Tampilkan postingan dengan label DON MUANG INCIDENT / 1984. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label DON MUANG INCIDENT / 1984. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

DON MUANG INCIDENT / 1984

DON MUANG INCIDENT

BAMBANG HERMANTO
DICKY ZULKARNAEN
SIMON CADES
RACHMAT HIDAYAT
HANNA WIJAYA


16 Mei 1981
P-tiga dan film "woyla"
HANYA dalam tempo tiga menit Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) melumpuhkan pembajak. Di lapangan terbang Don Muang, Bangkok, drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla itu berakhir dengan tewasnya lima pembajak pada dinihari 31 Maret. Semua 36 penumpang selamat, kecuali captain pilot Herman Rante, dan Calon Perwira A. Kirang, anggota pasukan pembebas, gugur. Kisah sukses operasi militer di Don Muang itu dengan cepat menaikkan pamor Angkatan Bersenjata RI. Sejumlah kalangan kemudian menyamakan prestasi Kopassandha tersebut dengan kisah sukses pasukan komando Grenzschutzgruppe Neun (GSG 9, Grup Perlindungan Perbatasan 9, Jerman Barat) mengakhiri pembajakan pesawat Boeing 737 Lufthansa di Mogadishu, Oktober 1977. Dengan cepat pula beberapa produser film Indonesia menyatakan minat untuk memfilmkannya. Dari drama pembajakan pesawat Woyla, mereka berambisi melahirkan film seperti Raid on Entebbe -- diangkat dari kisah komando Israel membebaskan pesawat El Al yang dibajak ke Entebbe, Uganda, April 1976. Tapi berbeda dengan di Amerika, di sini pemerintah biasa turun tangan. Maka segera diambilalihlah usaha pembuatan film itu. Pemerintah konon tidak ingin peristiwa besar itu hanya dikerjakan seperti film Tragedi Tinombala, yang diangkat dari peristiwa jatuhnya pesawat Twin Otter MNA di Gunung Tinombala, Sulawesi Tengah, Maret 1977. 200 Alim Ulama Menteri Penerangan Ali Moertopo pun dengan Surat Keputusan 24 April kemudian menunjuk Dewan Film Nasional (DFN) sebagai penanggungjawab pelaksana produksi film itu. Dalam pelaksanaan pembuatannya, DFN ditugasi membentuk kerjasama antara unsur produser Indonesia mau pun luar negeri. Konon sudah empat produser Indonesia yang menyatakan ingin menyertakan modal di dalamnya. Tapi semudah itukah? Belum lagi gagasan pemerintah tadi dilontarkan secara formal, Drs. H.A. Chalik Ali, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan memberikan komentar. Ia memperingatkan agar usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda Woyla tidak merusakkan jiwa konsensus 20 April.

Maksudnya tentu, ia tidak menghendaki film tersebut kembali mengemukakan sebutan Komando Jihad yang sudah disepakati tidak akan dipakai lagi. Konsensus itu dicapai sesudah Pangkopkamtib Laksamana Sudomo, Menteri Agama Alamsyah bertemu dengan 200 alim ulama dan tokoh Islam di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Dan jika pembuatan film tadi diteruskan, Chalik Ali menganjurkan, isinya agar tidak untuk kepentingan politik dalam kampanye memenangkan suatu golongan. Pokoknya "film tersebut jangan sampai menimbulkan ketakutan di kalangan pemilih," lanjutnya. Peringatan dini Chalik Ali di koran Pelta ternyata ditanggapi. Dirjen Radio, Televisi dan Film Drs. Sumadi dan Ketua DFN Drs. Asrul Sani, segera menyelenggarakan pertemuan pers 1 Mei. Di situ Asrul (dia wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan, lho) menyatakan bahwa usaha memfilmkan pembajakan pesawat Garuda Woyla "tidak akan digunakan buat kepentingan politik." Film itu, katanya, akan menonjolkan sikap pemerintah yang antiterorisme. Juga untuk menunjuckan bahwa ABRI, sesudah konsolidasi, punya cukup kemampuan melindungi warganegaranya. Menurut Asrul, film itu akan dibuat sebagai film feature yang tidak semata-mata mendokumentasikan suatu peristiwa. Tentu saja fakta pembajak dan keberhasilan Kopassandha membebaskan sandera juga harus dikemukakan. Untuk menghidupkan suasana mencapai kebenaran, lanjutnya, peristiwa itu sendiri perlu didramatisasi tanpa membuat resah suatu golongan. "Kami (DFN) tidak mau terlibat dalam kontroversi politik," katanya. Namun Drs. Husni Thamrin, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan, yang dalam kampanye pemilu yang lalu bersama-sama rekan separtainya, Asrul Sani, menilai kebijaksanaan pemerintah memfilmkan pembajakan itu justru merupakan "keputusan politik".

Hal itu dikatakannya, kelihatan lebih menonjoi ketimbang sekedar niat mendokumentasikan suatu peristiwa. Alasannya: peristiwa pembajakan itu sendiri sesungguhnya merupakan peristiwa politik. Agak lain, tapi sejajar adalah pandangan -- atau harapan -- Buya Hamka, Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI). Film itu hendaknya, kata Buya, lebih menonjolkan bahwa pembajak itu telah memakai ajaran Islam secara salah. "Harus diikhtiarkan setelah menonton filmitu, penonton akan berkesimpulan menyalahkan oknum pembajak, bukan Islam," kata Buya. Asrul menerima baik saran Buya Hamka itu. Menghindari terlibat dalam konflik politik, film itu, kata Asrul, hanya akan mengungkapkan latar belakang pribadi pembajak. Soal kegiatan dan operasi militer direncanakan akan menjadi perhatian utama -- mirip dengan film Raid on Entebbe. "Di situ akan ditunjukkan suatu usaha ABRI melindungi warganegaranya," lanjutnya. "Tidak ada suatu target politik. Dan juga film itu bukan merupakan propaganda." Kini DFN tengah mengumpulkan segala informasi mengenai peristiwa pembajakan tersebut. Tapi toh Husni Thamrin tetap kurang sepakat. Bagi dia lebih mendesak jika pemerintah membuat film mengenai soal transmigrasi. Masalahnya, tentu, bagi penonton: mana yang lebih memikat? 


Garuda Indonesia Penerbangan 206
atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa Woylamaskapai Garuda Indonesia dari pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara Polonia, Medan yang mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang. Setelah mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret. adalah sebuah penerbangan Imran bin Muhammad Zein, pemimpin sel kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad ditahan dan terancam hukuman mati.


Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.


Peristiwa
Pembajakan bermula saat pesawat yang dikemudikan Kapten Herman Rante baru saja terbang dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan. Setelah lepas landas, dua penumpang bangkit dari tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata. Satu lagi berdiri di gang antara tempat-duduk pesawat. Pada pukul 10.10 pesawat tersebut dikuasai oleh lima pembajak, semuanya bersenjata api. Pembajak di kokpit memerintahkan pilot untuk terbang ke Kolombo, Sri Lanka, namun pilot berkata bahwa pesawat tersebut tidak memiliki cukup bahan bakar pesawat. Pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar sebelum kemudian terbang lagi ke ThailandWoyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 MaretGrup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan. Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante, dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha, meninggal dalam baku tembak yang berlangsung selama operasi kilat pembebasan pesawat tersebut. atas paksaan teroris dan penerimaaan pemerintah Thailand untuk mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya. Drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 setelah serbuan kilat

Para teroris mengaku berasal dari kelompok Islam ekstremis bernama Komando Jihad. Pada saat terjadinya peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani peristiwa terorisme pembajakan pesawat. Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu, Kopassandha (Nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.

DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand. Seorang penumpang wanita lanjut usia diperbolehkan turun di Malaysia oleh para teroris. Para teroris kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu agar anggota Komando Jihad yang ditahan di Indonesia segera dibebaskan, dan uang sejumlah US$ 1,5 juta. Mereka juga meminta pesawat untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan. Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.

Pembebasan
Operasi pembebasan pesawat DC-9 dikenal dengan sebutan Operasi Woyla yang dimulai sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan tersebut. Pada pukul 21.00, 29 Maret, 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan pinjaman jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.

Pukul 02.30 tanggal 31 Maret, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan. Pada pukul 02.43, Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk, dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang. Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat. Tim Biru dan Tim Merah masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar. Teroris terakhir dinetralisir di luar pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak tersebut dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.

Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut. Namun Kapten Herman Rante meninggal di Rumah Sakit di Bangkok beberapa hari setelah kejadian tersebut. Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.

Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan yang kemudian beserta tim-nya dianugerahi Bintang Saktianumerta. dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali Achmad Kirang yang gugur didalam operasi terebut dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara

Pasca
Imran bin Muhammad Zein selaku otak peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981. Imran merupakan salah seorang yang terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz, serta 11 orang lainnya. Maman dan Salman bernasib sama dengan Imran dan dieksekusi dalam hukuman mati.


 
PARA PEMBAJAK.
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Munculnya Imam Imran Imran bin Muhammad Zein adalah pimpinan jemaah itu. Imam Imran, demikian ia biasa disapa di kalangan jemaahnya, belajar Islam di Arab Saudi sejak 1972. Menumpang kapal haji, ia berangkat ke Arab Saudi sebagai imigran gelap. Di kapal, ia dipekerjakan sebagai pelayan. Sampai di Mekkah, ia sempat berpindah-pindah tempat tinggal. Ia menyambung hidup dengan mengambil kesempatan kerja apa pun. Imran pernah bekerja sebagai pembuat kursi, pelayan toko, pedagang batu dan jam, dan menjadi tenaga keamanan di sebuah perusahaan. Di kota suci kaum Muslim itu, Imran berguru kepada beberapa ulama. “Di antara deretan nama-nama Syekh tempatnya berguru, Imran sangat terkesan dengan gurunya Syekh Bukhari, Syekh Yasir bin Abdullah, Syekh Muhammad bin Abdul Qadir dan Syekh Abdullah,” tulis Emron Pangkapi dalam Hukuman Mati untuk Imam Imran: Catatan Sebuah Proses Peradilan (1982: 13-14).

Setelah belajar beberapa tahun, Imran sudah tampil berbicara di muka umum. Gayanya yang atraktif dan bersemangat memikat beberapa pemuda Indonesia yang belajar di Arab Saudi. Beberapa di antara mereka itu kemudian menjadi kawan dekatnya. Salah satu yang terdekat adalah Mahrizal. Sekembalinya Imran ke Indonesia, para alumni Arab Saudi itu menjadi kawan-kawan setianya dalam gerakan jemaah yang ia rintis. Pada Maret 1977, Imran memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan menyempatkan berkeliling ke beberapa kota untuk berdakwah. Setahun setelah pulang, Imran menikah dengan Syahraini Batubara. Dengan sisa uang tabungan dari Arab Saudi dan bantuan dari ayahnya, Imran mulai bekerja kecil-kecilan (hlm. 31-38). Pada 1978, Imran mulai memfokuskan dakwahnya di daerah Jawa Barat sambil tetap berdagang jam tangan. Ia menetap di Cimahi. Di sinilah Imran kemudian bergaul dengan sebagian kalangan pemuda masjid yang tergabung dalam Himpunan Pemuda Masjid (Hipma). Pengaruhnya dengan cepat segera meluas di Hipma Cimahi. Sebagian pemuda Hipma Cimahi mendukung dakwah Imran, sebagian yang lain kontra. Akibatnya, massa Hipma terbelah, dan tak jarang perbedaan pandangan ini meruncing dalam pertentangan-pertentangan nyata. Contohnya seperti yang terjadi pada Agustus 1979 karena masalah jumlah azan dalam salat Jumat. Pendukung Imran berpendapat, azan salat Jumat hanya sekali. Sedangkan yang lain berpendapat dua kali. Suatu saat dalam salat Jumat, kelompok pendukung Imran keluar dari masjid gara-gara azan dua kali. 

Peruncingan dua kubu dalam Hipma Cimahi ini sampai menarik perhatian Wali Kota Cimahi. Ketika pertentangan semakin sulit didamaikan, Wali Kota Cimahi mengambil kebijakan untuk membubarkan organisasi ini. Imran, yang namanya sudah terkenal, mengecam tindakan wali kota itu. “Kebencian Imran terhadap penguasa bertambah-tambah lagi, ketika suatu kali ia mendapat informasi adanya usaha-usaha untuk melindas ummat Islam. Kesempatan ini digunakannya untuk membangkitkan semangat pemuda Islam terutama yang pelarian dari perpecahan Hipma,” tulis Emron Pangkapi (hlm. 39). Kejadian ini mendorong Imran untuk mendirikan jemaah seperti saat di Arab Saudi. Ia cukup percaya diri karena mendapat dukungan dari beberapa pemuka agama yang sepaham dengannya. Imran tambah yakin karena kawan dekatnya, Mahrizal, telah pulang ke Indonesia dan siap membantunya. Tetapi sebelum jemaah itu terbentuk, pada medio Agustus 1980, Imran berkonsultasi dengan K.H. Buya Sutan Mansyur, seorang ulama asal Jakarta yang dihormati. Jemaah itu akhirnya dibentuk sekitar akhir Agustus 1980 dalam sebuah pertemuan di rumah H. Adang Suherman di Cimahi. Pertemuan itu dihadiri pengikut dan pendukung Imran, antara lain Mahrizal, Zulfikar, Salman, Achmad Yani Wahid, Gunawan Tambunan, Azhar Zulkarnain, Edy Kusmayadi, Edy Ruswendy, Bahtiar Ibrahim, Amar, Yusuf, dan Syamsu Rizal. “Pertemuan malam itu diisi acara tunggal mengangkat Imran sebagai Imam. Mereka menyatakan diri anggota jamaah Imran yang akan patuh dan setia kepada imam selagi tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul,” catat Emron (hlm. 41-42).

Semakin Radikal karena Direpresi Jemaah Imran segera mendapatkan publikasi yang luas. Masyarakat membincangkannya karena militansi kelompok ini. Tak hanya berseru menentang praktik-praktik keislaman yang dinilai "bidah dan khurafat," jemaah Imran tak ragu menyerang kebijakan pemerintah yang dinilai "menindas Islam." Majalah Tempo (16/8/1980) melaporkan, pada 4 Agustus 1980, jemaah Imran mengadakan kaderisasi terbuka di Masjid Istiqomah, Bandung. Di tengah-tengah kegiatan, tiba-tiba jemaah ini diringkus polisi. Sebanyak 44 anggotanya ditahan. “Ceramah dan pembicara di situ—dan ternyata bukan hanya sekali itu—terdengar panas dan menjadi ajang caci-maki terhadap para ulama maupun pemerintah,” ujar Syamsuddin, seorang pengurus Yayasan Masjid Istiqomah, sebagaimana dikutip Tempo. 

Akibat penahanan ini, reaksi keras muncul dari internal jemaah Imran. Mereka menjadi cenderung ekstrem dan lebih agresif. Jemaah Imran bahkan sempat mendatangi kediaman Ketua Majelis Ulama Kodya Bandung Yunus Nataatmadja, Ketua MUI Jawa Barat K.H. E.Z. Muttaqien, dan bahkan kepada pentolan Dewan Dakwah Islamiyah, Moh. Natsir. Kepada tokoh-tokoh ini, mereka menuntut pembebasan rekan-rekannya.

Usai peristiwa pembajakan Woyla, pemerintah melakukan penyelidikan dan memburu orang-orang yang terkait dengan jemaah Imran. Dalam laporannya kepada DPR tertangal 13 Mei 1981, Kopkamtib menjelaskan bahwa tujuan besar jemaah Imran adalah “mendirikan negara Islam dengan rencana menggulingkan Pemerintahan SUHARTO”. Dalam laporan itu, Kopkamtib juga menuding jemaah Imran di balik beberapa aksi teror dan kerusuhan sepanjang 1980 hingga 1981. Di antara aksi-aksi ini, yang berhasil terendus Kopkamtib, adalah pembakaran bendera Uni Soviet di Bandung (Januari 1980), percobaan pembakaran Hotel Hilton di Jakarta (November 1980), hingga percobaan pembunuhan terhadap Dr. Syamsudin (Februari 1981). Aksi jemaah Imran yang paling menyita perhatian publik terjadi sekitar dua minggu sebelum pembajakan pesawat Woyla. Dipimpin Salman Hafidz, beberapa anggota jemaah menyerbu Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo. Penyerbuan ini menyebabkan tiga polisi tewas dan seorang luka-luka. Beberapa pucuk senjata juga hilang.

Munculnya Imam Imran Imran bin Muhammad Zein adalah pimpinan jemaah itu. Imam Imran, demikian ia biasa disapa di kalangan jemaahnya, belajar Islam di Arab Saudi sejak 1972. Menumpang kapal haji, ia berangkat ke Arab Saudi sebagai imigran gelap. Di kapal, ia dipekerjakan sebagai pelayan. Sampai di Mekkah, ia sempat berpindah-pindah tempat tinggal. Ia menyambung hidup dengan mengambil kesempatan kerja apa pun. Imran pernah bekerja sebagai pembuat kursi, pelayan toko, pedagang batu dan jam, dan menjadi tenaga keamanan di sebuah perusahaan. Di kota suci kaum Muslim itu, Imran berguru kepada beberapa ulama. “Di antara deretan nama-nama Syekh tempatnya berguru, Imran sangat terkesan dengan gurunya Syekh Bukhari, Syekh Yasir bin Abdullah, Syekh Muhammad bin Abdul Qadir dan Syekh Abdullah,” tulis Emron Pangkapi dalam Hukuman Mati untuk Imam Imran: Catatan Sebuah Proses Peradilan (1982: 13-14).

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ
Salah satu tuntutan pembajak itu adalah pembebasan teman-temannya yang ditahan karena penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung, pada 11 Maret 1981. Dari tuntutan itulah kemudian aparat mencium siapa dalang di balik pembajakan tersebut. Tak salah lagi, Mahrizal dan kawan-kawan adalah bagian dari Jamaah Imran yang dikenal kerap bikin ribut di Cimahi dan Bandung.

Baca selengkapnya di artikel "Siapakah Imam Imran, Dalang Pembajakan Woyla?", https://tirto.id/cGQJ