Tampilkan postingan dengan label FFI 1993 (TIDAK ADA). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FFI 1993 (TIDAK ADA). Tampilkan semua postingan

Minggu, 08 Juli 2018

GONJANG GANJING FFI 2006


Gonjang-ganjing Perfilman Indonesia Siapa  penerima Piala Citra FFI (Festival Film Indonesia) paling banyak? Rekor  Idris Sardi (10 Piala Citra dari 19 nominasi dalam 20 FFI, 1973-1992)  baru saja dipecahkan oleh Jero Wacik. Menbudpar alias Menteri Kebudayaan  dan Pariwisata itu kemarin menerima sekaligus 30 Piala Citra  (2004-2006) dari para pekerja film (kebanyakan berusia muda) yang  menyebut diri MFI (Masyarakat Film Indonesia).

Pengembalian  lambang supremasi tertinggi dalam perfilman Indonesia tersebut  merupakan kelanjutan dari protes Riri Riza, Mira Lesmana, Nia Dinata,  Joko Anwar, Hanung Bramantyo, dan seratusan pekerja film lain yang, pada  3 Januari lalu, mendeklarasikan “Surat Pernyataan Sikap Bersama” yang  ditujukan kepada Menbudpar; Presiden RI; Dirjen Nilai Budaya, Seni, dan  Film Depbudpar; Sekretaris Ditjen Nilai Budaya, Seni, dan Film  Depbudpar; Direktur Perfilman Depbudpar; Ketua Badan Pertimbangan  Perfilman Nasional; dan anggota Komisi X DPR-RI.

Pada  intinya mereka memprotes dua hal. Pertama, penyelenggaraan FFI 2006  yang telah melahirkan Ekskul (Nayato Fio Nuala) sebagai Film Terbaik.  Dan kedua, sistem kelembagaan perfilman Indonesia yang masih dijalankan  oleh lembaga dan organisasi bentukan Deppen (Departemen Penerangan) di  masa Orde Baru. Berkaitan dengan itu mereka menuntut Depbudpar.

Mencabut  Piala Citra Film Terbaik untuk film Ekskul karena telah melakukan  pelanggaran hak cipta dalam penggunaan ilustrasi musik.
Menghentikan segera penyelenggaraan FFI Membubarkan lembaga-lembaga perfilman yang ada, dan membentuk lembaga-lembaga baru, secara demokratis dan transparan Mencabut UU No. 9 Tahun 1992 tentang Perfilman dan menggantinya dengan UU baru yang lebih mendukung kemajuan.
Membuat  rancangan yang strategis bagi perkembangan budaya dan ekonomi perfilman  Indonesia dengan melibatkan para pelaku aktif perfilman Indonesia Mengganti LSF (Lembaga Sensor Film) dengan sebuah Lembaga Klasifikasi Film.

Apabila  tuntutan tersebut tidak dipenuhi, MFI mengancam akan memboikot  penyelenggaraan FFI dan melakukan perlawanan secara terstruktur terhadap  segala aktivitas yang mengatasnamakan “Perfilman Indonesia”.  Pengembalian Piala Citra itu sendiri merupakan tanda keseriusan mereka  terhadap tuntutan-tuntutannya.

Sejatinya,  tuntutan membatalkan kemenangan Ekskul sebagai Film Terbaik FFI 2006  cuma entry point buat masuk ke tuntutan yang lebih hakiki: mereformasi  politik perfilman nasional warisan Orde Baru. Namun banyak pihak yang  tidak setuju dengan cara itu, termasuk Garin Nugroho dan kawan-kawan  dalam kelompoknya. “Ekskul dan Nayato tidak punya salah apa-apa,” bela  Garin.

Menurut  saya, wacana “kemenangan Ekskul yang menggunakan musik jiplakan adalah  bukti ketidakbecusan Dewan Juri dan Panitia Penyelenggara FFI” memang  terlampau jauh dan salah alamat. Tugas Dewan Juri cuma menilai apakah  musik dalam sebuah film fungsional. Gampangnya, apakah musik itu bagus  atau tidak, cocok atau tidak, efektif atau tidak, buat membangun adegan  atau cerita atau suasana. Dalam bahasa keren: menilai teks sebagai teks

Di  dalam kredit film — juga formulir pendaftaran FFI — dengan jelas  disebutkan siapa orang yang bertanggung jawab sebagai Penata Musik (di  film Ekskul: Eric Dewantoro). Panitia dan juri tentu saja mesti percaya,  dan tak perlu menjadi detektif segala (untuk memeriksa legalitas setiap  karya yang dinilai). Jika pun juri mengetahui bahwa musik itu milik  orang lain, mereka tetap harus berasumsi baik bahwa si pemusik (atau  produsernya) sudah memenuhi kewajiban hukumnya, termasuk membayar  royalti. Toh jika kemudian ada tuntutan dari pemegang hak cipta, dan  secara hukum terbukti ada pelanggaran hak cipta, yang mesti membayar  ganti rugi atau dijebloskan ke penjara adalah pemusiknya (atau sutradara  dan produsernya) — bukan Dewan Juri atau Panitia Penyelenggara FFI.

Saya dan mungkin Anda juga belum tahu persis bagian mana saja dari UU Perfilman UU Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang dituntut untuk diperbarui, selain soal Sensor Film (Pasal 33 dan 34) serta Pembinaan Perfilman (Pasal 36 dan 37).

Tuntutan  membubarkan LSF, misalnya, mungkin cuma relevan untuk film bioskop.  Padahal, dalam UU tersebut, yang dianggap film — dan dengan demikian  diatur oleh UU itu — meliputi segala bentuk rekaman audio-visual yang  ditayangkan secara terbuka, termasuk film televisi dan iklan. Sungguhkah  70% penduduk Indonesia yang rutin menonton televisi menurut survei  Nielsen Media Research sudah siap menerima tayangan pornografi dan  kekerasan tanpa sensor? Sementara itu, birokrasi pembinaan perfilman,  yang menjadi sasaran utama protes MFI, detailnya diatur dalam sejumlah  Peraturan Pemerintah. Bukan di UU tersebut.

Menuruti  Peraturan-peraturan Pemerintah tersebut, saat ini pembinaan perfilman  Indonesia — termasuk penyelenggaraan FFI — dilakukan oleh sebuah lembaga  bernama Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia (BP2N). Nah, sumber  rekruitmen untuk BP2N berasal dari berbagai organisasi perfilman yang  “resmi”, yaitu PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia), Gasfi (Gabungan  Studio Film Indonesia), GASI (Gabungan Subtitling Indonesia), Perfiki  (Persatuan Film Keliling Indonesia), GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop  Indonesia), KFT (Karyawan Film dan Televisi), serta Parfi (Persatuan  Artis Film Indonesia). Ketua BP2N saat ini, Djoni Syafruddin, sebagai  contoh, adalah Ketua Umum GPBSI. Adapun Adisoerya Abdi, Ketua Pelaksana  FFI 2006, adalah Sekjen PPFI. Begitupun para aktivis BP2N dan panitia  FFI lainnya.

Persoalannya  adalah, orang-orang yang saat ini menguasasi organisasi-organisasi  perfilman “resmi” itu — dan kemudian duduk di BP2N serta menjadi panitia  FFI — oleh para pekerja film muda yang tergabung dalam MFI dianggap  sebagai orang lama, yang bukan cuma sudah tidak aktif dalam  produksi-produksi film mutakhir, tetapi juga dianggap tidak memahami  perkembangan zaman dan aspirasi terkini. Kalau dibalik: para pendukung  MFI tidak ikut berperan dalam organisasi-organisasi perfilman “resmi”  itu, sehingga tidak memiliki akses buat berkiprah dalam politik  perfilman nasional. Ibaratnya, gimana mau jadi anggota DPR jika ogah  masuk parpol?

Yang  ganjil buat saya, MFI bermaksud mereformasi alias mengubah konstelasi  politik perfilman nasional dengan meminjam tangan pemerintah. Alih-alih  mengubah dengan tangan sendiri, mereka malah menuntut pemerintah  melakukan ini dan itu. Kenapa jika tidak percaya pemerintah (jangan lagi  ikut campur tangan seperti Deppen di masa Orde Baru) malah meminta  tolong pemerintah untuk mewujudkan aspirasinya? Lepas dari itu, menurut  saya sangat keterlaluan jika pemerintah, yang seharusnya cuma menjadi  regulator dan berdiri di atas semua kepentingan, mau “dipinjam  tangannya”.

Para  pendukung MFI sendiri kelihatan enggan — atau memang tidak bisa? —  melakukan kerja politik. Yang mereka lakukan (mengembalikan Piala Citra,  memboikot FFI, dan sebagainya) sama nilainya dengan sekadar  demonstrasi. Dengan kata lain, mereka mau mengubah dunia cuma dengan  berdemo.

Saya  yakin akan lebih legitimate sekaligus terhormat jika para pekerja film  yang tergabung dalam MFI mau melakukan kerja politik buat merebut  kekuasan dari para “dinosaurus” yang kini menguasai BP2N dan kepanitiaan  FFI.

Yang  paling mudah adalah ramai-ramai masuk ke dalam organisasi-organisasi  perfilman “resmi” itu, lantas merebut kekuasan secara legal dan elegan.  Mira Lesmana, Shanty Harmayn, dan Nia Dinata jadi pengurus PPFI. Riri  Riza, Joko Anwar, Hanung Bramantyo, Yudi Datau, dan lain-lain berkuasa  di KFT. Tora Sudiro, Nicholas Saputra, dan Dian Sastro aktif dalam  kepengurusan Parfi. Dengan begitu, mereka bisa mudah menguasai BP2N dan  kepanitiaan FFI. Mira Lesmana jadi Ketua BP2N, Shanty Harmayn jadi Ketua  Pelaksana FFI, Riri Riza dan para pendukung MFI lain menjadi Dewan Juri  FFI. Dijamin, film Ekskul dan Nayato Fio Nuala sampai kiamat tak bakal  bisa mendapat Piala Citra lagi, karena pemenang FFI selalu diborong  film-film para pendukung MFI. Hahaha….

Jika  sudah terlanjur alergi (atau mungkin tak mampu merebut kepercayaan  anggota lama yang masih menguasai) organisasi-organisasi perfilman  “resmi” itu, mereka bisa mendirikan organisasi-organisasi baru, lantas  mendesak pemerintah untuk mengakuinya. Presedennya ada: AJI (Aliansi  Jurnalis Independen) kini telah diakui sebagai stakeholder Dewan Pers,  sejajar dengan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) bentukan Orde Baru.

Berbarengan  dengan itu, mereka sudah harus mulai menyusun draft UU Perfilman baru  yang menurut mereka ideal — berikut berbagai rancangan pelaksanaannya —  untuk segera diserahkan kepada DPR dan pemerintah. Lantas melakukan  berbagai lobi politik — bukan berdemo terus :-) — buat memuluskan dan  mempercepat pengesahannya.

Eloknya  memang semua komponen perfilman — yang lama maupun baru, yang tua  maupun muda — tetap duduk bersama mengurusi perfilman Indonesia. Tak  perlu ada pihak yang merasa lebih penting dan berhak, apalagi sampai  saling mengancam. Jika para pekerja film muda itu benar-benar memboikot  FFI, apakah mereka sudah siap jika ada komponen lain yang melakukan hal  serupa, misalnya GPBSI memboikot pemutaran film-film pendukung MFI di  semua bioskop?

Duh.  Saya kok jadi semakin yakin, warisan terburuk Orde Baru sebetulnya  bukanlah kesanggupan mereka mengerdilkan kehidupan politik di negeri  ini, tetapi justru keberhasilannya menciptakan generasi baru bangsa yang  apolitis: naif dan mau serba instan. Kepingin apa-apa tinggal  menadahkan tangan pada pemerintah. Dan satu-satunya cara berpolitik yang  dikenal cuma berdemo, alias unjuk rasa sembari mengancam….

Kamis, 17 Februari 2011

FFI 1993 (Tidak Ada)

INI bukan karya Chaerul Umam yang terbaik. Tapi film ini dinyatakan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) tahun lalu. Tak tanggung-tanggung, lima Piala Citra diboyongnya: film terbaik, aktris (Lidya Kandou), aktor (Jamal Mirdad), sutradara (Chaerul Umam), dan skenario (Putu Wijaya). Bagi mereka yang pernah menonton film Kejarlah Daku, Kau Kutangkap dan Keluarga Markum karya Chaerul Umam yang lain tentu akan menyangka film ini sebagai akhir dari trilogi kisah Ramadhan dan Ramona, nama pasangan legendaris dalam kedua film tersebut, yang telah berhasil mengocok perut penonton beberapa tahun silam. Tapi Ramadhan dan Ramona versi baru ini tak ada urusannya dengan Ramadhan dan Ramona dalam film Kejarlah. Ramadhan diperankan oleh Jamal Mirdad kali ini adalah seorang pemuda Malaysia kaya raya. Film ini dibuka dengan adegan Ramadhan yang merantau ke Jakarta, menyamar sebagai pemuda miskin yang mencari kerja. Ia segera diterima di sebuah department store. Di tempat kerja inilah sang perantau Malaysia bertemu dengan pramuniaga department store bernama Ramona (Lidya Kandou). Ramona bukan saja gadis yang cantik, tapi ia pun berpendirian tegas dan keras kepala. Justru itulah yang membuat Ramadhan mabuk kepayang dan selalu mengikuti langkah gadis itu. Bahwa kemudian Ramona dengan mudahnya memutuskan untuk berpindah-pindah kerja bak kutu loncat, Ramadhan tak sedikit pun curiga. Setiap kali Ramona berpindah kerja dari pramuniaga, pelayan kafe, kondektur metromini, tukang cuci mobil, dan terakhir menjadi perobek karcis bioskop Ramadhan dengan setia membuntutinya. Secara tak sengaja, kedok Ramadhan terbuka. Ramona, yang selama ini menyangka Ramadhan seorang pemuda miskin, merasa tertipu dan lantas kabur ke Lombok. Ramadhan menyusul. Terkuaklah rahasia Ramona. Ternyata Ramona di Lombok adalah Ramona yang memiliki vila besar, gemar berolah raga kuda, membawa telepon genggam, dan mengendarai helikopter pribadi. Sebenarnya jalan cerita ini cukup menarik, karena Ramadhan dan Ramona adalah wakil sebuah sikap. Mereka anak muda kaya raya yang ingin tahu dunia orang-orang miskin, yakni dunia orang-orang yang entah bagaimana bisa bertahan hidup. Tapi keingin tahuan orang-orang kaya ini hanya dilampiaskan melalui ''tamasya sejenak ke dunia kemiskinan''. Artinya, mereka menyamar sebentar, dan setelah puas mencium bau keringat orang miskin, mereka kembali menggenggam telepon mobil dan bermain golf. Cerita yang ditulis Putu Wijaya ini tidak digali secara optimal seperti halnya ketika Chaerul Umam menggarap Kejarlah. Kali ini Chaerul Umam gagal mengulang sukses. Kejarlah berhasil menyajikan humor yang menggelitik sekaligus kepedihan dalam hidup. Sedangkan humor sosial Ramadhan dan Ramona hanya berhasil mencapai tahap permukaan. Memang betul, film ini berhasil menampilkan beberapa adegan lucu, misalnya ketika Ramona menyambar bosnya dan memintanya mengaku sebagai tunangannya agar Ramadhan bersedia minggir. Film ini juga tidak terjebak dalam film komedi slapstick yang sampai saat ini masih menjadi primadona perfilman komedi Indonesia. Dan syukurlah, Chaerul Umam tidak latah mengeksploitasi banci sebagai objek tertawaan, seperti yang sedang menjadi trend dalam film dan sinetron Indonesia. Untuk seorang Chaerul Umam, sebenarnya itu hal yang biasa saja. Dengan latar belakang teaternya yang kental dan sebagai aktor dan sutradara yang intens, tentu saja ia tak akan membiarkan dirinya terjebak dalam idiom-idiom picisan. Namun, untuk seorang Chaerul Umam, Ramadhan dan Ramona adalah sebuah karya yang tanggung. Mungkin akan menarik jika Chaerul juga memperlihatkan seberapa jauh ''tamasya'' Ramona dan Ramadhan di dunia kemiskinan itu bisa mempengaruhi kehidupannya atau persepsinya. Tujuan ''tamasya'' itu tentunya bukan sekadar untuk mencari jodoh, tapi juga untuk belajar lahir kembali sebagai manusia yang lebih lengkap, yang lebih melebar pengalaman dan wawasannya. Sayangnya, Chaerul tidak mengeksplorasi kemungkinan yang diberikan oleh cerita tersebut dan bertahan pada konvensi komedi yang klise. Itu terlihat pada gaya Chaerul mengakhiri filmnya. Ramadhan dan Ramona bertengkar di lapangan udara karena sama-sama merasa tertipu. Tapi toh cinta menang. Ramadhan, yang semula akan pulang ke Malaysia, segera menyambar kopernya kembali dan memanggil Ramona. Bisa ditebak, kan? Ramadhan dan Ramona saling berlari dengan adegan slow motion dan berpelukan. Tetap saja, lelaki kaya mendapatkan wanita kaya, dan kemiskinan menjadi barang ejekan. Jika film begini menjadi film terbaik FFI, tak bisa dibayangkan bagaimana mutu puluhan film peserta yang lain. Mungkin ada benarnya jika FFI tahun ini tidak usah ada. Leila S. Chudori

Rabu, 16 Februari 2011

FFI 1993, Untuk pertamakali tanpa FFI

UNTUK pertama kalinya, tahun 1993 tanpa Festival Film Indonesia. Dan itu bukan karena alasan di luar dunia perfilman, melainkan karena jumlah produksi film nasional tak cukup layak mendukung sebuah festival. Tapi pentingkah FFI itu? Berikut ini wawancara Leila S. Chudori dengan Garin Nugroho, 32 tahun, satu dari sedikit sutradara film yang masih mencoba berjalan optimistis. Ia pada tahun 1993 menyelesaikan sebuah film layar besar berjudul Surat untuk Bidadari. Filmnya yang pertama, Cinta dalam Sepotong Roti, mendapat penghargaan sebagai Film Terbaik Festival Film Indonesia 1991. Karya Garin, film cerita maupun film dokumenter, sering mendapat penghargaan di berbagai festival di luar negeri. Menurut Anda, mengapa sampai tak ada Festival Film Indonesia 1993? Sebagai seorang sutradara, buat saya tak ada masalah jika tak ada FFI. Tapi, sebagai seorang pengamat film dan orang film secara umum, buat saya ini memang menjadi masalah. Di masa transisi ini, pengamatan kita terhadap film sangat penting. Berapa pun jumlahnya, bagaimanapun jelek atau bagusnya film dari berbagai periode, kita harus tetap memberikan penilaian. Ini penting bukan hanya untuk mengetahui data statistik produksi, tapi juga untuk mengetahui kecenderungan perfilman kita setiap periode, setiap tahun. Kita harus bisa menangkap fenomena perfilman Indonesia, dan itu bisa dilakukan melalui FFI. Sayang, menurut saya, selama ini FFI hanya menjadi sekadar laporan bagaimana produksinya semakin tinggi, penontonnya sekian, dan lain-lain, tapi pertumbuhan yang tak sehat dalam perfilman Indonesia tak dibahas. Seharusnya, bagian-bagian yang tak sehat itu tetap dijadikan bahasan dengan pemikiran yang positif. Contohnya? Penurunan jumlah penonton itu sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1986, tapi tak pernah diungkapkan secara resmi dalam FFI. Baru pada awal 1990-an, pers membuka keadaan ini dan mengkritik habis-habisan. Baru FFI bersikap lebih realistis, tapi terlambat. Kalau dari kualitas FFI itu sendiri? FFI tidak memperlihatkan karakter film pemenangnya. Tema penyelenggaraannya juga tak jelas, tidak memecahkan masalah apa-apa. Kita tahu Academy Awards yang memberikan piala Oscar di AS mempunyai ciri tersendiri. Film-film yang menang biasanya yang mudah berkomunikasi dengan penonton, tapi dengan nilai artistik tetap terjaga. Lain lagi Festival Film Berlin, yang memberi prioritas pada film-film yang memiliki nilai-nilai sosial dan politik, sedangkan Festival Film Cannes menekankan film-film yang berciri personal dan mutu artistik yang tinggi. Anda menyebutkan bahwa perfilman sedang dalam masa transisi? Fungsi film sudah mulai berubah, baik di Indonesia maupun di Barat. Film layar besar yang diputar di bioskop tidak lagi menjadi sentral tontonan audiovisual. Film mempunyai hubungan timbal balik dengan budaya pop lainnya, lagu, komik, dan sebagainya. Itulah sebabnya, beberapa tahun terakhir hampir semua film Hollywood berdasarkan novel-novel terkemuka. Film Indonesia yang hidup juga berdasarkan budaya pop, misalnya Saur Sepuh, yang dibuat berdasarkan sandiwara radio. Kemudian, kita sekarang memiliki berbagai ragam televisi swasta. Masyarakat Indonesia kini mengalami gejala yang dialami masyarakat AS pada tahun 1960-an. Di Indonesia kini tumbuh generasi muda yang menjadi generasi televisi. Saat ini mereka sedang asyik memilih acara-acara pilihan televisi swasta yang akan semakin bertambah. Kemudian sekarang ada hiburan audiovisual dalam bentuk piringan laser yang memungkinkan orang nonton film terbaru di rumah daripada antre karcis di bioskop. Jadi, generasi muda yang lebih suka di rumah ini masih kaget dengan pilihan yang begitu banyak di rumah. Baru sekitar 10 tahun nanti, akan muncul generasi yang bosan dengan hiburan di rumah. Itu sudah terjadi dalam masyarakat Barat. Misalnya, dibuat film serial TV Batman yang berasal dari komik, dan akhirnya dibuat film layar lebar yang lebih hitam, kompleks. Film-film drama diberi kepahitan dan kekerasan yang tak mungkin ditunjukkan lewat televisi. Di layar lebar, para pembuat film bisa lebih bereksplorasi karena teknologi yang berbeda dan kesempatan yang berbeda. Nah, nantinya generasi audiovisual yang baru ini adalah generasi yang punya kode-kode budaya yang berasal dari komik. Para pembuat film Indonesia harus bisa membaca gejala ini. Sekarang di TV baru tercipta acara yang acak-acakan, komedi, dan sinetron yang tak jelas arahnya. Tapi dengan sendirinya akan terjadi seleksi alam. Penonton akan lebih menuntut, dan ramalkan, para pencipta akan membuat komedi dan sinetron yang lebih jelas arahnya. Anda setuju dengan slogan "film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri"? Sejarah perfilman Indonesia adalah sejarah di mana orang- orang film berusaha mendapatkan perhatian pemerintah secara politis. Sebaliknya, pemerintah Indonesia selalu memperlakukan film secara politis. Maka, FFI selalu diisi dengan slogan- slogan besar yang isinya pertempuran antara orang film dan pemerintah yang saling memanfaatkan. Tema-tema besar itu mungkin bagus hanya pada awal kemerdekaan Indonesia karena sejarah perfilman kita kan juga dimulai dengan propaganda. Tapi, setelah kita merdeka, hal-hal seperti itulah yang mematikan perfilman Indonesia karena perfilman Indonesia terlalu dibebani oleh slogan-slogan. Film hiburan dibebani oleh sesuatu yang, katanya, harus kultural edukatif. Film-film individual yang ekspresif akhirnya mati. Tema-tema seperti "film menjadi tuan rumah di negeri sendiri" bukan saja bombastis, tapi juga sebuah bumerang yang membunuh perfilman Indonesia. Jadi, apa yang harus dilakukan? Sebaiknya Indonesia membuat tema yang realistis. Seperti Singapura, yang tak punya tenaga kreatif, tak punya sineas atau sutradara seperti Indonesia atau India atau Jepang. Karena itu, mereka tak berambisi memiliki film-film Singapura yang hebat. Mereka membuat perangsangnya dulu, membangun laboratorium film. Lalu, periode berikutnya, merencanakan festival film internasional untuk mendidik apresiasi film masyarakatnya. Periode berikutnya, membebaskan sensor untuk masyarakat di atas usia 21 tahun. Artinya, kalau ada, film yang menggambarkan adegan seks pun mereka lepas untuk masyarakat yang dianggap sudah dewasa. Jadi, ada disiplin hukum untuk menonton. Saya yakin, dengan cara itu, dalam beberapa tahun Singapura akan memiliki sutradara dan aktor yang hebat. Kita ini tak mau rendah hati untuk menyadari kelemahan kita, dan memperbaikinya. Bagaimana dengan soal monopoli peredaran film? Persoalan monopoli bioskop dan peredaran film memang terjadi. Saya juga anti monopoli. Tapi, kalau pertempuran monopoli itu hanya menjadi pertempuran antara mereka yang berebut pasar, saya tidak setuju. Apakah pasar yang diperebutkan ini menjamin film Indonesia akan menjadi bagus, dan menjamin penonton akan disuguhi film asing yang bagus? Sampai sekarang, pertempuran itu tidak memberikan jawaban apa-apa. Mestinya kita menciptakan tawar-menawar yang jelas. Kenapa kita tidak tawarkan agar paling tidak satu bioskop memutar film-film yang dianggap berkelas atau film seni? Para pemilik bioskop harus tetap punya tanggung jawab, tetap punya investasi terhadap sesuatu yang kultural. Demam sinetron menguntungkan atau tidak? Yang jelas, orang film sekarang makmur dan laku keras meski kemakmuran ini semu. Akibatnya, dunia film mengalami kerepotan menarik orang film karena pembayaran di sinetron jauh lebih tinggi. Seorang sutradara yang sudah populer bisa mendapat honor Rp 3 juta untuk satu episode, yang syutingnya hanya sekitar tiga hari. Bayangkan kalau dia menyutradarai 26 episode, berapa honor yang diterimanya. Sementara itu, untuk menyutradarai film layar besar, paling-paling ia hanya mendapatkan Rp 20 juta untuk satu film, dengan masa syuting yang panjang dan lama. Tapi itu kemakmuran semu karena kepuasan bermain dan membuat sebuah film layar besar akan lebih mendalam dan mendasar dibandingkan dengan sinetron. Saya sendiri tahun depan akan membuat sinetron, tapi saya tetap akan membuat film layar besar. Apakah sinetron akan mematikan dunia perfilman? Bisa. Maka, dunia film harus mencari jawabannya, baik secara ekonomis maupun estetika. Sekarang ini tumbuh generasi baru yang, kalau pintar, bisa terampil dan profesional di bidangnya. Karena itu, kru saya saya suruh ikut syuting sinetron yang cepat menghasilkan uang. Tapi, untuk kepuasan batin, mereka ikut membuat film dokumenter di Irian atau ikut film saya. Jadi, generasi ini tahu diversifikasi pasar dan tahu lapangannya. Dan nantinya akan terjadi seleksi alam, mana yang lebih konsisten dan yang mana yang tak mampu. Apa benar masyarakat Indonesia hanya suka jenis film komedi konyol? Ini lingkaran setan. Saya kira memang sebagian masyarakat Indonesia gemar film-film seperti itu, tapi selera itu juga terbentuk karena para pemilik bioskop dan produser mau gampangan, membuat serta mengedarkan film-film seperti itu. Tapi di mana pun, di negara-negara Barat, penonton film bermutu hanya 10%, yang menengah 30%. Yang kita perlukan adalah bagaimana menaikkan penonton yang di bawah ke menengah, dan yang menengah ke atas. Memproduksi film-film untuk kelas bawah tetap perlu, tapi juga perlu menaikkan mutu teknologi, penyutradaraan, akting pemain film kelas ini meski untuk kelas bawah kan tidak berarti asal buat.