Tampilkan postingan dengan label BACHTIAR EFFENDY 1930-1954. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BACHTIAR EFFENDY 1930-1954. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Februari 2011

BACHTIAR EFFENDY 1930-1954

BACHTIAR EFFENDY


Lahir Kamis, 01 April 1976 di Roma. Pendidikan : Sempat duduk di bangku AMS. (Sedikit anak Pribumi pada masa itu yang sanggup sekolah sampai tingkat itu). Orang tuanya menginginkan anak ini menjadi Sarjana Hukum. Tapi Bachtiar lebih tertarik terjun ke film. Bahkan ia bersedia memulai sebagai pekerja kasar, pembantu bagian dekor di Studio Tan's Film. Mulai berkesempatan main dalam Si Ronda (1930) kemudian dalam Melatie van Agam (1930) merangkap sebagai Pembantu Sutradara. Keduanya film bisu. Ketika tahun berikutnya studio ini pertama membuat film bicara, Nyai Dasima (1931), Bachtiar sudah menjadi sutradara penuh. 

Tahun, 1932 memimpin majalah Doenia Film yang semula dipegang oleh Andjar Asmara . Tahun 1935 mengikuti jejak Andjar memasuki sandiwara Dardanella, sebagai pemain. Ketika Dardanella pecah tahun 1936, ia ikut kelompok Andjar Asmara, mendirikan Bollero Sejak 1938 memimpin Bollero yang kemudian menetap di sekitar Malaka sampai tahun 1945. Ia tertahan di Singapura karena tidak sedia membantu Inggris yang akan memasuki Indonesia. Lalu masuk perusahaan film Christy Film Coy sebagai sutradara, hasilnya Seruan Merdeka. Perusahaan ini dibeli oleh Shaw Bros. Bachtiar mendirikan perusahaan dagang Impor Export bersama: Dja'far Wirjo, yang merupakan gabungan pedagang Indonesia yang berada di Singapura. Tahun 1950 kembali ke Indonesia, bekerja di Kementrian Penerangan. Setahun kemudian mulai menyutradarai film-film cerita, PFN, antara lain Jiwa Pemuda (1951), Antara Tugas dan Tjinta (1954). Yang belakangan ini adalah merupakan salah satu film Indonesia pertama yang terpilih untuk bisa main dalam bioskop kelas I.

Sejak tahun 1955 menjadi Atase Pers pada Kedutaan RI di Italia. Karir ini terputus karena ia ikut bergabung dengan pemberontakan PRRI. Selanjutnya memilih tinggal di Italia, karena anak-anaknya telah berpenghidupan di negeri tersebut. Sementara itu ia mengisi waktu senggangnya dengan bermain dalam peran-peran kecil pada film Italia. Sejak tahun 1970 ia mulai sering ke Indonesia. Bukan saja untuk menengok kakak kandungnya, penyair dan tokoh pergerakan Roestam Effendi, tapi juga mengurus kerjasama produksi antara Indonesia dan Italia. Dan sambil lalu sempat pula main dalam film reklame obat Konidin disini, yakni orang tua berkaca mata yang mengucap "Percayalah".

Munculnya warna lokal dalam film Indonesia, sesungguhnya sudah dimulai sejak kehadiran film cerita pertama yang dibuat di Indonesia. Pada tahun 1926, NV Java Film Company, yang berdiri di Bandung, membuat film cerita rakyat Tatar Sunda "Loetoeng Kasaroeng". Bahkan setahun kemudian, G. Krugers, pembuat "Loetoeng Kasaroeng", kembali menggarap film "Eulis Acih", dan "Karnadi Tangkap Bangkong".

Tahun 1928, Tan`s Film milik Tan Bersaudara, membuat film berdasarkan kisah legendaris dari Betawi "Nyai Dasima", yang disutradarai oleh Lie Tek Soei. Kisah lain dari Betawi yang dibuat film berjudul "Si Ronda" (1930) yang disutradarai oleh Bachtiar Effendi dan "Si Pitung" (1932). 

Sekitar tahun 1930 - 1942, cukup banyak film Indonesia yang bersumber dari kekayaan cerita daerah atau film yang berlatar belakang budaya daerah. Tahun 1930, Tan`s Film membuat film "Bunga Ros dari Cikembang" produksi Cine Motion Picture yang disutradarai Tan Teng Chun alias Tachjar Ederis. Kemudian muncul film "Rencong Aceh" (1939), "Keris Mataram" (1941), "Ciung Wanara" (1941), "Mustika dari Jenar" (1942), "Nusa Penida" (1942), dan yang lainnya.

Patut dicatat pula sebuah film yang menampilkan pasangan Raden Muhtar asal Cianjur dan R. Sukarsih asal Cikoneng Tasikmalaya, judulnya "Pareh" (1934). Film tersebut, dianggap film penting, dan dokumentasinya ada di Sinematek Belanda.

Tanggal 30 Maret 1950, NV Perfini milik H. Usmar Ismail, menggarap film perdananya "Darah dan Do`a", sebuah kisah berdasarkan peristiwa long march Pasukan Siliwangi dari Yogya ke Jawa Barat, disutradarai oleh Usmar berdasarkan skenario Sitor Situmorang. Karena film tersebut merupakan film yang sepenuhnya digarap oleh warga pribumi, mulai dari produser, sutradara, pemain, dan yang lainnya, maka tanggal pembuatan film tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional, 30 Maret.

Selanjutnya, kian banyak film warna lokal yang dibuat oleh produser film pribumi, antara lain"Jayaprana", (PPFN), "Damarwulan (Jakarta Film Co), "Turang" (Rofiq/Yayasan Gedung Pemuda- 1957), "Tanjung Katung" (PESFIN Motion Production - 1957), "Gending Sriwijaya" (Dharma Ikatan Artis Nasional -1958), "Bintang Surabaya", "Air Mata Mengalir di Citarum", "Tirtonadi" (1950), "Rahasia Telaga Warna" (1951), "Sepanjang Malioboro" (1952), "Konde Cioda" (1953), "Harimau Campa" (1953), "Lenggang Jakarta" (1953), "Kuala Deli" (1955), "Peristiwa di Danau Toba" (1955), "Serampang Dua Belas" (1956), "Lompong Sagu" (1960), "Macan Kemayoran" (Aries Nusantara Film, 1965), "Jampang Mencari Naga Hitam" (Dewan Film Nasional, 1969).

Cerita rakyat Lutung Kasarung paling banyak dibuat film. Setelah dibuat film pada tahun 1926, dibuat lagi pada tahun 1952, salah seorang pemeran utamanya Tina Melinda. Kemudian pada tahun 1983, Inem Film menggarap kembali kisah dari Tatar Sunda itu dengan pemeran utamanya Enny Beatric

MELATI VAN AGAM (I DAN II) 1930 LIE TEK SWIE
Actor
NJAI DASIMA 1932 BACHTIAR EFFENDY
Director
MERATJUN SUKMA 1953 BACHTIAR EFFENDY
Director
SI RONDA 1930 LIE TEK SWIE
Actor
BUNGA RUMAH MAKAN 1951 DR HUYUNG
Actor
ANTARA TUGAS DAN TJINTA 1954 BACHTIAR EFFENDY
Director
DJIWA PEMUDA 1951 BACHTIAR EFFENDY
Director

DJIWA PEMUDA / 1951

DJIWA PEMUDA


Suria (Rd Sukarno) dan Karnaen (Djauhari Effendi) sama-sama baru kembali dari gerilya. Mereka juga sama-sama bertekad untuk membangun desa. Keduanya juga menaruh hati pada gadis yang sama, yaitu Surati (Nursiah), anak pak Amat (Astaman). Tetapi Surati lebih memilih Suria. Akibatnya Karnaen sakit hati, dan menaruh dendam. Ia pun memimpin suatu perampokan untuk merampok Suria yang baru terima uang dari bank. Tindakannya tercium polisi, hingga Karnaen tertembak. Ia pun mengakui kesalahannya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.

Film ini diproduksi 1951 oleh PFN. Berkisah tentang 2 bekas pejuang yang terlibat cinta segitiga yang berkait-kait dengan usaha mereka membangun koperasi dan bank desa di desa mereka. Suria (R Sukarno) dan Karnaen (Djauhari Effendi) adalah dua bekas pejuang itu. Di desa mereka, desa Tegalsari mereka bertekat membangun koperasi , cinta Surati (Nurhasanah) nampaknya memberikan semangat besar kepada Suria. Karnaen cemburu dan merencanakan perbuatan jahat terhadap Suria. Tetapi sebelum berjalan rencana tersebut alat negara (polisi) muncul. Karnaen yang luka parah sebelum meninggal, masih sempat minta maaf, dan menyatakan penyesalannya.Suria dan Surati akhirnya dapat hidup bahagia.

Lewat film ini, Bachtiar dan PFN ingin mengingatkan pada para bekas pejuang agar menghindari dari nasib buruk seperti yang menimpa Karnaen. Berbuatlah baik seperti Suria, agar sukses dalam membangun desa dan bakal sukses menggaet hati wanita cantik seperti Surati.

PFN

RENDRA KARNO
NURSIAH
DJAUHARI EFFENDI
BISSU
ASTAMAN
ISKANDAR SUCARNO

ANTARA TUGAS DAN TJINTA / 1954

ANTARA TUGAS DAN TJINTA


Wati (Titien Sumarni) dan Karmawan (Kunto Sudarsono) saling jatuh cinta. Meski demikian, orangtua Wati mepertunangkan anak gadisnya dengan Subur. Pertentangan antara tugas dan cinta timbul ketika Subur ditangkap oleh gerombolan. Sebagai komondan, Karmawan bertugas membebaskan anak buahnya itu, padahal, bila Subur dibiarkan (mati ditangan gerombolan), akan menguntungkan Karmawan. Artinya ia bebas menikahi Wati.
 P.F.N.
CORPS POLISI MILITER

R.A. TITIEN SUMARNI
LTS (CPM) KUNTO SUDARSONO
MINE SONDAKH
LTD (CPM) O. LUBIS
LTD (CPM) SUNHADJI

MERATJUN SUKMA / 1953

MERATJUN SUKMA


Tengku Hamid yang telah beristri Fatimah dan anak bernama Kartini, mulanya cuma iseng-iseng menggoda Suratni, janda dengan anak berusia delapan bulan. Celakanya Suratni membalasnya dengan serius. Ia mengaku masih gadis dengan tujuan ingin mengambil harta. Tarmini, anak Suratni, dititipkan pada pak Karto, seorang petani di Bandung. Setelah suaminya menikah sdengan Suratni, Fatimah pergi dan dia tinggal di rumah pak Karto, yang lalu pindah ke Purwakarta. Kemudian Fatimah menyerahkan Tarmini, yang dikatakan Kartini, ke Suratni. Kartini (Tarmini) diperlakukan tak adil, apalagi dibanding Ratna, anak Suratni dari Tengku Hamid. Setelah dewasa, barulah terungkap, bahwa Kartini itu sesungguhnya adalah Tarmini. Jadi, Suratni sudah memperlakukan anak kandungnya sebagai anak tiri. Ia pun menyesal dan jiwanya terganggu menjadi gila.

Film kerjasama PFN & CPM yang di tahun 1954 terpilih sebagai film yang bisa di putar di bioskop kelas 1 CAPITOL. Pemain Titien Sumarni, Film ini cocok untuk kaum menengah. Menurut Misbach: film ini adalah film kekanak-kanakan dan meracuni penonton.

NJAI DASIMA / 1932

NJAI DASIMA

 
Sutradara Pribumi pertama.
Untuk mempercepat menarik penonton Bumi Putra, Tan's film membuat film yang sudah populer di masyarakat . Karena ini film bicara, Lie Tek Swie tidak mau merubah kameranya agar bisa merekam suara, maka mereka menggandeng G.KRUGERS untuk mengoperasikan kamera yang bisa merekam dengan suaranya. 

Effendy diserahi tugas menyutradari karena hal ini memerlukan pengetahuan khusus karena menggunakan suara. Film ini debut besar Effendy. Ia menggunakan skenario yang selama ini tidak pernah dilakukan orang. Skenario ini tidak lebih hanya catatan-catatan kecil akan apa yang akan diambil besok, serta beberapa dialoq penting. Ini adalah film pertama bicara yang berhasil dengan baik menurut Armijn Pane. Walaupun ini film lebih menonjolkan Actionya dari pada dramanya. Sangat beda yang dibikin pada tahun 1929, oleh Lie Tek Swie. Ceritanya hampir sama dengan yang dibuat 1929, tetapi sayangnya saat itu masih film bisu.

Menurut Andjar Asmara dalam koran, film Nyai Dasima ini keunggulan film yang bisa menampilkan cerita Nyai Dasima ini secara keseluruhan yang tidak bisa dilakukan oleh Tonnel.

Menurut Bachtiar Effendy, sebelum membuat film Dasima 2, terlebih dahulu membuat film Si Ronda, yang dia sebagi sutradara dan pemain juga.

TAN'S FILM

OESMAN
MOMO

News Oleh Ibnu Wahyudi

Perjalanan Njai Dasima

Masih banyak yang enggan memasukkan novel Nyai Dasima menjadi bagian integral sastra Indonesia modern, namun realitas kesastraan ternyata jelas menunjukkan gambaran berbeda. Novel Nyai Dasima ini bukan versi terbaru dari perjalanan dramatis seorang nyai bernama Dasima itu. Kendati begitu, diterbitkannya kembali Nyai Dasima versi S.M. Ardan, yang dilengkapi karya G. Francis, menegaskan lagi perihal kesohoran sebuah fiksi yang terbit pertama kali tahun 1896 itu.

Seperti disebutkan, Nyai Dasima ini muncul atau dipublikasi pada tahun 1896 dan setakat ini dapat disebut sebagai prosa pertama dalam entitas sastra Indonesia modern. 

Dinyata-kan demikian lantaran sebelumnya tidak dapat dijumpai adanya prosa de-ngan bahasa Melayu serta diekspresikan lewat cetakan berhuruf latin. Memang, kalau untuk puisi, telah jauh mendahului penerbitan prosa. Setidak-tidaknya, kumpulan puisi Indonesia modern pertama telah terbit pada tahun 1857. Munculnya ragam puisi mendahului prosa ini secara genealogis maupun nalar-sastra, tidak mengherankan mengingat dalam ranah lisan, pola syair atau pantun juga jauh lebih dikenal dan dikuasai masyarakat Indonesia ketika itu dibandingkan dengan hikayat atau prosa pada umumnya.

Dalam cetak ulang Nyai Dasima ini dinyatakan bahwa pengarangnya adalah G. Francis dan penerbitnya adalah Kho Tjeng Bie & Co. Namun buku berjudul lengkap Tjerita Njai Dasima: Soewatoe Korban daripada Pemboedjoek, nama G. Francis tertera hanya sebagai "jang mengeloewarken". Sementara, nama penerbit Kho Tjeng Bie & Co. tidak ada. Tidak mengherankan jika W.V. Sykorsky dalam tulisannya berjudul "Some Additional Remarks on Antecedents of Modern Indonesian Literature" (BKI, 1980) me-ragukan sosok G. Francis sebagai penulis Nyai Dasima. 

Kendati demikian, tetap banyak yang meyakini bahwa G. Francis adalah pengarang yang mungkin sekaligus penerbit, sebab akhir abad ke-19 itu sudah dikenal luas adanya toko buku G. Francis, berlokasi di "Molenvliet (Kebon Djeroek) 10/63, Batavia".

Setahun setelah terbitnya Tjerita Njai Dasima, prosa ini mengalami transformasi menjadi syair yang ditulis O.S. Tjiang. Pengarang ini mengaku bahwa Nyai Dasima yang terbit tahun 1896 itu adalah babon syairnya. Beberapa tahun kemudian, Nyai Dasima yang berupa syair ini ditulis ulang oleh Akhmad Beramka yang menurut dugaan telah menyalinnya antara tahun 1906-1909. Demikian pula dengan Lie Kim Hok, telah menerbitkan syair ini yang selengkapnya berbunyi Sjair Tjerita di Tempo Tahon 1813, Soeda Kadjadian di Betawi, Terpoengoet dari Boekoenja Njai Dasima, sampai mengalami cetakan keenam (1922). Bahkan orang yang hanya memahami bahasa Belanda pun dapat menikmati kisah ini lewat karya A. Th. Manusama dengan judul Nyai Dasima: Het Slachtoffer vanbedrog en misleiding, een historische zeden roman van Batavia (1926).

Transformasi yang terjadi bukan sebatas dalam genre yang sama, melainkan sungguh-sungguh beralih "bahasa", seperti menjadi film, sinetron, atau sandiwara. 

Dalam bentuk gambar hidup, tercatat pertama kali dibuat tahun 1929 dengan judul “Njai Dasima”. Film ini diproduksi oleh Tan's Film dengan sutradara Lie Tek Swie. Oleh produser dan sutradara yang sama, dibuat pula “Njai Dasima” (II) tahun 1930, dan diakhiri dengan “Pembalesan Nancy” (Nancy Bikin Pembalesan) atau “Njai Dasima III” pada tahun yang sama. Ketiga film ini selain masih hitam-putih juga belum bersuara. Baru pada tahun 1932, masih oleh produser sama tapi dengan sutradara berbeda (Bachtiar Effendy), dibuatlah film “Njai Dasima” yang telah memasukkan teknologi suara. Sementara itu, kendati kisahnya agak berbeda, pada tahun 1940 telah diproduksi sebuah film berjudul “Dasima” oleh Java Industrial Film dengan sutradara Tan Tjoei Hock. Akhirnya, untuk produksi layar lebar, tercatat pula sebuah film yang cukup berani pada masanya, berjudul “Samiun dan Dasima” yang dibuat oleh Chitra Dewi Film Production tahun 1970 dengan sutradara Hasmanan.

Kisah Dasima ini memang telah dibuat dalam format sinetron. Selain itu, tahun 1996, tragedi Dasima ini pernah dibuat berseri dan ditayangkan RCTI dengan arahan Ali Shahab. Untuk dunia panggung, cerita wanita cantik dari Curug, yang dipiara Edward W. ini tergolong populer. Setidak-tidaknya tahun 1960-an, perkumpulan "Kuncup Harapan" yang dimotori S.M. Ardan telah pentas keliling dengan kisah ini. 

Tentu, pementasan lain sangat mungkin telah berlangsung di mana-mana baik yang tradisional maupun modern. Untuk yang tradisional, misalnya pementasan oleh Komedie Stambul seperti diungkapkan oleh Kenji Tsuchiya dalam "On Cerita Nyai Dasima" (Sejarah, No. 7).

Demikian pula dengan Opera Miss Riboet, di masa penjajahan konon sudah mementaskan “Nyai Dasima” sebanyak 127 kali, selain tradisi sahibul hikayat dengan tukang cerita yang sering menampilkan kisah melodramatis ini. Sementara yang berpentas belakangan adalah EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia) yang mengangkat judul “Madame Dasima” dalam bentuk drama musikal tahun 2001, meski sesungguhnya drama ini tidak langsung diangkat dari karya G. Francis, S.M. Ardan, atau Rachmat Ali.

Rachmat Ali? Ya, tahun 2000, gubahan Rachmat Ali dalam bentuk novel yang juga berjudul Nyai Dasima, diterbitkan Grasindo. Sedangkan S.M. Ardan sendiri telah menerbitkan karya ini dengan nada yang berbeda dari karya G. Francis, pada tahun 1965 (Penerbit Triwarsa) lalu di-cetak ulang tahun 1971 oleh Pustaka Jaya.

Kalau sejak akhir tahun 1920-an pembaca Belanda telah dapat mengonsumsi kisah ini, pembaca berbahasa Inggris dapat mengapresiasinya melalui terjemahan Harry Aveling, yang terbit tahun 1988. 

Perjalanan hidup Dasima pun ada yang digubah dalam lagu keroncong yang sering hanya merupakan bagian dari suatu pertunjukan. Kepopuleran Nyai Dasima, secara tersurat termaktub pula dalam beberapa karya fiksi, misalnya menjadi karya yang dibaca oleh Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pram atau sebagai drama yang disinggung dalam karya Du Perron.

Sastra populer

Jelas Nyai Dasima masih luas dikenal dan kerap mewujud menjadi semacam mitos atau legenda, beredar di khalayak dengan bermacam bumbu. Namun, apa sesungguhnya daya tarik Nyai Dasima sehingga ia mampu melintasi waktu dan bermetamorfosis dalam wujud narasi yang berbagai ini? Jawabannya, agaknya tidak lain karena karya ini merepresentasi formula sastra populer yang salah satu tekanannya adalah mengharu-biru emosi pembaca lewat sensitivitas latar multietnis dan bahkan bersentuhan dengan religiusitas yang dikemas dengan bungkus kesetiaan dan perselingkuhan. Pola ini, dalam zaman yang bagaimanapun, rasanya akan selalu menawan.

Ditilik dari aspek penceritaan, Nyai Dasima tidak ada "istimewa"-nya. Terlebih jika didekati dan dikomparasi dengan karya-karya yang terbit setelahnya, yang se-ring diperkaya dengan eksperimentasi dan inovasi, lagi-lagi karya ini memang biasa saja. 

Tapi, nyatanya, karya ini mampu bertahan untuk sekian lama, bahkan hingga tahun 2007 ini. Tentu kenyataan ini ada musababnya. Agaknya, memang ada sejumlah aspek formal yang beroperasi mengendalikan "kelanggengan" kisah ini di samping sisi romantik yang niscaya telah menjadi stimulator narasi.

Paling kentara, walau hanya sebuah melodrama biasa, tema dalam Nyai Dasima ini niscaya cenderung awet dan berpeluang mampu menggelitik emosi. Perbedaan etnis atau ras, cinta, selingkuh, diskriminasi, pemengaruhan sikap, keirihatian, penaklukan lewat guna-guna, peracunan, penistaan, dan pembunuhan, yang terdapat sekaligus di dalamnya, adalah tema-tema menggoda. Tema-tema "inti" itu, secara implisit memosisikan dirinya sebagai cerita yang selalu menarik perhatian atau menjadi semacam rambu moral.

Adanya stereotif tokoh-tokoh yang berlebihan, bisa saja "jatuh" secara kualitatif, tapi secara atraktif, sangat mungkin mampu memenuhi ekspektasi pembaca. Sebagai karya yang muncul dalam masyarakat yang umumnya masih niraksara (akhir abad ke-19), hadirnya karakter budiman, menawan, atau kebalikannya, kelewat dengki, tega dalam menista, serta kejam, merupakan semacam keharusan yang diam-diam dituntut pembaca. Semua ini ada dalam Nyai Dasima dan pembaca seperti memperoleh tempat pelarian yang menyenangkan. 

Penampilan tokoh-tokoh yang hitam-putih semacam itu, jangan dikira akan dijauhi oleh pembaca; justru sebaliknya, ia dapat menjadi ruang yang berfungsi sebagai semacam katarsis, meskipun hanya kuasi.

Kelinearan alur yang sederhana tidak berarti membuat pembaca bosan, tapi malahan "memaksa" pembaca masuk ke teras persoalan secara intensif; menyebabkan pembaca masuk dalam penglibatan tak berjarak, sehingga sentimentalitas teraduk-aduk secara efektif. Kondisi semacam ini memang tidak mengarahkan pembaca kepada kekritisan, melainkan hanya pada peluapan emosional belaka.

Melihat faktor-faktor ini saja, tidak salah jika Nyai Dasima dapat diindikasi sebagai karya populer. Namun, kecenderungan "populer" pada sebuah karya tidak semestinya lantas mengarahkan kita kepada sikap "menganggap" atau "menafikan" yang bersifat sosiohistoris. Dinamika khazanah sastra, secara esensial, tidak lain cerminan perjalanan intelektualitas, paling kurang dari kesahajaan menuju ke kekompleksan.

Oleh karena itu, jika Nyai Dasima secara stilistik bersahaja, itu pun merupakan ekspresi jujur dalam menampilkan dirinya bersangkutan dengan lingkungan intelektual saat itu. Semua ini tentu harus dipandang dalam kaitannya dengan tradisi penulisan saat itu, kemelekhurufan atau situasi kependidikan, taraf apresiasi masyarakat semasa, sistem penerbitan atau reproduksi yang ada, maupun sistem-sistem lain yang secara alami membentuk suatu kondisi. Kelahiran Nyai Dasima, sekali lagi, berkaitan dengan situasi intelektualitas yang masih berada dalam taraf "rendah" itu dan tidak berasal dari suatu tradisi penulisan fiksi yang telah mapan.

Bagaimanapun, Nyai Dasima yang memang sebuah karya sastra populer, justru dapat dikatakan sebagai yang meretas jalan kepada hadirnya kesusastraan Indonesia modern.