Tampilkan postingan dengan label FATAHILLAH / 1996. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FATAHILLAH / 1996. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Januari 2011

FATAHILLAH / 1996

FATAHILLAH



Anda boleh menyebutnya film religi. Tapi tak salah juga mengatakan ini film perang. Fatahillah adalah seorang ulama sekaligus panglima yang berperang melawan Portugis. Hasilnya tak mengecewakan. Saya ingat, bioskop penuh wanita berjilbab saat film ini hadir. Padahal saat itu bioskop kita dipenuhi film esek-esek-nya Sally Marcellina dkk.

Sangat setuju kalau Pak Mamang (Chairul Umam, biasa disebut), tengah bingung membuat film ini, antara Pahlawan, Agama, etnis China di Batavia yang perlu diangkat juga untuk menunjukan bahwa banyak juga etnis China yang melakukan perjuangan. Saya ingat sekali, film ini dibuat atas dana pemerintah untuk mendanai film-film yang bermutu, sebelumnya banyak film yang tidak bermutu Horor murahan dan sex murahan juga (sampai tahun berapa pun ini akan terus muncul, hilang dan muncul lagi,....dan hati-hati, itu namanya tandanya film akan mati suri lagi kalau penonton sudah meninggalkan film Nasional seperti tahun-tahun dulu lagi).

Tetapi sayang, mungkin karena dana pemerintah yang saat itu tergolong tinggi sekali untuk sebuah film, bahkan menjadi bincangan orang film juga, karena merasa dana besar itu tidak jatuh ke mereka,...hahhah....tapi film ini terlalu banyak yang ingin disampaikan sehingga, terus terang...membosankan. Apalagi tidak ada yang banyak tahu di masyarakat siapa itu Fatahilla. Kalau Diponegoro anak SD sangat hafal sekali, tapi tidak dengan tokoh yang satu ini. Karena itu Pak Mamang mengangkatnya, karena dana pemerintah dan DKI juga mendukung makanya pahlawannya harus dari Jakarta. Selama ini kurang banyak dikenal pahlawan dari kalangan Betawi atau Jakarta, paling juga tokoh legenda si Pitung. Apa ia benar ada atau tidak/hanya hayalan saja, tidak ada yang tahu. Makanya tokoh fatahilla ini lah yang diangkat. Banyak orang yang tidak tahu saat itu, mereka kita Fatahilla adalah gedung tua yang ada di kota itu/ atau film mengenai itu. Ternyata bukan.





Set yang paling mahal dan dibicarakan banyak orang film adalah pertempuran di kapal. Tetapi tidak sedasyat yang dibayangkan orang saat itu yang sering menonton film Hollywood. Jadi sehingga tampak biasa saja, atau malah terlihat cemen (Kt anak muda).

Cerita kurang mendukung sama sekali sebagai film perjuangan, karena mau fatahilla kalah atau menang, tidak ada yang peduli, penonton kurang familier sama tokoh ini, dan cerita kurang memperkenalkan tokoh ini secara khusus dalam adegan yang bisa membuat penonton simpatik.

Synopsis
Kecewa melihat negerinya, Pasai dihancurkan Portugis, Fadhillah Khan, kemudian dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan (Igo Ilham), selesai menuntut ilmu di Mekah, lalu bergabung dengan Sultan Trenggono (Abdi Wiyono) yang memerintah Kesultanan Demak, ia mendapat posisi terhormat sebagai ulama, bahkan lalu menikah dengan adik Sultan, Ratu Pembayun (Linda Jatmika) dan Ratu Ayu (Yuni Sulistyawati), janda Adipati Unus yang gugur dalam pertempuran melawan Portugis di perairan Malaka.

Portugis yang makin merajalela, ingin mendirikan benteng di Sunda Kelapa lewat persekutuaanya dengan Raja Pajajaran, Kesultanan Demak terpanggil melakukan perang terhadap Portugis. Fatahillah terpilih sebagai panglima perang. Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan digandi nama menjadi Jayakarta yang kemudian menjadi Jakarta.

Fatahillah menceritakan tentang tokoh ulama yang berjuang mengusir Portugis dan kemudian mendirikan Jayakarta atau Kota Jakarta sekarang. Proyek ini pernah disebut menghabiskan lebih dari anggaran sebesar antara Rp 3 - 4 miliar.
 SINEMA ABAD DUASATU

IGO ILHAM
LINDA DJATMIKA
ABDI WIYONO
AMAK BALJUN
ASPAR PATURUSI



NEWS
Fatahillah: Kebangkitan Film Nasional?

Salim Said

Ke Cirebon, biasanya orang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Tapi akhir-akhir ini di Cirebon, untuk sementara, muncul objek ziarah baru: Imam Tontowi dan Chairul Umam. Dua nama yang baru saya disebutkan ini bukanlah nama wali, melainkan nama sutradara film pemenang Citra. Imam dan Tontowi berada di Cirebon beberapa bulan terakhir ini untuk menggarap film Fatahillah , yang diproduksi dengan biaya yang berasal dari Pemerintah DKI Jakarta.
Fatahillah adalah film tentang ulama dan pahlawan perang yang mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan mendirikan Kota Jayakarta yang kini dikenal sebagai Jakarta. Karena berhubungan dengan sejarah Jakarta itulah tentu maka Gubernur Soerjadi Soedirdja bersedia mengucurkan dana hampir tiga miliar rupiah untuk membuat film kolossal tersebut. Gubernur Suryadi sadar bahwa dirinya bukanlah orang yang tahu banyak seluk-beluk perfilman. Karena itulah dimanfaatkannya pengetahuan, pengalaman, dan jaringan kerja H.M. Johan Tjasmadi, pimpinan Gabungan Pemilik Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), yang juga Ketua Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N).


Para penziarah yang datang menengok kerja Imam Tontowi dan Chairul Umam terdiri dari macam-macam orang, mulai dari anggota kabinet, kiai, pengurus mesjid, wartawan, turis lokal, sampai para pedagang film. Masing-masing tentu dengan minat dan harapan yang berbeda-beda. Para pejabat pemerintah berharap film ini bisa mengangkat citra film nasional yang terpuruk sejak 1991, sehingga sejumlah produksi merosot dengan mutu yang fantatis melorotnya; para kiai dan pengurus mesjid berharap film ini bisa jadi media yang meningkatkan syiar Islam, para wartawan berharap film ini bisa bermutu agar ada film Indonesia yang dapat diulas di media masing-masing; dan para pedagang film berharap agar film ini bisa menjadi lokomotif yang sanggup menarik perfilman Indonesia dari jurang keterbelakangannya secara kuantitatif, kualitatif, maupun komersial. Walhasil, para penziarah film ke Cirebon berharap banyak dari "wali" Chairul Umam dan Imam Tontowi.
Melihat cara persiapan, cara kerja, besarnya dana yang tersedia, serta hasil kerja masa lalu Chairul Umam dan Imam Tontowi, rasanya kita tidak perlu mencemaskan mutu film itu nanti. Yang tampaknya harus dibicarakan adalah, bisakah Fatahillah menjadi juru selamat film Indonesia. Untuk itu, marilah kita letakkan masalah film dan perfilman Indonesia dalam perspektif sejarahnya.
Setelah terpuruk di masa Orde Lama oleh himpitan politik yang merangsek ke mana-mana dan beban inflasi yang tak terpikulkan, pada awal Orde Baru film nasional, oleh bantuan pemerintah, mulai bangkit kembali. Mula-mula sambutan publik sangat antusias. Selain karena film Indonesia tampil dengan warna-warni, juga kisahnya tidak asal jadi. 

Ini adalah zaman ketika masyarakat disuguhi film-film Pengantin Remaja, Nyi Ronggeng, Mat Dower, Big Village, Bernapas dalam Lumpur, Bunga-bungan Berguguran , dan beberapa lagi lainnya. Karena mendapat sambutan publik, tentu saja film-film ini menghasilkan uang banyak. Melihat uang banyak inilah maka dunia film diserbu oleh macam-macam manusia yang mencoba mengadu untung. Hasilnya adalah film-film buruk yang berangsur menghilangkan kepercayaan orang banyak kepada film nasional.
Dalam masa Orde Baru ini, paling sedikit ada tiga Menteri Penerangan telah berusaha menolong perfilman nasional lewat berbagai kebijakan dan proteksi. Tak cukup dengan itu, maka pada suatu hari di tahun tujuh puluhan dilibatkan pula Menteri Dalam Negeri serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Semua kebaikan hati pemerintah ini ternyata tak banyak menolong perfilman nasional. Mengapa?
Saya kira ada dua soal yang menyebabkan nasib film dan perfilman Indonesia masih belum beruntung. Pertama , sasaran bantuan itu kurang pada titik strategis. Kedua , dunia film Indonesia tidak mempunyai dinamika untuk mempertahankan altitude yang dicapainya setelah mendapat bantuan pemerintah.
Strategi bantuan pemerintah selama ini ditujukan terutama pada pembuatan dan peningkatan jumlah film. Padahal, sasaran tersebut sebenarnya adalah bagian ekor dari masalah perfilman di Indonesia. 

Persoalan paling serius yang dihadapi perfilman Indonesia adalah --secara berurutan-- masalah langkanya sumber daya manusia (SDM), tak tersedianya modal dan peralatan yang up to date, dan apresiasi masyarakat yang rendah terhadap film-film Indonesia.
Akibat tidak tersedianya SDM, maka lahirlah film-film asal jadi dengan mutu buruk. Film-film seperti inilah yang menyebabkan penonton menjauhi film Indonesia. Film seperti ini juga yang merusak kepercayaan penonton terhadap film-film Indonesia, sehingga satu dua film yang baik --memenangkan Citra pada FFI-- akhirnya juga tidak mendapat penonton.
Karena modal tak tersedia, maka para pedagang yang tidak tahu watak bisnis film, dan cuma ingin cepat meraup keuntungan, berlomba merubung dunia industri film. Produser atau pemilik modal seperti inilah yang tidak punya halangan memanfaatkan SDM yang bermutu rendah, antara lain karena bayarannya juga murah. Keadaan ini diperburuk oleh kurangnya peralatan yang up to date, ketika dunia film internasional sudah begitu canggih. Hasilnya adalah film-film Indonesia yang berselera rendah dengan teknik yang amat ketinggalan zaman.
Apresiasi masyarakat terhadap film belum pernah mendapat perhatian serius di negeri ini. Di sekolah kita dahulu, dan di sekolah anak-anak kita sekarang, ada pelajaran menari, menggambar, menyanyi, main drama, dan membaca puisi. Sementara seni yang sangat dekat kepada kita, dan besar pengaruhnya kepada pertumbuhan anak-anak, yakni film atau citra bergerak, sama sekali tak mendapat perhatian. 

Sejarah sastra Indonesia diajarkan, puisi Chairil Anwar dihafalkan, sandiwara Arifin C. Noer dimainkan, tapi nama Usmar Ismail, sejarah kebangkitan film Indonesia di tahun 1950 sama sekali tak digubris, dan nama beberapa film dan sutradara Indonesia yang mendapat penghargaan internasional sama sekali disepelekan. Maka tidaklah mengherankan kalau kita pada masa kecil suka nonton film Indonesia, tapi begitu kita sudah beranjak dewasa, ketika kita makin terdidik, kita meninggalkan film Indonesia untuk jadi penonton film-film Amerika.
Mengapa demikian? Ya, karena kita makin pintar dan selera kita makin baik, sementara film-film Indonesia tetap berkubang di situ-situ saja. Kalau ada beberapa film Indonesia yang bagus dari puluhan yang buruk, kita terlanjur kehilangan kepercayaan, karena kita memang tidak pernah diajak mengapresiasi film-film kita tersebut. Inilah penjelasan mengapa akhirnya film-film Indonesia terutama hanya menjadi tontonan kelas bawah saja. Mengingat daya beli kelas bawah yang rendah, maka lama-kelamaan industri film adalah industri rumah pinggiran yang magnitud -nya makin kecil dan, karena itu, kemampuannya meningkatkan mutu dan teknik juga makin mengecil saja.
Dengan produksi sejumlah 37 film pada 1996 dibandingkan dengan produksi sebesar 112 judul film pada tahun 1991, dan dengan mutu yang jauh melorot, apakah film Indonesia berangsur-angsur mati? Tergantung bagaimana melihatnya saja. Pada saat yang sama, perhatikan peningkatan luar biasa jumlah sinetron cerita yang diproduksi di Indonesia enam tahun terakhir ini.


Pada 1991 diproduksi hanya 233 judul, dan terus meningkat hingga mencapai 3.217 judul pada tahun silam. Kalau diketahui bahwa yang membuat sinetron itu adalah orang-orang yang dulu membuat film Indonesia, dan bahwa mutu sinetron kita sama saja dengan rata-rata mutu film Indonesia, maka tidak terlalu salah untuk menyimpulkan film Indonesia tetap hidup berkembang dengan kebiasaan lamanya. Cuma medianya kini bukan gedung bioskop, melainkan layar televisi.
Media layar televisi ini memanjakan pembuat dan produser tontonan citra bergerak tersebut. Ketika menggunakan media gedung bioskop, penonton harus aktif datang dan mengeluarkan biaya. Melewati media layar kaca, penonton cukup duduk pasif tanpa membeli tanda masuk, dan tidak membayar transportasi. Dalam hal terakhir ini mereka tidak akan menuntut banyak, sebab yang membayar tontonan itu adalah pemasang iklan. Dalam keadaan seperti ini tak banyak tuntutan kepada pembuat sinetron untuk memperbaiki mutu dan teknik tontonan produksi mereka. Maka ancaman satu-satunya bagi sinetron Indonesia adalah pasar bebas serta pelipatgandaan saluran televisi lewat satelit dengan tontonan mancanegara yang berkualitas dan berteknik tinggi.
Sekian tahun setelah rumah tangga kita dibanjiri sinetron melewati sejumlah saluran televisi domestik, kerinduan menonton film yang lebih berbobot dalam ruang gelap, sejuk tanpa gangguan tamu, telepon atau ketukan pintu secara mendadak, kini muncul kembali. Sejarah pertelevisian di Amerika Serikat telah membuktikan betapa televisi tak pernah berhasil menghabisi riwayat peranan gedung bioskop. Tapi sejarah film Amerika juga menunjukkan betapa survival film dicapai lewat sejumlah usaha penciptaan hal-hal yang sulit ditandingi oleh televisi. 

Dalam proses inilah munculnya nama-nama Stephen Spielberg, George Lucas, Francisco Ford Coppola, dan sejumlah nama anak muda yang merupakan SDM yang tak kunjung habis dalam terus memompakan roh baru pada Hollywood.
Sebagai salah seorang juri Festival Sinetron Indonesia (FSI) tahun silam, saya bisa mengerti dan merasakan kerinduan banyak orang untuk menyaksikan film-film Indonesia yang mengandung sesuatu tinimbang sejumlah sinetron yang kebanyakn kisahnya diperoleh dari film-film asing dengan teknik alakadarnya. Dalam rangka inilah kita sebaiknya melihat besarnya perhatian dan harapan kepada pembuatan film Fatahillah di Cirebon itu.
Apakah Fatahillah bisa menjadi lokomotif mempelopori kebangkitan film-film Indonesia? Dalam menjawab pertanyaan ini, haruslah disadari bahwa film Indonesia yang kita kenal sebagai tontonan kelas bawah sebenarnya tidaklah memerlukan kebangkitan sebab film-film demikian berjaya di seluruh saluran televisi kita sekarang. Maka, jika kita berbicara tentang kebangkitan film Indonesia, yang kita bicarakan adalah film-film yang dibuat dengan serius oleh SDM yang siap dengan modal yang cukup serta peralatan yang up to date. Sayangnya, saya belum melihat persiapan ke arah itu. Mudah-mudahan saya keliru, tapi saya melihat Fatahillah nanti masih akan berjalan tanpa pengiring.