Tampilkan postingan dengan label BASUKI EFFENDI 1951-1961. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BASUKI EFFENDI 1951-1961. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Februari 2011

BASUKI EFFENDI 1951-1961

BASUKI EFFENDI










 
Basuki Effendy lahir di Jakarta, 9 Mei 1930 – meninggal 15 Mei 2006 pada umur 76 tahun) adalah seorang aktor dan sutradara film Indonesia terkemuka pada masa sebelum 1965.

Pendidikan : Lulus SLP Tahun 1948. Masih kecil pernah ikut main dalam "Air MAta Iboe" (1940). Tahun 1946, di Jogya, ikut Barisan P. Pimpinan Kotot Sukardi. "Barisan" yang sebagian besar terdiri dari anak terlantar, ada juga kegiatannya di bidang pertunjukan sandiwara, main di pelataran sekolah dan sebagainya. Tahun 1947 bergabung dengan Barisan Pemuda. Clash ke II hijrah ke Jakarta dan ikut Kotot Sukardi serta Pa Kasur menyelenggarakan sandiwara Radio. Terjun ke film mulai sebagai figuran dalam "Djembatan Merah" "(1949). Kemudian mencoba sebagai Pembantu Juru Kamera dalam " Untuk Sang Merah Putih" " lalu sebagai Pembantu Sutradara pada 'Inspektur Rachman", keduanya tahun 1950. Antara 1951 -1952 bekerja di PFN dan sempat membantu pembuatan "Si Pintjang" dan "Djiwa Pemuda", keduanya tahun 1951. Hasil penyutradaraannya yang pertama "Pulang" (1953) berhasil mendapatkan diploma dan medali dari Festival Film Internasional Carlovy Vary. Tapi lewat tengah tahun 1950-an namanya lebih dikenal sebagai aktifis Lekra ketimbang Sutradara Film.

Basuki adalah seorang anggota Sekretariat Pimpinan Pusat (SPP) Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dibubarkan oleh Pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 menyusul dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret, karena organisasinya yang merupakan "onderbouw" PKI, dituduh terlibat dalam G30S.

Basuki kemudian ditangkap dan meringkuk sebagai tahanan politik di Tefaat Pulau Buru. Seperti para tahanan lainnya di Pulau Buru, Basuki banyak mengalami penderitaan dan siksaan selama masa penahanannya.

Basuki Effendi membuat antara lain “Pulang” (1952), produksi SANG SAKA dan “Ho Lo Pis untul Baris” (1959), produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong.

Basuki Effendy meninggal dunia karena serangan jantung pada 15 Mei 2006. Ia meninggalkan dua orang anak.

BAS, demikian teman-teman memanggil dia. Nama sebenarnya ialah BASUKI EFFENDY. Ia dilahirkan di jakarta, pada tanggal 9 Mei 1930, jadi umurnya baru 22 tahun. Sedari umur 9 tahun sewaktu masih menduduki bangku Sekolah Rendah ia telah tertarik oleh film dan turut bermain dalam film “Air Mata Ibu” Produksi Majestic Film Coy. Karena masih bersekolah dan masih kecil tindakannya itu mendapat teguran dari orangtuanya, tetapi dasarnya Basuki nakal ia tetap bercita-cita ingin menjadi seorang bintang film di kemudian hari.

Pada tahun 1946, bersama Pak Kotot Sukardi, ia turut mendirikan barisan “P” yang sampai sekarang kita dapat melihat hasil usahanya. Untuk kepentingan barisan “P” tersebut, ia pernah mengadakan sandiwara anak-anak untuk pertama kalinya. Dan di sinilah Basuki Effendy memulai kariernya di lapangan kesenian.

Pada tahun 1947, sebelum clash pertama, ia menggabungkan diri dengan barisan pemuda di Jogjakarta dan memimpin seksi penerangan. Karena sibuk dengan perjuangan hampir-hampir sekolahnya  terganggu, tetapi syukurlah pada tahun 1948 ia dapat menamatkan sekolah SMP. Yang penting kita ketahui ialah usahanya mengadakan rapat raksasa pada tanggal 1 Mei 1948 di alun-alun Jogjakarta yang dihadiri kurang lebih 350.000 orang untuk menyambut kedatangan M. Cochran  dan rombongan diiringi dengan demonstrasi protes terhadap tindakan Belanda menembak pemuda-pemuda Indonesia di Pegangsaan Timur.

Waktu clash kedua, ia menyingkir ke luar kota Jogja bersama teman-temannya untuk menghindarkan diri dari buruan Belanda, dan dari situ dia berjalan kaki melalui Ambarawa ia menuju ke Jakarta, untuk memasuki lapangan perjuangan baru.

Bersama dia turut almarhum I Gde Wajanseken, guru tari Bali ternama. Sesampai di Jakarta beberapa bulan lamanya, ia menjadi musafir kelana. Kemudian setelah Pak Kotot, Pak Kasur Cs datang ke Jakarta, mereka merupakan empat serangkai dalam penyelenggaraan sandiwara anak-anak, sandiwara radio, tari Bali, dan sebagainya.

Dalam film “Djembatan   merah” produksi Bintang Surabaya, ia mendapat kesempatan untuk memulai karier film-nya sebagai figuran. Tetapi Basuki mempunyai cita-cita tinggi. Figuran dalam Film “Djembatan Merah” dianggapnya sebagai batu loncatan untuk melompat ke dataran yang lebih tinggi. Demikianlah dalam pembikinan film “Untuk Sang Merah Putih” oleh PFN (Perusahaan Film Negara RIS) ia diberi kesempatan sebagai asisten cameramen dan disamping ia ia memegang rol penting dalam film tersebut. Dalam pembikinan film “Inspektur Rachman” ia diberi kesempatan sebagai asisten sutradara. Dalam tahun 1951 ia turut menyelenggarakan dua produksi dari PFN. “Si Pintjang” dan “Djiwa Pemuda” sebagai asisten sutradara. Disamping itu turut pula bermain.

KETENTRAMAN jiwa dan ketenangan hati adalah syarat yang utama untuk memperoleh hasil pekerjaan yang baik. Apalagi dalam pembikinan film, ‘perasaan’ adalah memegang peranan ‘utama’, demikian kata saudara Basuki Effendy.

“Sewaktu pembikinan film “Djiwa Pemuda” R. Inu Perbatasari sebagai pemimpin produksi menjanjikan kepada saudara Bachtiar Effendi sebagai regisseur dan saya sebagai asisten regisseur, akan diberikan sejumlah honorarium bila produksi telah selesai. Saya sebenarnya tidak terlalu melihat  kepada honorarium, tetapi  yang saya kehendaki adalah kejujuran terhadap orang bawahannya. Sewaktu produksi telah selesai, dan tiba saatnya untuk menerima honorarium, R. Inu Perbatasari menyerahkan sejumlah Rp. 300 (tiga ratus rupiah) kepada saya. Saya sangat terkejut melihat jumlah yang diberikan kepada saya tidak sesuai dengan rencana semula yang telah disetujui oleh Direktur PFN. Dus sekarang jumlahnya telah berkurang. Tetapi janganlah disangka saya hanya bekerja karena uang. Tidak. Ini hanya memperbincangkan soal kejujuran” demikian keterangan Saudara Basuki Effendy.
 
 
 Basuki Effendi di Kamp pulau buru, pengasingan kaum komunis.


KAMAR 13 1961 BASUKI EFFENDI
Director
SI MELATI 1954 BASUKI EFFENDI
Director
SI PITJANG 1951 KOTOT SUKARDI
Actor
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Director
SAMPAI BERJUMPA KEMBALI 1955 BASUKI EFFENDI
Director
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Director
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Director
HOLOKUBA 1959 BASUKI EFFENDI
Director
RENTJONG DAN SURAT 1953 BASUKI EFFENDI
Director
KM-49 1952 M. ARIEF
Actor
NINA 1960 BASUKI EFFENDI
Director.

BINTANG PELADJAR / 1957

 

Ida Rosita (Ida Nursanti) adalah pelajar yang terkenal pandai, nilai hasil ujiannya selalu tinggi. Tidak demikian setelah ibunya Ermina (Sofia Waldy) meninggal dunia. Si ayah Kusuma (A. Hamid Arif) malah jadi marah-marah waktu Ida berusaha melayani. Akibatnya pikiran Ida kacau, dan nilainya turun. Setelah tahu penyebabnya, pak guru menyarankan agar dr. Yunus menasehati Kusuma. Berkat nasehat dokter yang memang kawannya itu Kusuma menyadari kekeliruannya. Ida bisa pulih, dan nilai hasil ujian akhirnya kembali bagus. Bahkan tertinggi, sehingga mendapat gelar "bintang pelajar".

SAMPAI BERJUMPA KEMBALI / 1955

SAMPAI BERJUMPA KEMBALI


Hubungan Nurwati (Mardiana) dengan Letnan Sutrisno (A. Sarosa) didukung oleh si ayah (A. Thys), tapi ditentang oleh ibu (Sulastri). Karena letnan itu tidak kaya, dan sang ibu lebih suka pada Tirtoroso (Sukarno M. Noor) yang selalu nampak mentereng. Sutrisno, dari Yogya pada pertengahan 1946 itu ditugaskan ke Bali lewat pantai Banyuwangi. Usaha ke pulau dewata berhasil, meski terpaksa mendapat rawatan dari penduduk pulau Nusa Penida. Sepulang ke Yogya, Nurwati telah jadi nyonya Tirtoroso.

GARUDA

A. SAROSA
MARDIANA
LIES NOOR
FARIDA ARRIANY
SULASTRI
SUKARNO M. NOOR
A. THYS
BISSU


SI MELATI / 1954

SI MELATI


Melati hidup bersama ibu tiri dan saudara tiri, Kecubung. Biar selalu mendapat perlakuan yang buruk, Melati tak putus-putus berdoa. Suatu kali pakaian yang sedang dicucinya hanyut, Melati mencari dengan mengikuti arus. Tiba di rumah seorang nenek di tengah hutan, kain kembali, ditambah buah yang ternyata berisi permata. Kecubung ingin permata juga, lalu mengikuti apa yang diperbuat Melati. Ternyata nenek tidak memberi buah, Kecubung mencurinya. Ternyata isinya... ular! Kecubung mati digigit ular itu.

P.F.N.

NURAINI
MUSINAH
MARLIA HARDI
SULASTRI
KOMARIAH
BU SINDU
BU KASUR


KOPRAL DJONO / 1954

 

Lebih merupakan propaganda AURI dari suka-duka seorang kopral AU. Diselipkan pula cinta segitiga dan kilas balik masa revolusi fisik.

Pembikinannya tersendat-sendat, baru selesai pada 1956.
 G.A.F. SANG SAKA

PRANADJAJA
RENDRA KARNO
ARIATI
DHALIA
NASUTION EDDY
TURINO DJUNAIDY
RD ISMAIL
NURUL AIN
LIES NOOR
RUSLI
TAHIR
WISJNU MOURADHY

NINA / 1960

 
 
Nina (Nina Martini), jadi rebutan dua pria teman sekolahnya. Celakanya dua pria tadi jadi korban kesalah pahaman. Yang satu karena kecerobohan pembantu Nina, sedang yang lain karena melihat adanya seorang duda yang dikira hendak meminang Nina. Tidak tahunya sang duda meminang ibu Nina. Salah paham berakhir dengan nasehat sang duda, agar mereka jangan memikirkan pacaran tapi sekolah saja. 
 GEMA MASA FILM
INDONESIAN FILM CORP.

RENTJONG DAN SURAT / 1953



Disutradarai bersama  RENDRA KARNO
Film ini menceritakan tentang bangkitnya rakyat Aceh yang mengangkat senjata untuk menentang penjajah Belanda dalam sebuah kisah fiktif. Antara lain Meutia (Djuriah Karno). Tetapi juga ada pengkhianat, diantaranya Panglima Husin (Ismail Saleh), yang menaruh hati pada Tjut Kemala (Lies Noor), tetapi Kemala memilih Djohan (Turino Djunaidy). 
 
Kesempatan Husin untuk menyingkirkan saingannya itu terbuka waktu Djohan diutus membawa surat kepada Panglima Him digunung. Usaha untuk membunuh Djohan gagal, Djohan hanya terluka. Djohan dirawat Meutia, yang kemudian mengantarkannya ke Panglima Him. Di pihak lain Husin berhasil memperistri Kemala. Kemala masih bersimpati pada perjuangan untuk merdeka. Dia menentang suaminya, meski akhirnya tewas oleh rencongnya sendiri. Atas petunjuk Kemala, Djohan memburu dan menangkap Husin.

GABUNGAN ARTIS FILM

TURINO DJUNAIDY
DJURIAH KARNO
LIES NOOR
ISMAIL SALEH
ISKANDAR SUCARNO
SHAMBUDHA
CHAIDIR SAKTI
SJAMSU

HOLOKUBA / 1959


 
Holopis kuntul baris (Holokuba) pernah amat populer sebagai slogan. 
Cerita terjadi di sebuah pulau terpencil pada masa revolusi. Rakyat diteror bekas kumicbo, ketua RT di masa pendudukan Jepang (Hadisjam Tahax). Teror bisa diatasi oleh seorang pemuda dari kota (Zainal Abidin), yang ditugaskan ke tempat itu. Pemain cilik Mangopul Panggabean dipakai sebagai salah satu daya tarik, karena popularitasnya dalam film "Djendral Kantjil" (1958)
 SANGGABUANA FILM STUDIO
RUKIAH FILM

SOFIA WD
ZAINAL ABIDIN
ALI YUGO
MANGOPUL PANGGABEAN
JEFFRY SANI
HADISJAM TAHAX

PULANG / 1952

PULANG


Pemuda desa Tamin (Turino Djunaedy) termasuk yang terbujuk oleh propaganda Jepang jadi Heiho. 
 
Ia ikut ke Birma (Myanmar) di masa Perang Dunia Kedua itu sebagai anggota Palang Merah. Waktu Jepang runtuh (1945) Tamin dan kawan-kawan dibawa ke Jawa untuk diserahkan kepada Belanda yang coba menjajah kembali Indonesia. Tamin dipaksa masuk tentara Belanda (KNIL) untuk memerangi bangsa sendiri. Setelah Indonesia berdaulat penuh (1950) Tamin memilih pulang ke desa. Hatinya tak bisa tentram, karena sendiran teman-temannya, bahwa ia tak pernah berjuang untuk RI. Pergilah Tamin ke kota. Di kota ketemu temannya sesama bekas Heiho yang masuk TNI. Tamin disadarkan oleh temannya itu, bahwa masih bisa berbuat untuk tanah air, mengisi kemerdekaan di bidang masing-masing. Pulanglah Tamin ke rumah, ke desa dan tanah airnya





KAMAR 13 / 1961

 

Sebuah banyolan atas dasar salah sangka. Sita dan Eni, mahasiswi kakak beradik, jumpa dengan Ir. Salim dalam perjalanan dengan mobil suburban ke Bandung. Salim ini disangka tukang catut. 
 
Mereka jumpa lagi saat Eni dan Sita kehabisan kamar saat masuk hotel di Lembang. Salim membantu dengan memberikan kamar pesanannya, yaitu Kamar 13. Di hotel itu, Eni dan Sita berkenalan dengan seorang verkoper obat, yang disangkanya dokter. Seluruh salah sangka ini berakhir ketika psikiater dr. Sastra datang akan menemui Salim dan melihat pasiennya ada di hotel itu. Pasien gila inilah yang disangka insinyur yang memesan Kamar 13 itu, hingga Eni dan Sita repot.

GEMA MASA FILM

NINA MARTINI
M.E. ZAINUDDIN
TUTY S
ACHMADI HAMID
M. PANDJI ANOM
A. HAMID ARIEF

SI MIENTJE / 1952

SI MIENTJE


Melukiskan perbedaan watak yang kontras antara si binal Minangsih (Reny Santi) yang menyebut diri Mientje dan Suminah (Titien Sumarni), yang memegang teguh adat ketimuran, anak bu Wiro (Aminah) yang janda. Karena pergaulan bebasnya itu akhirnya Mientje hamil di luar nikah, tanpa jelas siapa ayah bayi yang dikandungnya itu.

PERSARI

RENY SANTI
TITIEN SUMARNI
A. HAMID ARIEF
TURINO DJUNAIDY
M. BUDHRASA
AMINAH
ELLY JOENARA