Tampilkan postingan dengan label FILM dan BISNIS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILM dan BISNIS. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Februari 2011

USMAR ISMAIL meninju Pemilik Bioskop Agar Film Krisis di Putar.

13 Juli 1991
Kiat melawan air bah
USMAR ISMAIL meninju Pemilik Bioskop Agar Film Krisis di Putar, 
ternyata menyedot penonton banyak


Usmar Ismail meninju pemilik bioskop agar filmnya diputar. 
Ke mana larinya dana produksi film nasional? 


FILM Krisis karya Usmar Ismail membuat sejarah pada tahun 1953. Film itu menembus dan bertahan lima minggu di bioskop elite. Lebih komersial dibanding dengan Ivanhoe meskipun sedikit di bawah Quo Vadis -- keduanya produksi MGM Amerika. 

Padahal, AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia) baru membuka kantor di Jakarta, dan film-film Amerika datang bagai air bah. Usmar sukses karena mendatangi langsung pemilik bioskop Capitol, seorang warga Belanda bernama Weskin. Lalu dagu orang itu ditinjunya. Eh, ternyata Krisis diterima Capitol, dan tiap malam menyedot 4.000 penonton. Di Palembang, produksi PT Perfini itu diputar seminggu, dengan 5.000 penonton tiap malam. Baru empat belas tahun kemudian lahir lagi film nasional yang bagus, ketika B.M. Diah diangkat jadi menterl penerangan (1963-1968). Misalnya, Apa yang Kau Cari Palupi (1967) karya Asrul Sani. 

Film ini lahir lewat serangkaian proteksi dan usaha keras melahirkan film-film bermutu. Menurut Dr. Umar Kayam, Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF) di zaman itu, caranya adalah dengan membuka lebar-lebar keran film impor. Jumlah film asing pernah 700 judul setahun. Tapi tiap judul tak boleh melebihi dua kopi. Kayam menarik Rp 250 ribu dari tiap judul film impor, untuk dana produksi dan rehabilitasi film nasional. Ada Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), dengan arggota, antara lain, Asrul Sani. "Dengan dana dari importir, lalu dibentuk tim untuk menentukan sutradara, penulis skenario dan bintang filmnya," kata Kayam. Dan lahirlah Apa yang Kau Cari Palupi, film terbaik FFI 1970 yang tak mampu mengembalikan modal Rp 30 juta. Tapi Bernapas dalam Lumpur (1967) karya Turino Djunaedi atau Nyi Ronggeng (1967) karya Alam Surawijaya berhasil komersial. Belakangan, para importir film protes, menuduh ada pemborosan dalam pemakaian dana produksi tadi. 

Padahal, Dirjen RTF hanya memberi pinjaman modal kerja pada produser. Namun, "Tanpa bunga. Bahkan, kalau produser rugi, mereka tak usah mengembalikan modal. Itu memang risiko. Yang penting, kita telah bikin film bermutu," kata Kayam, profesor doktor sosiologi yang kini mengajar di Pascasarjana UGM. Ketika Boediardjo menggantikan B.M. Diah pada tahun 1968, dana produksi tetap dipungut. Dana dihimpun oleh sebuah yayasan film, untuk biaya produksi film nasional. Lahirlah film silat yang lumayan, Si Jampang Mencari Naga Hitam karya sutradara Lilik Sudjio. Belakangan, DPFN dibubarkan. Boediardjo juga membentuk Badan Koordinasi Importir Film (BKIF) untuk menangkis persaingan tak sehat di antara sesama importir film. Kenyataannya, BKIF ini disinyalir banyak menarik pungli dari para importir. 

Sewaktu Mashuri menjabat menteri penerangan, BKIF dibubarkan. Film nasional dapat proteksi hebat lewat "Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri" pada 1975. Bioskop diwajibkan memutar minimal dua judul sebulan. Untuk mengatur distribusi, tahun itu juga dibentuk PT Perfin. Setahun kemudian, dibentuk empat konsorsium importir film (KIF). Kuota film asing dipatok: 350 judul setahun. Importir juga digiring untuk membuat film nasional. Dari satu judul film nasional yang diproduksi, importir dapat jatah impor tiga film asing. Yang tak memproduksi wajib membeli tiga sertifikat dengan nilai masing-masing Rp 3 juta, untuk mendapat izin mendatangkan satu judul film impor. Produksi pun melonjak. Pada tahun 1977, tercatat ada 135 judul film nasional dengan kualitas amburadul. Menteri Ali Moertopo yang datang kemudian mengubah KIF menjadi Asosiasi Importir Film (AIF). Kuota film asing dipangkas lagi, tinggal 260 judul termasuk 25 film anak-anak. Setiap judul dikenai Rp 3 juta untuk sertifikat produksi film nasional. Jumlah itu menciut jadi hanya 200 judul ketika Menteri Penerangan Harmoko naik pentas. Dana produksi film nasional tetap ditarik dari importir Rp 3 juta untuk tiap enam kopi pertama dan Rp 1 juta untuk tambahan maksimal sampai 12 kopi. Tahun ini, kuota film asing tinggal 160 judul. Departemen Penerangan, lewat Dewan Film Nasional (DFN), masih mengenakan pungutan Rp 3,5 juta untuk tiap enam kopi pertama, dan Rp 500 ribu untuk tiap 18 kopi tambahan. Bos Subentra Sudwikatmono menaksir, jumlah yang ditarik Deppen dari importir itu "milyaran" jumlahnya. "Dana itu bisa dipakai untuk menyuntik modal produser film nasional," kata bos Studio 21 itu. Tapi belum pernah terdengar ada film nasional yang dibuat dengan dana tadi. Jangan khawatir. "Uang itu terkumpul di Dewan Film Nasional. Sebagian besar di bank," ujar Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain. Dari bunganya saja, segala keperluan administrasi dan honor anggota DFN bisa ditanggulangi. Sebagian dana itu untuk membiayai kegiatan DFN, konon seperti pendidikan dan pelatihan orang film di luar negeri. Kalau selama ini tak ada film nasional yang dibiayai DFN, itu karena tak pernah ada proposal dari produser atau sutradara ke alamat DFN. "Kalau feasible, bisa diterima," kata Alex Leo. Nah, para produser dan sutradara, serbu saja. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Leila S. Chudori, dan Kastoyo Ramelan

Senin, 14 Februari 2011

FILM INDONESIA JALAN DITEMPAT, MAJU KAGAK, MUNDUR KAGAK.

Paling males menghadiri seminar film Indonesia, diskusi dan lainnya. Kenapa bisa begitu, dari dulu hingga sekarang cuma di omongi saja, tidak ada planning kerja yang harus di lakukan, Action...

Yah, namanya juga bincang, diskusi, dan obrolan, jadinya ya sebatas dialog saja, No Action...

Sebenarnya tidak ada perubahan yang terjadi pada film dahulu hingga saat ini 2009. Permasalahan yang dimunculkan saat ini adalah yang sudah terjadi berkali-kali dan dicoba mencari jalan keluarnya oleh dahulu. Lucu juga, ketika kita menghadapi masalah saat ini, kita kira kita yang berinisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut, sehingga kita bilang SEKARANG!!!, tetapi kenyataannya sudah terjadi dari dahulu, maka kalimat harus diganti, TELAT!!!

Ini mungkin juga yang dimaksud Pak Pram, kalau kita tidak paham akan sejarah, maka kita akan tersesat, tersesat juga dalam hal pemikiran dan penemuan. Kita kira kita yang menemukan, tetapi jauh dahulu kala sudah ada, kita telat memahaminya, ternyata dahulu sudah terjadi.

Lucunya lagi, sewaktu hut KFT 2008 saya hadir. Di podium saya lihat kok semua yang menjadi juru bicara, moderator dan sebagainya adalah teman-teman saya (golongan muda). Saya langsung sedikit kecewa. Lalu mereka menjelaskan perfilman nasional dari dulu hingga sekarang dan permasalahannya (Bukannya ini lebih bagus kita dengan dari orang dulu yang hadir saat itu?). Dan ketika dilakukan tanya jawab, seorang pembuat film lama berkata "Saya pembuat film dari tahun dulu, sampai sekarang ini, setiap tahun pertemuan hut KFT, kok yang dibahas itu-itu saja. Saya tidak menemukan perubahan sedikit pun dari persoalan dulu."

Lucu juga bapak itu, tiap tahun dari pertama ia ikut KFT sampai 2008, yang dibahas itu-itu saja, dan tidak ada kemajuan. Mungkin bapak itu hafal betul apa yang di seminarkan....hahahhaha. ..saya tertawa dan pahit juga memang masalah ini. Yang muda juga enggak mau lihat ke belakang, maunya lihat ke depan terus. Yang tua sudah memberikan jalan, tetapi lagi-lagi yang muda terus dengan fakam, relnya sendiri, tanpa melihat ke belakang sekalipun.

Inilah persoalah dari dulu hingga 2009 masih tetap saja. Tenologi sudah maju, pasar global sudah masuk diambang pintu, tapi kita tidak paham apa permasalahannya.

BATAWOOD (BATAVIA adalah Kota Film Indonesia)

 
Oesia peroesahaan film Indonesia masih sanget moeda, tetapi di bandingken hasil dan perkembangan'nja ini ada satoe hal jang baek.

Batavia adalah kota film Indonesia jang oetama, hingga sekarang ada djoeloekan „Batawood” sedari 5 taon kebelakang sebage poesat'nja peroesahaan film.

Sekarang kita soedah mempoenjai:
• „Standar film Co”;
• „Star film Co”;
• „Populair Co”;
• „Tan film Co”;
• „Orient film Co”;
• „Union film Co;
• „The New Java Industrial Film Co.

Ini semoea peroesahaan berkoempoel di „Batawood”, dengen mengasih pengharepan bakalan bertambah lagi.

Toean Njoo Cheong Seng, itoe pengarang jang terkenal, jang telah berpengalaman dalem komedie bangsawan dan film, sekarang soedah bekerdja boeat satoe peroesahaan film di Malang jang mempoenjai finacier koewat. Itoe peroesahaan bernama „Majestic Film  Co”, meski dalem pekerdja’an'nja ada di Batavia dengen menoempang tempat pada The new Java Industrial Film ( J.I.F ) jang selaen'nja JIF djoega poenja doea afdeeling laen jalah „Action Film” dan „Jacatra Film”.

Di Pekalongan ada „Tropical Film Co”. Roepa²nja Medan, Bandoeng dan beberapa tempat laen sedeng pikir² boeat diriken peroesahaan film.

Film di bikin.
Pada bab ini saja aken kasih laloe, kerna dirasa pemboeatan film ditaon-taon itoe ada masih sanget standart dan sederhana, beda djaoeh di djaman kini (2007) soedah sanget madjoe dan tida loepaken basic²nja, agar pembatja tida merasa djemoe, sebalik'nja boeat saja tida tjapeken tangan oentoek ketik apa².

Actrices, acteur dan pengarang.
Pengemar² film Indonesia barangkali soedah tida asing lagi pada nama Roekiah, Fifi Young. Mereka boleh djadi ada actrice pertama jang mendjadi populair dan sampe sekarang masih teroes disoeka oleh publiek.

Miss Dja teritoeng actrice jang pande, tjoema sajang sekali sekarang ia berada di loear Indonesia dan tida seorang taoe kapan ia kombali. Djika ia ada di Batavia boleh djadi ia lekas mendjadi favoriet publiek djoega dalem film ini ada pendapetan'nja Andjar Asmara.

Selaen mereka kita kenal Ratna Asmara, Hadidja, Elly Joenara, Dhalia, Asmana, Wolly Soetina dan Amalia. Tapi baroe² ini Njoo Cheong Seng dari Majestic film telah ketemoeken doea talent dari kalangan intellect, mereka ada Anggraini dan Ariati. Tentoe sadja masih banjak lagi actrices laen'nja diantara'nja mereka ada toekang menjanji, seperti Annie Landow, Eulis Zoebaeda, Ijem dan laen-laen.

Tan Tjeng Bok, Kartolo, M. Mochtar, Bisoe, Poniman, Soerjono, Ali Yugo, Primo Oesman dan banjak lagi. Mereka ada kita poenja acteur.

Pengarang² jang sekarang bekerdja di doenia film ada Njoo Cheong Seng, Tan Tjoei Hok, Ong Ping Lok, Andjar Asmara, Saeroen, Suska, Inoe perbatasari, Arifin dan barangkali banjak poela.

Film² jang soedah dan bakal di pertoendjoeken.
Oleh The Union Film Co, sedari dibediriken April 1940, soedah mempertoendjoeken 5 film „Kedok Ketawa; Harta Berdarah; Bajar Dengen Djiwa; Asmara Moerni; Wanita dan Satria”. Menoeroet toean Tjoa Ma Tjoen, dalem ini 3 boelan bakal dibikin doea film jang djoedoel dan tjerita'nja ia belon bisa kasih taoe.

Star Film Coy, soedah pertoendjoekan „Pa Wongso” dan soedah sediaken „Tjioeng Wanara”. Sedengken Oriental Film Coy soedah pertoendjoekan „Panggilan Dara”.

J.I.F. soedah klaar dengen ia poenja „Kartinah” sedeng jang baroe di kerdjaken ada „Sigomar” dan „Singa Laoet”. Tan film Coy bakal soegoehken „Poesaka Pendeman”, Standar Film Coy ada poenja „Siti Noerbaja”, setelah ia meneroesken soekses dari „Ikan Doejoeng”.

Sementara itoe Majestic Film Coy sedeng sediaken „Djantoeng Hati”, ini film ada teritoeng satoe musical film jang menarik hati dengen 30 personel pendoekoeng'nja.

The New Java Industrial Film, jang doeloe'nja soeka membikin film² dari tjerita² koeno dari dongenan Tiongkok jang kini telah mempoenjai tiga „Anak” (Majestic, Action dan Jacatra film) ada satoe peroesahaan film di Batavia jang paling banjak bikin film dan di ramalken bakal mendjadi peroesahaan jang paling besar dari doenia film di Indonesia.

Boeat dapet taoe film mana jang paling succes, ini ada paling soekar, kerna itoe semoea moesti diserahken pada publiek jang telah menjaksiken.

Djoeroesan Perhatian.
100% dari peroesahaan film Indonesia berada pada producant Tionghoa, tapi seantero'nja film² dibikin menoeroet tjerita² jang menoetoerken penghidoepan Indonesier. Pengarang² seperti Njoo Cheong Seng dan laen'nja, belon berani tjiptaken tjerita² dari masjarakat peranakan Tionghoa oepama'nja. Kerna producent tentoe tida maoe menanggoeng risico. Satoe peroesahaan ada memikirin hasil dan keoentoengan'nja, idealisme tentoe'nja ada djoeroesan jang laen.

Biarpoen pengarang² Tionghoa merasa ada sanget berani mengkritik kalangan'nja, toch kali ini ia sanget ati² bikin tjerita² jang mengenaken masjarakat Indonesier.

Waloepoen film di pandang poenja pengaroeh sanget besar (dimana kita inget doeloe sewaktoe model cowboy diperkenalken oleh Hollywood, banjak pemoeda jang tiroe² itoe model pakean'nja), sampe² achli pendidikan sebage Ki Hadjar Dewantara dan banjak pemoeka² Indonesier telah toeroet bikin artikel² dalem toelisan, pendek'nja semoea mata sekarang tertoedjoe pada doenia film Indonesia jang tentoe ia orang ingin film aken mendjadi alat dari toedjoean'nja. Maka soedah terasa bahwa film itoe bisa mendjadi alat jang lebih penting dari pada maksoed producent jang tjoema sekedar tjari keoentoengan semata.

Emposan² dan andjoeran² soemanget itoe, sekarang masih belon ketrima dan ditoeroet, sebalik'nja producent lebih pasang mata dan boeka koeping pada kesoekaan rakjat jang banjak sadja, dan otomatis kantong aken padet.

Satoe speculatie dengen risico, producent film masih belon berani. Hingga boekan hal jang aneh, meskipoen peroesahaan film 100% ditangan orang Tionghoa, belon ada satoe film jang menoetoerken tjerita dari kaoem Hoakiao di sini. Kerna pasar film ada di seloeroeh Indonesia dan tjoema paling djaoeh ke Singapore. Maka producent koewatir film'nja tida dapet koendjoengan penonton.

Film boeat idealisme masih moesti di toenggoe!!!!

DARI TONIL KE FILM HINGGA CIKAL BAKAL PPFI

Balink dan Wong diajak menggunakan resep "tonil'. Dalam belasan tahun para penonton tonil tersebut telah memberikan kuntungan tidak kecil, sehingga panggung-panggung sandiwara dan para pemainnya dapat hidup makmur dengan penghasilan yang menggirahkan. Dan hasilnya adalah merupakan "panen' besar yang dimulai tahun 1940 dengan menggunakan resep Terang Bulan tersebut. Dari sanalah lahir bintang cemerlang Rukiah dan Raden Mochtar. 

Sayangnya ANIF dengan tokohnya Balink tidak menerusken pembuatan film cerita, karena tidak sejalan dengan policy ANIF. Maka musim panen selanjutnya banyak Pembuatan film Terang Bulan karya Albert Balink dan Wong bersaudara, tepat sepuluh tahun kemudian setelah film cerita mulai dibuat temyata cukup menarik perhatian orang di negeri ini. 

Produksi Algemeene Nederland lndische Film Syndicat (ANIF) itu ketika beredar di tahun 1982. telah menarik perhatian penonton begitu hebat. Bahkan konon dalam peredarannya di Malaya waktu itu dalam waktu singkat telah berhasil mengeruk keuntungan St.$.200.000,-. 

Hal ini telah membuka mata orang-orang film lainnya yang sebelumnya meraba-raba, apa yang harus dilakukan untuk mencapai penonton. Atas anjuran wartawan Saerun yang menjadi penasehatnya, kemudian dinikmati oleh golongan Tionghoa. Selain Wong bersaudara yang unggul dalam pengetahuan dan Pengalaman serta memiliki Rukiah dan Rd. Mochtar, yang lainnya adalah Tionghoa peranakan yang lebih sigap dalam berlomba memboyongi orang- orang tonil. Yang terunggul dalam perlombaan ini adalah The Teng Chun yang mendirikan Java Industrial Film (JlD). 

The Teng Chun yang telah menerjuni dunia film sejak 1931 terus berusaha meningkatkan sarana tehnis. Dengan berprinsip bahwa film merupakan "industri' sejak tahun 1935 ia telah berhasil memperbesar studionya dengan mengerahkan orang- orang tonil dan Dardanella.

Dimulai dengan menarik dedengkotnya Andjar Asmara. Sehingga dengan peningkatan itu dari 45 produksi yang dihasilkan lndonesia dalam tahun 1940 - 1941 sepertiganya adalah adalah hasil JlF. 

The Long March


Suasana pejuangan kemerdekaan yang menghangat telah mendorong pula naluri cinta dari bangsa ini kepada hasil bangsanya sendiri, termasuk film. Tokoh peqerakan Dr. Adnan K. Gani pun terpanggil untuk ikut main film, demi untuk mengangkat harkat pemain film di mata kalangan terpelajar yang merasa kurang senang dengan latar belakang "anak-anak wayang". 

Langkah A. K. Gani ini mendapat kecaman keras, bahkan dituduh mencemari kesucian Per- juangan. Tapi usaha pemuda-pemudi pejuang itu telah membantu semakin lajunya produksi film. Konsekwensinya kemudian, kalangan terpelajar yang semakin kritis banyak menuntut film yang lebih baik. Maka cerita film kita pun mulai berkisar di kalangan atas, terpelajar, keluarga bertitel, atau tentang mahasiswa. 

Bagi penonton kalangan bawah, film yang serba tinggi" ini terasa asing. Sedang kalangan terpelajar semakin tajam menilainya. Pekerja film jadi terhimpit oleh dua lapisan ini. Cerita tonil karya baru yang termasuk top adalah Dr. Samsl atau Gagak Solo. 

Percobaan untuk membuat film agak berbobot misalnya Siti Nurbaya dan Melati van Agam karya Parada Herahap, jadinya malah kalang kabut. Tidak menarik lagi kalangan atas maupun kalangan bawah. Maka tak ada jalan lain, para pembuat film berputar arah, menuju ke penonton bawahan saja. 

Mulailah bermunculan film-film yang ceritanya diambil dari cerita-oerita tonil, berupa cerita 1001 malam dan lain-lain. Kedatangan Jepang telah menghentikan pembuatan film film dinegeri ini. 

Orang-orang film banyak yang hijrah ke tonil kembali. Satu-satunya peruahaan film yang ada hanya milik Jepang Nippon Eiga Sha, yang menjadikan film sebagai alat propaganda. Tapi di sini berpangkal sentuhan baru, bahwa kenyataannya film bukan cuma alat hiburan semata, melainkan juga menjadi alat pengucapan ide yang penting. Maka pada masa itulah tiba- tiba muncul perhatian besar dari kalangan seniman kita terhadap film. 

Di Jogya para seniman muda seperti Usmar Ismail, Gayus Siagian dan D. Djajakusuma membentuk ketompok diskusi film bersama tokoh-tokoh tua yang ada pengalaman film. Bahkan kemudian dibentuk sekolah film yang mendapat animo cukup besar. tapi beberapa bulan saja kemudian ditutup karena keadaan yang rusuh.



Setelah keadaan keamanan pulih kembati, bangkil kembati perusahaan-perusahaan fitm milik oreng- orang Tionghoa. Bahkan produser pribumi dengan modal sendiri yang sangat terbatas ikut tampil, yakni Usmar lsmail dengan perusahaannya PERFINI (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dan Djamatudin Malik dengan perusahaannya PERSARI (Perusahaan Artis Film Indonesia). Usmar yang lebih mengandalkan modal utama bakat dan kemauan dalam serba bagai kesulitan berhasil melahirkan filmnya pertama Darah dan Doa (The Long March) pada tahun 1950. Film inilah yang menandai dibuatnya film nasional pertama dengan menggunakan modal pribumi, dan dengan tema yang murni memperlihatkan perjuangan nasional. Film yang shooting pertamanya pada 30 Maret 1950 itu, kini dicatat dan disepakati orang-orang film sebagai hari film nasional. 

Usmar berharap film pertama yang dibuatnya itu dapat ikut dalam Festival Film lntemasional di Cannes. Hasil perdananya tidak mengecewakan, karena nasionalisme yang sedarg meluap ikut ambil peranan dalam menanggapi usaha bangsa sendiri ini.

KELAHIRAN PPFI

PPFI
(PERSATUAN PERUSAHAAN FILM INDONESIA)


Produksi film kita melonjak terus, dari 24 film pada tahun 1950 meningkat menjadi 40 dalam tahun berikutnya. Orang-orang sandiwara kembali terpanggil, disamping orang- orang daerah yang mulai terboyong ke ibu kota. Tapi tingkat pengetahuan orang-orang sandiwara yang masih seperti dulu-dulu dan orang-orang baru masih dalam tingkat belajar, membuat hasil film mulai mengendor lagi mutunya. 

Tahun 1952 mulai terlontar kejengkelan masyarakat melihat film Indonesia. Karena dianggap tidak berkembang, merasa seperti dulu-dulu di jaman sebelum perang. Pers Yang berkembang pesat mulai meng- gencarkan kritik-kritik tajam kepada film nasional. Keadaan yang membingung- kan itu membuat orang-orang film kembali putar haluan, membuat film untuk kalangan bawah. Maka bermunculan kembali jenis-jenis film cerita 1001 malam. Para pembuat film yang idealis jadi terhimpit. Kesungguhan mereka membuat film yang baik dengan biaya Rp. 300,000,- disaingi oleh film-film buatan produser Cina yang ngebut dengan separohnya. Film-film murahan ini dalam peredarannya pun berhasil menekan har- ga. 

Keadaan yang sangat buruk ini, lebih diperburuk lagi dengan membanjirnya film-film impor dari Filipina, Malaya, dan India. 

Film-film impor ini lama-kelamaan berhasil menguasai seluruh pasaran, sehingga film nasional hampir-hampir tidak kebagian jadwal pemutaran lagi. Saat itu tempat untuk mengadu tidak ada. Satu-satunya organ pemerintah Yang ada hubungan dengan film hanyalah Badan Sensor Film. 

Konggres Kebudayaan ll tahun 1951 berhasil menggerakkan pemerintah memindahkan Badan sensor dan Kementrian Dalam Negeri ke Kementrian PP&K. Kemudian Dr' Huyung (Enatsu Heitaro) sutradara Antara Bumi dan Langgt yang di-band sensor karena karena ada adegan ciumannya, menyerukan perlunya dibentuk undang-undang perfilman. Tapi tidak ditanggapi. Maka pada detik yang menentukan itulah Djamaludin Malik dan Usmar Usmail mengambil langkah yang lebih kongkrit pada tahun 1954: mendirikan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Dengan organisasi PPFI inilah perjuangan menjadi lebih kuat. 

Walikota Jakarta Soediro berhasil diyakinkan untuk mengeluarkan peraturan "Wajib putar film Indonesia kelas 1". Kemudian Kementrian Perdagangan berhasil pula diminta untuk membendung arus masuknya film impor, dengan mengadakan pengurangan quota impor. Tapi peraturan wajib putar ini pelaksanannya tidak seperti diharapkan. Selain hambatan-hambatan yang dilakukan oleh pihak bioskop, juga banyak film nasional yang lebih cocok diputar di bioskop kelas ll. 

Dan sementara itu film India yang jumlahnya ratusan, merupakan momok yang menghantui film nasional. Semula orang hanya merisaukan film Filipina dan Malaysia, sehirqga perlu dilakukan pengurangan. Tapi temyata film India lebih dahsyat lagi. Jumlahnya yang jauh melebihi bioskop-bioskop kelas ll yang menjadi pasaran utama film nasional. 

Perjuarqran PPFl terus ditingkatkan, ditunjang oleh para artis dan para karyawan film. Akhimya Menteri Perekonomian setuju untuk menurunkan qude impor film lndia. Tapi walau janji telah keluar, peraturan pelaksanaanya baru 6 bulan kemudian dikeluarkan. Sehingga jangka waktu itu sempat digunakan orang untuk berlomba rnendatangkan film India sebanyak-banyaknya. 

Pada saat peraturan itu keluar. kira-kira ada sekitar 400 film India yang diperkirakan bisa mernenuhi bioskop kelas ll selama 3 tahun. Sementara itu dalam tahun 1956 ada sekilar 50 film Indonesia yang tertumpuk di gudang tidak memperoleh jadwal pemutaran di bioskop-bioskop.

GERAKAN TUTUP STUDIO

Kalau melihat grafik produksi, memang sejak 1948 memperlihatkan garis yang meningkat. Tapi tubuh industri ini tidak sehat. Karena produksi film sejak 1952 dihasilkan oleh produser freelance, yang membuat satu dua film lalu berhenti. Yang banyak bikin film secara kontinu adalah produser yang memiliki studio, yang 5 diantara 7 studio yang ada dimiliki golongan Tionghoa yang lebih banyak membuat film "komedian' sehingga lebih merusak image pe- nonton. 

Tertumpuknya film nasional di gudang, juga merupakan akibat dari keadaan ini. Dewan Film yang dibentuk oleh Menteri PPK berusaha mendengungkan kembali seruan wajib putar film nasional. Tapi seruan ini tidak membawa perbaikan yang memadai. Situasi yang memburuk pada tahun 1956 itu telah mendorong wartawan-wartaan film membentuk organisasi. Maka lahirlah Persatuan Pers Film Indonesia (PERPEF|) yang mulai mempunyai garis tujuan lebih nyata. Para artis dan pekerja film pun mendirikan PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) yang dipimpin oleh Soeryo Soemanto. Dengan munculnya dua teman perjuangan ini, PPFI kemudian memperjelas kedudukannya sebagai badan hukum, yang dikuatkan di hadapan notaris. Jalan lain yang PPFI untuk memperluas pemasaran ke Malaya dengan sistem konsinasi, dengan pembagian keuntungan 650/o untuk pemilik film dan 35o/o untuk pengedar di Malaya. 

Tapi usaha ini temyata sulit untuk mengontrolnya. Sampai pada awal tahun 1957 PPFI tidak melihat jalan keluar lagi. Karena peratuaran impor tetap membuat harga film impor jauh lebih murah dari dari pada ongkos produksi film nasional.(kira-kira sepertiga)' Di samping itu Penurunan quota impor tidak disertai peraturan "screen time quota", sehingga walaupun jumlah film impor berkurang tapi film -film tersebut tetap memenuhi bioskop karena diputar dalam waktu Yang lama. Sementara itu, ekspor film ke luar negeri tetap tidak menarik karena tanpa insentif berupa premi ekspor. Terbantu oleh situasi yang kian memburuk itu, akhirnya PPFI mengambil langkah Yang tidak disangka sebelumnya. Yaitu tindakan serentak menutup semua studio film pada 19 Maret 1957. Tindakan tersebut ternyata tidak ringan konsekwensinya. Bukan saja menghadapi Pihak Pemerintah yang terus mendesak agar studio- studio tersebut dibuka kembali. Tapi juga menghadapi serangan-serangan gencar dari Pihak PKI dan antek- inteknya. 

Mereka mempersalahkan tuntutan untuk mengurangi film India, dengan mengkambing hitamkan film Amerika yang jumlahnya lebih besar. Padahal film Amerika Yang kebanyakan diputar dibioskoP kelas I sama sekali tidak menggangu film nasional. Sedangkan film India langsung merebut Pasaran film nasionaldi bioskop kelas ll.

Gerakan PPFI dengan penutupan studio ini temyata telah membuka mata Pemerintah. Setelah melalui berbagai perundingan, maka pada 26 April 1957 PPFI mengumumkan membuka kembali studio-studio anggotanya, setelah menerima janji-janji perbaikan dari pemerintah. Meskipun hanya berlangsung kurang 2 bulan gerakan PPFI tersebut, namun ketika orang-orang film mulai bergerak lagi keadaan perfilman kita sudah parah. Djamaludin Malik masuk tahanan. Kepercayaan pemilik modal menghilang. Orang-orang film mengalami ketegangan. Dalam suasana demikian, untunglah Usmar lsmail bangkit dan menghasilkan film Tiga Dara. Film ini telah menggugah kembali kepercayaan masyarakat kepada film lndonesia. Tapi sementara itu grafik produksi turun dengan dahsyat.

Penpres l/1964

Mulai terlembaga pelaksanaanya pada tahun 1966 sejak saat resmi berdirinya Direktorat Film. 

Setahun kemudian (1967) Direktorat Film bersama PWI Jaya mengajak tokoh-tokoh perfilman berseminar dalam kegiatan yang diberi nama Pekan Afisiasi Film NasionaL Pekan Apresiasi ini sudah mirip dengan festival film, yang berusaha membangkitkan kembali perhatian dan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia. Dasar-dasar pikiran yang tertuang dalam Pekan Apresiasi tersebut agaknya merupakan saham penting untuk lahirnya SK Menpen no. 17 tertanggal 15 Desember 1967. 
 
Surat keputusan ini bertujuan memanfaatkan impor film untuk kepentingan produksi dan rehabilitasi perfilman nasional. Dengan jalan mewajibkan tiap importir memberikan saham produksi sebesar Rp. 250.000,- untuk tiap film yang diimpor. 

Pelaksanaan penggunaen dana tersebut diatur oleh Dewan Produksi Film Nasional (DPFN). Kebijakan DPFN bermula dengan memberikan 'saham roduksi" kepada film-film yang dianggap berbobot. Makin baik film dibuat makin banyak memperoleh "saham produksi' tersebut. Tindakan ini untuk merangsang pembuatan film yang baik. Tapi mengingat kebutuhan para produser adalah modal untuk start, maka kebijaksanaan dialihkan berupa pemberian kredit sebesar Rp. 75 juta - yaitu setengah dari biaya produksi kala itu. Dengan bantuan itu kegairahan produksi meningkat. Disamping adanya rangsangan yang diberikan pemerintah DKI Jaya, yang sejak Juli 196E mengembalil

Rabu, 02 Februari 2011

MENGHITUNG JUMLAH PENONTON MELALUI PAJAK

Menghitung Jumlah Penonton Melalui Pajak

27 November 1971 

Gelombang menurun penonton film ... 
MENTJARI data jang pasti tentang suatu hal masih merupakan kerdja di Indonesia. Untuk mengetahui berapa banjak orang jang mengundjungi suatu pemutaan film Indonesia jang berlangsung selama beberapa hari disuatu bioskop, misalnja, memerlukan waktu jang lama dam tenaga fang tjukup lumajan. Satu-satunja, sumber jang paling dekat dari data matjam itu hanjalah kantor Dinas Padjak & Pendapatan bagian padjak tontonan DO Djakarta. Di sanapun jang ada tjuma djundah padjak jang dimasukkan dari tiap film, nasional. Dari sekian persen padjak itulah ditjoba menghitung pemasukan seluruhnja untuk kemudian dibagi dengan rata-rata harga kartjis bioskop bioskop Djakarta. Meskipun hasilnja tentu tidak amat persis, tapi penjimpangannja djuga tidak terlalu djauh. Dan dengan menjusun urutan film-film tersebut berdasarkan urutan waktu pemutarannja, reporter Yusril Djalinus jang mengerdjakan data itu achirnja sampai pada kesimpulan bahwa penonton-penonton Djakarta semakin lama memang semakin mendjauhi film-film Indonesia, meskipun pada film-film tertentu kelihatan djuga djumlah penonton jang banjak, seperti pada film Pengantin Remadjn dam Si Pitung misalnja. Hal ini nampaknja mendjadi perhatian djuga bagi kalangan Dinas Padjak. "Film Indonesia memang bertambah banjak, tapi padjak terus menurim. Habisnja, kebanjakan film dibikin asal djadi sadja", kata H.TB. Oesman, kepala bagian padjak tontonan DO kepada reporter TEMPO. Inilah data-data itu sampai dengan Oktober 1971. ***

================================================================ Nama Film Tanggal Djumlah ** mulai beredar penonton ================================================================
Si Pitung banteng Betawi 4 Djuni 1971 12.142 Si Buta dari gua hantu 5 Djuni 1971 45.769 Malam -Djahanam 12 Djuni 1971 124.229 Dibalik pintu dosa 24 Djuni 1971 47.909 Awan Djingga 7 Djuli 1971 68.446 Amanda 8 Djuli 1971 89.508 Pengantin Remadja ? 25.415 Romansa 21 Djuli 1971 50.249 Rakit 29 Djuli 1971 1.554 Tuan tanah Kedawung ? 8.153 Tiada maaf bagimu 25 September 1971 35.850 Kekasihku ibuku 10 Djuli 1970 128.999 Honey money and DF 1 Djanuari 1971 90.915 Si Bego menumpas kutjing hitam 2 Pebruari 1971 83.588 Insan Kesepian 11 Maret 1971 85.113 Bernafas Dalam Lumpur 25 Maret 1971 45.170 Dan bunga-bunga berguguran 27 Maret 1971 114.040 Hidup tjinta dan air mata 29 April 1971 98.100 Noda tak berampun 20 Mei 1971 25.266 Samiun dan Dasima 27 Mei 1971 80.696 ================================================================

Rabu, 12 Mei 2010

DAGANG FILM

Mengh
12 Maret 1977
Dagang film, dari kantor "bill ... "

PARA produser dikabarkan marah oleh kecaman juri Festival Film Indonesia 1977 pekan lalu. "Calon penonton golongan atas bisa kabur mendengar itu", kata seorang produser. Tapi benarkah bahwa pasaran film Indonesia ditentukan oleh pendapat juri festival tahunan? Mungkin tidak. Masalah pemasaran mungkin masalah kemampuan P.T. Perfin. PT Perfin didirikan tahun 1975 untuk melaksanakan SK 3 Menteri (Penerangan, P&K dan Dalam Negeri) yang memberi proteksi pada industri film nasional. Zulharmans, selama ini dikenal sebagai ketua PWI Jaya, diserahi tugas memimpin PT Perfin sejak hampir setahun lalu. Zul, demikian ia dipanggil, berkantor di komplex Blavatsky, Jl. Medan Merdeka Barat, Jakarta. Stafnya sedikit, tapi tantangannya berat. Sesekali Zul, sambil makan goreng paru, teringat pada masa jaya AMPAI, asosiasi perfilman Amerika di Indonesia.

Bill Palmer yang memimpin AMPAI nerpengaruh ketika itu, terutama di kalangan distributor film dan pemilik bioskop. Sejak ia diganyang tahun 1964, zaman konfrontasi, belum ada organisasi distribusi film lain di negeri ini yang begitu disegani, bahkan sangat didengar, seperti AMPAI. Dengan SK 3 Menteri, jika tidak dicabut, PT Perfin akan bisa juga tampil sebagai distributor besar di bidang perfilman nasional. Setidaknya itulah kemauan Zul. Buat sementara, sudah ada terdengar julukan (terutama dari golongan anti-Perfin) terhadapnya sebagai Bill Palmer kecil. Bahwa ia sudah mulai didengar, terbukti dari kepatuhan semua bioskop di DKI (136 jumlahnya), Jawa Timur (133) dan Sulawesi Selatan (39) memutar produksi nasional. Sesungguhnya wajib-putar itu berlaku untuk seluruh Indonesia. Tapi baru di tiga daerah itulah PT Perfin bisa bekerja. Bahwa ia belum disegani, terbukti dari kesulitan yang sukar diatasinya untuk memperluas jaringan pemasarannya ke propinsi lain. Pasar "gemuk" yang sekarang diincernya ialah Sumatera Utara. Tapi tidaklah gampang baginya membuka cabang di Medan jika tanpa kerjasama Pemerintah Daerah. Jika tahun ini juga berhasil PT Perfin memasuki Medan dan kota besar lainnya seperti Bandung, Semarang dan Yogyakarta, Zul memang membuktikan kebolehannya. Sesudah cabang dibuka, belumlah jaminan bagi PT Perfin akan bisa memonopoli pasaran setempat.


Di DKI sekalipun, misalnya, belum semua produser melepas film mereka melalui PT Perfin. PT Sinabung Film, PT Safari Sinar Sakti dan PT Alam Siwa - cuma inilah yang terpegang 100% oleh PT Perfin di DKI. Produser lainnya, seperti PT Sarinande ((anasnya Nafsu), PT Sinar Indonesia Medan (Penghuni Bangunan Tua), PT Dipa Jaya (Jinak-jinak Merpati), PT Madu Segara Film (Karmila) dan PT Sugar Indah Film (Rahasia Perawan) mengedarkan via flatter, semacam cukong perantara. Namun, PT Perfin tetap menyediakan jasanya supaya produk mereka terkena wajib-putar. Di Ujungpandang, juga dijumpai banyak film nasional yang beredar dari flatter maupun booker, bukan distributor Perfin. Padahal PT Perfin sudah punya cabang di kota itu, dan karena itu pula ia tetap memungut uang jasa 5% berhubung wajib-putar dan jadwal bioskop diaturnya. Pungutan 570 itu merupakan pajak tambahan, tentu saja, yang tampaknya akan berlaku di mana pun ia bercabang. Selama FFI 1977 yang berakhir minggu lalu, ada suara dari Ujungpandang yang tidak gembira terhadap pajak Perfin itu. Kehadiran PT Perfln dirasakan perlu terutama sekali bila di tempat itu penggemar film nasional sedikit. Ternyata di Ujungpandang, film nasional sudah bisa laris walaupun tanpa wajib-putar. Bahkan di kota itu sudah ada bioskop mengkhususkan diri untuk film nasional. Di Surabaya, penggemar film nasional juga sudah meningkat.

Karmila, misalnya, di kota itu bisa bertahan lebih dari satu minggu di lima bioskop kelas atas, dengan rata-rata 10.000 penonton. Film One Way Ticket yang dibintangi si cantik Widyawati (ia dapat piala Citra untuk ini) bertahan sampai 5 hari-pemutaran dengan 5000 penonton. Tapi ini bukan berarti para pen,usaha bioskop di Surabaya sudah gembira selalu memutar film nasional. Sedikitnya ada 70 film nasional, berasal produksi 1973, 1974 dan 1975 yang ditolak bioskop Surabaya. Walaupun sudah ada PT Perfin di sana, pengusaha bioskop ternyata tidak bisa dipaksa, juga filmnya memang jelek. Menurut catatan Moedjimun, Ketua GPBSI Jawa Timur, dari sekitar 40 judul film nasional yang beredar sejak PT Perfin berdiri, cuma 9 buah yang "lumayan" hasilnya. Malah kata Sofyan Ali, direktur bioskop Mitra, sebuah film pernah cuma ditonton oleh sembilan orang, di gedung yang berkapasitas 900 kursi itu. "Termasuk dua di antaranya nonton pakai tanda bebas masuk". Mungkin mutunya payah. Jadi? "Kami mengharapkan agar produser membuat film yang berbobot", kata Suwono, wakil PT Perrm di Jawa Timur. 

Berbobot atau tidak, bagi banyak pengusaha bioskop bukanlah soal utama. Dengan berbobot saja, belum tentu karcis terjual.

Ini bisa dilihat dari pengalaman dua bioskop yang berdekatan Wira dan Viva--di Tebet, Jakarta Selatan. Wira biasanya dikunjungi penggemar film nasional. Selalu penuh. Viva jarang memutar film nasional, sedang pengunjungnya dianggap golongan atas. Ketika Viva menghidangkan film nasional, bioskop itu sepi. Dipasangnya pula harga karcis sama dengan Wira ketika film nasional diputar, tapi Viva tetap tak berhasil menyedot penonton dari Wira. Ini menyangkut Citra sesuatu bioskop. Benyamin Tukang Ngibul, pernah dikritik sebagai film konyol, tapi bioskop tertentu ramai dibuatnya. Ini menyangkut selera masyarakat, yang jadi landasan policy kaum pengusaha. Berkata John Tjasmadi, sekjen GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia), dalam suatu wawancara: "Kalau daerahnya memang daerah Cina, maka ke sana akan kita lempar film Mandarin.

Tapi kalau suatu daerah di mana masyarakat penontonnya adalah penggemar film nasional, ke sana kita kirim film nasional. Dalam hal ini kita tinggal menjaga variasi thema cerita, agar penonton di suatu daerah tidak jenuh, dan pengunjung bioskop ada terus". Wajib-putar oleh PT Perfin akan sering konflik dengan "peta selera masyarakat" dari GPBSI, terutama yang menyangkut bioskop kelas A. Bagi produser, pemutaran filmnya di kelas A itu penting sekali, suatu prestise. Dalam hal ini PT Perfin jelas melindungi kepentingan produser. Direktur Zulharmans mengatakan dia berusaha agar pengusaha kelas A tidak dirugikan benar. Misalnya, jadwal Perfin diatur sedemikian rupa hingga film nasional tidak diputar bersamaan pada bioskop yang berdekatan. Tetapi tidak ada anggota kelas A yang bisa menghindarkan wajib-putar 2 judul tiap bulan. 

Keduanya itu harus berlangsung masing-masing pada akhir pekan. Minimal 2 hari, mulai Kamis dan Jum'at. "Film nasional sekarang mempunyai hari pekan, sama dengan kaum tani di pedalaman yang pergi ke pasar pada hari-hari pekan", kata Zul. Suka atau tidak, l.k. 50 bioskop kelas A di DKI saja mulai Mei s/d Desember '76 sudah menarik 1,7 juta penonton film nasional.

Bandingkan, tahun 1972 cuma 15,1 juta penonton film nasional di seluruh Indonesia (lihat grafik). PT Perfin mencatat lima judul film yang terbesar meraih penonton DKI di kelas A, masing-masing: Ateng Sok Tahu (220.000), Karmila (2 13.000), Kampus siru (168.000), Cinta (117.000) dan Si Doel Anak Modern (103.000). Kelima itu berhasil melampaui 2 hari wajib, menggembirakan bagi pengusaha bioskop. Maka "peta selera" itu sesungguhnya bisa berobah dari waktu ke waktu. Suatu film nasional berbobot yang dulu, sebutlah 3 tahun lalu, bertahan 2 hari di kelas A, sekarang bisa 4 hari atau lebih lama. Group Jakarta (Jakarta Theater Menteng dan International) memutar Kampus Biru selama seminggu (23.624 penonton). Jika film itu diputar 3 tahun lalu di Group Jakarta, menurut pengamatan seorang produser, mungkin ia bertahan 2 hari saja. Perobahan selera ini juga terasa di Bandung, membuat harga film nasional naik. Mujiarto, pengusaha bioskop di Bandung yang mempunyai jalur sampai ke Sumedang, Tasikmalaya dan Garut, malah menyebut harganya sudah "gilagilaan". Kalau PT Perfin mau hadir di Bandung, kata Mujiarto pada Syarief Hidayat dari TEMPO, cukuplah ia berfungsi sebagai pengendali harga saja, tidak perlu sebagai distributor. "Tanpa Perfin (di Bandung), film nasional sudah berjalan baik".

Adanya pembatasan impor film tampaknya membantu membangkitkan apresiasi pengusaha bioskop terhadap produk nasional. Tahun ini pemerintah memberi quota impor untuk 200 judul film saja, dibanding 300 pada tahun 1976 dan 400 selama 1975. Quota ini cenderung menurun terus. Melalui empat konsorsium, pelaksanaan impor film pun makin tertib. Dirjen Radio, Televisi & Film, Sumadi, mengatakan "tambang emas" sudah tidak dijumlpai lagi dalam impor film. Bagaimanapun film impor masih selalu menguntungkan. Ditaksir labanya mencapai hampir 60% dari seluruh biaya per judul pada tahun pertama dan sekitar 85% lagi pada tahun kedua. Karena melihat adanya keuntungan besar itu pula maka pemerintah mewajibkan perusahaan membuat 1 film nasional bila mengimpor 5 judul. 

Tetapi paket semacam itu telah tidak menciptakan iklim perfilman yang sehat. Kebanyakan film nasional yang jelek, menurut pengamatan PT Perfin, lahir dari paket itu. Kenapa? Umumnya dibuat asal jadi. Importir menetapkan biaya produksi serendah mungkin, katakanlah Rp 30 juta per judul dengan risiko rugi 10% saja. Sedangkan ia sedikitnya beruntung 100% per judul dari impor, misalnya seharga Rp 20 juta. Maka 5 judul impor bisa membawa rezeki Rp 100 juta. Apalah arti rugi 10% dari produksi Rp 30 juta. Paket itu bertujuan meningkatkan produksi, terutama setelah pemerintah melihat cuma 41 film nasional dibuat dalam tahun 1975, dibanding 77 pada tahun 1974. Tetapi apakah kwantitas yang diandalkan?

Kalau ini ditanyakan pada sutradara-produser Wim Umboh, yang ingin mengutamakan kwalitas, paket itu dianjurkannya supaya ditinjau kembali. Produksi berkwalitas sekarang paling sedikit menelan Rp 50 juta, tetapi ada kemungkinan beruntung 100%, terutama bila sukses di bioskop kelas A di DKI. Sebagai contoh, Ateng Sok Tahu ditaksir makan biaya Rp 45 juta. Ia memecahkan rekor dalam meraih penonton kelas A. Sebanyak 300% akan kembali uangnya, menurut taksiran PT Perfin. Bisnis film nasional sebenarnya makin cerah. Permintaan akan film baik meningkat terus. Dari impor belakangan ini jarang pula kelihatan film bermutu. "Harus segera direbut situasi sekarang", kata Wim Umboh. "Jika girah tetap (stabil), produksi 100 judul setahun bukan mustahil". Itu adalah sasaran produksi dari pemerintah, yang dianggap orang ramai sebagai sesuatu yang mustahil. 

Mustahil atau tidak, sutradara nasional yang berbobot sudah berharga Rp 7 juta per film. Jadwal mereka gampang terisi sepanjang tahun karena meningkat permintaan dari produser. Tetapi sutradara seperti Teguh Karya dan Syumanjaya, walaupun tancap gas, paling cepat bisa mengerjakan satu film dalam 4 bulan. Jika dikumpul 10 sutradara, mungkin akan ada maximum 30 produksi yang baik tahun ini. Nilai aktor maupun aktris, karena ada permintaan tinggi, pun bisa mencapai sekitar Rp 3,5 juta. Bintang muda seperti Roy Marten, menurut Wim Umboh, sekarang berani berkata pada produser supaya menunggu giliran.

"Kini produser meminta-minta", katanya. Investasi laboratorium oleh pengusaha dan tokoh perbankan Nyoohansiang di Ragunan, Jakarta Selatan, sebanyak Rp 590 juta kini tampaknya tak akan sia-sia. Ketika setahun lalu Lab itu siap untuk memproses film berwarna, disangsikan apakah cukup tersedia order pekerjaan. Kalau harus pergi ke Tokyo seperti biasa, produser akhirnya terkena ongkos sekitar Rp 11 juta. Ke Ragunan, biayanya per film Rp 6 juta, dan bisa selesai lebih cepat. Sebentar lagi PFN akan membuka Lab yang sama pula. Bersaing dengan bankir Nyoo?

Jumat, 23 April 2010

IMPORTIR FILM, HARUS MEMBUAT FILM NASIONAL

21 Januari 1978 




Sang direktur diberhentikan 
SEORANG pejabat tinggi berpangkat 

Direktur tiba-tiba dipecat. Dan itu terjadi di Departemen Penerangan. Tak ayal lagi, ini peristiwa penting dalam kehidupan Departemen itu. Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 01/SK/M/197 tertanggal 6 Januari 197 itu memberhentikan drs Sunaryo St (Direktur Bina Film) dan Narto Erawan Dalimarta (Kepala Sub Direktorat bagian peredaran). 

Baru tersiar 10 lanuari pekan lalu, surat asli pemberhentian kedua pejabat Deppen itu sama sekali tidak menyebutkan kesalahan mereka. Tapi lewat TVRI maupun koran, dari sumber resmi di Deppen diketahui bahwa pemberhentian kedua pejabat itu disebabkan karena mereka melakukan manipulasi dan pemalsuan-pemalsuan. Cerita tentang manipulasi di Direktorat Bina Film Deppen itu bukan cerita baru, kata seorang produser. Tapi kenapa baru sekarang ini secara demonstratif dibongkar oleh Deppen? "Biar masyarakat tidak terkejut mendengar keputusan kami yang begitu drastis," kata drs Sumadi, Dirjen Radio, Televisi dan Film, lewat telepon akhir pekan silam. Tapi tidak urung masyarakat toh terkejut, meski orang-orang film sendiri kelihatannya tenang-tenang saja. "Kejadian itu sudah kita harapkan meledaknya sejak Mashuri keluar dari Deppen," kata seorang pengamat film di Pusat Perfilman Usmar Ismail pekan silam. 

Mulanya: Mashuri Ribut-ribut menyangkut pemasukan film impor itu sendiri bermula pada pernyataan-pernyataan Mashuri dua tahun silam. Adalah Mashuri yang mencanangkan bakal diakhirinya pemasukan film impor, "kecuali beberapa yang masuk secara amat selektif," katanya. Karena itulah maka para importir ditertibkan. Giprodfin (Gabungan Importir dan Produsen Film) dibubarkan. Para importir harus memilih kelompok berdasar negeri asal film-film yang mereka impor. Dan inilah riwayat kelahran 4 konsorsium film impor. Cerita tentang konsorsium ini menjadi menarik setelah menjadi makin jelas bahwa jumlah importir terlalu besar untuk jumlah quota film impor yang bisa dimasukkan.

Tentu saja terjadi rebutan jatah. Dalam tingkatan ini, yang menentukan buan cuma mereka yang punya modal besar, tapi juga mereka yang punya koneksi yang luas. Ketika sejumlah importir masih tidak bisa bergerak karena diskors lantaran menolak konsorsium, film-film mereka ternyata bisa lolos dengan suatu cara tertentu. (lihat TEMPO, 22 Oktober 1977). 

Bahkan Herman Samadikun, salah seorang importir, ketua Konsorsium dan sekaligus produser, pada suatu kali bisa mendapatkan jatah 10 film impor. Menurut peraturan, jatah itu seharusnya diimbangi dengan ketentuan bahwa ia harus menyelesaikan 3 buah film nasional. Padahal, Herman baru berniat bikin sebuah film nasional--"Operasi Tinombala". Bagaimana? "Lho, itu kan film teladan. Dan keputusan menteri memang ada mengenai itu," kata Herman membela diri. Keputusan menteri memang ada, tapi yang tidak pernah ada adalah peraturan yang mengatur pemberian gelar "film teladan" dengan segala hadiahnya, bagi film yang baru akan dibikin. Sementara itu, dengan keputusan pemerintah bahwa setiap sebuah film impor dimasukkan ke Indonesia, tiga film nasional harus dibuat oleh si pengimpor film tersebut, tiba-tiba saja jumlah film nasional bertambah dengan jumlah yang fantastis. Menurut catatan sekitar 130 judul film akan siap sebelum Festival Film Indonesia di Ujung Pandang nanti. Ini merupakan rekor tertinggi pembuatan film nasional dalam masa pemerintahan Orde Baru ini. 
 
"Tapi pada saat yang sama juga dicapai rekor tertinggi pembuatan film-film kodian di Indonesia," kata seorang tokoh KFT (persatuan karyawan film) beberapa hari yang lalu. Membeli Nama Akan halnya produksi massal dari film-film kodian itu, seorang importir membela diri. "Kita ini cuma tahunya impor, kok ya dipaksa juga produksi. Kita ini diajar rakus sih sama pemerintah sendiri," begitu sang importir.

Repotnya bagi yang terpaksa memproduksi tapi tak mempunyai sarana, tenaga dan keahlian, jalan satu-satunya cumalah membeli nama dari para produser yang bukan importir. Masih ingat film Karminem sutradara Nyak Abbas Akub pemain Surya Grup dan Titiek Puspa? Resminya film itu dibikin oleh Perfini sebagai importir, pada hal yang membuatnya sebenarnya adalah Ali Hasan yang untuk jasa baiknya pada Perfini ia memperoleh uang panjar sebesar Rp 7 juta. "Habis yang ngajari kita jadi maling adalah pemerintah juga, sih," kata Rudi Lukito seorang importir yang kini juga jadi produser. Kesukaran-kesukaran yang dihadapinya di Deppen hingga menyebabkan dirinya tersingir dari Direktorat Film, bukannya tidak disadari terlebih dahulu oleh Sunaryo. 
 
"Dari semula saya sadari bahwa saya mungkin bisa mendapat bencana jika tidak hati-hati dalam urusan film ini, kata Sunaryo kepada Syarif Hidayat dari TEMPO pekan silam. Sunaryo--bekas wartawan mingguan Caraka - bukannya orang yang tidak terkenal hati-hati. "Cuma dia itu terlalu sibuk sejak Mashuri menjadi menteri penerangan, kata seorang bekas teman kuliahnya di Universitas Gajah Mada dahulu. Kesibukan Sunaryo ini membawa akibat baik dan buruk bagi dirinya. Ia adalah orang kepercayaan Menteri Mashuri. Karena itu ia mendapat jabatan penting mengurusi perfilman. Tapi pada waktu yang bersamaan ia juga tetap menjadi pembantu pribadi Menteri. Bisa dibayangkan bagaimana Sunaryo sempat berkonsentrasi mengurusi film. Ketika kampanye pemilu berlangsung tempo hari, Sunaryo nyaris tak bisa ditemukan di kantornya. Di mana Mashuri berkampanye di situ Sunaryo berada. Akibatnya, pekerjaannya banyak dikerjakan oleh orang lain. Bahkan ketika terjadi apa yang disebut sebagai "pemalsuan dan manipulasi" itu Sunaryo mengaku tidak ada di kantor. "Saya sedang cuti waktu itu," katanya sembari menunjukkan surat cutinya.

Tapi kalangan perfilman tidak dengan mudah jatuh belas kasihan kepada Sunaryo. Di mata para importir itu, ketidakhadiran Sunaryo di kantornya bukanlah alasan untuk membela diri. "Permainan rekomendasi bagi replacement = penggantian di film-film yang ditolak sensor -- dilakukan oleh Sunaryo dan Narto dongan menggunakan kaki tangan pada salah satu kantor importir," begitu kata Rudi Widodo Sukirno, seorang importir yang merasa pernah dirugikan oleh kebijaksanaan Sunaryo. "Kalau mau tahu cara mainnya, silakan datang ke jalan Pintu Air .. " kata Rudi Lukito, menyambut ucapan Widodo. 
 
Kata Rudy pula: "Di situ ada blanko surat rekomendasi yang sudah ditandatangani oleh Sunaryo. Kalau ada yang mau beli tinggal isi saja. Harganya sekitar 8 sampai 10 juta." Cerita Widodo: "Blangko itu oleh Narto diberikan kepada Andi Azhar seorang importir sebanyak 25 lembar. 15 lembar lagi masih disimpan Narto menanti sampai atasan lengah. Kalau sudah lengah, droping dilakukan lagi." Sudah tentu Sunaryo maupun Narto membantah kisah tentang blanko yang sudah ditandatangani itu. "Itu cerita bohong. Bagaimana mungkin kami mengeluarkan blangko yang sudah ditandatangani," kata Nurto. "Sedang yang sudah diisi di sini saja, untuk mendapat tandatangan saya masih harus melewati 4 pejabat" tambah Sunaryo pula. Entahlah orang-orang ini kelihatannya memberikan keterangan yang menyakinkan juga. Yang sama sekali tidak memberikan keterangan cuma Mashuri bekas menteri penerangan yang kini jadi Wakil Ketua DPR. "Bapak lagi sibuk tidak bisa kasih keterangan," kata salah seorang pembantu pribadi Mashuri kepada Wartawan TEMPO, Salim Said.



Sabtu pagi pekan silam. Padahal keterangan Mashuri sebenarnya perlu didengar. Ia disebut-sebut dalam kisah heboh di Dirbin Film Deppen itu. Syahdan, nama Mashuri disangkutpautkan dongan "permainan" antara Herman Samadikun dan Sunaryo dalam urusan replacement mau pun dalam urusan pembuatan Operasi Tinombala yang mendaput jatah 10 fllm impor itu. Tapi ke mana uang itu digunakan? "Untuk kopentingan Brigade 17 - tentara pelajar dahulu - ke dalam mana Mashuri maupun Horman Sahladikun pernah jadi anggota," kata seorang pejabat Deppen yang tidak bersedia disebut namanya. Kabarnya para bekas anggota Brigade 17 itu kini sudah siap untuk pembuatan sebuah perjuangan masa revolusi. Sutrudaranya: Gatut Kusumo, seniman yang dulu membuat film Penyebrangan.

Sabtu, 10 April 2010

PANCA TUNGGAL SAMA SAJA MONOPOLI KEUNTUNGAN BESAR

28 September 1991

Pancatunggal dan sebuah ambisi ...
 
Pancatunggal dan Sebuah Ambisi Besar Pertama kali pihak-pihak yang bersengketa di dunia perfilman bertemu dalam sebuah musyawarah. Siapakah pemilik PT Ace, importir film Amerika, yang baru ditunjuk itu? INILAH musyawarah besar dengan keinginan besar. Selama dua hari, pekan silam, sejumlah pekerja film berkumpul di Hotel Indonesia, Jakarta. Inisiatif datang dari anggota Pancatunggal, orang-orang lapangan yang berhubungan langsung dengan persoalan perfilman nasional. Mereka adalah PPFI (persatuan produser), Parfi (artis), Gasfi (studio film), GPBSI (pengusaha bioskop), KFT (karyawan). Inti persoalan yang dibicarakan, tidak lain, soal pembinaan perfilman nasional. Karena itu, hadir pula dalam musyawarah itu, pihak Departemen Penerangan yang memang berfungsi sebagai pembina perfilman nasional, pihak asosiasi importir film, dan PT Perfin, lembaga pengedar film nasional. 

Tampaknya kelompok Pancatunggal yang dibentuk pada awal tahun 1980-an ini memang serius ingin membereskan kemelut perfilman. Buktinya, mereka sudah mengadakan 15 kali rapat kerja sebelum musyawarah ini. Dewan Film Nasional sendiri, tahun 1980, sebenarnya sudah merumuskan masalah perfilman nasional di dalam Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Perfilman Nasional (P4N). "Tapi setelah 11 tahun tampaknya problem bukannya terkikis, malah makin banyak," tutur Slamet Rahardjo, Wakil Ketua KFT. Untuk pertama kali, pihak-pihak yang dianggap "bersengketa" -- bos Subentra, Sudwikatmono, dengan Eros Djarot dkk. -- berhadapan langsung.

Selama ini segala unek-unek mengenai ketidakberesan pembinaan dan peredaran film nasional, dan gayung bersambutnya, hanya terlontar melalui media massa atau dengar pendapat di DPR. Untung, mereka tetap bersemangat. Barangkali karena di ruang Reog HI itu dipajang poster besar bergambar wajah bapak perfilman nasional, Usmar Ismail, dengan kalimat Sinema Indonesia, Bung. Apalagi mereka juga sangat berharap bisa memberikan masukan untuk RUU Perfilman Nasional yang akan dibahas DPR, Oktober nanti. Suhu di ruang berpendingin itu mulai memanas ketika PT Perfin mulai dihujani pertanyaan-pertanyaan tentang peredaran film. PT Perfin (singkatan dari Peredaran Film Indonesia), sesuai dengan yang disarankan namanya, sesungguhnya bertugas membantu peredaran film nasional. Namun, Pancatunggal justru menganggap PT Perfin telah "mengimpit peredaran film Indonesia di seluruh wilayah edar film Indonesia," demikian kata Turino Djunaudi. Berbagai contoh dibeberkan. Bukan hanya kasus Langitku Rumahku yang terkenal karena dibetot dari Studio 21 -- atas perintah PT Perfin -- setelah baru sehari diputar.

Juga, film Taksi yang berhasil meraup Piala Citra terbanjak tahun silam ternyata mengalami kemacetan peredaran. 
 
Film karya Arifin C. Noer itu sesungguhnya meledak dan bertahan cukup lama di bioskop kelas atas. Namun, ketika film ini tiba gilirannya turun ke bioskop kelas menengah dan bawah, Perfin tak bisa menjadwalkannya. Alasan Kepala Bidang Peredaran PT Perfin, Sandjojo Nitimihardjo, "Terlampau lamanya diputar di bioskop kelas tahap atas maka penonton kelas bawah sudah naik ke atas." Apa mungkin penonton yang biasa menonton di bioskop kelas bawah datang berbondong-bondong ke bioskop kelas atas? Mungkin saja, menurut Sandjojo. Soalnya, harga karcis sebagian bioskop kelas atas sama dengan harga karcis bioskop kelas bawah. "Maka, penonton kelas bawah yang menunggu terlalu lama menonton di bioskop-bioskop itu." Dialog dengan Sudwikatmono, bos PT Subentra, yang siang itu mewakili para asosiasi importir film, tampaknya mengundang simpati dan optimisme. Soalnya, belum-belum ia mengucapkan "saya mendukung 100 persen agar film nasional betul-betul bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri." Tentu saja ucapan ini disambut keplok gemuruh dan suit-suit yang ramai. Ia juga mengakui bahwa terjadi berbagai kendala di dalam pelaksanaan pemasaran film nasional. "Maklum, anak buah saya banyak sekali sehingga sulit dikontrol.



Dulu saya sudah memecat dua orang. Nanti akan saya tinjau kembali," janjinya. Ucapan Dwi, yang selama ini dituding melakukan monopoli, oleh Sophan Sophiaan dianggap seperti tiupan angin segar. Menurut Dwi, ia sudah lama mencoba membantu memajukan film Indonesia. "Sejak awal, kami para importir film sudah mengumpulkan dana melalui sertifikat produksi yang ditampung oleh Dewan Film Nasional. Setiap film asing yang masuk, kami harus bayar Rp 3,5 juta. Mestinya dana ini dipakai untuk menggairahkan sineas-sineas idealis di Indonesia. Tak usah pikirkan untung. Pokoknya film itu bermutu dan dibuat oleh sutradara yang baik," ujarnya. Berapa uang yang telah disumbangkan importir yang, katanya, untuk membantu perfilman nasional? Dirjen Radio, Televisi, dan Film, Alex Leo Zulkarnain, mengaku tak ingat. Narto Erawan, Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video, yang pada pertemuan itu mewakili Departemen Penerangan, menyebut jumlahnya sekitar Rp 6 milyar. Ada pula yang mengatakan Rp 10 milyar. Namun, berapa pun jumlahnya, Sudwikatmono berharap uang itu seharusnya untuk "Bikin film anak-anak tanpa memikirkan keuntungan karena film pendidikan kan penting." Berbeda dengan Dwi, Alex Leo mengatakan jika ada yang membuat proposal produksi, "sebaiknya yang filmnya bisa mengembalikan uang pokok, jangan sampai uang itu dihambur-hamburkan." Tapi, hingga kini belum ada yang mengajukan proposal. Suasana agak tegang ketika Ketua Bidang Luar Negeri KFT, Eros Djarot, menanyakan penunjukan PT Ace Indonesia sebagai importir baru film Amerika.

Dwi mengaku tak kenal dengan mereka. Wartawan pun tak ada yang kenal karena setiap mengajukan permintaan wawancara selalu ditolak. "Buat kami, ketidakjelasan ini membuat mereka kelihatan misterius," kata Eros Djarot. "Mereka tak ada hubungannya dengan kami," kata Sudwikatmono dengan tegas. Padahal, menurut Menteri Harmoko, PT Ace memang sudah diputuskan untuk menjadi importir film Amerika di luar asosiasi importir yang sudah ada. "MPEAA (Motion Picture Export Association of America) mengajukan beberapa perusahaan, dan akhir Agustus lalu sudah diputuskan bahwa PT ACE Indonesialah yang memenuhi kriteria," tuturnya.
 
Yang jelas, PT Ace Indonesia ini berkantor di Tamara Center, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, dan juga bergerak di bidang jasa konsultasi perdagangan dan investasi. Perusahaan ini dipimpin oleh Ny. Isnania Singgih, S.H., dengan Slamet Nuryanto sebagai direktur dan Praptono Honggopati Tjitrohupojo sebagai komisaris.

Di antara mereka terdapat orang asing, misalnya F.H. Holloway. "Kemisteriusan" yang disebut Eros itu mungkin akan menjadi jelas sesudah 26 September nanti karena, menurut F.H. Holloway, Commercial Director PT Ace Indonesia, saat ini, "Masih ada tahap-tahap yang harus kami selesaikan terlebih dahulu." Lalu apa hasil musyawarah Pancatunggal? Yang terpenting menegaskan bahwa film yang menumbuhkan rasa kebanggaan nasional dan menunjang nilai-nilai idiil hendaknya dijadikan lokomotif pembentukan opini dan persepsi masyarakat. Karena itu, segala yang diperlukan untuk memproduksi dan memasarkannya harus dijamin dan ditunjang berbagai kemudahan. Pancatunggal juga menekankan bahwa film impor hanya sebagai pelengkap dan karenanya sistem kuota harus dipertahankan. Ada lagi keputusan penting, yaitu penjadwalan peredaran film, baik film nasional maupun asing. Musyawarah ini menegaskan agar pendaftaran dan penjadwalannya diatur dan dilakukan secara terbuka. Selama ini hal-hal yang menyangkut nasib film nasional memang terasa tertutup. Budiman S. Hartoyo, Leila S. Chudori

MELAWAN FILM HOLLYWOOD

13 Juli 1991
Kiat melawan air bah
Usmar Ismail meninju pemilik bioskop agar filmnya diputar. Ke mana larinya dana produksi film nasional? FILM Krisis karya Usmar Ismail membuat sejarah pada tahun 1953. Film itu menembus dan bertahan lima minggu di bioskop elite. Lebih komersial dibanding dengan Ivanhoe meskipun sedikit di bawah Quo Vadis -- keduanya produksi MGM Amerika. Padahal, AMPAI (American Motion Pictures Association of Indonesia) baru membuka kantor di Jakarta, dan film-film Amerika datang bagai air bah. Usmar sukses karena mendatangi langsung pemilik bioskop Capitol, seorang warga Belanda bernama Weskin. Lalu dagu orang itu ditinjunya. Eh, ternyata Krisis diterima Capitol, dan tiap malam menyedot 4.000 penonton. Di Palembang, produksi PT Perfini itu diputar seminggu, dengan 5.000 penonton tiap malam. Baru empat belas tahun kemudian lahir lagi film nasional yang bagus, ketika B.M. Diah diangkat jadi menterl penerangan (1963-1968). Misalnya, Apa yang Kau Cari Palupi (1967) karya Asrul Sani. Film ini lahir lewat serangkaian proteksi dan usaha keras melahirkan film-film bermutu. 

Menurut Dr. Umar Kayam, Dirjen Radio Televisi dan Film (RTF) di zaman itu, caranya adalah dengan membuka lebar-lebar keran film impor. Jumlah film asing pernah 700 judul setahun. Tapi tiap judul tak boleh melebihi dua kopi. Kayam menarik Rp 250 ribu dari tiap judul film impor, untuk dana produksi dan rehabilitasi film nasional. Ada Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), dengan arggota, antara lain, Asrul Sani. "Dengan dana dari importir, lalu dibentuk tim untuk menentukan sutradara, penulis skenario dan bintang filmnya," kata Kayam. Dan lahirlah Apa yang Kau Cari Palupi, film terbaik FFI 1970 yang tak mampu mengembalikan modal Rp 30 juta. Tapi Bernapas dalam Lumpur (1967) karya Turino Djunaedi atau Nyi Ronggeng (1967) karya Alam Surawijaya berhasil komersial. Belakangan, para importir film protes, menuduh ada pemborosan dalam pemakaian dana produksi tadi. Padahal, Dirjen RTF hanya memberi pinjaman modal kerja pada produser. Namun, "Tanpa bunga. Bahkan, kalau produser rugi, mereka tak usah mengembalikan modal. Itu memang risiko. Yang penting, kita telah bikin film bermutu," kata Kayam, profesor doktor sosiologi yang kini mengajar di Pascasarjana UGM. Ketika Boediardjo menggantikan B.M. Diah pada tahun 1968, dana produksi tetap dipungut. Dana dihimpun oleh sebuah yayasan film, untuk biaya produksi film nasional. Lahirlah film silat yang lumayan, Si Jampang Mencari Naga Hitam karya sutradara Lilik Sudjio. Belakangan, DPFN dibubarkan. Boediardjo juga membentuk Badan Koordinasi Importir Film (BKIF) untuk menangkis persaingan tak sehat di antara sesama importir film. 

Kenyataannya, BKIF ini disinyalir banyak menarik pungli dari para importir. Sewaktu Mashuri menjabat menteri penerangan, BKIF dibubarkan. Film nasional dapat proteksi hebat lewat "Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri" pada 1975. Bioskop diwajibkan memutar minimal dua judul sebulan. Untuk mengatur distribusi, tahun itu juga dibentuk PT Perfin. Setahun kemudian, dibentuk empat konsorsium importir film (KIF). Kuota film asing dipatok: 350 judul setahun. Importir juga digiring untuk membuat film nasional. Dari satu judul film nasional yang diproduksi, importir dapat jatah impor tiga film asing.

Yang tak memproduksi wajib membeli tiga sertifikat dengan nilai masing-masing Rp 3 juta, untuk mendapat izin mendatangkan satu judul film impor. Produksi pun melonjak. Pada tahun 1977, tercatat ada 135 judul film nasional dengan kualitas amburadul. Menteri Ali Moertopo yang datang kemudian mengubah KIF menjadi Asosiasi Importir Film (AIF). Kuota film asing dipangkas lagi, tinggal 260 judul termasuk 25 film anak-anak. Setiap judul dikenai Rp 3 juta untuk sertifikat produksi film nasional. Jumlah itu menciut jadi hanya 200 judul ketika Menteri Penerangan Harmoko naik pentas. Dana produksi film nasional tetap ditarik dari importir Rp 3 juta untuk tiap enam kopi pertama dan Rp 1 juta untuk tambahan maksimal sampai 12 kopi. Tahun ini, kuota film asing tinggal 160 judul. Departemen Penerangan, lewat Dewan Film Nasional (DFN), masih mengenakan pungutan Rp 3,5 juta untuk tiap enam kopi pertama, dan Rp 500 ribu untuk tiap 18 kopi tambahan. Bos Subentra Sudwikatmono menaksir, jumlah yang ditarik Deppen dari importir itu "milyaran" jumlahnya. "Dana itu bisa dipakai untuk menyuntik modal produser film nasional," kata bos Studio 21 itu. Tapi belum pernah terdengar ada film nasional yang dibuat dengan dana tadi. Jangan khawatir. "Uang itu terkumpul di Dewan Film Nasional. Sebagian besar di bank," ujar Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain. Dari bunganya saja, segala keperluan administrasi dan honor anggota DFN bisa ditanggulangi. Sebagian dana itu untuk membiayai kegiatan DFN, konon seperti pendidikan dan pelatihan orang film di luar negeri. Kalau selama ini tak ada film nasional yang dibiayai DFN, itu karena tak pernah ada proposal dari produser atau sutradara ke alamat DFN. "Kalau feasible, bisa diterima," kata Alex Leo. Nah, para produser dan sutradara, serbu saja. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi, Leila S. Chudori, dan Kastoyo Ramelan


29 Juni 1991 


Hollywood datang, pribumi minggir 

Dua perusahaan film Amerika anggota MPEAA mulai menancapkan kukunya di Indonesia. Ada sejumlah reaksi, dan tudingan monopoli pun kembali mencuat. Di mana tempat film Indonesia? STUDIO pembuatan poster film itu mirip gudang. Udara panas. Beberapa lelaki dengan bertelanjang dada dan belepotan cat tampak bekerja ektrakeras. Mereka harus menyiapkan puluhan poster yang bergambar Kevin Costner sedang membentangkan panah. Itulah poster film Robin Hood: Prince of Thieves. Pelukis poster di Sin Studio yang berada di kawasan Bendungan Jago, Kemayoran, Jakarta Pusat itu memang harus lembur siang malam. Poster itu harus sudah jadi pekan ini untuk dipasang di 48 gedung bioskop yang akan memutar Robin Hood. Pekerjaan yang terburu-buru, memang. Itulah hasil dari kerja sama perusahaan film AS anggota MPEAA (Motion Picture Export Association of America), Time Warner- gabungan produsen film kondang Warner Bros dan kelompok majalah Time- dengan mitra dagangnya di sini, PT Satria Perkasa Estetika Film, yang ditandatangani Jumat dua pekan lalu di Jakarta. Robin Hood, yang di Amerika sendiri masih diputar di 2.639 gedung dan box office, betul-betul film yang masih gres. (Tentang film ini buka halaman 107). Tampaknya di hari mendatang, film-film laris dan berkelas akan bisa ditonton pecandu film di Indonesia pada saat tontonan itu masih hangat "dibicarakan" dunia. Warner Bros, umpamanya, menjanjikan film karya sutradara masyhur Francis Ford Copolla, Godfather III dan Batman, yang dibintangi Jack Nicolson, menyusul Robin Hood tadi. 

Artinya, penggemar film bermutu tak perlu memburu video atau cuma bisa mengomel seperti ketika film Rain Man yang dibintangi Dustin Hoffman muncul dua tahun setelah menerima Oscar sebagai film terbaik.

Atau, sedikitnya ada alternatif cukup selain menonton film sontoloyo. Kabar baik buat penonton ini, kalau benar demikian pelaksanaannya, datang bersama masuknya dua anggota MPEAA ke In- donesia. MPEAA adalah kelompok eksportir yang mengageni penjualan film-film perusahaan layar putih kenamaan Hollywood yang tergabung dalam MPAA (Motion Picture Association of America). Atau biasa disebut, MPEAA adalah divisi luar negeri MPAA. Selain Warner Bros, UIP (United Internasional Pictures) pun berkongsi dengan PT Camilia Internusa Film- anggota Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA). Ini berarti hampir semua anggota MPEAA punya tangan di sini, karena UIP mengageni distribusi anggota MPEAA yang lain, MGM, Paramount, Universal, dan United Artists. Dan tak lama lagi angin Hollywood akan bertambah kencang. Karena menurut Kamarulzaman Algamar, Dirjen Perdagangan Luar Negeri, tiga eksportir AS lainnya- juga anggota MPEAA- sudah siap menjajakan langsung filmnya ke mitra di Indonesia. "Yang satu negosiasinya hampir final. Dan dua lagi masih dalam proses," kata Algamar kepada Bambang Harymurti dari TEMPO di Washington. 

Algamar berada di sana untuk mempersiapkan perundingan dagang ASEAN-AS. Yang hampir final itu, kata Al- gamar, adalah perundingan antara Columbia Pictures dan PT Amero Mitra Film, anggota AIFEA yang lain. Pagi-pagi Dirjen Radio Film dan Televisi Deppen Alex Leo Zulkarnain menegaskan, kerja sama ini tidak mengubah syarat pemerintah untuk masuknya film impor: sensor dan kuota. Karena, sifat film asing, kata Alex, hanya sebagai pelengkap film nasional.

"Supaya masyarakat ada punya perbandingan," katanya. Untuk tujuan itulah makanya perlu mengatur jumlah film asing yang masuk, untuk melindungi film tuan rumah. Namun, muncul tanda tanya besar di balik perkongsian anggota MPEAA dan mitra lokalnya. Karena ternyata perusahaan asing ini memilih kompanyon lokal dari kelompok yang dituduh selama ini telah melakukan praktek monopoli peredaran film impor- suatu praktek yang tadinya dikecam dan mengancam hubungan dagang ASIndonesia. Tentu saja yang dimaksud adalah kelompok Subentra- importir, distributor, dan pemilik jaringan sinepleks 21, yang sebagian besar sahamnya dimiliki raja bioskop Sudwikatmono. Satria Estetika itu jelas-jelas anak perusahaan Subentra. Dan Camilia pun kompanyon grup 21. 

Bagaimana awal mulanya sehingga MPEAA bisa masuk ke sini? Menurut A. Rahim Latif, kepala seksi luar negeri dan festival PT Ekapraya Film yang lama berkecimpung di bidang distribusi film, MPEAA mencium ketidakberesan peta peredaran film AS di Indonesia sejak tiga tahun lalu. Inti soal adalah masuknya film lewat satu importir, walau secara de jure anggota asosiasi importir Eropa-Amerika ada lima biji. Monopoli ini menyebabkan pilihan film yang beredar di Indonesia, "mewakili selera rendah dan murahan saja," kata pihak MPEAA. Konon, pengusaha Amerika merasa malu kalau dianggap film-filmnya cerminan masyarakatnya- hanya digambarkan dekat dengan kekerasan dan seks bebas. Newsweek edisi April menyebut "film darah dan seks macam Tango & Cash dan Die Hard yang tidak membawa pesan morallah yang masuk ke Indonesia. Bukan jenis lainnya." Selain itu, yang lebih penting, studio Hollywood merasa monopoli itu telah membatasi keuntungan sampai US$ 50 juta per tahun. 

Laba yang seharusnya diperoleh bila mereka bisa memasarkan sendiri produk-produknya langsung ke Indonesia di bawah bendera MPEAA.

Strategi pemasaran langsung ini- bahkan tanpa kuota sudah mereka lakukan, antara lain, di Malaysia, Singapura, Hong Kong, Korea, dan Jepang. Jack Valenti, presiden MPAA dan sekaligus pimpinan eksekutif MPEAA, memasukkan "daftar dosa" Indonesia itu dalam laporan tahunnya pada USTR (United States Trade Representative)- Departemen Perdagangan AS. Pada akhir 1989 MPEAA pun melayangkan surat pada Departemen Perdagangan RI untuk meminta keleluasaan dalam ekspor film AS ke Indonesia. MPAA yang juga punya lobi kuat di Kongres AS- sampai-sampai MPAA disebut "deplu kecil"- mendesak agar Indonesia dijewer karena melakukan praktek dagang yang tidak fair. Manuver MPEAA itu berhasil membuat Indonesia masuk dalam daftar negara yang harus diamati (watch list) USTR, bersama 22 negara lain dengan "dosa" yang lain pula. Kendati kesalahan dalam kategori watch list masih termasuk dosa kecil, Indonesia tidak bisa tak peduli. "AS adalah negara penyerap ekspor nonmigas terbesar," kata K. Algamar. Contohnya, 30% dari seluruh ekspor tekstil kita masuk ke AS. Ini yang membuat Indonesia takut pada gertak MPEAA. Untuk membuktikan bahwa peringatan itu bukan main-main, MPEAA sempat melakukan aksi boikot. Caranya, mendongkrak harga jual film ke Indonesia sampai 400%. Akibatnya, bioskop hanya menghidangkan film Amerika murahan dan hanya sedikit tontonan bermutu produksi perusahaan film independen yang bukan anggota MPEAA. 

Keseriusan ancaman AS juga tampak dengan datangnya delegasi USTR merundingkan komoditi film ini dengan fihak Departemen Perdagangan. Perundingan itu sampai tiga kali dalam kurun 1989-1991. Pihak yang khawatir akan "tertembak" dengan langkah gencar MPEAA ini sempat ketar-ketir. Misalnya Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), yang kemudian mengadukan masalah ini ke DPR, Februari lalu.

Celakanya, delegasi yang dipimpin ketua PPFI Turino Djunaidi menyebutkan MPEAA mengajukan tuntutan 10 soal. Antara lain, agar film AS yang masuk ke Indonesia diisi suara berbahasa Indonesia, mencabut ketentuan wajib putar film nasional, izin membuka jaringan bioskop sendiri. Setelah keluhan PPFI dimuat di media massa, Paian Nainggolan- waktu itu Dirjen Perdagangan Luar Negeri- menyebutkan delapan dari 10 klausul MPEAA versi PPFI itu hanya isapan jempol belaka. Yang benar hanya dua tuntutan: "MPEAA menuntut memasukkan langsung film AS ke Indonesia dan mendistribusikannya sendiri," kata Paian Nainggolan. Isapan jempol yang dibuat PPFI itu sempat membuat Sutradara Eros Djarot berang dan menuduh pembuat 8 klausul palsu itu punya maksud-maksud tertentu. Perekayasa klausul palsu itu ingin membangkitkan rasa nasionalisme bangsa untuk menghambat masuknya MPEAA. Padahal, di balik itu, kata Eros, "Untuk kepentingan kelompok tertentu yang diuntungkan dari bisnis film impor." Bagaimana sebenarnya peta importir film di Indonesia? Ada tiga asosiasi importir yang membawahkan 16 perusahaan, masing-masing dengan kuota yang ditentukan. Untuk film Eropa-Amerika kuota untuk tahun ini sebanyak 80 judul (lihat Zaman Keemasan Kelompok 21). Namun, dalam prakteknya, sejak 1985, PT Suptan Film, yang menjadi anggota asosiasi importir film Mandarin, merangkul yang lain. 

Maklum, di belakangnya duduk pemodal raksasa, duet pemilik PT Subentra- kependekan dari Sudwikatmono dan Benny Suherman Putera. Sudwikatmono sebagai presiden direktur dan Benny Suherman sebagai direktur. Dalan praktek, Suptan-lah yang menguasai semua kegiatan ketiga asosiasi itu.

Karena anggota-anggota asosiasi yang lain kekurangan modal. Tiga asosiasi itu berada dalam satu atap manajemen. Dan perkembangannya kemudian lewat Subentra, mereka menguasai bukan saja jalur impor, tapi distribusi dan bioskopnya sekaligus, di hampir semua kota besar Indonesia. Mereka membuat distributor tunggal di daerah-daerah. Dari sinilah diatur jadwal pemasokan film impor itu. Umumnya, pembelian film impor dilakukan dalam bentuk paket yang dijajakan pada pasar bursa film Cannes (Prancis) dan Hollywood (AS), dua tahun sekali. Satu paket berisi 20-40 judul, dengan harga rata-rata US$ 1.500 per film, atau Rp 60 juta sampai Rp 120 juta satu paket. Beli paket ini untung-untungan, syukur kalau ada terselip film bagus. Namun, secara formal, pembelian film lewat paket itu dilakukan atas nama anggota asosiasi. Misalnya PT Perfini, yang didirikan Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail. Tahun ini, Perfini "membeli" tiga judul saja. "Ya, kita atur-atur saja pembagian kuota di antara anggota," kata Irwan di kantornya yang gelap, dengan AC yang tidak dingin dan tanpa bunyi dering telepon, di sudut Menteng Raya, Jakarta. Atur-atur itu tentunya termasuk urusan uang. "Kami bisa pinjam-meminjam uang untuk mengimpor," kata Irwan lagi. "Terutama dari Pak Dwi," ujar lulusan Fakultas Teknik UI ini terus terang. Jika anggota asosiasi ingin mandiri, mereka butuh modal besar dan celakanya sulit meminta kredit bank. Sebab, kata Irwan, jaminannya cuma film. 

Sementara itu, sebagai produser, Perfini dalam kurun 20 tahun sejak ditinggalkan Usmar hanya mampu melahirkan sepuluh film. Terakhir Perfini membuat film Pacar Ketinggalan Kereta disutradari Teguh Karya dan meraih lima Piala Citra. Tapi sepi di pasaran. Soal modal yang akhirnya mengukuhkan monopoli asosiasi importir ini tercium oleh pedagang film di AS dan sampai ke MPEAA. Ini yang membuat MPEAA kemudian "berteriak" dan mengajukan dua tuntutan itu.

Puncaknya, Menteri Perdagangan Arifin Siregar menawarkan konsesi pada MPEAA, Mei lalu. "Untuk menghindarkan Indonesia masuk dalam daftar prioritas utama untuk diawasi USTR," kata Arifin Siregar. Maksudnya, masuk daftar hitam untuk dijatuhi sanksi. Tapi, yang jelas, seperti yang akhirnya terjadi, pihak Indonesia tidak bisa mengabulkan permintaan MPEAA untuk mengedarkan sendiri film-filmnya. "Karena ini bertentangan dengan undang-undang kita," kata Algamar. Jadi, pihak MPEAA harus mengambil partner lokal. Pilihan itu akhirnya jatuh ke tangan Subentra Group, seperti yang sudah diuraikan tadi. Lirikan ke Subentra, kata Wakil Presiden Distribusi Film Bioskop Warner Bros, Edward F. Frumkes, "karena kami nilai mereka yang paling progresif." Terus terang, kata Frumkes, yang mengadakan konperensi pers di Grand Hyatt Jakarta, Ahad dua pekan lalu, kelebihan grup ini karena memiliki jaringan bioskop canggih. "Kursinya lebih nyaman daripada kursi kapal terbang," kata Mr. Frumkes kepada Sandra Hamid dari TEMPO. 
Dan menyajikan film bermutu di sebuah bioskop dengan peralatan canggih, sesuai dengan motonya, "Menghibur dunia, itulah bisnis kami." Frumkes mengelak pertanyaan soal putusan kenapa Warner bermitra dengan Subentra. "Mari kita lupakan masalah yang pernah terjadi," katanya, seraya mengaku tak mau tahu soal politik. Pihak Subentra mengakui, mereka diutus oleh Departemen Perdagangan untuk melobi anggota MPEAA ketika muncul demam boikot itu. "Karena ancaman yang dilontarkan AS menyangkut banyak komoditi di luar film," kata Benny Suherman, menirukan ucapan Paian Nainggolan.

Subentra dipilih karena punya akses ke Hollywood. Bagi MPEAA, masalah mereka telah terselesaikan dengan terjalinnya kerja sama ini. Tapi ada pihak yang makin tergencet dengan kedatangan raksasa Hollywood ini. Ya, para sineas kita. Sejumlah produser film pribumi merasa terperosok dalam ruang yang makin sempit dan bahkan memilih gulung tikar. Protes bermunculan. KFT (Karyawan Film dan Televisi) yang dipimpin Sophan Sophiaan dan Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia), Rabu pekan ini rencananya mengadu ke DPR. Yang memilih bangkrut, misalnya Virgo Film. "Ini semacam protes," kata bos Virgo Film, Ferry Anggriawan. Sebab, empat film produksi Virgo terakhir, antara lain Pagar Ayu dan Barang Titipan, macet dalam peredaran. Dan itu, katanya, karena ada monopoli (lihat Cukup di Daerah Pinggiran). Eros Djarot, kendati dihubungi TEMPO sewaktu baru bangun tidur pekan lalu, langsung berapi-api ditanyai soal MPEAA ini. "Benar-benar bak membangunan macan dari tidur. Runyam. Sekarang mereka punya dua taring," ujar Eros, sutradara film Tjoet Nya' Dhien. 
Taring-taring itu, katanya, akan mengukuhkan ganjalan di pintu-pintu peredaran film nasional, baik di Jakarta maupun di daerah. Dan Eros akan menunggu apakah MPEAA akan mengkhianati falsafah negeri AS sebagai "pemimpin negara demokrasi dan pasar bebas". Ia juga membantah sebagai orang yang melaporkan borok sistem peredaran film di negeri ini pada MPEAA. "Yang mengundang keramaian itu sistem monopoli. Pelakunya jelas Suptan," kata Eros dengan bersemangat, sampai-sampai puntung rokoknya salah dibuang ke cangkir kopi. Seharusnya, kata Eros, masyarakat film Indonesia sudah mengantisipasi kedatangan MPEAA ini dan bisa bertindak sebagai pengontrol.

Duduk dalam barisan penentang ini Sophan Sophiaan, Ketua Umum KFT. Dulu, katanya, ia termasuk orang yang setuju kalau MPEAA masuk ke Indonesia. "Karena dulu saya tahu mereka antimonopoli," kata sutradara sekaligus aktor ini. Sophan yakin, lebih gampang bekerja sama dengan ekportir ini secara langsung daripada dengan kelompok "satu pintu" itu. Tapi perkiraan itu meleset, karena MPEAA bersatu dengan "satu pintu" itu. Bahkan Asrul Sani, sutradara 20 film nasional, khawatir sepak terjang MPEAA akan mengulang sejarah American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI) yang menghalangi perkembangan film nasional. (Lihat Mampusnya AMPAI). Hanya pada awal-awalnya saja hubungan Hollywood dan Subentra ini kelihatan mulus. Tapi tahap selanjutnya Asrul Sani meramalkan tamu-tamu ini akan mendikte mitra lokal. Dan akhirnya, yang paling parah, MPEAA akan menggoyang soal kuota film impor dengan merujuk kesepakatan GATT soal kuota film yang tertuang dalam article IV. "Jadi, sama saja memasukkan singa ke kandang kita," ujar Asrul. Namun, produser pribumi Budiati Abiyoga melihat dari sudut yang lain. Selama ini, kata pendiri PT Prasidi Teta Film itu, kalangan sineas selalu meributkan cerita monopoli itu. "Dan seolah-olah kalau Subentra Group sudah remuk, dunia film ini akan bebas. Padahal tidak," kata produser yang berjilbab ini. Menurut Budiati, karena yang diributkan itu hanya sebagian dari pasar film. Subentra dan eksportir anggota MPEAA itu, kata Budiati lagi, tak mempengaruhi nasib film nasional.

Sebab, sasaran Warner dan kawan-kawan hanya pada bioskop-bioskop kelas menengah atas. Itu bukan rumah film-film nasional, yang kalau digambarkan secara piramida berada di lapisan bawah. Perhitungan Budiati, sekitar 60% film nasional dipasarkan di bioskop kelas menengah bawah itu. Budiati justru melihat bahwa sisi positif kedatangan ekportir Hollywood ini adalah menjadi pemacu semangat sineas setempat untuk meningkatkan mutu. 

Cuma, tidak dijelaskan, bagaimana film bermutu itu- kalaupun muncul- mau dipasarkan karena bioskop sudah dikuasai importir. Pada akhirnya, bisa ditebak kelompok Subentra yang paling berseri-seri atas kedatangan MPEAA. "Kerja sama ini menguntungkan kita," kata Benny Suherman, Direktur Subentra. Sebab, kongsi ini berarti bagi hasil sama rata 50:50 di antara mereka. Semua ongkos, di luar gedung, ditanggung pihak asing. Ini berbeda dengan aturan main MPEAA di negeri lain, yang menurut Benny mengambil bagian 60%-70% laba. Warner akan langsung menawarkan film-filmnya yang hangat ke Indonesia. Dengan begitu, importir tak perlu lagi menunggu sampai film itu basi. Tapi, apakah itu menjamin bahwa film yang disajikan akan lebih bermutu? Jauh-jauh hari Benny Suherman sudah mengatakan akan ikut menyeleksi film yang ditawarkan. "Soalnya, kami yang lebih tahu selera penonton di sini," ujar Benny enteng. Jadi, lagi-lagi persoalannya adalah selera- menurut kriteria pedagang. Dan memang, film bermutu tak cuma ada di Amerika. Dan siapa yang bisa mendatangkannya ke sini? Bunga Surawijaya, Dwi S. Irawanto, Sri Pudyastuti, Moebanoe Moera.