Tampilkan postingan dengan label FFI 1986 Bali. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1986 Bali. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1986 Bali Bukan Hura-Hura

21 Juni 1986
FFI 1986, BALI
Festival, bukan hura-hura, dari ...

FESTIVAL Film Indonesia dipindahkan. Dari panggung hura-hura dan pawai jalan raya, ke dalam TVRI. Itu sebabnya Pesta Seni Daerah Bali, yang sedianya akan dikaitkan dengan Festival Film Indonesia (FFI), Sabtu pekan lalu dibuka oleh Menteri P & K Fuad Hassan, dan tetap hanya, seperti tahun-tahun sebelumnya, dikaitkan dengan libur panjang. Dan Bali, yang ditunjuk sebagai tuan rumah FFI '86, kata orang, hanyalah menjadi "tuan rumah semu". Padahal, panitia di Bali sudah siap. Jauh hari sudah dijadwalkan penyerahan Piala Citra untuk aktor, aktris, dan film terbaik, serta penutupan FFI disatukan dengan penutupan Pesta Seni, 4 Agustus. Dan seperti yang direncanakan, hari-hari sebelum puncak kemeriahan itu, para artis film diikutsertakan dalam keramaian Pesta Seni. Bahkan panitia di Bali sudah menggali dana dengan cara menaikkan karcis bioskop seperti yang dilakukan panitia daerah FFI sebelumnya. 

"Tapi itu baru berlangsung seminggu, tiba-tiba datang SK Menteri Penerangan yang membatalkan acara-acara FFI di Bali," kata Slamet, staf Kanwil Deppen Bali. "Sempat terkumpul uang Rp 2 juta, tapi belum kami minta dari gedung bioskop." Acara yang dibatalkan: pawai artis, bakti sosial artis, panggung hiburan, malam sejuta bintang (ini puncak acara). Bahkan kegiatan yang selama ini selalu dikaitkan dengan FFI, seperti gelanggang film anak muda, sidang MMPI (Musyawarah Masyarakat Perfilman Indonesia), juga ditiadakan. "Semua acara hura-hura ditiadakan. Sudah tidak zamannya lagi ada acara temu artis sekarang ini," kata Johan Tjasmadi, Ketua Umum Pantap (Panitia Tetap) FFI, di kantornya, Dewan Film Nasional (DFN) Jakarta. Berubahnya gaya FFI kini memang sesuai dengan berubahnya sasaran yang dituju. Menurut Tjasmadi, sehari-hari Wakil Sekjen DFN, FFI '86 memilih sasaran masyarakat gedongan dan kaum terpelajar. "Masyarakat awam sudah gandrung pada film-film nasional. Sekarang ini, kita berusaha menjaring lapisan yang lebih tinggi," katanya. "Karena itu, sebagian besar acara pokok diselenggarakan di studio TVRI dan disiarkan secara sentral." Lapisan ini dianggap tak membutuhkan tatap muka dengan artis. Pekan depan komite seleksi, yang terdiri dari sembilan orang dengan ketuanya Fritz G. Schadt, selesai menilai 63 film cerita. Komite ini akan mengajukan 15 judul film untuk dinilai lima juri - yang belum ditetapkan orang-orangnya. Lalu, akhir Juli, kelima juri menetapkan lima film nominasi. "Semua pengumuman ini disampaikan lewat TVRI. Termasuk pemenang Piala Citra dan penyerahannya," kata Tjasmadi. Pada pengumuman pemenang itu, artis yang mendapat nominasi, juga beberapa pejabat penting, termasuk Gubernur Bali, diundang ke studio TVRI. "Karena disiarkan lewat TVRI lebih banyak masyarakat yang terlibat. Jalan-jalan akan sepi, semua orang tersedot ke depan televisi," kata Tjasmadi optimistis. 

Lantas, bagaimana kedudukan Bali yang sudah telanjur menerima "pataka FFI" tahun lalu di Bandung? Para pemenang Citra, esok harinya diboyong ke Bali. Turun di bandara Ngurah Rai, Denpasar, mereka diarak menuju kota sambil, begitu diharapkan, mengacung-acungkan Citra yang diraihnya. Lalu, malam harinya, bioskop-bioskop di Denpasar memutar film yang mendapat nominasi. Para artis itu, kalau bersedia, diminta nongol sebelum film diputar. Itu saja, plus ada diskusi tentang film Indonesia, tentu saja. Masih meriah? Mungkin tidak. Jumlah artis peraih Citra 'kan cuma beberapa. Festival versi ini akan terus dilembagakan, dan karena itu pula dibentuk panitia tetap yang tidak diganti saban tahun. Teguh Karya, sutradara, yang ditunjuk sebagai Ketua Bidang Acara dan Pameran, menilai festival ini "langsung pada sasarannya yang berfokuskan pada penilaian film". Ia menyayangkan sebelumnya "yang terlalu berlebihan, tidak sederhana, dan penuh dengan acara-acara sampingan yang tidak ada kaitannya dengar penilaian film." Memang, FFI Bandung tahun lalu berakhir dengan saling curiga menyangkut penggunaan dana, sampai-sampai Aktor Dicky Zulkarnaen melontarkan tuduhan korupsi. Tapi tak semua acara tahun lalu perlu dihilangkan. Bahkan Teguh masih menganggap perlu Gelanggang Film Anak Muda. Ini acara semacam diskusi dan berbagai olah eksperimen dengan melibatkan anak-anak muda di luar film - dramawan, mahasiswa, dan sebagainya. "Acara itu perlu, tetapi jangan disatukan dengan festival film. Acara itu sendiri sudah merupakan acara besar," kata Teguh, si pencipta acara itu pertama kali di FFI Medan, 1983. Pada akhirnya, FFI kali ini memang sangat hemat dan sederhana - sesuai deng situasi ekonomi yang tak begitu cerah. Kalau FFI Bandung menelan biaya hampir Rp 1 milyar, FFI sekarang ini hanya dianggarkan antara Rp 150 juta dan Rp 200 juta. "Dan tidak ada sponsor-sponsoran. Semua biaya dari DFN," kata Tjasmadi. Pengeluaran terbesar ternyata untuk penjurian itu sendiri. Biaya ini sebenarnya masih bisa dihemat kalau saja festival film ini berlangsung dengan "kewajaran", sebagaimana kabarnya festival serupa di luar negeri. "Idealnya peserta festival itu mendaftarkan filmnya dan membayar uang pendaftaran," kata Chaidir Rahman, dari Hubungan Masyarakat Pantap FFI. 

Jadi, produser film secara aktif menjagoi film yang disertakannya. Sejak 1979, FFI otomatis menyertakan film-film cerita Indonesia yang telah lolos sensor sampai pada waktu penutupan pendaftaran untuk seleksi FFI. Artinya, jika sebuah film lolos sensor sampai 28 Juni - batas pendaftaran FFI '86 - mau tak mau dinilai komite seleksi, tak peduli produsernya merasa sreg atau tidak. Dan itu memang ada sejarahnya. FFI diselenggarakan secara ajek mulai 1973. Sampai FFI 1977, film yang dinilai adalah yang didaftarkan produsernya. Karena sifatnya hura-hura, hampir semua produser mendaftarkan filmnya, walaupun untuk itu ia masih menanggung biaya artis pendukung film itu ke FFI. Mungkin karena festivalnya di Pulau Jawa (Surabaya, Bandung, Jakarta), produser tak keberatan. Namun, ketika FFI 1978 di Ujungpandang, banyak produser yang enggan mendaftarkan filmnya dengan alasan terlalu berat menanggung biaya artis. MAKA, Panitia FFI membuat ketentuan, semua film yang lolos sensor otomatis sebagai film peserta. "Soalnya, waktu itu 'kan festivalnya masih ramai-ramai," ujar Chaidir Rahman. Ketentuan inilah yang masih tetap tidak diubah, entah kenapa. Padahal, sejak FFI Medan, 1983, produser tak lagi kena biaya mengirim artis. Semua artis yang ke FFI ditanggung panitia. Sekarang FFI berlangsung sederhana, tetapi film yang dinilai komite seleksi berjumlah 63 judul - masih mungkin ditambah dengan film Teguh Karya, Ibunda, dan film Arifin C. Noer, Biarkan Bulan itu, yang kini sedang dikebut penyelesaiannya. Dari segi film yang dinilai, sebenarnya FFI belum sederhana. Dari 63 judul itu, film yang "layak dinilai hanya belasan," kata seorang pengamat film. Soalnya, di sinilah pemborosan itu. Satu judul film menghabiskan Rp 250.000 di Komite Seleksi, untuk honor penilaian. Boros uang dan boros tenaga. Waktu yang dihabiskan untuk menilai film-film itu barangkali masih berharga untuk membicarakan hal lain, yang langsung ada kaitannya dengan peningkatan mutu festival, umpamanya. Dari segi itu tampaknya tipis harapan bahwa FFI bisa membuat penonton terpelajar dan gedongan menggemari film Indonesia. ranpa dipromosikan langsung ke rumah-rumah lewat TVRI, bila film itu sendiri bermutu agaknya dengan sendirinya akan digemari. Bila mutu sebatas eksploitasi seks dan action murahan, tak sulit, kok, untuk menganti acara TVRI dengan kaset video. Pada khirnya bukan festivalnya - meriah atau sederhana - tapi mutu filmnya itu sendiri. Putu Setia, Laporan Yusroni H. (Jakarta) & I.N. Wedja (Bali)


09 Agustus 1986

Sebuah festival yang mudah ditebak
FESTIVAL Film Indonesia (FFI) 1986 adalah pesta film yang lain dari FFI sebelumnya. Bukan saja karena penyelenggaraannya menyimpang dari kebiasaan lama yang penuh pesta-pora, tapi juga karena para pemenangnya sudah bisa ditebak dengan hampir pasti beberapa saat setelah nominasi diumumkan. Bagi mereka yang mengamati film-film yang ikut festival, inilah pesta film yang paling tidak kontroversial. Memang. Beberapa jam sebelum pengumuman para pemenang, ketua juri, Wahyu Sihombing, yang terus merahasiakan hasil kerja tim juri, sudah mengatakan bahwa tidak akan ada surprise. "Kalian sudah bisa menduga para pemenang," kata Sihombing. Dan kebanyakan memang menduga bahwa Teguh Karya akan memborong Citra dan bahwa Deddy Mizwar bakal jadi aktor terbaik. Dugaan tidak meleset. Film Ibunda, film terbaik Teguh Karya hingga saat ini, menggondol sembilan Piala Citra (sutradara, aktris terbaik, aktris pembantu terbaik, musik terbaik, penata suara terbaik, penata artistik terbaik, penata fotografi terbaik, cerita asli terbaik, dan film terbaik) dari tiga belas Citra yang ada. Sisanya dibagi masing-masing oleh: satu untuk Kejarlah Daku Kau Kutangkap (skenario terbaik), satu untuk Arie Hanggara (pemeran pria terbaik), dan dua untuk Opera Jakarta (penyunting gambar terbaik dan aktor pembantu terbaik). Juga patut dicatat bahwa Deddy Mizwar bukan cuma aktor terbaik ia juga aktor pembantu terbaik. 

Inilah untuk pertama kalinya seorang aktor sekaligus memborong dua Citra yang disediakan untuk pemeran-pemeran utama dan pembantu. Tapi Deddy, yang dalam dua tahun terakhir masuk nominasi, memang orang yang dari semula dicalonkan oleh siapa saja yang menonton film-filmnya. Anak Betawi yang memulai kariernya di bidang teater ini adalah seorang aktor yang lelah berhasil membuktikan ucapan Stanislavsky, sutradara panggung Rusia terkenal, bahwa tidak ada peranan besar, tidak ada peranan kecil, yang ada cuma aktor besar atau aktor kecil. Dan Deddy selalu besar dalam peranan utama maupun hanya pembantu. Andai kata ada lebih dari satu Citra untuk pemeran pria terbaik, tidak berlebihan untuk meramalkan bahwa semuanya itu, paling tidak tahun ini, akan jatuh ke tangan Deddy. Deddy Mizwar, 31, adalah orang yang barangkali tidak terlalu terkejut mendapat Citra. Piala itu bukan macam hadiah lotre baginya. Ia telah bekerja lama untuk kemenangannya. Mulai main film di tahun 1976 -- Cinta Abadi -- sebagai pemeran utama, Deddy yang kini telah menyelesaikan 21 film masuk ke dunia seni peran lewat teater remaja sejak tahun 1970, dan melewati masa-masa subur Dewan Kesenian Jakarta yang sedang giat-giatnya mengembangkan teater di kalangan yang lebih muda lewat festival di gelanggang-gelanggang remaja. Lepas dari Sekolah Asisten Apoteker, Deddy bekerja di kantor pemerintahan DKI sembari terus berteater. "Karena capek, aku akhirnya memutuskan berhenti dari DKI dan sepenuhnya berteater," ceritanya kepada Sayadi dari TEMPO. Kemudian ia menjadi mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, dan hingga kini masih terdaftar pada Akademi Teater jurusan penyutradaraan di situ.



Di tengah gemerlapnya dunia film nasional dengan bintang-bintang yang tampan, Deddy tahu betul bahwa ia tidak begitu punya tampang. Tapi ia bukan orang pertama. Jauh sebelumnya ada Sukarno M. Noor, almarhum -- aktor pentas didikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang barangkali harus dicatat sebagai pelopor nontampan yang berani menerobos dunia film. Sebelum Deddy juga ada Slamet Rahardjo, aktor panggung didikan Teguh Karya yang juga membawa pembaruan, penyegaran, dan sekaligus penggondol Piala Citra. Berlainan dengan para bintang -- mereka yang cuma mengandalkan roman yang cakep, atau popularitas sebagai penyanyi, pegulat, petinju, pemain karate, dan banyak lainnya orang-orang teater ini punya cara, teknik dan tradisi artistik yang letih untuk membuat tokoh-tokoh mereka hidup sebagai yang diinginkan cerita. Untuk peranan yang tidak dikenal latar belakangnya, misalnya, Deddy mengaku menghabiskan dua atau tiga bulan untuk mempelajari sang tokoh. "Untuk peran pelukis, saya menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk merasakan tangan pelukis. Ketika harus memainkan tokoh pembuat keramik, saya memerlukan ke Plered untuk belajar membuat keramik. Saya tinggal tiga bulan di sana," ceritanya. Tapi diakuinya juga, jarang produser yang menghargai usaha seperti itu. 

Pemain yang juga untuk pertama kalinya mendapatkan Citra ialah Niniek L. Karim. Aktris yang juga sarjana psikologi ini bahkan untuk pertama kalinya pula main film. Ibu dua anak ini, kendati demikian, bukan orang baru dalam dunia peran. Lahir tahun 1949 sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UI di tahun 1970 Niniek aktif dalam -- nah, ini juga -- kegiatan teater remaja. Dari teater remaja (ia satu angkatan dengan Deddy, jadinya), ia bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Untuk pembuaan film Ibunda, Niniek mengaku tidak melakukan latihan khusus, tapi pengalamannya dalam seni peran sudah tentu menolongnya untuk bisa melaksanakan kehendak sang sutradara yang juga orang teater. Mempersiapkan diri untuk suatu peranan, itulah barangkali hal istimewa yang diperkenalkan aktor pentas ke dalam dunia film kita akhir-akhir ini. Dan karena aktor-aktor pentas ini berangsur-angsur bisa membuktikan diri lebih potensial dalam bermain (kita ingat: Tuti Indra Malaon, pemegang Citra sebagai pemain wanita utama kali ini, barangkali aktris teater terbaik yang dipunyai tanah air) perlahan-lahan menularlah kebiasaan baik itu ke kalangan para bintang. Ada cerita tentang Rano Karno, misalnya -- yang, berbeda dari ayahnya, Sukarno M. Noor, tidak dibesarkan di dunia panggung -- yang berpayah-payah mendaki gunung. Ada kisah tentang Ray Sahetapy yang ikut latihan tinju tiga bulan untuk memainkan peranan Yoko dalam Opera Jakarta. Dan banyak lagi. Tentu saja hal-hal seperti ini harus juga dilihat sebagai akibat positif penyelenggaraan FFI yang dilakukan secara teratur. (Tanpa FFI, siapa yang memilih yang terbaik?) Akan bisakah kita mengharapkan makin meningkatnya mutu permainan para pemain film kita di masa mendatang? FFI 1986 memang lain. 

DiJakarta, khususnya di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, yang paling banyak terlihat ialah kegiatan bicara -- di samping adanya layar tancap di halaman. Mula-mula ada kampanye film yang dilakukan mereka yang terlibat pada setiap film yang lolos komite seleksi. Acara yang tampaknya diadakan untuk menggantikan kegiatan pawai artis yang secara tradisional selalu ada pada setiap FFI itu tidak bisa dikatakan berhasil. "Ngecap tentang diri sendiri belum bagian dari kebudayaan kita," kata Christine Hakim. Tapi ketika tiba acara pemutaran film-film lama, disertai diskusi dengan sutradaranya, terasa ada hal yang selama ini dilupakan. Pada acara itu setiap orang boleh hadir dan bertanya. Maka, sutradara-sutradara itu dipaksa berpikir untuk menjelaskan karya-karya mereka. Dan macam-macam pikiran muncul. Yang paling mencolok, di antaranya, ialah kesan sebagian peserta bahwa film-film lama (hitam putih) umumnya lebih menyentuh daripada film-film yang dibuat dengan tata warna, layar lebar, dan peralatan yang canggih. Apakah ini karena kita sebenarnya belum lagi menguasai alat-alat itu sebagai alat ekspresi? "Ya saya kira begitulah memang," jawab Sutradara Nya Abbas Acub yang rajin ikut diskusi. Tidak semua orang film suka diskusi.

Di antara mereka banyak yang mengeluh karena acara glamor dihapuskan. "Masa hanya keributan di Bandung tahun lalu harus mengubah secara total tradisi kita," keluh salah seorang. FFI di Bandung itu memang diadakan dengan amat meriah dan dengan biaya mahal. Tapi hura-hura itu nyaris saja jadi huru-hara, ketika penonton yang ingin menikmati panggung terbuka harus dihadapkan dengan polisi yang mencoba menenteramkan hadirin, antara lain dengan menggunakan anjing polisi. Sudah itu muncul pula keributan soal dana. Ada cerita korupsi, di samping ada pula keluhan mengenai terlalu banyaknya pungutan yang dilakukan panitia kepada penduduk Jawa Barat. Akibat semihuru-hara itulah maka FFI 1986 jadi amat sederhana. Juga kemudian timbul gagasan untuk menswastakan FFI seperti yang terjadi di tahun-tahun 1950-an. Suara-suara memang cukup santer, tapi melihat bahwa pemerintah masih cukup waktu dan tenaga serta dana, barangkali masih akan lama lagi lahirnya sebuah festival yang dikelola swasta. 

Lagi pula, dalam perekonomian seperti sekarang, ketika belum terlihat kekuatan pada orang-orang film, mungkin FFI tidak usah terlalu cepat dibebaskan dari pemerintah. Lebih penting dari itu barangkali usaha menciptakan film-film bagus, pemain dan permainan yang baik, serta juru teknik terampil yang berwawasan. Memang harus diakui bahwa kesempatan untuk membuat film yang mungkin merebut Citra cenderung hanya akan dipunyai beberapa orang. Selama ini yang paling banyak cuma Teguh Karya, Almarhum Sjumandjaja dan Arifin. Tapi jika Teguh bisa membuka kesempatan itu, seperti yang dilakukannya dengan membina sejumlah sutradara muda itu toh sudah suatu langkah yang lebih dari memadai. Akan hal Teguh, sulit untuk dibantah bahwa kemenangannya, selain karena bakat dan pengetahuan serta kerja keras, juga karena adanya grup yang dibinanya dan yang selalu bekerja bersamanya. Pengalaman membina dan bekerja dalam grup itu pun barangkali bisa disumbangkan Teguh. Dengan grup, nyatanya, Teguh bisa menghindari ketakutan Sihombing tentang akan tidak terlibatnya para awak film dalam proses kreatif (lihat Sutradara itu Babu Produser). Kelemahan dan ketidakutuhan karya kebanyakan sutradara kita pada akhirnya bersumber antara lain pada tidak adanya kerja sama yang hakiki seperti itu. Dan satu-satunya cara mengatasinya memang membentuk grup dan membuat sanggar. Di dalam sanggar yang dibina Teguh Karya, misalnya, berkumpul bukan saja mereka yang semata-mata belajar akting. Di sana juga datang macam-macam orang dengan berbagai keahlian dan latar belakang seni. Di sanggar seperti itu keterbatasan pergaulan bisa dihindari. Dan keterbatasan seperti ini, paling tidak menurut Haji Misbach Jusa Biran, Kepala Sinematek Indonesia dan salah seorang juri FFI 1986, menyebabkan sempitnya wawasan orang film. Maka, jika film-film Indonesia akhir-akhir ini kelihatan menggebrak, menurut Misbach lagi, itu karena peranan tokoh-tokoh sastra dan teater -- Teguh Karya, Arifin C. Noer, Slamet Rahardjo, Chaerul Umam, Tuti Indra Malaon, Deddy Mizwar -- yang membawa tradisi sanggar ke dunia mereka yang baru. Tapi bisakah para sutradara kita melepaskan individualisme mereka untuk masuk dalam dunia "keluarga" itu? Di tengah lemahnya modal dan carut-marutnya tata niaga film, dunia gambar hidup kita memang tidak bisa lain dari bertahan pada tingkat industri rumah tangga. Dan dengan membuat film dalam sebuah grup tetap, Teguh Karya dengan tuntas memperlakukan film sebagai betul-betul suatu industri rumah tangga. Salim Said Laporan Biro Jakarta

09 Agustus 1986

Sutradara itu babu produser
INI bukan untuk pertama kalinya Wahyu Sihombing, sutradara film, teater, dan sandiwara televisi, menjadi ketua dewan juri FFI. Tahun silam ia juga ditunjuk untuk posisi itu. Sedang di tahun-tahun 1983 dan 1984 ia duduk dalam komite seleksi yang bertugas memilih film-film yang akan dinilai dewan juri FFI. Karena pengalamannya selama empat tahun mengamati film buatan dalam negeri itulah, menarik untuk mengikuti komentar Sihombing terhadap film Indonesia peserta FFI 1986 sebagai yang dikisahkannya kepada wartawan TEMPO, Salim Said. Berikut ini petikan hasil wawancara: Tentang tema cerita Kalau ada perubahan tema dari tahun-tahun sebelumnya, dan itu memang ada, itu bukan karena adanya perubahan konsepsi. Melainkan perubahan selera produser -- tentu saja karena para produser menganggap selera penonton telah bergeser. Dalam hubungan ini jugalah kita harus melihat munculnya komedi seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Bukan karena ada konsepsi yang jelas mengenai komedi yang tidak harus dimainkan pelawak. Tapi semata-mata karena perkiraan terhadap selera penonton tadi. 

Film ini ternyata laku. Ini suatu bukti bahwa film yang bagus tidak selalu jatuh di pasaran. Kemajuan teknik dan masalah artistiik Kerja kamera, editing, banyak mengalami kemajuan. Tapi teknik penyuaraan masih parah. Sayangnya, penguasaan teknik ini belum lagi menjadi alat ekspresi. Kenapa? Lah, siapa, sih, juru kamera kita? Siapa editor, juru suara, juru rias, penata artistik? Orang-orang ini hampir tidak pernah baca skenario film yang mereka kerjakan. Bagaimana mereka mengerti nilai dramatik film itu? Akhirnya yang berkarya cuma sutradara. Yang lain turut perintah. Ini seperti mahasiswa yang lulus tapi cuma belajar dari diktat, tidak dari buku. Jelas, kesenjangan antara kemampuan teknis di satu pihak dan kemampuan ekpresif di pihak lain. Dan ini semua terjadi karena struktur dunia perfilman kita, yang didominasi produser, tidak kondusif untuk membuat orang-orang itu mempelajari skenario dengan baik. Akting, emosi, unsur luar Para pemain kita pun rata-rata memperlihatkan kemajuan dalam bidang teknik. Pengucapan dialog dan gerakan tidak sekaku dulu lagi. Jauh lebih santai. Ini tentu merupakan hasil pengalaman, baik secara sendiri maupun bersama. Tapi di sini pun ada masalah, seperti yang saya kemukakan tadi. Mereka ini masih tetap saja belum memahami struktur kejadian, struktur emosi, dan struktur dialog yang mereka sendiri ucapkan. Sumber persoalan itu ialah tidak dikuasainya motivasi dan emosi peran. Selain itu hubungan bagian dalam dari suatu watak dengan bagian luarnya bagaimana melahirkan, bagaimana mengucapkan, bagaimana gerak-gerik watak -- itu soal yang masih tetap dihadapi para pemain kita. 

Maka. selain studi watak. mereka juga harus melakukan studi adegan. Mengetahui watak yang dimainkan saja masih belum cukup, sebab lingkungan sekeliling, adegan di mana ia ada, juga amat menentukan. Latihan, belajar sendiri, jangan tunggu penataran Parfi, itu syarat jadi pemain baik. Sutradara dan produser Dalam tubuh perfilman Indonesia sekarang, sutradara itu cuma babu produser. Termasuk saya juga. Apa maunya produser, kami para sutradara turut saja. Karena itu, saya selalu bilang, kalau film Indonesia jelek, kita orang film ini harus mawas diri. Ada beberapa sutradara yang bernasib baik, seperti Teguh Karya, Arifin C. Noer, dan Sjumandjaja. Ini karena ada mitos tentang mereka sebagai pembuat film Indonesia terkemuka. Dulu mitos demikian dimiliki Wim Umboh, hingga kemauan Wim selalu dituruti produser. Citra tidak mempengaruhi larisnya film? Itu betul. Misalnya tahun lalu, Kembang-Kembang Kertas yang disutradarai Slamet Rahardjo mendapat Citra. Tapi di pasaran tidak laku. Umumnya film yang mendapat Citra itu tidak tergolong film yang laku. Tapi ini tidak perlu mengherankan, bukan? Barang bagus tidak selalu laku, barang jelek tidak selalu dibenci. Tentang kriteria penilaian Kita menilai film tidak berdasarkan perhitungan laku-tidaknya. Juga tidak perhitungan apa pun di luar film itu sendiri. Sekali kita harus melenceng, misalnya dengan alasan pendidikan, pemerataan, atau apa, bisa kacau semuanya. Kita juga menilai film sesuai dengan kondisi Indonesia. Karena itu, kita tidak menggunakan perbandingan dengan film-film asing yang bagus, apakah itu film-film buatan Akira Kurosawa atau Bergman. Sebab, kalau pakai standar film asing jenis itu, mungkin tidak ada yang menang.


16 Agustus 1986
Aktris terbaik '86 di bali
"SEUMUR-UMUR saya belum pernah mengalami seperti ini," kata Tuti Indra Malaon, pemenang Citra untuk aktris terbaik tahun ini ketika mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pekan lalu. "Saya tak mau dibeginikan." Mengapa tak mau ? Panitia FFI Bali menyambut para bintang dari Jakarta dengan payung kebesaran. Beberapa aktris yang sudah biasa dengan "upacara kebesaran" dengan kalem menerima saja dipayungi panitia dan lalu mereka, bagaikan putri-putri raja, berjalan menuju panggung yang sudah disediakan. Tapi Tuti Indra, 46, dosen di Jurusan Inggris Fakultas Sastra UI, yang baru di awal 1970-an ikut main film, jadi kikuk setengah mati. Sementara itu, tari Pendet terus berlangsung, dan para penari memberikan karangan kembang kepada para artis yang datang. Tapi di mana Tuti Indra Malaon? Waduh, di balik sebatang pohon kamboja, persis di sudut panggung, dua pemenang Citra asyik bersembunyi. Tuti ternyata ditemani Niniek L. Karim, peraih Citra untuk aktris pembantu. Rupanya, keduanya berhasil lolos dari payung kebesaran. Tapi gangguan belum sama sekali lewat. Begitu acara penyambutan di Ngurah Rai selesai, para artis diminta menaiki mobil-mobil terbuka yang sudah dihiasi warna-warna untuk diarak menuju hotel tempat menginap. Hampir semua artis sudah menaiki mobil, Tuti dan Niniek masih sembunyi. Lalu panggilan dari Panitia lewat pengeras suara terdengar. "Wah, mati aku. Mau diapain aku ini?" kata Tuti. Semula kedua peraih Citra itu menolak. Akhirnya mereka mengalah. Rupanya, pawai ini bukan sekadar mengantar para bintang ke tempat penginapan. Tapi keliling kota dulu, maka baru sekitar pukul lima sore pawai habis. "Saya sudah bekerja keras untuk film, sekarang dikerjain," komentar Tuti. Lalu disusul keluhan dari Niniek, yang juga dosen di UI: "Saya tak menduga risiko Citra seperti ini." Tapi mari pasang "porkas", apakah keduanya lain kali akan menolak Citra atau tidak, bila menang lagi.