Tampilkan postingan dengan label ABRAR SIREGAR 1977-1994. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ABRAR SIREGAR 1977-1994. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 12 Februari 2011

ABRAR SIREGAR 1977-1994

 
Abrar Siregar adalh sutradara yang banyak membuat film berdasarkan dari novel.

Lahir Sabtu, 07 Agustus 1943 di Sibolga, Sumatera Utara. Pendidikan: Ibtidaiyah; Tsanawiyah; SMEP; SMEA; Fakultas Ketatalaksanaan, Akademi Pimpinan Perusahaan, Universitas Noormensen, Medan (sampai tingkat III, 1968).

Abrar Siregar yang sewaktu di Medan tergabung dalam grup Teater Nasional (Tena), semula berprofesi sebagai wartawan mingguan Waspada Terutama, Medan (1963-1965); kemudian wakil pemimpin redaksi dwikala Dobrak, Medan (1967-1969). Setelah pindah ke Jakarta, ia tetap aktif sebagai wartawan: redaktur majalah Violeta, Jakarta (1971-1975).

Dunia film dimasukinya sejak 1970, dimulai sebagai 'publicity man' dan 'still photographer' lewat film Dan Bunga Bunga Berg
uguran. Kemudian sebagai asisten sutradara dalam film Pengantin Remaja, dan lain-lain. Tahun 1977, menjadi sutradara penuh dalam film Terminal Cinta produksi PT Nusantara Film. Lalu berlanjut dengan film-film lainnya. Tahun terakhir (1995-1997) berkiprah dalam pembuatan sinetron.

OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA 1978 ABRAR SIREGAR
Director
TERMINAL CINTA 1977 ABRAR SIREGAR
Director
CATATAN HARIAN TANTE SONYA 1994 ABRAR SIREGAR
Director
ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN 1979 ABRAR SIREGAR
Director
SORTA 1982 ABRAR SIREGAR
Director

TERMINAL CINTA / 1977

TERMINAL CINTA


Dari novel "Terminal Cinta Terakhir"
Joki Tobing (WS RENDA), pemuda pembangkang, setiba dari Medan bekerja sebagai wartawan. Laporan-laporannya membuat dia dipecat oleh pemimpin redaksinya, bahkan membuat pamannya, tempat dia menginap, mengusirnya. Sang paman ditulisnya sebagai koruptor, sesuatu yang juga berlaku bagi ayahnya. Dalam keadaan menganggur ia jumpa dengan Widuri (MARINI), pegawai DKI. Hubungan Joki-Widuri yang semakin erat, membuat Widuri semakin ragu untuk membuka diri, sementara hal itulah yang dituntut Joki. 
 
Suatu saat Joki memergoki Widuri berjalan berdua dengan seorang asing. Amarahnya memuncak, karena dia pun didesak ayah-ibunya untuk mengawini Meinar (ITA MUSTAFA), anak pamannya. Padahal, Meinar ini dicintai oleh sahabatnya sendiri, Wawan (CHARLY SAHETAPY), sementara Meinar diam-diam sudah lama menaruh hati pada Joki. Desakan ayah-ibunya ini membuat hubungan anak-orangtua itu putus, sambil tentu saja Joki menyatakan pendapat kerasnya tentang kebobrokan kaum tua. Akibatnya ibu Joki sakit keras. Kebetulan saat itu anak Widuri kena kecelakaan dan dirawat di rumah sakit sama, meski tak tertolong. Di situlah Joki mengetahui latar belakang sesungguhnya dari Widuri, lewat Anton (ASMORO KATAMSI), sahabat Widuri saat kuliah. Maka Anton-Widuri kembali mesra.
 P.T. NUSANTARA FILM

W.S. RENDRA
MARINI
CHARLIE SAHETAPY
AMOROSO KATAMSI
AEDY MOWARD
HERLINA SIREGAR
MARULI SITOMPUL
HABIBAH
CHITRA DEWI
RAE SITA
ITA MUSTAFA
JAJANG PAMONTJAK

NOVEL TRIOLOGI KAMPUS BIRU-nya
Ashadi Siregar.
Berjudul Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta. Banyak yang kecewa dengan film Terminal Cinta ini, bagi yang penyuka novelnya. Dinilai Film Cintaku di Kampus Biru karya Ami Prijono mempertegas Roy Marten sebagai aktor paling tampan yang pernah dimiliki negara kita. Meraup kesuksesan lewat film Cintaku di Kampus Biru, sosok Roy Marten jadi identik dengan Anton Rorimpandey, tokoh yang diperankannya di film itu. Bahkan di film kedua, Anton yang sudah bukan tokoh utama masih diperankan oleh Roy Marten. Di film ketiga ini mungkin saja tidak lagi ditangani orang yang sama dengan dua film sebelumnya, mempersingkat judul menjadi Terminal Cinta merupakan upaya untuk berdiri sendiri dan terlepas dari dua film yang dari sisi cerita seharusnya tak bisa lepas. Pelepasan itu dimulai dengan mengganti pemeran Anton jadi aktor Amroso Katamsi, bukan Roy Marten lagi,


OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA / 1978

OMBAKNYA LAUT MABUKNYA CINTA


Adaptasi dari novel "Gali Lobang, Gila Lobang".
Jacky adalah seorang pelaut. Ketika kapalnya singgah di sebuah pelabuhan, ia pergi bersama teman-temannya ke klab malam. Di tempat ini Jacky berkenalan dengan Urmila, salah seorang penyanyi di tempat hiburan tersebut. Mereka saling jatuh cinta, tetapi kemudian terputus karena Jacky banyak menanyakan masa silam Urmila. Dalam suatu pelayaran, kapal Jacky terkena musibah yang mengakibatkan Jacky menderita cacat kaki. Kecacatannya membuat ia rendah diri untuk mendapatkan kembali cinta Urmila.

Enam belas tahun kemudian, karena tak tahan didera oleh rasa cintanya terhadap Urmila, Jacky mendatangi kembali tempat Urmila, tetapi tidak menemukannya. Akhirnya ia pergi ke tempat pelacuran dan bertemu dengan pelacur muda yang menarik hatinya. Di tempat itu secara tak sengaja Jacky mengetahui bahwa pelacur muda itu adalah anaknya sendiri. Hasil percintaannya dengan Urmila 16 tahun silam.

 P.T. MARTARI ARTIS JAYA FILM

ROY MARTEN
IDA ROYANI
BABY ZELVIA
YAYUK SUSENO
SYARIF HIDAYAT
TIZAR PURBA
ZAINAL ABIDIN
SJUMAN DJAYA
AMI PRIJONO
NICO PELOMANIA

NOVEL

Mereka jumpa karena mereka percaya itu adalah kenhendak sang takdir. Djeki, pelaut Indonesia. Coridad, penyanyi perkulam Pilipina. Dua latar belakang ini bertemu atas nama cinta. Dan atas nama cinta pula mereka memaksa perpisahan.

Cerita ini sesungguhnya mempersoalkan dusta turunan. Dusta yang selalu ada ketika manusia mulai jatuh cinta dan berbicara atas nama cinta.

Namun kejadian dalam cerita ini mudah-mudahan suatu peristiwa yang pernah terjadi dalam kehidupan, sebab betapapun 1000 kali dusta telah bermain dalam bibir, sebegitu jauh katakanlah dengan sungguh-sungguh bahwa:

GALI LOBANG
GILA LOBANG

Adalah bagian kecil yang sekarang tinggal diam sebagai kenangan dalam diri seseorang yang masih hidup.

Novel ini salah satu dari novel-novel Remy Sylado yang berceceran di beberapa majalah, dikarang tahun 1969, dan disiarkan sebagai cerber di majalah Aktuil pada tahun 1972, dengan judul Coridad Cruz, dan baru tahun ini diterbitkan sebagai buku dengan beberapa perubahan.

REMY SYLADO,
Nama aslinya Yapi Tambayong. Tapi dalam berkarya ia sering mencantumkan nama-nama yang kini lebih beken dari nama aslinya seperti Remy Sylado dan Alif Danya Munsyi. Selain itu juga punya nama lain seperti Juliana C. Panda, Dova Zila, Jubal Anak Perang Imanuel dan beberapa nama lain. Lahir di Makassar 12 Juli 1945. Ia dikenal luas sebagai seniman tulen yang hidupnya penuh pengalaman berkesenian dalam berbagai kegiatan; drama, film, musik, puisi dan susastra.

Ia meniti karirnya dimulai dari usia remaja saat sekolah di Semarang, kuliah di Solo, dan aktif berkegiatan seni dan jurnalisme di Bandung dan Jakarta. Sebagai musisi, ia jago mengarang lagu dan punya kemahiran menirukan suara penyanyi terkemuka dunia seperti Elvis Presley, Nat King Cole, Louis Armstrong, Bing Crosby, Mario Lanza, Bob Dylan. Tak hanya itu, ia pun mahir membuat gurauan gaya bicara dari bahasa-bahasa etnik. Selain menyukai musik modern, ia juga sangat peduli pada musik-musik etnik.

Ia juga sering menuliskan namanya dengan not angka 23761. Angka ini diambil dari kord pertama lirik lagu And I Lover Her milik The Beatles: 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do). Interpretasi lain, konon angka ini merupakan sebuah tanggal dimana Remy pertama kali mencium seorang perempuan pada 23 Juli 1961.

Namun, Remy sendiri mengaku angka itu dibuat secara asal-asalan. Angka ini kemudian ia gunakan untuk nama sebuah kelompok teater yang ia buat di Bandung, Dapur Teater 23761.

Remy merupakan anak bungsu yang tak terlalu ingat sosok ayahnya. Ayahnya, Johannes Hendrik Tambajong, wafat setelah ditahan dan disiksa oleh tentara Jepang.

Mengutip dari cerita Remy kepada Beritagar.id, Ayahnya merupakan seorang pendeta kelahiran Magelang, Jawa Tengah. Ia ditangkap karena dituduh memberikan lampu kepada pesawat yang sedang melewati Malino, Sulawesi Selatan. Ia katakan:

“Ayah saya dituduh antek Amerika Serikat karena dia bekerja untuk misi zending dari negara itu. Kakek saya tentara Belanda.”

Tentara Jepang yang tak suka dengan aksi Johannes Tambajong, menangkap dan menyiksanya. Selain menerima pukulan, Johannes juga harus tidur dalam sebuah papan sepanjang 30 sentimeter yang berada di atas got depan kantor Kompeitai (polisi militer Jepang) selama berhari-hari.

Seorang politisi asal Minahasa yang cukup berwibawa dan berpengaruh saat itu, Sam Ratulangi, melakukan perundingan dengan Jepang untuk membebaskan Johannes. “Ya bebas, tapi keluar dari situ dia (jalannya) sudah bongkok. Tidak lama dia meninggal,” ujar Remmy mengingat cerita ibunya.

Tentara Jepang yang dulu menyiksa ayah Remy, memberikan sebuah buku untuknya sebagai permintaan maaf. Remy masih ingat nama tentara itu, Miyahira.

Buku itu masih tersimpan rapi di rumah Remy. isinya berupa kumpulan puisi dari abad sebelum masehi sampai tahun 1939. “Bayangkan, di buku itu disertai lukisan-lukisan pendeta Shinto yang menulis sastra,” katanya.

Teks dari buku itu pun pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis. “Dia ternyata pembaca sastra tapi kejamnya luar biasa. Tapi setelah itu dia minta-minta ampun dan menjadi baik”, kata Remy dalam perbincangan dengan Beritagar.

Ibu Remy, Juliana Caterina Panda, membesarkan ketiga anaknya seorang diri. Setelah ayahnya wafat, sang ibu yang seorang petani dan sempat sekolah tiga tahun, membawa ketiga anaknya ke Semarang dan bekerja di Seminari Teologia Baptis.

Perjalanan Remy dalam dunia seni berawal dari sana. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, Remy sudah bisa bernyanyi dengan teknik dan menulis kaligrafi Arab dan ayat-ayat Alquran.

Remy juga berbakat di bidang seni rupa. Diceritakan semasa di sekolah dasar, Remy sempat memenangkan sebuah lomba seni lukis tingkat Sekolah Dasar se-Kabupaten Semarang. Bakatnya ini kelak mendorongnya masuk di Akademi Kesenian Surakarta untuk mendalami seni rupa.

Dalam dunia seni peran, Remy pernah melakonkan sebuah drama ketika berumur empat tahun sebagai seekor domba di kandang natal. Ketika tubuhnya tumbuh menjadi lebih besar, lakonnya berubah menjadi seekor anak sapi.

Atas dasar ketertarikan Remy dan pengalamannya pada seni peran, kelak menuntutnya belajar di Akademi Teater Nasional dan mendirikan sebuah kelompok teater yang diberi nama Teater 23761.

Buku bacaanya merentang dari dongeng, cerita-cerita anak, buku teologi, buku-buku sejarah, sampai buku-buku berbahasa Inggris. Pada masa kecilnya, Remy seringkali membolos sekolah karena memang ia termasuk anak yang tak betah sekolah.

Dikisahkan juga sewaktu duduk di bangku SMP, seorang guru bahasa memberi tugas kepada murid-muridnya mengarang sebuah cerita sepanjang satu halaman. Namun Remy mampu mengarang tak kurang dari empat halaman. Bahkan, hasil karangannya dibacakan di kelas-kelas lain.

Ketika remaja, Remy membuat sebuah grup musik, Remy Sylado and The Company dan kerap membawakan lagu-lagu Elvis Presley. Dari sini, ia menemukan nama Remy Sylado yang diambil dari sebuah not dari intro lagu And I Lover Her milik The Beatles, 2-3-7-6-1 (re-mi-si-la-do).

Remy mengawali kariernya sebagai seorang penulis ketika dirinya berusia 18 tahun. Tahun 1963, ia menjadi seorang wartawan dari surat kabar Sinar Harapan. Ia juga banyak menulis kritik, puisi, cerpen, dan novel.

Pada tahun 1965, Remy telah menjadi redaktur Harian Tempo Semarang sampai tahun 1966. Ia lanjutkan kariernya menjadi redaktur Majalah Aktuil di Bandung pada tahun 1970.

Selain berkarier sebagai jurnalis, Remy juga aktif mengajar di Akademi Sinematografi Bandung sejak 1971 dalam mata kuliah Estetika dan Dramaturgi.

Selain berkesenian, Remy juga banyak diundang untuk mengisi ceramah teologi. Secara khusus, ia mendalami teologi kontekstual dan teologi apologetik.

Dengan mementaskan drama Genesis II, kemudian Exsodus II, dan Apocalypsis II melalui Dapur Teater 23761 garapannya, Remy mengenalkan istilah “mbeling” yang menjadi simbol perlawanan terhadap apa yang sudah ada.

Gerakan mbeling sebagai perlawanan budaya lewat teater juga diakui Remy sebagai reaksi terhadap W.S. Rendra dengan teaternya yang berpandangan bahwa perlawanan terhadap budaya mapan harus dilakukan dengan sikap urakan.

Kata “urakan” menurut pandangan Remy yang dikemas dalam pentas teaternya, lebih berkonotasi negatif: tidak sopan, tak tahu aturan, dan kurang ajar. Maka Remy mengenalkan istilah “mbeling” yang menurutnya lebih berkonotasi positif.

Walaupun sebenarnya tetap berkesan nakal, kata “mbeling” berasosiasi dengan pengertian pintar, mengerti sopan-santun, dan bertanggung jawab.

Gara-gara pementasan Genesis II itu, Remy diintrogasi polisi Bandung selama hampir dua minggu. Namun hal itu justru mendorongnya untuk tetap menggunakan istilah “mbeling” dan menjelaskan konsep di belakangnya sebagai budaya tandingan.

Pada tahun 1971, Remy bergabung dengan majalah Aktuil, sebuah majalah hiburan dan musik yang berkantor di Bandung. Di sana, Remy menciptakan sebuah ruang khusus menampung sajak-sajak yang diberi nama “Puisi Mbeling”.

Puisi yang awalnya dipandang sebagai sesuatu yang sakral, berubah menjadi barang yang biasa saja. Melalui rubrik cerpen dan puisi mbeling, Remy mengajak kawula muda untuk bersastra.

Kesakralan puisi dan keangkeran majalah sastra menjadi alasan utama menjauhnya kaum muda dari budaya literasi yang sebenarnya berakar kuat di masyarakat.

Gerakan puisi mbeling yang dipelopori Remy merupakan kritik terhadap dunia sastra, dimana para penyair menulis puisi hanya untuk dibaca oleh dirinya sendiri (karena hanya dipahami oleh dirinya sendiri).

Sebagai gerakan perlawanan terhadap gaya bahasa puisi yang berbunga-bunga namun susah dipahami, puisi mbeling menawarkan konsep sebaliknya: puisi ditulis dengan bahasa yang sederhana dengan maksud yang terang dan mudah dipahami.

Dengan konsep seperti itu, puisi tidak hanya mudah dipahami sebagai tanggung jawab penyair terhadap realitas, namun ia juga memberikan akses seluas-luasnya bagi siapa saja untuk menjadi penyair.

Tidak selamanya usaha perlawanan terhadap ketabuan itu berjalan mulus. Salah satu puisi Remy uang dimuat majalah Aktuil pernah membuat Departemen Penerangan mengancam akan mencabut Surat Izin Terbit (SIT) majalah Aktuil.

Hanya setelah pihak Aktuil memberi upeti seperti kelaziman yang berlaku pada waktu itu, ancaman tersebut dibatalkan. Puisi Remy yang membuat perkara tersebut berjudul Pesan Seorang Ibu Kepada Putranya terdiri dari tiga kata dalam tiga baris: Jangan, Bilang, Kontol.

Puisi mbeling memang terkesan main-main. Namun dengan cara seperti itu, Remy mengajak kawula muda untuk menulis, termasuk bersastra. Dunia sastra dikesankan dengan keseharian, tempat bergurau, dan mengungkapkan suatu gagasan tanpa harus berpikir terlalu lama.

Selain Remy Sylado sebagai penjaga gawang rubrik puisi mbeling majalah Aktuil, tercatat juga nama-nama − yang belakangan juga dikenal sebagai sastrawan − yang ikut berpartisipasi pada gerakan puisi mbeling: Abdul Hadi WM, Yudistira M. Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri) dan nama-nama lainnya.

Pengaruh puisi mbeling tak berhenti pada majalah Aktuil. Ketika Remy berpindah ke majalah Top, ia meneruskan gerakan puisi mbeling dengan rubrik baru dengan tajuk Puisi Lugu.

Sebagaimana yang dicatat oleh penyair Heru Emka, pengaruh mbeling menyebar ke berbagai media massa: majalah Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain.

Beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta maupun di daerah-daerah juga pun ikut tertular virus mbeling. Begitu juga dengan majalah-majalah remaja. Heru Emka katakan, bahwa fenomena puisi mbeling telah mewarnai sejarah sastra Indonesia di tahun 1970-an.

Dengkan gerakan puisi mbeling yang digencarkan oleh Remy pada dekade 70-an, ia telah membuat gebrakan baru pada dunia kesusastraan Indonesia. Seorang sastrawan senior nasional, Sapardi Djoko Damono pun ikut ambil bagian memuji konsep puisi Remy sebagai suatu “usaha pembebasan”.

Di kemudian hari, puisi-puisi mbeling karya Remy dibukukan ke dalam buku puisi berjudul Puisi Mbeling yang memuat 143 puisi ekslusif Remy dari tahun 70-an.

Gebrakan Remy tak berhenti pada puisi mbeling saja. Kumpulan puisinya yang berjudul Kerygma & Martyria juga berhasil mencuri perhatian publik. Berkat buku puisinya itu, Remy meraih penghargaan dari MURI sebagai penulis buku puisi tertebal, 1056 halaman dan berisi 1000 puisi.

Dikabarkan ketika Remy membuat suatu karya, maka ia butuh melakukan riset yang tak tanggung-tanggung dan prosesnya pun juga memakan waktu yang cukup lama. Buku bacaannya bisa menggunung dari berbagai macam bahasa.

Kalau ia menulis tokohnya pergi ke Filipina naik kapal dari Indonesia, Remy pun akan melakukan yang sama. Jika tokohnya pergi ke Perancis, Cina, Klaten, Magelang, atau Tarutung, ia pun akan mendatangi tempat tersebut.

Riset Remy selalu mendetail dalam segi arsitektur dan sejarah. Buku-bukunya pun jadi kaya dengan kosakata, muatan sejarah, dan penjelasan yang mendetail.

Dalam karya novelnya, Remy juga banyak menggunakan kosakata bahasa Indonesia lama yang sudah jarang digunakan, sehingga membuat karyanya dinilai unik dan istimewa.

Seperti dalam salah satu novelnya, Kerudung Merah Kirmizi, banyak ditemui kata-kata asing, seperti prayojana, tenahak, bernudub, gancang-gancang, slilit, dan sebagainya. Kekayaan kosakata Remy juga tidak didapatkan dengan cara instan, ia harus banyak membaca sejarah, buku, dan kamus.

Kerudung Merah Kirmizi juga mengantarkannya meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2002, sebuah penghargaan prestisius di bidang sastra.

Remy juga kerap mengangkat tema dan latar budaya yang jarang disentuh. Mulai dari novel yang mengangkat budaya Tionghoa seperti Ca Bau Kan, Siau Ling, dan Sam Pho Kong, kemudian Parijs van Java yang berlatar kehidupan di masa kolonial Belanda, hingga Kembang Jepun yang mengisahkan tentang rumah pelacuran di Surabaya yang dibangun oleh orang Jepang.

Dalam bidang musik, Remy juga terkenal lewat lagu-lagunya yang beraliran folk, rock, country, dan dixie yang memang berbeda dari kebanyakan karya musik Indonesia yang beraliran pop. Ada 13 album kaset yang telah ia ciptakan. Untuk drama musikalnya, ia juga menciptakan musik sendiri.

  • Orexas.
  • Gali Lobang Gila Lobang.
  • Siau Ling
  • Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa), 1999.[2]
  • Kerudung Merah Kirmizi, 2002.
  • Kembang Jepun, 2003.
  • Parijs van Java, 2003.
  • Menunggu Matahari Melbourne, 2004.
  • Sam Po Kong, 2004.
  • Puisi Mbeling, 2005.
  • Rumahku di Atas Bukit
  • 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing
  • Drama Musikalisasi Tarragon “Born To Win”
  • Novel Pangeran Diponegoro
  • 9 Oktober 1740, Oktober 2005.
  • 123 Ayat tentang Seni
  • Drama Sejarah 1832 [3]
  • Kamus Isme-Isme


ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN / 1979

ALI TOPAN DETEKTIF PARTIKELIR TURUN KE JALAN


Tidak sebagaimana film (Baca Juga Di) Ali Topan Anak Jalanan" yang cengeng, Ali Topan yang ini mencoba berpijak pada kehidupan nyata. Ali Topan (Widi Santoso), yang memberontak terhadap kehidupan orang tuanya yang tak bermoral, memilih hidup luntang-lantung. Walau ada kesempatan jadi wartawan, Ali lebih suka hidup bertualang. Kerjaan isengnya sebagai wartawan, melibatkannya pada satu kasus penculikan anak kecil. Jadilah ia semacam detektif partikelir.

Film ini diangkat karena kepopuleran novel dari TEGUH Esha dengan judul yang sama.

Bernama lahir Teguh Slamet Hidayat Adrai. Lahir di Banyuwangi, Jawa Timur, 8 Mei 1947, dibesarkan di Bangil, Jawa Timur. Masa kecilnya diisi dengan membaca komik silat, komik wayang karya R.A. Kosasih, dan novel-novel detektif. Selepas kelas V SD, ia pindah ke Jakarta atas permintaan kakak iparnya, Mohamad Saleh, yang seorang diplomat dan ayah dari sutradara Rizal Mantovani. Setamat SMA IX, Jakarta, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti pada tahun 1966, tapi hanya bertahan dua semester.

Awalnya terjun menjadi penulis terjadi ketika pada suatu malam Pemimpin Redaksi, Utusan Pemuda, Dadi Honggowongso menginap di rumahnya sambil membawa surat kabarnya. Ia membaca cerita pendek yang ada di koran itu dan kemudian mengkritik cerpen yang di muat. Kritikan Teguh tersebut membuat Dadi gusar dan balik menantangnya. Semalam suntuk ia menulis cerpen untuk membuktikan bahwa cerpen karyanya lebih baik. Setelah jadi, cerita itu ia serahkan kepada Dadi, yang ternyata memuatnya pada edisi Minggu.  Cerpen tersebut merupakan karya pertamanya, bertema tentang detektif, namun ia lupa judulnya.

Melihat hal itu, Djoko Prajitno dan Kadjat Adrai, kakaknya yang sudah menjadi wartawan, mendorongnya untuk menjadi penulis. Ia pun bekerja sebagai wartawan di Utusan Pemuda, yang terbit dua kali seminggu. Ia memperdalam ilmu jurnalistik di Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta, tapi tak ia tamatkan  juga. Novel pertamanya, Gairah, muncul di Utusan Pemuda, namun sayang, tak terdokumentasikan.

Ketika berkuliah di Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), Jakarta, ia bertemu dengan Deddy Armand, redaktur majalah Stop. Deddy memintanya menulis apa saja di majalahnya. Hal ini memacunya untuk menulis banyak cerita bersambung. Saking produktifnya, ia mempunyai lima-enam nama samaran, seperti Jonjon van Papagoyang dan Peranginanginan. Cerita bersambung pertamanya adalah Ali Topan Anak Jalanan, yang melegenda, terbit di Stop pada 14 Februari 1972. Tokoh Ali Topan sendiri di dapatnya ketika sedang berjalan-jalan. Menurutnya nama Ali waktu itu lagi ngetop seperti Ali Sadikin, Muhammad Ali, Ali Said, Ali Moertopo, sedangkan Topan muncul begitu saja, dan jadilah Ali Topan.

Salah seorang mentor dalam karier kepenulisannya adalah Asbari Nurpatria Krisna, novelis dari angkatan yang lebih tua, pengarang novel Ibu Guru Kami Cantik Sekali itu menilai karya Teguh sebagai sastra-jurnalistik, yang mengolah fakta menjadi fiksi. Sang Mentor menyarankanya untuk menjadi wartawan dulu, baru kemudian menjadi sastrawan. Sebab, menurut sang mentor, dengan kartu pers, ia bisa kenal banyak orang dari berbagai strata sosial, dari pelacur sampai presiden, yang akan memperkaya karakter tokoh novelnya. Ia menuruti saran itu dan berkarier di jurnalistik. Menjadi sastrawan ia tempatkan sebagai kerja sampingan, meski demikian, ia mampu menulis lumayan cepat. Satu novel dapat ia selesaikan dalam tempo dua bulan. Bersama Djoko dan Kadjat, ia menerbitkan majalah Sonata dan menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi (1971-1973). Kemudian ia menerbitkan majalah Le Laki, yang berkantor dibilangan Kwitang, menjabat sebagai pemimpin redaksi (1974-1977). Di majalah inilah Teguh menulis cerita bersambung Dewi Besser.

Tahun 1977, ia kembali mengangkat cerita Ali Topan Anak Jalanan ke dalam sebuah novel, yang di terbitkan oleh penerbit Cypress, yang juga menerbitkan karyanya Dewi Besser dan Playgirl Salah Gaul (1978). Penerbitan Ali Topan Anak Jalanan pada tahun 1977 meledak. Dalam jangka waktu enam bulan novel itu telah dicetak empat kali. Popularitasnya makin didongkrak oleh munculnya film Ali Topan Anak Jalanan (1977 ) dengan bintang utama aktor Junaedi Salat dan aktris Yati Octavia.

Setahun kemudian, ia menulis lagu yang dinyanyikan Franky Sahilatua (alm) dan Jane Sahilatua dalam album Balada Ali Topan. Sampulnya memakai sketsa Ali Topan ciptaan komikus Jan Mintaraga. Di tahun yang sama (1978), ia menerbitkan Ali Topan Detektif Partikelir dan pada tahun 1979 muncul film Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan dengan bintang aktor Widi Santoso. Ali Topan Anak Jalanan juga pernah muncul sebagai sinetron sepanjang 26 episode pada 1986 dengan bintang Ari Sihasale. Pada tahun 2000, ia kembali menerbitkan novel Ali Topan Wartawan Jalanan.

Karakter Ali Topan, yang digambarkan olehnya adalah pemuda lulusan sekolah menengah atas yang menolak melanjutkan kuliahnya sesuai dengan kehendak orang tuanya, berasal dari keluarga berantakan, ayahnya berselingkuh, ibunya menjadi tante girang, rumah baginya bukanlah tempat tinggal yang nyaman sehingga akhirnya ia pun meninggalkan rumah dan menggelandang di jalanan. Menurutnya, ia memiliki karakter dan spirit seperti James Dean, berontak tanpa alasan, namun Ali Topan berontak dengan alasan. Ali Topan melawan segala ketidakadilan dan mempertanyakan segala yang dirasanya tak adil. Berani bila benar dan takut bila salah.

Menurut penulis yang pernah di rawat karena mengidap penyakit diabetes dan kelainan ginjal ini, novel Ali Topan sebenarnya tetralogi. Selain dua yang sudah terbit, ada Ali Topan Rock and Road, yang masih berbentuk tulisan tangan, serta Ali Topan Santri Jalanan, yang belum tamat dan baru sempat dimuat bersambung tujuh edisi di Panji Masyarakat pada 1984. Ia berencana merampungkan novelnya yang sempat terbengkalai.

Menikah pada tahun 1980 dengan Ratnaningdiah Indrawati Santoso Brotodihardjo, cucu Soeratin Sosrosoegondo, tokoh sepak bola nasiona, dan dikaruniai tujuh anak. Kini ia bersama keluarga tinggal menetap di daerah Bintaro, Jakarta Selatan.


Pendidikan :
SMA IX Jakarta.
Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti
 (1966, tidak tamat),
Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo (tidak tamat)

Karier :
Wartawan Utusan Pemuda dan majalah Stop,
Pimpinan Redaksi majalah Sonata (1971-1973),
Pimpinan Redaksi majalah
 Le Laki (1974-1977)

Karya :
Gairah (novel),
Ali Topan Anak Jalanan (cerber, 1972),
Dewi Besser (cerber),
Ali Topan Anak Jalanan (novel, 1977),
Dewi Besser (novel, 1978), Playgirl Salah Gaul
(novel, 1978),
Balada Ali Topan (lagu dinyanyikan Franky dan Jane Sahilatua)
Ali Topan Detektif Partikelir (novel, 1978)
Ali Topan Wartawan Jalanan (2000)



TEGUH ESHA DAN ALI TOPAN
DIA ini Ali Topan, orang baek. Dia pernah kasi tulung besar sama gua… waktu toko gua mau dirampok orang jahat. Lu liat nih tangannya ada bekas bacokan golok. Dia tulungin gua tangkepin perampok sampe dianya kena bacok! Gua utang budi sama dia! Gua sudah angkat saudara sama dia!” kata Encik Hoa, juragan toko P&D Sinar Pembangunan, kepada Engko Ceng, pegawai baru, yang salah sangka terhadap tongkrongan Ali Topan di kusen tokonya.

Adegan di sebelah selatan kompleks pertokoan Melawai, Blok M, Jakarta, itu terjadi dalam novel Ali Topan Wartawan Jalanan (2000) karya Teguh Esha, yang pertama kali terbit pada 1978 bertajuk Ali Topan Detektif Partikelir. Ini sekuel Ali Topan Anak Jalanan, yang pertama kali dimuat di majalah Stop pada 1972 dan muncul sebagai novel pada 1977.

Teguh berhasil mengorbitkan Ali Topan menjadi tokoh yang sangat menonjol pada zamannya. “Novel ini kuat sekali dalam penggambaran watak tokoh utamanya, tapi bernada tunggal. Ali Topan lantas menjadi tokoh imajiner yang legendaris, seperti tokoh Batman atau Garth,” tulis Jakob Sumardjo dalam bukunya, Novel Populer Indonesia (1985). Dua nama terakhir itu adalah tokoh komik yang terkenal sebagai pembasmi kejahatan.

Hal lain yang mendukung meledaknya novel itu, kata sastrawan Yudhistira A.N.M. Massardi, Teguh melampirkan kamus kecil istilah “prokem”, yang menjadi cara baru bagi remaja untuk berekspresi. “Saat itu bahasa ‘prokem’ mewabah. Semua berlomba-lomba berbicara dalam bahasa itu,” kata pengarang novel Arjuna Mencari Cinta, yang juga populer pada era 1970-an, itu.

Menurut Jakob, ada kecenderungan protes sosial pada novel-novel populer yang ditulis pengarang lelaki pada 1970-an. “Pada novel Ashadi Siregar, Eddy D. Iskandar, Remy Sylado, Yudhistira, dan Teguh Esha, kita jumpai ‘pemberontakan’ anak-anak muda terhadap orang tua mereka yang tidak bertanggung jawab,” tulisnya.

Itulah yang terjadi pada Ali Topan. Ali digambarkan sebagai pemuda lulusan sekolah menengah atas yang menolak melanjutkan kuliahnya sesuai dengan kehendak orang tuanya. Dia berasal dari keluarga berantakan: ayahnya berselingkuh, ibunya jadi tante girang. Rumah, bagi Ali, bukanlah tempat tinggal yang nyaman. Poster “a house is not a home” menempel pada dinding kamarnya, yang mengoleksi kaset-kaset Koes Bersaudara, The Beatles, The Rolling Stones, serta kumpulan syair Bob Dylan dan buku-buku silat Cina. Dia pun meninggalkan rumah dan menggelandang di jalanan.

Omong-omong, dari mana Teguh mendapat nama tokohnya? “Waktu itu saya lagi jalan-jalan. Nama Ali waktu itu lagi ngetop. Ada Ali Sadikin, Muhammad Ali, Ali Said, Ali Moertopo. Tiba-tiba muncul nama Topan. Jadilah Ali Topan,” kata Teguh seraya tersenyum.

l l l
Teguh Esha, lengkapnya Teguh Slamet Hidayat Adrai, lahir di Banyuwangi, 8 Mei 1947, dan dibesarkan di kampung ayahnya di Bangil, Jawa Timur. Masa kecilnya diisi dengan membaca komik silat, komik wayang R.A. Kosasih, dan novel-novel detektif. “Kalau saya mengirim surat ke saudara saya di Jakarta, saya suka memakai nama samaran dari komik, seperti Beruang Merah,” kata Teguh di rumahnya di Bintaro, Jakarta Selatan, pekan lalu.

Selepas kelas V sekolah dasar, dia pindah ke Jakarta atas permintaan kakak iparnya, Mohamad Saleh, diplomat dan bapak sutradara Rizal Mantovani. “Dia yang menyekolahkan saya dan saudara saya,” kata Teguh. Dia dan saudara-saudaranya tinggal di Jalan Jati, Petamburan. Setamat SMA IX, dia kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Trisakti pada 1966, tapi hanya bertahan dua semester.

Suatu malam Pemimpin Redaksi Utusan Pemuda Dadi Honggowongso menginap di rumah mereka sambil membawa surat kabarnya. Teguh membaca cerita pendek di koran itu. “Cerpen jelek ini kok dimuat?” kata Teguh. Jelas saja Dadi gusar. “Eh, elu bisa bikin enggak?” kata Dadi.

Semalam suntuk Teguh menulis cerpennya. Setelah jadi, cerita itu dia serahkan kepada Dadi, yang ternyata memuatnya pada edisi Minggu. “Itu cerpen pertama saya. Judulnya lupa. Temanya tentang detektif. Pokoknya tokoh saya hitam-putih saja. Kalau penjahat, ya, dihajar,” kata Teguh.

Melihat hal itu, Djoko Prajitno dan Kadjat Adrai, dua kakaknya yang sudah jadi wartawan, mendorong Teguh jadi penulis. Teguh pun bekerja sebagai wartawan di Utusan Pemuda, yang terbit dua kali seminggu. Dia lantas memperdalam jurnalistik di Fakultas Publisistik Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama), tapi tak tamat juga. “Novel pertama saya, Gairah, sebenarnya muncul di Utusan Pemuda. Sayang, tak terdokumentasikan,” tuturnya.

Di kampus itu dia bertemu dengan Deddy Armand, redaktur majalah Stop. Deddy lantas meminta Teguh menulis apa saja di majalahnya. Hal ini memacu Teguh menulis banyak cerita bersambung. “Saking produktifnya, saya punya lima-enam nama samaran, seperti Jonjon van Papagoyang dan Peranginanginan,” katanya. Cerita bersambung pertama Ali Topan Anak Jalanan juga terbit di Stop pada 14 Februari 1972.

Salah satu penuntun Teguh dalam karier kepenulisannya adalah Asbari Nurpatria Krisna, novelis dari angkatan yang lebih tua. Pengarang novel Ibu Guru Kami Cantik Sekali itu menilai karya Teguh sebagai sastra-jurnalistik, yang mengolah fakta menjadi fiksi. Menurut Teguh, Asbari menyarankan dia menjadi wartawan dulu sampai top, baru jadi sastrawan. Sebab, menurut Asbari, dengan kartu pers, Teguh bisa kenal dari pelacur sampai presiden, yang akan memperkaya karakter tokoh novelnya.

Teguh menuruti saran itu dan berkarier di jurnalistik. “Sastra waktu itu kerja sampingan saya sebagai wartawan,” katanya. Meski demikian, dia mampu menulis lumayan cepat. Satu novel, termasuk Ali Topan, dapat selesai dalam tempo dua bulan.

Bersama Djoko dan Kadjat, Teguh lantas menerbitkan majalah Sonata dengan Teguh duduk sebagai wakil pemimpin redaksi pada 1971-1973. Lalu Teguh menerbitkan majalah Le Laki, yang ia pimpin selama 1974-1977. “Saya bikin dengan modal dari anak Bea-Cukai yang bapaknya koruptor,” tutur Teguh.

Kantor majalah Le Laki berada di Kwitang. Teguh mengangkat dirinya sebagai pemimpin redaksi dan menunjuk Yudhistira A.N.M. Massardi sebagai wakilnya. Dia juga merekrut Noorca M. Massardi sebagai redaktur pelaksana dan Adhie M. Massardi sebagai reporter. Di majalah inilah Teguh menulis cerita bersambung Dewi Besser.

Menurut Jakob, Dewi Besser menelanjangi kehidupan para artis di Metropolitan dan bisnis majalah hiburan. Novel itu mengangkat Dewi Besser, gadis remaja yang hamil di luar nikah dan ditinggal kabur pacarnya, Toni. Ganesha alias Kupjang, wartawan asal Medan, mencoba membantu Dewi meminta pertanggungjawaban keluarga pacarnya, tapi gagal dan akhirnya anak di kandungan Dewi digugurkan.

Kupjang “memperalat” gadis bertubuh permai itu. Pose-pose Dewi yang berani diterbitkannya di majalah PG. Dalam beberapa hari, Dewi jadi termasyhur. Hal ini memicu kecemburuan para artis lain yang sudah terkenal. Ketika mereka bertemu dengan Dewi, pertengkaran pun pecah. Kupjang memotret Dewi yang menghajar para artis dan memuatnya di PG. Dia juga mengangkat asal-usul Dewi dan skandal keluarga Toni. Ayah Toni, seorang pejabat Bea-Cukai, berang. Tapi Kupjang malah berhasil memeras data ayah Toni dan membeberkannya di majalah. Habislah kehormatan keluarga Toni, nama Dewi pun terkenal di kalangan om-om senang. Salah satu kelebihan novel ini adalah munculnya sejumlah nama artis yang ceritanya mirip berita yang beredar di media, seperti Tanti Jusuf, Kristin, dan Yati Octavia.

Sebenarnya apa yang diangkat Teguh dalam fiksi merupakan cermin realitas pada masanya. Ali Topan, misalnya, menyoroti soal tante girang, istilah bagi ibu-ibu yang suka berselingkuh dengan para pemuda. Istilah ini populer berkat novel Motinggo Busye berjudul sama. Beberapa novelis masa itu juga menulis tentang tante girang, seperti Abdullah Harahap dan Ali Shahab. “Zaman itu musim bener tante girang,” kata Teguh.

Menurut Teguh, yang dulu rajin nongkrong di kawasan Blok M, para mahasiswa atau pemuda bergaya seperti mahasiswa banyak yang beredar di Melawai dan Bulungan. “Mereka lantas dijemput tante girang dan dibawa, biasanya ke Puncak,” kata pengarang yang pernah mendapat pengakuan dari mahasiswa dan tante girang itu.

Menurut Yudhistira, tante girang sebenarnya gejala sosial yang selalu muncul di tiap zaman. “Masa itu gejala ini dieksploitasi oleh novel-novel, sehingga bisa jadi ibu-ibu itu malah kemudian terilhami berbuat demikian,” katanya.

Gejala ini bagian dari euforia sesudah Orde Lama tumbang dan kekuasaan Orde Baru belum kokoh, yang diperkirakan Teguh pada 1968-1972. “Itu zaman pers kuning, yang isinya ramuan horor, porno, dan judi,” ujarnya.

Yudhistira mengakui merebaknya media semacam itu. “Majalah mingguannya porno semua. Gambar-gambarnya sensual,” katanya. Menurut dia, lahirnya media semacam itu akibat kejenuhan terhadap politik dan euforia kebebasan pers. Selain itu, lahir majalah remaja, seperti Gadis, yang mengangkat banyak remaja menjadi gadis sampul dan majalah Aktuil, yang menghidupkan musik pop serta dunia remaja. “Yang juga penting adalah munculnya penerbit Cypress, yang banyak menerbitkan novel-novel pop,” kata dia.

Cypress, kata Teguh, didirikan Ebet Winata, bekas pedagang lukisan, dan Tedi, bekas penerbit cerita stensilan. Penerbit itu pulalah yang meluncurkan novel Ali Topan Anak Jalanan, Ali Topan Wartawan Jalanan, dan Dewi Besser dengan judul Dewi Besser, Playgirl Salah Gaul (1978). Novel Yudhistira yang mereka terbitkan adalah Arjuna Mencari Cinta dan Arjuna Drop Out.

Novel-novel Eddy D. Iskandar juga diterbitkannya, seperti Cowok Komersil, Sok Nyentrik, Musim Bercinta, dan Brandal Tengil. Beberapa pengarang lain yang novelnya mereka terbitkan adalah Ashadi Siregar, Saut Poltak Tambunan, Mira W., Titiek W.S., Maria A. Sardjono, dan La Rose.

Penerbitan Ali Topan Anak Jalanan pada 1977 meledak. Dalam enam bulan novel itu naik cetak empat kali, tapi berapa jumlahnya Teguh tidak tahu. “Yang pasti, saya bisa bikin rumah di Puri Mutiara di perbatasan Kemang-Cipete dengan luas tanah 360 meter persegi dan dikasih Mercedes bekas, yang harganya sama dengan Honda Civic,” kata Teguh.

Popularitasnya makin didongkrak oleh munculnya film Ali Topan Anak Jalanan pada 1977 dengan bintang utama Junaedi Salat dan Yati Octavia. Setahun kemudian Teguh menulis lagu yang dinyanyikan Franky dan Jane Sahilatua dalam album Balada Ali Topan. Sampulnya memakai sketsa Ali Topan ciptaan komikus Jan Mintaraga. Pada tahun yang sama Teguh menerbitkan Ali Topan Detektif Partikelir dan pada 1979 muncul film Ali Topan Detektif Partikelir Turun ke Jalan dengan bintang Widi Santoso. Ali Topan Anak Jalanan juga pernah muncul sebagai sinetron sepanjang 26 episode pada 1986 dengan bintang Ari Sihasale.

Teguh menikah pada 1980 dengan Ratnaningdiah Indrawati Santoso Brotodihardjo, cucu Soeratin Sosrosoegondo, tokoh sepak bola nasional. Mereka dianugerahi tujuh anak. Yang terkecil duduk di kelas V SD dan yang tertua ahli desain grafis.

Menurut Teguh, novel Ali Topan sebenarnya tetralogi. Selain dua yang sudah terbit, ada Ali Topan Rock and Road, yang masih berbentuk tulisan tangan, serta Ali Topan Santri Jalanan, yang belum tamat dan baru sempat dimuat bersambung tujuh edisi di Panji Masyarakat pada 1984. “Habis sembuh ini mau saya garap dua novel itu,” kata Teguh, yang Senin pekan lalu baru pulang dari rumah sakit karena sakit diabetes.

Ali Topan, menurut Teguh, memiliki karakter dan spirit. “Kalau James Dean berontak tanpa alasan, Rebel without a Cause, Ali Topan berontak dengan alasan,” katanya. Ali Topan melawan segala ketidakadilan dan mempertanyakan segala yang dirasanya tak adil. “Dia berani bila benar dan takut bila salah,” kata Teguh.

Dalam pencariannya, akhirnya Ali Topan juga mempertanyakan masalah agama. Dia bertanya, misalnya, mengapa sesama orang beragama bisa gontok-gontokan. Kisah ini merupakan bagian akhir dari tetralogi Ali Topan. “Ali Topan Santri Jalanan adalah refleksi pencarian ketuhanan saya,” kata Teguh.

SORTA (Tumbuh Bunga di Sela Batu) / 1982



Setamat dari SMA, Sorta (Mutiara Sani) terpaksa harus tunduk terhadap ayahnya, Amang Bukit (Menzano) untuk tidak melanjutkan sekolah. Ia diharuskan tetap tinggal di kampungnya sebagai petani. Sementara itu, Inang Ria (Dhalia) mengalami penderitaan, ditinggal merantau suaminya dengan membawa anak lelakinya, Daulat yang masih kecil. Inang Ria sangat menaruh dendam terhadap Amang Bukit, karena lelaki itulah yang telah membeli tanah suaminya dan uangnya untuk bekal merantau.

Kepulangan Daulat (Deddy Mizwar) sekian tahun kemudian, memberi harapan bagi ibunya. Ternyata Daulat tidak dapat berbuat apa-apa, karena tanah ayahnya memang dijual resmi kepada Amang Bukit. Inang Ria semakin benci terhadap Amang Bukit. Apalagi setelah mengetahui bahwa antara Daulat dan Sorta saling jatuh cinta. Amang Bukit sendiri sangat tidak suka, bila anaknya berhubungan dengan Daulat. Amang Bukit nekat membunuh Daulat, walaupun Amang Bukit sendiri kemudian tewas terperosok jurang. Inang Ria akhirnya luluh dengan lahirnya bayi laki-laki dari Sorta hasil hubungannya dengan Daulat.

P.T. DEWI FILM

MUTIARA SANI
DEDDY MIZWAR
DHALIA
MENZANO
BURHAN PILIANG
ROSNANI LUBIS
ARIFIN KID
SAM ELLIAS
TATY ABDILLAH
SUKRI MUSA

CATATAN HARIAN TANTE SONYA / 1994



Novel "Hari ini Tiada Cinta"
Kisah seorang janda, Sony (Ayu Azhari), yang setelah ditinggal cerai oleh suaminya, mencoba hidup mandiri, dan berhasil sebagai usahawan, tapi tak urung harus jatuh pada seorang perjaka, Benno (Chris Michael), fotografer yang bermimpi bisa hidup kaya, sementara hidupnya sendiri bebas dan bohemian. 
 
Ia tinggalkan pacarnya, Mimi (Esri Komara), begitu saja, untuk mengejar Sonya. Ketika berhasil, ia begitu saja cemburu pada kawannya sendiri, meski bukti tak cukup. Ia merasa segalanya di bawah Sonya, yang justru sangat mencintainya. Ia lari, tapi tak urung kembali lagi, saat Sonya dikesankan berusaha bunuh diri.

P.T. RAPI FILM
P.T. DUTA ASTRINDO FILM

AYU AZHARI
CHRIS MICHAEL
POPPY FARIDA
ESRI KOMARA
YANI SOEDRAJAT
UYUNG RIDWAN
SUDARMI
KIKI MARCELLA SIREGAR

AYU AZHARI, yang terkenal dengan julukan Bintang Panas