan based on true story dan bisa pula dinobatkan sebagai “iklan” P4 dengan bumbu komunisme. Apapun itu rangkuman saya masih hambar serta masih jauh dari kata cukup untuk merevisi kurikulum Depdiknas pada buku-buku sejarah di sekolah pada umumnya.
 
Well, dengan niat look inside saya tidak bermaksud untuk “membenarkan” apa yg sebenarnya terjadi, rangkuman ini hanya literatur yg sayang jika tidak saya collect dalam ranah maya. So, let’s cut the crap!
 
Ternyata arwah Hegel dan hantu Marxis sampai juga di bumi pertiwi kita, sempat menyentil logika rakyat yg kala itu masih berstatus jongos kolonialisme, even now. Singkatnya PKI sendiri terbentuk dengan nama awal PKH (Perserikatan Komunis Hindia). Yg merupakan turunan dari ISDV-nya Henk Sneevlet yg ia sendiri terinspirasi lewat berbagai macam peristiwa heroik kaum proletar di Rusia, baru pada tahun 1924 partai ini berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.
 
Jelas, karena propaganda Orba tentang PKI ini begitu deras maka fakta & tafsir banyak yg melenceng, khususnya peran PKI dalam perjuangan melawan Penjajah. Kehebatan Orba kentara sampai sekarang menyangkut masalah ini, memori masyarakat sudah tergeneralisasi dan interpretasi terhadap kata PKI ini hanya tiga, yaitu : pembunuhan, komunis, dan atheis.
 
Berdiri tanggal 23 Mei 1920. diketuai oleh Semaoen dengan wakilnya Dursono yg keduanya merupakan anggota SI (Syarekat Islam) cabang Semarang. Perlu dicatat bahwa PKI adalah partai komunis pertama di Asia, dan baru pada tahun 1972 partai komunis Tiongkok pun berdiri. Tafsir umum adalah PKI menginfiltrasi SI sehingga SI akhirnya pecah dan PKI berdiri, namun Semaoen ini telah menjadi anggota SI jauh sebelum PKI berdiri. Jadi, bagaimana bagaimana mau infiltrate jika PKI nya saja belum berdiri?
 
Pecahnya SI justru karena ruh radikal yg bersemayam, ruh yg dulu dibawa Tjokro yg mulai hilang di dalam tubuh SI. Ruh radikal ini jelas anti barat, setelah SI bekerja sama dengan Belanda ruh ini pun berontak pada diri segenap kader dan anggota SI cabang semarang. Semaoen yg terinspirasi oleh tokoh radikal kiri Belanda, Sneevlet, kian gencar menentang kebijakan SI, ia menantang tokoh senior SI seperti Abdoel Moeis dan Agus Salim.
 
Semaoen kala itu baru berumur 21 tahun akhirnya mendirikan PKI setelah ia diminta keluar dari SI oleh Abdoel Moeis, namun keretakkan tidak bisa dibendung, SI pun pecah. Semenjak itu pulalah PKI semakin dibanjiri anggota yg di kemudian hari akan melakukan pemberontakan di tahun 1926.
 
Pemberontakan ini hampir hilang dari sejarah, padahal peristiwa ini adalah trigger bagi bangsa kita waktu itu yg masih diduduki Belanda untuk maju melawan penjajah, kontras dengan apa yg terjadi pada tahun 1948 dan 1965 bukan? Dan Bung Karno yg kala itu masih 25 tahun menjadi saksi terhadap apa yg terjadi pada tahun 1926, dari sini beliau terinspirasi. NASAKOM salah satunya lahir dari peristiwa pemberontakan ini.
 
Selain terjajah, imperialisme itu sudah pasti, tanam paksa/culturstelsel merajalela. Hindia-Belanda melenggang namun rakyat pribumi nasibnya sangat memprihatinkan, SI yg diharapkan dapat menjadi ujung tombak perlawanan malah melempem, akhirnya rakyat pula yg melawan Belanda secara sporadis. Melihat apa yg terjadi, pimpinan PKI yg dulu pernah mengecap SI sekarang melancarkan pemberontakan terhadap Belanda.
 
Para pimpinan ini bertemu di Prambanan pada hari natal 1925 dan merencanakan sebuah skema pemberontakan skala nasional di Jawa dan Sumatera. Dalam rapat underground itu mereka bertemu dengan Tan Malaka karena mereka menganggap Tan Malaka adalah perwakilan komunis internasional untuk Asia, pimpinan PKI ini meminta izin kepada Tan Malaka untuk memberontak, namun beliau menolak dengan alasan bahwa rakyat belumlah siap, akan tetapi pimpinan PKI eselon II tetap bersikeras dan tetap akan melancarkan pemberontakan pada November 1926.
 
Sayang, rencana tsb bocor, para pimpinan PKI ditangkapi Belanda termasuk beberapa ulama besar seperti KH. Achmad Chatib dari Banten, namun pemimpin eselon II PKI tetap memberontak dan pecahlah pemberontakan di jawa tahun 1926 dan 1927 di Sumatera. Sudah pasti aksi di 1926 itu bocor dan gagal, para pelakunya dibunuh atau di buang di Boven Digul Papua oleh Belanda. Walau gagal, peristiwa tsb adalah bukti bahwa rakyat Indonesia dapat melawan Belanda secara terorganisir dengan skala nasional yg sebelumnya baru perlawanan-perlawanan kecil di beberapa daerah. Peristiwa ini pula yg memberi Ilham terhadap aksi dan gerakan-gerakan nasionalis setelahnya hingga kemudian Belanda angkat kaki dari bumi pertiwi.
 
Nah, itu sejarah pergolakan PKI pada masa penjajahan, lantas bagaimana dengan peristiwa G30 S PKI..? let’s find out!
 
Dalam kurun waktu NASAKOM (Nasional Agama Komunis) 1959-1965 dorongan konflik politik juga sosial mengakibatkan segresi moral tingkat lanjut, pembantaian massal eks, korban, atau terduga PKI secara terbuka dilancarkan dengan kasar baik itu oleh militer, ormas, dan sipil. Ini merupakan fakta yg berkata lain terhadap sejarah itu sendiri, yg saya lihat sekarang adalah dramatikalisasi super artificial melebihi persitiwa in factum, pemaparan hiperbolis khas sinetron produksi shanker cs. Jelas ini memberikan efek mengerikan di luar nalar, traumatik bagi eks, korban, dan terduga dan para pemirsa yg tidak tahu-menahu seakan ikut andil di dalam hegemoni formalitas potong pita jendral-jendral atau intelijen atau apalah, wtvr.
 
Singkatnya, Soeharto ini bisa diharapkan dapat menggulingkan Soekarno oleh CIA lewat berbagai bumbu berbau komunis dari timur, ini ada hubungannya antara konflik blok barat dan blok timur. CIA telah menggelontorkan dana lewat agen-agen teri mereka yg berbuah gelar pahlawan revolusi dan juga peristiwa lubang buaya. Pada awalnya CIA sempat bego karena tidak mengetahui siapa itu jendral Soeharto, namun dengan jasa Syam akhirnya “super deal” itu dapat terlaksana meskipun ada isu-isu bahwa Syam telah dihukum mati tapi dilepas dan berganti-ganti nama. Syam disini merupakan orang kepercayaan Soeharto, ia penghubung orang-orang militant di PKI dengan AD.

 

The Commie Purge of PKI.
Setelah peristiwa itu yg ada hanya rasa takut, mereka beterbangan, berlari dengan derap hening, menusuk, Bakar! Bakar! Bakar!

Simpatisan “terduga” PKI ditahan di gedung KODAM. Sedikit makanan tak jarang tikus pun dikonsumsi demi menyuplai gizi, entah kenapa banyak yg berkata bahwa Brigjen Supardjo ini the right men in the wrong place, mungkin karena ia kebagian apesnya. G30 S PKI sendiri dilihat sebgai buah pikiran Syam sang double agent, Kol. Untung sebagai eksekutor, dan Supardjo fokus pada penyelamatan Bung Karno.

Ternyata hubungan Supardjo dan Soeharto sangat dekat, mengingat ia adalah panglima komando siaga (KOLAGA) yg atasannya adalah Pak Harto sendiri. Agustus 1965 Supardjo telah memberitahukan tentang penculikan jendral AD kepada Bung Karno, mereka lalu bergegas mengungsi ke Halim, dan di komplek Halim pulalah Supardjo dan pasukan Banteng Raiders dari kodam diponegoro diserang oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Beliau lalu menyelamatkan diri ke Kramat Pulo, tertangkap dan ditahan di RTM Budi Utomo sampai dieksekusi pada tahun yg sama.

Banteng Raiders merupakan resimen elit pada masa 1960-an, jika kita sekarang mengenal datasemen anti terror nah, pasukan elit macam itu kira-kira. Banteng Raiders yg kala itu diserang oleh RPKAD memilih mundur demi mencegah pertumpahan darah. Tapi jika mereka maju mungkin mereka bisa pukul mundur RPKAD. Letkol Untung pernah menjadi komandan batalyon Banteng Raiders sebelum ia dipromosikan di Cakarabirawa yg cukup memberi impact terhadap anggota sebelumnya di Banteng Raiders. Untung pun dieksekusi di Cimahi setelah pengadilan kilat. Anggota banteng raiders yg dieksekusi sepanjang 65-69 pun banyak, sebagian menjadi tapol yg disiksa sepanjang hari, mayoritas kesalahan mereka hanya karena mereka pernah menjadi anak buah Letkol Untung yg artinya pernah menjadi anak buah Pak Harto juga.

Pasca 65. kamp-kamp interogasi marak berdiri di Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang. Tempat itu berdiri dengan tujuan interogasi, penyiksaan, dan penghilangan simpatisan PKI. Setiap hari ada saja anggota keluarga yg datang untuk mengambil jenazah “terduga” simpatisan PKI di kamp-kamp tersebut. Yang dicokok beragam, dari pengurus partai hingga juru ketik di grup-nya LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat), namun mereka tetap disiksa. Banyak eksekusi berantai, terang-terangan terutama di daerah Jawa, Ngawi, Blitar, dsb. Yang konyol adalah kerap kali terjadi salah eksekusi, ada wanita ditanyai oleh tentara “Mbak, saya cari pak kuwu (kades) disini.. tolong tunjukkan!” wanita itu menjawab “kulo gerwane pak..” namun karena tentara sudah gelap mata “gerwane” terdengar seperti GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia), disambitlah pula wanita itu.

Sepanjang 65-69 di beberapa tempat di Jawa banyak di temukan shallow graves korban dan terduga PKI, biasanya keluarga korban mengambil diam-diam mayat tsb untuk kemudian dikuburkan pada malam hari, karena ada ketakutan akan menjadi korban selanjutnya. Kawasan sungai bawah tanah gunung Kidul yg dikelilingi bukit-bukit adalah saksi bisu untuk ratusan bahkan ribuan jasad terduga PKI, bahkan di Jogja ada legenda “drumband setan”, di malam tertentu ada suara drumband misterius, namun bila didekati suaranya menghilang.., konon suara drumband setan itu berasal dari drumband underbouw PKI yg disembelih di sebuah kebun pisang di Sleman. Padahal drumband tsb beranggotakan anak SMA yg memang sering manggung di acara kampanye atau acara keorganisasian PKI.

Bali. Pulau dewata ini menyumbang korban purge PKI yg bukan main, pembantaian begitu banyak karena pengaruh persaingan antar puri yg berafiliasi ke PNI dan yg ke PKI. Tidak heran jika satu puri bisa musnah beserta banjar-banjarnya, kebanyakan korbannya tidak dikubur, tidak ada yg mau mendoakan, arwahnya bergentayangan di sawah dan hutan-hutan di Bali. Pembantaian ini sendiri berbeda dengan yg ada di pusat, Bali menggunakan “Tameng” (Ormas) utk membantai terduga PKI. Tameng sangatlah efektif dalam menciptakan kematian, untouchables, dan jadi raja-raja kecil di Bali. Ormas ini tidak jauh beda dengan yg umum sekarang, ormas berbayar, “you don’t like someone? Just pay the Tameng.”. Dan PKI purge bisa bercampur dan memang seperti itu, tumpang tindih antara masalah syahwat, cemburu, sosial, dan agama, bila komandan Tameng naksir istri orang, maka suaminya hanya tinggal tuduh PKI. Purge PKI lebih terasa dikalangan perempuan (baca: dari kamp ke kamp. Mia Bustam).

Purge of PKI telah terbiasa jika dalam sebuah keluarga terdiri dari seorang kakak yg masuk HMI dan adiknya CGMI (affiliate with PKI) yg sama-sama sholat dan puasa tapi sang adik tetaplah dibantai. Saking banyaknya orang yg dicokok sudah tak terhitung, bahkan benteng Vredenburg di Jogja pernah dijadikan sebagai kamp interogasi plus pembantaian. Sudah jelas, kamp-kamp itu tidak jauh berbeda dengan kamp konsentrasi ala Hitler, suplai makanan terbatas, hanya layak untuk satu tahun dan setelahnya, kelaparan, sakit, dan tewas. Interogasi di tiap waktu, no matter day or night, dan bila ada yg dengan tegas mengaku ia PKI maka eksekusi telah menunggu di halaman belakang atau jawaban lain panti rehab di pulau buru.

Bila sebuah kamp kedatangan prajurit RPKAD ada sebuah prosedur, yaitu pemisahan shaf antara pria dan wanita, pria setelah diinterogasi kadang babak belur kadang pincang dan hampir tidak ada yg keluar dari kamar berdiri tegap, namun bila wanita yg selesai diinterogasi malah RPKAD yg berdiri tegap, know what I mean? Namun ada pula kamp yg sedikit humanis ketimbang di pusat sana yaitu di Ambarawa, ketika BTI (Buruh Tani Indonesia) diinterogasi mereka hanya ditahan setahun dan setelah itu dibebaskan. Tapi nasib BTI di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian selatan (Kebumen, Gembong dsb.) tidak mengenakkan. Seorang petani yg tidak tahu-menahu, namun karena lurahnya BTI maka ia pun ikut disembelih. Juga di akhir 67 dimana seluruh tapol diberangkatkan ke pulau Buru yg dimana sebelumnya mereka diwajibkan “memilih” agama. Namun bagi kaum hawa lebih baik ditangkap pada tahun 66-67, pasca peristiwa Blitar 68 nasib wanita jauh lebih buruk.

Nah, barusan adalah cerita lain dari “sejarah” silahkan interpretasikan masing-masing karena semua berhak berfikir independen berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan tentunya, tidak perlu menjadi Komunis terlebih dahulu untuk mengakui nilai-nilai kemanusiaan yg universal, namun jika menggunakan terminologi tsb utk pembenaran sebuah peristiwa politik yg melibatkan PKI sebagai dalang, hari ini adalah keliru. G30 S PKI yg sebentar lagi diikuti oleh hari Kesaktian Pancasila pd tgl 1 Oktober juga sebuah pertanyaan, dan jawaban anak SMA nya adalah, “karena rezim komunisme PKI ingin mengganti ideology Pancasila dengan ideology Komunis, dan mereka gagal menggantinya, maka dari itu Pancasila tetap ada sampai sekarang.”

Jadi, kalian ingin mengibarkan bendera setengah tiang untuk hari Kesaktian Pancasila? Atau tetap berargumen Komunis itu Atheis? Well, its all up to you :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar