Tampilkan postingan dengan label FFI 1983 Medan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1983 Medan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1983 MEDAN

04 Juni 1983
FFI 1983, MEDAN
FFI 1983, melibatkan wartawan dalam perfilman Nasional.

"AH, sudahlah Pokoknya saya tak apa-apa. Mungkin memang peluru nyasar saja," cetus Meriem Bellina, 18 tahun, tentang peluru yang sempat menembus kaca kamar hotelnya ketika mengikuti FFI 1983 di Medan belum lama ini. Ia rupanya memang tak bergairah berbicara soal peluru. Sebab pemeran Perkawinan 83 yang menyebabkan ia masuk nominasi dalam festival itu, segera berbicara soal Piala Citra. "Citra bukan target saya," kata pelajar kelas II sebuah SMA Negeri di Bandung itu. Apalagi, tambahnya, permainannya di Roro Mendut lebih baik dibandingkan di film itu. Ia menyesal dalam Roro Mendut tak digunakan suaranya sendiri. "Karena bahasa Jawa saya tidak medok," kata bintang yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris itu. Anak ke-5 dari 6 bersaudara keluarga G.H. Bamboe ini sekarang sedang sibuk berperan dalam Kandas, filmnya yang ke-7. Ia berlaku sebagai anak tunggal yang tak betah di tengah keluarga yang retak.

 
 
 
 



28 Mei 1983
Menerima piala citra 1983
TAK sia-sia Christine Hakim lebih mengentalkan diri menyelami seluk-beluk seni peran. (TEMPO, 21 Mei). Buktinya, koleksi Piala Citra yang sudah tiga di tangannya, bertambah satu lagi minggu lalu. Dia terpilih sebagai pemain wanita terbaik di FFI 1983 Medan, berkat permainannya dalam film Di Balik Kelambu. Seperti kata sebuah peribahasa, orang yang beroleh penghargaan, sebetulnya sedang menggendong monyet besar di tengkuknya. Christine, 27 tahun, memang merasa beban baru membentang di hadapannya. "Sebab dengan mendapat Citra bukan berarti kita sudah sampai di tujuan," komentarnya. "Tapi kita harus mencari citra dari Piala Citra itu sendiri. Kita harus mencari lagi," tambahnya bersungguh-sungguh. Bintang film yang teratur berlatih senam itu memang tak ingin ketutup-beduk. "Sebab, puas berarti berhenti," ujarnya "saya lebih puas dikritik acting saya daripada orang bilang: Chris, kamu bermain bagus. Kalau tak kuat mental, cepat terbuai dan macet." Untuk senantiasa waspada pada kekurangan dirinya, bintang yang kata Teguh Karya "tidak cantik tapi punya daya tarik dan cerdas" itu, rajin mengukur dengan sejumlah bahan bandingan -- termasuk menyimak kebolehan para bintang dari mancanegara. Selamat!


 

28 Mei 1983

Menerima piala citra 1983
TEGUH Karya dan Slamet Raharjo tampaknya sulit dipisahkan. Keduanya selalu bersama-sama sejak Teater Populer masih rajin mementaskan sandiwara di awal tahun 1970-an. Sampai ketika awak Teater Populer terjun ke layar putih. Pada umumnya masing-masing sebagai sutradara dan pemeran utama. Bersama-sama pula keduanya mendapat Piala Citra dalam FFI 1983 dari film yang sama, Di Balik Kelambu. Juga sebagai sutradara dan pemain terbaik. Penghargaan itu, bagi mereka rupanya tak begitu mengejutkan. "Bagi saya, film itu baik atau buruk, tetap karya film anak negeri ini -- dan karenanya adalah milikku juga," ucap Teguh, 49 tahun, yang pernah mendapat piala serupa untuk filmnya Nopember 1828 dalam FFI 1979. 


Ketika menerima piala itu di Stadion Teladan, Sabtu lalu, wajah laki-laki yang tetap membujang itu juga tak terlalu gembira. "Terus terang karya seni tak punya titik final," tambah sutradara berambut warna perak yang tetap dikenal sederhana itu. Slamet Raharjo yang pernah menyutradarai film Rembulan dan Matahari, juga selalu muncul dalam pakaian sederhana bahkan hampir serampangan. Kota Medan ternyata membawa keberuntungan bagi pemuda berkumis tebal tak teratur ini. Sebab dua kali dia meraih Citra, dan keduanya di Medan -- pada FFI 1975 dan tahun ini. Baik Slamet maupun Teguh rupanya sudah sepakat tak akan mengadakan pesta atas penghargaan yang mereka peroleh dari festival tahun ini. "Kami hanya akan mengadakan selamatan kecil untuk mengundang para tetangga Teater Populer," ucap Teguh sambil mengepulkan asap rokok. Menurut Slamet, tetangga sanggar mereka di Kebon Pala, Tanah Abang, Jakarta Pusat, banyak membantu kelancaran pembuatan Di Balik Kelambu. "Siskamling yang baik di sana, membuat shooting film itu sukses," tutur Slamet. Hubungan awak sanggar dengan para tetangganya memang akrab. Bahkan sudah sejak lama Slamet dan kawan-kawannya memberi les bahasa Inggris gratis kepada pemuda-pemuda sekitar situ.