Tampilkan postingan dengan label DES ALWI / 1973 - 1974. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DES ALWI / 1973 - 1974. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Maret 2012

DES ALWI / 1973 - 1974

DES ALWI

 
Film CUCU di sutradarai Alwi dengan A.R. QAMAR

Tempat/Tanggal lahir
Banda Neira, Kepulauan Maluku, 17 Nopember 1927

Jakarta Tokoh sekaligus pelaku sejarah Indonesia, Des Alwi Abubakar, tutup usia, Jumat (12/11/2009) dini hari. Des Alwi meninggal dalam usia 85 tahun.

"Meninggalnya tadi subuh," kata cucu Des Alwi, Miryannka, saat dihubungi detikcom, Jumat (12/11/2010) pagi.

Des Alwi dikenal sebagai anak angkat M Hatta dan Sjahrir. "Yang kita tahu, beliau meninggal saat tidur," ujar Miryannka.

Saat ini jenazah berada di rumah duka di Permata Hijau Nomor 7, Jakarta Selatan.

Semasa hidupnya, Des Alwi banyak merekam jejak sejarah kemerdekaan Republik Indonesia dalam bentuk film atau naskah, khususnya Bung Hatta.

Des Alwi juga dikenal luas sebagai sesepuh Banda Naira, Maluku, yang juga menjadi tanah kelahirannya. Di sinilah Des kecil 'berteman' dengan tokoh Indonesia saat dibuang penjajah Belanda seperti Soekarno, Bung Hatta, Sjahrir, dan Iwa Kusuma Sumantri serta Tjipto Mangunkusumo.

Di akhir hayatnya, ada cita-cita terpendam di benak Des Alwi. Dia sangat berharap Otorita Banda bisa terwujud. Jika ya, Banda yang berada di Kepulauan Maluku, akan seperti Batam.

"Kita harap dalam tahun depan Banda jadi otoritas budaya, seperti Batam tapi ini Budaya, bukan Dagang. Karena ini harus ada yang jaga, kalau tidak bisa hancur nanti," ujarnya pada Juli lalu.

Pria yang kini berusia 81 tahun ini masih terlihat tampan. Alisnya tebal, hidungnya mancung dan dahinya lebar. Des Alwi Abu Bakar, demikian nama lengkap pria ini. Kakek dan orang tua Pak Des merupakan pengusaha mutiara di Banda Neira yang cukup sukses. Jika saja ia tak berkenalan dengan Bung Hatta dan Bung Sjahrir, mungkin ia akan menjadi pengusaha seperti Ayah dan Kakeknya. Hari itu sekitar tahun 1936, berlabuhlah sebuah kapal dari Papua. Kapal tersebut menurunkan sekelompok orang yang tak lain adalah para tokoh nasional Indonesia, yakni Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Sebagaimana layaknya anak kecil, Pak Des yang saat itu berusia 8 tahun, bersama teman-temannya senang sekaligus bertanya-tanya siapakah mereka. Akhirnya Pak Des dan teman-temannya mengantarkan rombongan hingga ke rumah pengasingan masing-masing.

Suatu hari Pak Des pernah diminta oleh rombongan tersebut untuk mengantarkan mereka ke tempat berenang dan bersantai. “Mereka juga senang melihat-lihat pemandangan di Banda Neira, saya dan teman-teman hanya memperhatikan mereka sembari sesekali diajak ngobrol.” tutur Pak Des.Perkenalan itu kemudian berlanjut, Pak Des jadi sering main ke rumah Bung Hatta dan Bung Sjahrir. Pak Des memanggil mereka dengan sebutan Om. “Om Hatta orangnya serius, tekun dan selalu rapi. Sementara Om Rir agak terbuka dan senang mendengarkan musik.” kata Pak Des lagi.Pak Des juga kerap dimintai tolong untuk sekedar mengantar dan mengambil surat. Dari seringnya main ke rumah Bung Hatta, Pak Des belakangan baru tahu bahwa orang-orang yang diasingkan ke kampungnya itu adalah orang penting. “Saya diperbolehkan melihat-lihat foto, dan membaca tulisan-tulisan Om Hatta” kata Pak Des.Orang tua Pak Des juga tidak keberatan jika anaknya kerap main ke rumah Bung Hatta, karena mereka tahu Bung Hatta dan teman-temannya akan membawa pengaruh baik buat Pak Des.Yang diharapkan orang tua Pak Des memang benar adanya. Sejak bergaul dengan tokoh-tokoh tersebut, Pak Des jadi tahu banyak hal. Pak Des juga diajari Bahasa Inggris, Belanda dan sedikit bahasa Perancis.Keakraban Pak Des dengan tokoh-tokoh nasional tersebut, khususnya dengan Bung Hatta secara tidak langsung membentuk kepribadian Pak Des. “Berkali-kali Om Hatta mengingatkan saya untuk menjadi orang yang jujur. Sementara Om Rir selalu bilang janganlah jadi orang yang mudah menyerah.” kenang Pak Des sambil menerawang.Pak Des juga punya kenangan-kenangan tak terlupakan dengan Bung Hatta, suatu ketika ia dan teman-temannya bermain bola tak jauh dari kediaman Bung Hatta, karena menendang terlalu keras, bola yang ditendang Pak Des memecahkan kaca jendela rumah Bung Hatta. Bung Hatta lalu keluar dengan wajah marah. “Mana setan kecil itu!” teriaknya. Saat berusia 18 tahun, Pak Des diajak ke Pulau Jawa oleh Bung Hatta. Begitu sampai di Pulau Jawa dimulailah babak heroik kakek enam cucu ini. Ia memimpin pasukan mata-mata, semacam intelijen untuk TNI. Ia juga menjadi saksi sejarah berbagai peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, termasuk perang 10 November di Surabaya, perang Ambarawa, serangan umum satu 1 Maret, bahkan hingga proses pengalihan kekuasan dari Soekarno ke Soeharto.Des Alwi punya hobi memotret dan membuat film dokumenter, sehingga banyak hasil karya yang mengandung sejarah penting lahir dari tangannya.Ada satu peristiwa yang begitu ia sesalkan sampai sekarang. Ceritanya, pasca peristiwa PKI, ketika itu Soekarno yang sedang ‘diamankan’ oleh pemegang mandat Supersemar, Soeharto, dikabarkan tengah sakit keras. Di suatu kesempatan, Pak Des mendatangi tempat tersebut bermaksud mengambil gambar Soekarno. Di sana ia bertemu Cokropranolo, orangnya Soeharto yang bertugas ‘mengamankan’ Soekarno (menjadi Gubernur DKI 1977-1982), “Hei Nolly, sebentar ini Beta mau ambil gambar Soekarno, bisa heh?” kata Pak Des dengan logat Maluku. Cokropranolo menolaknya. Pak Des meminta lagi dengan sedikit ‘sok akrab’ “Ayolah Nolly, macam tak kenal Beta saja. Beberapa menit saja, Nolly..” tapi lagi-lagi Cokropranolo menolak. Akhirnya Pak Des pulang tanpa membawa gambar sang proklamator.Beberapa bulan kemudian, tak dinyana ia bertemu Bung Karno saat sedang membesuk seorang tokoh (nama tokoh lupa). “Saat itu saya bersalaman dengan beliau, kondisinya memang sedang tak sehat, tapi beliau masih mengenali saya. Yang saya sungguh sesalkan, saat itu saya tidak bawa kamera..aduuhh kacau ini..sayang sekali. Itulah pertemuan terakhir saya dengan Bung Karno hingga dia wafat” kata Pak Des mengenang.

Mengenai kecintaannya pada dunia fotografi dan film, sampai saat ini Pak Des masih menyimpan ratusan film seluloid 14 mm yang berisi berbagai peristiwa penting di tanah air. Menurutnya, pita film seluloid koleksinya itu mencapai 14 km jika diukur panjangnya. Termasuk satu film langka yang mendokumentasikan detik-detik Soekarno ketika ‘dipaksa’ keluar dari Istana Negara. Saat itu Soekarno bercelana panjang dan berbaju singlet saja. Tampak juga Soekarno tengah membagi-bagikan dasi miliknya kepada para wartawan sebagai kenangan-kenangan.Namun sekarang, koleksi film-film Pak Des dalam kondisi memprihatinkan. Di kantornya di daerah Tanah Tinggi, Senen, film-film itu bergeletakan tak teratur. Ada beberapa yang sudah tampak usang dan berdebu. “Saya sendiri bingung, bagaimana kalau saya meninggal, siapa yang akan merawat dan menyimpan film-film ini?” Pak Des mengaku membutuhkan bantuan pemerintah untuk perawatan film-film ini. Ia mengatakan bahwa ia sedang mengajukan bantuan untuk proyek pentransferan film-filmya dari seluloid menjadi DVD. (yayat)

KOSONG-KOSONG TIGA BELAS 1974 DES ALWI
Director
CUCU 1973 A.R. QAMAR
Director.

CUCU / 1973

CUCU

Di sutradarai oleh DES ALWI & A.R. QAMAR
Karena sebuah kecelakaan, Boi (Ramon Alwi) kehilangan kedua orangtuanya. Beruntung salah seorang staf kedutaan besar RI Malaysia lewat Deplu bisa menemukan saudara Boi, yaitu neneknya yang kaya raya di pulau Banda Neira. Maka sang nenek meminta Boi datang. Di Banda Neira, Boi harus menghadapai Dullah (Farouk Afero), suami anak angkat neneknya, yang pemabuk dan ingin menguasai harta nenek. Kisah kemudian berkisar tentang usaha Dullah mencelakakan Boi untuk mendapat harta itu, hingga akhirnya celaka sendiri dan mati. 

 P.T. AVISARTI FILM

FAROUK AFERO
DIEN NOVITA
DADI DJAJA
HADISJAM TAHAX
HALIDA HATTA
HADIDJAH
EVY DEVY HARFIANY
RAMON ALWI
S. ROOMAI NOOR
UMI KALSUM

KOSONG-KOSONG TIGA BELAS / 1974

KOSONG-KOSONG TIGA BELAS


Sudah pasti menjibplak film 007, tapi tidak apa, ini dimaksudkan sebagai parodi film-film James Bond yang terkenal dengan julukan 007. 0013 (Purnomo), detektif partikelir, yang bertampang bloon, diminta bantuan untuk mengurus penculikan Benny (Ramon Alwi), anak direktur, yang memperlakukan bawahan ayahnya, Hamid (A. Hamid Arief) sebagai pembantu. Hamid ini lalu minta tolong Pak Tua (Hadisjam Tahax) untuk menculik Benny. 0013 akhirnya berhasil menyingkap penculikan ini dengan bantuan Tekab.