Tampilkan postingan dengan label FFI 1991 Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1991 Jakarta. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1991 Giliran wajah baru

16 November 1991
FFI 1991, JAKARTA
Para unggulan dan para mbalelo


Sabtu pekan ini puncak acara Festival Film Indonesia. Wajah baru mendominasi unggulan. Wajah lama absen, bahkan membuat acara tersendiri untuk menghindari pesta FFI. SEPERTI yang diduga, para sineas muda merajai unggulan Festival Film Indonesia (FFI) tahun ini. Buce Malawau, Garin Nugroho, Labbes Widar, Ucik Supra, dan Imam Tantowi masuk dalam pengumuman nominasi FFI sebagai calon-calon peraih Sutradara Terbaik. Mereka masing-masing mewakili film Potret, Cinta dalam Sepotong Roti, Lagu untuk Seruni, Rebo dan Robby, dan Soerabaia 45. 

Unggulan penulis skenario pun didominasi wajah baru seperti Dimas Haring (Langit Kembali Biru), Fanny Hazar dan Firman Triyadi (Lagu untuk Seruni), Ucik Supra (Rebo dan Robby). Dua wajah lama di bidang ini adalah Imam Tantowi (Soerabaia 45) dan Buce Malawau (Potret). Sederet wajah muda juga mendominasi nominasi Pemeran Utama Wanita dan Pria. Untuk Pemeran Utama Wanita, yang akan bersaing adalah Lidya Kandou (Boneka dari Indiana), Paramitha Rusady (Bos Carmad), Dian Nitami (Perwira dan Ksatria), Sonia Carrascalao (Langit) dan Nia Zulkarnaen (Lagu). Lidya, yang tahun lalu gagal merebut Citra lewat Cas Cis Cus, kini dipastikan meraih piala itu lewat Boneka. Sonia dan Nia belum merupakan saingan Lidya. Bahkan aneh, dua artis belia tadi bisa menggugurkan Meriam Bellina yang bermain jauh lebih bagus lewat Taksi Juga dan Bernafas Dalam Lumpur, atau Nani Somanegara dalam Potret. Di kubu pria nampaknya terjadi pertarungan seru antara Rachmat Hidajat (Potret), Didi Petet (Boneka), Tio Pakusadewo (Lagu), Mathias Mucchus (Cintaku di Way Kambas), dan Dede Yusuf (Perwira). Tiga nama di depan punya peluang sama karena penampilannya lebih utuh dan matang. Yang mengejutkan adalah masuknya film Langit dalam susunan nominasi film terbaik. Karya Dimas Haring ini memang bertema menarik, percintaan yang dilatarbelakangi politik saat integrasi Tim-Tim ke Indonesia. Tapi segi filmisnya kurang. 

Film ini bersaing dengan Cinta, Lagu, Potret, dan Soerabaia. Kenapa FFI kali ini didominasi wajah-wajah baru? Tentu saja, karena "wajah lama" lagi absen berkarya akibat iklim yang tak sehat dalam dunia perfilman nasional. Bahkan, jika wajah muda itu akan berpesta Sabtu pekan ini di Taman Mini Indonesia Indah dalam acara puncak FFI, senior mereka memilih tidur-tiduran di rumah atau gerak jalan. Roy Marten, misalnya. Dengan kelompoknya, Studi Club Bintang (SCB) -- didirikan Roy bersama Deddy Mizwar, Mangara Siahaan, August Melasz, Cok Simbara -mengkoordinasi acara untuk mengikuti gerak jalan Mojokerto-Surabaya di hari yang sama. Puluhan artis akan dibawanya ke Surabaya mencarter gerbong khusus kereta api. "Saya tidak memusuhi FFI, biar bagaimana itu adalah lambang prestasi perfilman. Kami di SCB hanya ingin mengikuti lomba gerak jalan untuk menghormati Hari Pahlawan," ujar Roy Marten kepada TEMPO. Lha, kenapa harus persis pada acara puncak FFI? "Kami sudah mendaftarkan diri sejak dulu pada Panitia Nostalgia 10 November 1945. Justru acara FFI yang awalnya tanggal 12 November diundur jadi tanggal 16 November. 

Dan kami nggak bisa membatalkan acara ini, dong," kata Roy Marten, berkilah. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum Pantap (Panitia Tetap) FFI Johan Tjasmadi. "Saya anggap ini soal teknis. Memang kami yang mengundurkan acara puncak FFI menjadi tanggal 16 November, supaya pas malam Minggu," kata Johan. Namun, tentu saja ini bukan soal teknis belaka. Bagaimanapun, Roy Marten dkk. punya keluhan tertentu terhadap Pantap FFI yang masa tugasnya masih berlangsung hingga tahun depan itu. "Sudah beberapa kali saya dan kawan-kawan tidak diundang. Dan saya juga merasa orang film dijadikan obyek, bukan subyek dalam acara ini," kata Roy. Sampai Sabtu pekan lalu, menurut Roy Marten, sudah ada 46 artis film dan sinetron yang kepingin ikut gerak jalan itu. "Kami sampai harus menyetopnya, karena soal dana," katanya. Mangara Siahaan, yang menjabat sebagai humas SCB mengatakan seandainya ada yang ingin mengundurkan diri karena diundang untuk membacakan nominasi atau bahkan karena terpilih sebagai unggulan, "itu hak mereka." Ully Artha yang namanya tiba-tiba muncul sebagai unggulan Pemeran Pembantu Wanita nampaknya akan mengundurkan diri dari acara gerak jalan itu. "Saya memang diajak ikut gerak jalan, dan saya berminat. Saya nggak kepikir bahwa harinya bentrok," kata Ully. Kelompok lainnya yang pasti juga absen di FFI kali ini adalah Sophan Sophiaan, Eros Djarot dan Slamet Rahardjo -orang menyebutnya kelompok KFT (Karyawan Film dan Televisi) karena mereka pengurus KFT. 

Di belakang mereka juga ada sederet artis. "Saya sudah lama tidak mau terlibat ataupun aktif di FFI," kata Sophan Sophiaan, aktor dan sutradara yang tahun ini terpilih sebagai Unggulan Pemeran Pembantu Pria Terbaik dalam film Yang Tercinta. "Ketua Umum Pantap FFI saya anggap tidak punya perhatian mendalam terhadap film Indonesia," katanya tegas. Sedangkan menurut Eros Djarot, kejadian ini memang menunjukkan semacam mosi tidak percaya kepada kepemimpinan Pantap FFI, bukan kepada lembaga FFI. "Saya menganggap kepemimpinan Pantap FFl sangat subyektif. Pokoknya, kalau dalam pantap berikutnya masih ada orang yang sebenarnya bukan orang film itu, akan saya boikot total. Artinya, film-film kami tidak akan kami ikutkan dalam FFI. Buat apa?" kata Eros. Ketua Umum Pantap FFI Johan Tjasmadi memang dulu dikenal sebagai pengusaha bioskop. Leila S. Chudori


 09 November 1991
Sutradara muda menunggu nominasi
Akhir pekan ini, juri FFI akan mengumumkan film dan aktor serta aktris yang masuk nominasi. Beberapa sutradara muda lahir dan memberi alternatif. PANGGUNG Festival Film Indonesia (FFI) akan dibuka lagi. Di tengah derasnya serangan film-film Hollywood, dan munculnya belasan cineplex baru yang menopang pemutaran film asing itu, pesta orang-orang film Indonesia yang setahun sekali ini harus tetap diadakan. Dari 70 film yang diproduksi tahun ini, ada 19 film pilihan. Akhir pekan ini para juri akan mengumumkan film dan pemain yang berhasil masuk nominasi. Pekerjaan juri FFI tahun ini, yang diketuai Asrul Sani, tidak terlalu mudah. Bukan karena film-filmnya bagus, melainkan justru karena tidak ada film yang mencuat. Ada beberapa yang layak disorot, misalnya, Potret, Cinta dalam Sepotong Roti, Lagu untuk Seruni, Boneka dari Indiana, dan ZigZag. Yang menarik, meski sutradara senior macam Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo absen, lahir sutradara baru. Mereka adalah Garin Nugroho (Cinta dalam Sepotong Roti), Labbes Widar (Lagu untuk Seruni), Dimas Haring (Langit Kembali Biru), dan Ucik Supra (Rebo dan Robby). Adakah sesuatu yang baru dari mereka? "Ya, mereka semua punya kelebihan masing-masing," kata Teguh Karya. Teguh melihat suatu fenomena baru dari kecenderungan para sutradara baru ini. "Memang belum bisa dikatakan bahwa suatu aliran baru telah lahir, tapi saya melihat adanya alternatif baru dalam berbagai hal, baik dalam visi maupun cara kerja," tambahnya. Ia menunjuk bagaimana film Potret, yang gagasannya dikerjakan secara keroyokan. Ia juga memuji pengarahan akting di dalam sebagian film karya sutradara baru itu. 

Tanpa ingin menyebutkan film-film mana yang dianggapnya terbaik, Teguh mengatakan bahwa pilihan tema dari para sutradara baru ini pun banyak yang menarik. Garin Nugroho, sutradara Cinta dalam Sepotong Roti, adalah salah satu sosok yang menjanjikan. Sebagai sutradara yang menawarkan alternatif baru dalam memvisualisasikan gagasannya, Garin bak sebuah intan yang perlu diasah. Mungkin karena Garin terlalu mementingkan bagaimana membahasakan idenya ke dalam gambar, lulusan Institut Kesenian Jakarta ini tak berkonsentrasi untuk menundukkan aktor-aktornya. Karya pertama Labbes Widar, Lagu untuk Seruni, juga memiliki beberapa persoalan. Sama seperti rekan sealmamaternya, Garin Nugroho, Labbes pun menyodorkan persoalan pasangan muda. Garin memfokuskan masalah hubungan seks, sedangkan Labbes lebih menekankan persoalan "pertandingan" menundukkan ego antara pasangan Febi (Nia Zulkarnaen) dan Arya (Tio Pakusadewo). Febi ingin mementingkan kariernya sebagai penyanyi dan rela berpisah dengan anak dan suaminya, sementara Arya -sang pencipta lagu -akhirnya harus belajar mengurus putrinya yang masih kecil sementara perlahan wanita lain memasuki kehidupannya. Tidak adil membandingkan film ini dengan Kramer vs Kramer meski ada persamaan tema. Yang kuat dari film ini adalah akting hampir semua pemainnya sangat wajar. Agaknya, selain karena menggunakan suara langsung, Labbes sebagai sutradara dan Adi Kurdi sebagai pengarah dialog sangat berperan dalam hal ini. "Orang biasa menyangka kalau belum melotot atau berteriak namanya belum akting, tapi akting Tio (Pakusadewo) di dalam film ini sangat alamiah," puji Teguh Karya. 

Almarhum Nya' Abbas Akup, yang dikenal sebagai "empu" filmfilm komedi situasi, agaknya mencoba menguras sisa-sisa tenaga akhirnya dalam pembuatan Boneka dari Indiana. Film ini bukan saja sindiran halus kepada orang-orang kaya yang tak lelahnya memburu uang, melainkan terutama kisah seorang suami yang mulanya hanya bisa mengangguk seperti boneka, tapi kemudian berhasil membebaskan diri. Secara keseluruhan film ini sangat segar dan komunikatif. Didi Petet dan Lidya Kandouw bisa saja meraih peluang nominasi melalui film ini. Ziz Zag arahan Putu Wijaya memang bukan sebuah karya akbar. Meski demikian, ia menjadi menarik karena Putu membicarakan persoalan yang sangat dekat dengan kita, yakni mencari identitas. Ini adalah sebuah proses yang akan terjadi secara terus-menerus, bukan hanya pada anak-anak muda macam Egi ( Jeffrey Waworuntu), Silvi (Dian Nitami), dan Nanang (Cok Simbara), tapi juga kepada orang-orang tua macam ayah Egi (Zainal Abidin). Film yang mengajak kita merenung ini memang penuh dengan adegan dan peristiwa yang tumpang tindih yang menjadi kekuatan film ini, tapi sekaligus melelahkan. Film yang terasa paling utuh adalah karya Buce Malawau yang berjudul Potret. Buce selama ini dianggap "murid" Teguh Karya meski ia sendiri tak pernah secara resmi berguru pada "suhu perfilman Indonesia" itu. Potret mengisahkan masa tua Herman Kawilarang (Rachmat Hidajat) di rumah jompo dan ingin kembali kepada anak-istrinya yang dahulu ditinggalkan. Memang Potret akan mengingatkan kepada film Ayahku karya Agus Elias karena sama-sama membicarakan penolakan anak tertua terhadap ayah. Namun, film Potret lebih menunjukkan berbagai dimensi kemanusiaan. Siapa pun yang rajin menonton film-film Teguh Karya akan langsung mengenali pengaruh sentuhan artistik dan visualisasi Teguh itu. Film ini mempunyai peluang besar untuk meraih banyak piala Citra, terutama untuk Rachmat Hidajat, Ully Artha, dan Gusti Randa. Adapun Film Langit Kembali Biru karya Dimas Haring yang terlalu sarat dengan misi atau Taksi Juga arahan Ismail Soebardjo yang terasa nyinyir (meski akting Ayu Azhari memberi peluang untuk nominasi) rasanya belum bisa dikategorikan sejajar dengan lima film tadi. Leila S. Chudori

23 November 1991
Citra dalam sepotong-sepotong
Piala Citra hasil FFI tahun ini terbagi-bagi di banyak film. Wajah baru menggembirakan. Tapi puncak festival sepi, lebih meriah di Mojokerto. "TAK ada film yang bulat. Tak ada yang utuh. Tak ada unsurunsur sektoral yang saling mendukung," inilah komentar Asrul Sani, ketua juri film cerita panjang Festival Film Indonesia (FFI) 1991. Asrul mengatakan hal itu beberapa saat setelah FFI ditutup, Sabtu malam pekan lalu, di TMII Jakarta. Dengan gambaran seperti itu, juri harus memilih film terbaik -pemerintah kabarnya tak suka kalau tak ada film terbaik sebagaimana FFI 1984 di Yogyakarta. Cinta dalam Sepotong Roti, karya sineas muda Garin Nugroho, akhirnya ditetapkan sebagai film terbaik tahun ini. Namun, sebagai sutradara, Garin dinilai belum berhasil. "Garin belum matang, di tengah-tengah film, ia kehabisan napas. Film itu akan jadi lebih bagus kalau diperas menjadi satu jam," kata Asrul. Kelebihan Sepotong Roti adalah "ia memberikan penafsiran relevansi sosial yang baru". Salim Said, kritikus film yang juga anggota juri FFI, melihat bahwa yang terpenting dalam FFI ini: telah lahir sebuah film yang betul-betul sinematis, artinya tidak menekankan diri pada cerita, tetapi cara bercerita dengan gambar. Yang dimaksud Salim tentulah film Garin ini pula, yang juga menyabet Citra untuk fotografi (Soleh Rosselani), artistik (Sapto Busono), musik (Dwiki Darmawan), dan penyunting gambar (Ade Prajadisastra). Lalu, siapa sutradara terbaik? Imam Tantowi tampil lewat Soerabaia '45. "Sebagai sutradara, dia kuasai mediumnya. Dia bisa mengutarakan, dengan alat sinematik, apa yang ingin dia utarakan. Dia tidak ragu," kata Asrul. Pakar perfilman ini memuji adegan pertempuran yang dibuat Tantowi. Hanya saja, "sebagian besar kelemahan film ini karena skenario." Citra untuk skenario terbaik dipegang Dimas Haring dan Dias Cimenes untuk film Langit Kembali Biru. Pasangan ini juga memperoleh Citra untuk penulis cerita asli terbaik dalam film yang sama. Langit bercerita tentang masa pergolakan di Timor Timur menjelang integrasi ke wilayah RI. Untuk aktris terbaik muncul wajah lama yang sudah kenyang dengan nominasi. Pemeran utama wanita terbaik diraih Lydia Kandou lewat Boneka dari Indiana. Gelar pemeran pembantu wanita terbaik disabet Rina Hassim lewat Zig Zag. Kedua aktris ini tak hadir di puncak FFI. 

Untuk aktor ada wajah lama dan baru. Yang lama, Rachmat Hidayat untuk permainannya di film Boss Carmad. Wajah baru, Tio Pakusadewo, lewat film Lagu untuk Seruni. Film terakhir ini juga mendapat Citra untuk penata suara terbaik atas nama Hartanto. Dengan tersebarnya kekuatan pada beberapa film, kata Asrul, pertarungan para juri untuk menentukan pemenang menjadi sangat ketat. "Pokoknya, tahun ini paling sulit," katanya. Yang menggembirakan lainnya adalah munculnya anak-anak muda, baik sutradara maupun pemain. "Mereka sekarang sudah siap dan mereka punya kemauan," kata Asrul. Jika ada yang "tidak menyenangkan" dalam FFI kali ini tentulah karena semakin sedikitnya artis yang terlibat. Pada puncak FFI, suasana itu terasa sekali. Banyak artis yang "tiduran di rumah" selain ada yang ber-"FFI di Mojokerto". Siti Nurbaiti dan Dwi S. Irawanto


 23 November 1991

FFI Mojokerto
LUAPAN massa membludak di Mojokerto, begitu rombongan artis dari Jakarta tiba, Sabtu sore pekan lalu. Rombongan ini, yang tergabung dalam Studi Club Bintang (SCB), mengikuti gerak jalan Mojokerto-Surabaya yang diselenggarakan menyambut Hari Pahlawan. Sayang, karena massa yang tidak terkendali dan bisa mengacaukan seluruh acara, panitia mengambil keputusan: rombongan artis diangkut dengan empat minicab terbuka, setelah mereka berjalan hanya sepuluh meter dari garis start. Dengan komandan Agust Melaz, 45 bintang (artis dan sutradara film) berbaris rapi. Di depan, ada Doyok dan Camelia Malik. Di belakangnya, Eva Arnas, Deddy Mizwar, Roy Marten, El Manik, Jojon, Kiki Fatmala -pokoknya, semuanya orang beken. Begitu bendera start dikibarkan, masyarakat meneriakkan nama-nama itu. Lalu mereka berebut ingin menyalami -dan inilah awal kekacauan. Petugas keamanan langsung menghentikan barisan dan berteriak, "Demi keselamatan, kami harap para artis untuk naik ke kendaraan." Dengan terpaksa, bintang-bintang itu naik ke mobil terbuka dan acara pun berubah menjadi pawai artis. "Mer- deka, merdeka ....," teriak Deddy Mizwar membalas yel-yel massa. "FFI malah tidak semeriah ini," komentar Cahyono, bintang yang juga pelawak. "Ini kegiatan ke luar SCB yang pertama," kata Agust Melaz. Ia menolak tuduhan bahwa kelompok SCB sengaja melakukan boikot terhadap FFI di Jakarta. "Masa, kami diuber-uber karena tidak menghadiri FFI. Ini kan hak kami." SCB, yang baru berusia empat bulan, lahir karena keprihatinan sejumlah insan film terhadap tiga masalah utama: film Indonesia terdesak film asing di negeri sendiri, produksi film nasional menurun, dan film nasional berbobot sangat minoritas. Memang, film Indonesia terdesak ke pinggiran karena tumbuhnya sinepleks-sinepleks di kota yang menjadi pusat film impor. Belakangan, sinepleks malah berdiri pula di pinggiran, sehingga film nasional semakin jauh ke pelosok. Lewat SCB ini, mereka ingin membantu memecahkan permasalahan film nasional. Kelik M. Nugroho (Surabaya)