Tampilkan postingan dengan label FFI 1992 Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1992 Jakarta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1992 JAKARTA

31 Oktober 1992 
FFI 1992 JAKARTA
Letih nonton film






BIASANYA, Meriam Bellina letih syuting film, tapi kini ia letih menonton film. Sehari paling tidak tiga film ditontonnya tanpa terputus. Untunglah, tugas menonton itu berakhir Sabtu pekan lalu. Meriam, 27 tahun, salah seorang anggota komite seleksi FFI 1992, sudah menyerahkan hasil penilaian nya. Bagaimana dengan bayinya yang masih berusia 6,5 bulan? Meriam mengaku tak begitu mengganggu karena sudah ada yang merawatnya. Lagi pula, si kecil itu tak lagi minum air susu ibu alias ASI. Total, sejak penjurian dilakukan mulai Agustus lalu, Meriam telah menonton 40 film. Tapi ia keberatan menilai mutu film-film tersebut. "Nggak enak, dong, kalau saya ngomong soal film-film itu sekarang. Semua kan masih dalam proses," kata Meriam, yang akan kembali aktif di film Desember mendatang. Memang, film yang diloloskan komite seleksi akan dinilai oleh juri FFI. Jika soal film Meriam boleh bungkam, soal anak tidak. "Sekarang saya merasa lebih komplet, lebih lengkap sebagai wanita," kata istri sutradara Adi Surya Abdi ini dengan bahagia


05 Desember 1992
Pesta besar untuk ramadhan
KHAERUL Umam tak berjingkrak ketika ~akhir pekan lalu tampil di panggung Sasono Langen Budoyo TMII. Ketika menerima penghargaan tertinggi sebagai sutradara terbaik dalam malam puncak Festival Film Indonesia 1992, sutradara Ramadhan dan Ramona itu berucap dengan suara bariton, "Mudah-mudahan benda-benda ini tak membuat saya takabur, tapi lebih mendorong saya berprestasi lebih baik lagi." Wajah Mamang, begitu panggilan akrabnya, juga biasa-biasa saja ketika tampil di panggung menerima Piala Citra untuk kedua kalinya karena filmnya, Ramadhan dan Ramona, dinyatakan sebagai film terbaik. Malam itu juga merupakan malam kejutan buat Jamal Mirdad, penyanyi yang dinobatkan sebagai aktor terbaik di film itu. Bukan saja itu merupakan film yang diproduserinya sendiri, tetapi istrinya, Lydia Kandou, juga memperoleh Citra sebagai aktris terbaik. Ini Citra kedua untuk Lydia Kandou setelah tahun lalu menggaet penghargaan tertinggi itu dalam film Boneka dari Indiana. Memang tak seorang pun menduga Jamal bakal menang. Lydia sendiri, yang ditunjuk membacakan nama-nama unggulan pemeran utama pria, kaget. Ketika membuka amplop pemenang, matanya membelalak. Dengan ragu-ragu, suaranya lirih dan pelan membaca, "Ah, masa...Jamal...." Dan akhimya ia pun berteriak, "Jamal Mirdad dalam film Ramadhan dan~ Ramona...." Khaerul Umam pun terkesima. Ketika Ramadhan dan Ramona muncul sebagai salah satu di antara lima unggulan FF~I 1992, ia hanya mengunggulkan Lydia Kandou sebagai pemeran utama wanita terbaik. Ternyata film itu mendapat lima Piala Citra, selain yang sudah disebutkan tadi masih ditambah dengan skenario terbaik untuk Putu Wijaya. Untuk diketahui, lima film unggulan yang diumumkan seminggu sebelumny~a adalah Bibir Mer (sutradara Arifin C Noer), Kuberikan Segalanya (Galeb Husin), Ramadhan dan Ramona (Khaerul Umam), Nada dan Da'wah (juga Khaerul Umam), Plong alias Naik Daun (Putu Wijaya). Para pengamat film hampir tak ad~a yang menjagoi Ramadhan dan Ramona. Yang dijagoi adalah Kuberikan Segalanya Plong, dan Bibir Mer. Ternyata, Kuberikan Segalanya, film yang dianggap sebagai loncatan besar Galeb Husin, mampu memenangkan Piala Citra untuk pemeran pembantu pria (Deddy Mizwar~) dan penata musik (Idris Sardi). Juga mendapat penghargaan khusus dari Dewan Juri untuk pemeran utamanya, yaitu Nihayah Abubakar. Sedangkan Plong hanya memperoleh Piala Citra untuk penata fotografi (FES Tarigan). Adapun Bibir Mer bisa memperoleh Citra untuk pemeran pembantu wanita (Jajan~g Pamontjak) dan penyunting (Karsono Hadi). Terpilihnya film Nada dan Da'wah sebagai salah satu film unggulan, juga Rhoma Irama dan KH Zainuddin MZ masing-masing sebagai salah seorang unggulan pemeran utama pria dan pemeran pembantu pria, menimbulkan tanda tanya. Soalnya, semula komite seleksi hanya memunculkan delapan film unggulan, "karena hanya delapan yang berkualitas baik", seperti dikatakan seorang anggota komite seleksi. Tapi ada ketentuan SK Menteri Penerangan Nomor 151/1988, yakni jumlah film unggulan paling sedikit harus 11 dan palin~g banyak 19. Maka tiga film pada peringkat di bawahnya dian~gkat. Karena ada beberapa anggota komite seleksi yang bersikeras tetap mempertahankan jumlah delapan, keputusan pun terpaksa diambil dengan pemungutan suara. Ini berakibat masuknya film Nada dan Da'wah sebagai salah satu film yang berhak dinilai tim juri FFI, dan bahkan kemudian dinyatakan sebagai film unggulan. Rhoma Irama dan Zainuddin MZ yang membintangi film ini juga mendapat unggulan. Terpilihnya dai kondang KH Zainuddin MZ sebagai salah seorang unggulan pemeran pembantu pria juga menimbulkan pro-kontra. Sejumlah ulama mengajukan protes. Tapi, bagi ketua Dewan Juri, Tatiek Maliyati, hal itu tidak mempengaruhi keputusan juri. Katanya, bahkan tukang becak pun bila bermain film akan dinilai permainannya. Zainuddin belakangan mengundurkan diri sebagai unggulan pemain pembantu pria. "Tapi meski mengundurkan diri ia tetap bisa dinyatakan sebagai pemenang," kata Tatiek kepada Niniek Muji Karmini dari TEMPO. Untunglah dai ini tidak menang, sehingga tidak membuka polemik berkepanjangan. Toh Nada dan Da 'wah juga memperoleh Piala Citra, yakni dari cerita asli atas nama Asrul Sani dan penata suara yang digarap oleh Edi S. Pramono. Budiman S. H~artoyo, MD Adjie

09 Januari 1993

Mengapa jajang tersinggung?
Membaca penyesalan Jajang Pamontjak (TEMPO, 12 Desember 1992, Pokok & Tokoh) saya sebagai pengagum KH Zainuddin Mz merasa terkejut. Mengapa Jajang mesti tersinggung dengan mundurnya KH Zainuddin Mz dari unggulan FFI? Seharusnya sebagai sesama umat Islam kita bisa memahami langkah yang diambil Zainuddin MZ menarik diri dari unggulan FFI 1992. Sebagai manusia biasa, siapa pun mempunyai kecenderungan untuk mencoba atau bereksperimen. Begitupun dengan KH Zainuddin Mz. Beliau ingin mencoba alternatif lain dalam berdakwah. Dakwah di era informasi ini tidak cukup hanya dengan ceramah. Karena itu beliau mencoba dengan media film. Dalam wawancara dengan majalah pria ternama beberapa waktu lalu, KH Zainuddin Mz pernah berkata bahwa dirinya bukan robot. Ini berarti sebagai manusia mempunyai keterbatasan. Tidak mungkin mendatangi semua umat yang membutuhkan. Dapat juga ini yang mendorong beliau terjun dalam film. Namun kehadirannya dalam film pada saat perfilman kita sedang lesu. Apa boleh buat, jadilah beliau nominator FFI. Padahal dalam film iNada dan Dakwahr tidak ada niat beliau untuk menjadi unggulan apalagi peraih Citra. Ini dapat dibuktikan dari suratnya yang ditujukan kepada dewan juri. Inti suratnya sebagai berikut: 1. kehadirannya dalam film tersebut untuk yang pertama dan terakhir. 2. tidak ada niat pada pribadinya untuk menjadi aktor/peraih Piala Citra. 3. dalam film tersebut hanya berperan sebagai diri sendiri (cenderung berdakwah daripada akting) 4. keputusan pengunduran diri diambil demi kecintaannya pada umat. Jadi jelaslah bahwa pengunduran beliau dari unggulan FFI diambil bukan karena meremehkan dunia perfilman kita atau kerja Dewan Juri, tetapi keputusan diambil dengan pertimbanganpertimbangan yang saksama demi kecintaannya pada umat dan menghindari polemik serta kesimpangsiuran berita yang akan merusak citra Islam. ROKHMANI Jalan Cendrawasih 30 Tamanwiangun Kebumen Jawa Tengah