Tampilkan postingan dengan label FRANK RORIMPANDEY 1967-1990. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FRANK RORIMPANDEY 1967-1990. Tampilkan semua postingan

Kamis, 26 Maret 2020

PUTIHNYA DUKA KELABUNYA BAHAGIA / 1989

 

Sebuah belat-belit masalah rumah tangga, yang harus diselesaikan di pengadilan. Adegan pengadilan pula yang menjadi tumpuan utama daya tarik film ini. Perkawinan Wisnu (Dwi Yan) dan Shinta (Eva Rosdiana Dewi) mengalami goncangan, ketika Shinta lumpuh. Seorang perawat bayi mereka, Dian (Joice Erna), yang disewa, ternyata bekas kekasih Wisnu. Dian ingin memiliki kembali kekasihnya. Rahasia ini terbongkar, hingga Dian berniat membunuh Shinta. Keajaiban terjadi: Dian yang terbunuh, sedang gunting yang dipakai Dian untuk membunuh, justru berada di tangan Shinta. Pengadilan yang membuktikan kebenarannya, bahwa Shinta tak bersalah. Hal ini juga terjadi antara lain berkat kegigihan pengacaranya (Deddy Mizwar).

Rabu, 02 Maret 2011

FRANK RORIMPANDEY 1967-1990

 

Sudah giat bermain sandiwara sejak di SLA, dan semakin berkembang setelah hijrah ke Jakarta. Pada awal 60-an bermain film sebagai peran pembantu. Kemudian tahun 1973 ia mulai tertarik bidang penyutradaraan.

Termasuk perokok berat, Frank Rorimpandey sehari bisa menghabiskan 5 bungkus rokok kretek. Tak cuma itu, Pemenang Piala Citra Festival Film Indonesia tahun 1980 untuk penyutradaraannya dalam film Perawan Desa itu bahkan pernah pantang makan nasi selama 4 tahun. Untuk apa, tak dijelaskannya. Yang pasti, baru mulai Desember 1980 ia makan nasi lagi. Karir film lelaki kelahiran Surabaya itu dimulai dengan menjadi pemain. Sebab, sejak di SLA ia sudah giat bermain sandiwara.

Tak heran jika kemudian, awal 60-an, ia hijrah ke Jakarta dan masuk Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Sutradara D. Djajakusumalah yang pertama kali memberikan kesempatan main padanya, dalam Masa Topan dan Badai tahun 1963. Tiga tahun kemudian, ia menerima peran pembantu untuk Fadjar Di Tengah Kabut. Dan ia terpilih sebagai pendatang baru terbaik. Tapi itu tak membuatnya kebanjiran peran. Malah sesudah itu ia menjadi wartawan mingguan film Purnama. Untunglah, ditahun 1970 Usmar Ismail mengajaknya main film lagi dalam Ananda. Sementara itu, ia aktif pula dalam Sanggar Teater Populer pimpinan Teguh Karya yang pernah jadi dosennya di ATNI. Minatnya kepada dunia film menjadi serius. Di tandai dengan bekerja sebagai staf produksi pada PT. Tuti Mutia Film, pada tahun 1971.


TAKKAN LARI JODOH DIKEJAR1990FRANK RORIMPANDEY
Director
PERAWAN DESA 1978 FRANK RORIMPANDEY
Director
TAPAK-TAPAK KAKI WOLTER MONGINSIDI 1982 FRANK RORIMPANDEY
Director
JANG DJATUH DIKAKI LELAKI 1971 NICO PELAMONIA
Actor
UNTUK SEBUAH NAMA 1985 FRANK RORIMPANDEY
Director
ROMAN PICISAN 1980 ADISOERYA ABDY
Actor
SELAMAT TINGGAL MASA REMAJA 1980 FRANK RORIMPANDEY
Director
NANTI KAPAN-KAPAN SAYANG 1990 FRANK RORIMPANDEY
Director
BENGAWAN SOLO 1971 WILLY WILIANTO
Actor
COLAK-COLEK 1979 FRANK RORIMPANDEY
Director
WOLTER MONGISIDI 1983 FRANK RORIMPANDEY
Director
TINGGAL SESAAT LAGI 1986 EDUART P. SIRAIT
Actor
MIMPI SEDIH 1974 WILLY WILIANTO
Actor
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Actor
BERSEMI DI LEMBAH TIDAR 1981 FRANK RORIMPANDEY
Director
SATU MAWAR TIGA DURI 1986 FRANK RORIMPANDEY
Director
PENYESAIAN SUMUR HIDUP 1986 FRANK RORIMPANDEY
Director
BAYANG-BAYANG KELABU 1979 FRANK RORIMPANDEY
Actor Director
FADJAR DITENGAH KABUT 1966 DANU UMBARA
Actor
LAKI-LAKI PILIHAN 1973 NICO PELAMONIA
Actor
SI DOEL ANAK BETAWI 1973 SJUMAN DJAYA
Actor
AKIBAT BUAH TERLARANG 1984 FRANK RORIMPANDEY
Director
AKIBAT KANKER PAYUDARA 1987 FRANK RORIMPANDEY
Director
BAYI TABUNG 1988 NURHADIE IRAWAN
Actor
CINTA SEMALAM 1983 I.M. CHANDRA ADI
Actor
PUTIHNYA DUKA KELABUNYA BAHAGIA 1989 FRANK RORIMPANDEY
Director
LONCENG MAUT 1976 FRANK RORIMPANDEY
Director
ANJING-ANJING GELADAK 1972 NICO PELAMONIA
Actor
ARIE HANGGARA 1985 FRANK RORIMPANDEY
Director
SEPUTIH KASIH SEMERAH LUKA 1988 WIM UMBOH
Actor
ITA SI ANAK PUNGUT 1973 FRANK RORIMPANDEY
Director
2 X 24 DJAM 1967 DANU UMBARA
Actor
BENINGNYA HATI SEORANG GADIS 1980 FRANK RORIMPANDEY
Director
MUTIARA DI KHATULISTIWA 1990 FRANK RORIMPANDEY
Actor Director
MUTIARA 1977 FRANK RORIMPANDEY
Actor Director
JOHNY INDO 1987 JIMMY ATMAJA
Actor
GEPENG BAYAR KONTAN 1983 FRANK RORIMPANDEY
Director
SEMALAM DI MALAYSIA 1975 NICO PELAMONIA
Actor

TAPAK-TAPAK KAKI WOLTER MONGINSIDI / 1982

TAPAK-TAPAK KAKI WOLTER MONGINSIDI



FRANK RORIMPANDEY Disutradarai bersama ACHIEL NASRUN

Kisah salah seorang pahlawan kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Wolter Monginsidi (Roy Marten) dilukiskan sebagai pemuda yang flamboyan, berani terkadang nekat, agak emosional. Ia dan pasukannya selalu mengganggu Belanda, dan diburu-buru, sampai akhirnya tertangkap. Ayahnya meminta ia menandatangani permohonan grasi, padahal itu salah satu tipu muslihat Belanda. Ia mati dihukum tembak.

Robert Wolter Mongisidi (bukan Monginsidi-red) adalah pemuda Minahasa dari suku Bantik yang ikut mengelorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada waktu itu. Belanda menghukumnya dengan tembak mati di usianya yang sangat muda, 24 tahun pada tahun 1949.

Setiap tahunnya, warga Suku Bantik yang tersebar di 11 pemukiman di Manado merayakan Festival Seni Budaya Bantik yang puncaknya jatuh pada 5 September yang merupakan hari di mana Mongisidi dihukum mati.

film yang diproduksi pada tahun 1982 itu. "Tapak-tapak Kaki Wolter Monginsidi" adalah film yang menceritakan kisah perjuangan pahlawan nasional asal Sulawesi Utara tersebut.

"Wolter Mongisidi merupakan tokoh yang luar biasa dan patut menjadi teladan.

Wolter Mongisidi menjadi merupakan salah satu tokoh penting yang sangat disanjung oleh warga Suku Bantik, Ketika jenasah Mongisidi diambil oleh keluarganya, dari balik Alkitab yang diapitnya ketika ditembak, terselip sebuah kertas yang bertulis tangan, "Setia Hingga Akhir dalam Keyakinan". Kini kalimat itu menjadi kalimat heroik warga Bantik.


Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.

Meski dilahirkan di Malala yang sekarang bagian dari Kota Manado Sulawesi Utara, namun ia memulai perjuangannya melawan penjajah Belanda di Makassar.

Anak dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa ini memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.

Mongisidi lalu dididik sebagai guru bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Mongisidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Mongisidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.

Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.
Meski dilahirkan di Malala yang sekarang bagian dari Kota Manado Sulawesi Utara, namun ia memulai perjuangannya melawan penjajah Belanda di Makassar.

Anak dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa ini memulai pendidikannya pada 1931 di sekolah dasar (bahasa Belanda: Hollands Inlandsche School atau (HIS), yang diikuti sekolah menengah (bahasa Belanda: Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.

Mongisidi lalu dididik sebagai guru bahasa Jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. Setelah studinya, dia mengajar Bahasa Jepang di Liwutung, di Minahasa , dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Mongisidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II.

Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Mongisidi menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar.

Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi dengan Ranggong Daeng Romo dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya melecehkan dan menyarang posisi Belanda.

Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947, tetapi berhasil kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini Belanda menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

Mongisidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Monginsidi meninggal di Pacinang pada usia yang terbilang masih muda, yakni 24 tahun.

Jasadnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950. Pemerintah Indonesia kemudian memberinya penghargaan Pahlawan Nasional yang diwakilkan kepada ayahnya, Petrus yang sat itu berusia 80 tahun.

Nama Monginsidi saat ini diabadikan sebagai nama jalan dan sebuah sekolah dasar di Makassar. Namanya juga diabadikan sebagai nama bandara di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara dan salah satu kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter Monginsidi serta nama kesatuan Yonif 720/Wolter Monginsidi.

Nama Monginsidi kembali santer setelah pemerintah memproduksi sebuah film berjudul “Tapak Tapak Kaki Wolter Monginsidi” pada tahun 1982 yang dibintangi Roy Marten

Selasa, 25 Januari 2011

PENYESAIAN SUMUR HIDUP / 1986

Sebuah film pengadilan. Sumi (Dewi Yull) harus masuk tahanan dan diadili karena suaminya, Aditya (Cok Simbara) lumpuh kemaluannya akibat tertusuk sebuah pisau. Mulai sidang pengadilan, dan mulai pula latar belakang masalah dibeberkan sedikit demi sedikit.

Suami sangat menderita dalam hidup perkawinannya karena penyakit suaminya itu. Ia tetap bertahan demi anaknya. Tapi, saat suaminya serong dengan Lena (Joice Erna), direkturnya, yang punya penyakit senang disakiti, maka Sumi seolah di puncak kesabarannya. Apalagi ia akan dicerai. Ia berniat membunuh suaminya saat sedang tidur, tapi niat itu tak sampai.

Yang terjadi: sang suami terbangun, kaget melihat pisau di tangan istrinya, dan berniat melompat menghindar. Gerakan ini malah menghampiri pisau dan terkena kemaluannya. Di akhir sidang pengadilan, anak kedua mereka yang masih bayi meninggal, hingga menimbulkan penyesalan seumur hidup.

GEPENG BAYAR KONTAN / 1983





Gepeng adalah tokoh dalam lawak Srimulat yang sangat populer sekali saat itu. Ketertarikan ia difilmkan dengan memboyong juga tokoh lawak Srimulat lainnya diharapkan film ini bisa menambah warna film komedi yang sudah banyak bintang saat itu, giliran Srimulat mendapat porsi untuk main ke dalam film. Tetapi sayang hanya ada dua film tentang Gepeng dan Srimulat ini, karena memang penonton tidak merasa lucu ketika srimulat di filmkan. Ternyata yang salah adalah bahwa lawakan mereka adalah lawakan ketoprak atau sandiwara panggung yang jaman dulu tahun 1920'an hingga 1930'an difilmkan juga sandiwara lawak seperti ini. Tetapi nasibnya sama, tidak selucu kalau mereka main di panggung. Ternyata Srimulat adalah lawakan panggung dengan konsep tradisional sandiwara banyolan. Ketika TVRI berhasil membuat penonton tertawa dengan tehnik shooting panggung yang dimana srimulat bermain diatas panggung dengan set panggung, sanggup mengocak penonton TVRI saat itu. Tetapi ketika di filmkan, dengan batasan skenario batas pengambilan gambar dan sebagainya, tidak selucu aslinya mereka.

Sebenarnya lawakan panggung adalah lawakan yang penuh dengan infrovisasi, hanya ada jalan cerita saja. Sedangkan ketika di filmkan, penuh dengan adegan dan dialoq-dialoq yang membuat mereka tidak bisa invrofisasi lagi. Belum lagi di film adanya batasan-batasan frame-kameranya.

Dengan menyimpan dendam, Gepeng (Gepeng) berangkat ke Jakarta untuk mencari pembunuh ayahnya. Kakaknya menitipkan sebuah benda pusaka (pistol) untuk sahabat almarhum. Di samping mencari pembunuh ayahnya, Gepeng bekerja pula membantu urusan bisnis sahabat almarhum ayahnya, Asmuni (Asmuni). Bisnis itu sedang dilanda keruwetan yang itu datang dari kawannya sendiri (Rachmat Hidayat). Keributan tak terhindarkan, bahkan sampai pada perkelahian. Akhirnya tabir rahasia terbuka dengan pengakuan Asmuni yang hampir mati sebagai pembunuh ayah Gepeng.




Terkenal sebagai salah satu jagoan Srimulat dan pelawak kenamaan Indonesia pada 1980-an, perjalanan karier Gepeng tidak mudah. Anak sulung Teguh Slamet dan Jujuk Juwariyah, Eko 'Koko' Saputro masih ingat betul awal kiprahnya.

Semula Gepeng adalah pemain kendang (pengrawit) dalam Ketoprak Cokrojiyo, cabang Aneka Ria Srimulat, yang bermarkas di Bale Kambang, Solo, Jawa Tengah. Sejak awal, Gepeng bersama bapak dan adik-adiknya memang melamar sebagai pengrawit dan diterima setelah melewati proses seleksi.

Mereka baru bekerja memainkan kendang ketika pentas lakon rehat di sela-sela pertunjukan. Namun harus siap sedia bila sewaktu-waktu dibutuhkan.

Tapi Gepeng memang tak bisa diam. Seringkali ia menyeletuk ketika pelawak seperti Matang dan Subur yang kala itu termasuk senior, tampil. Penonton pun dibuatnya terbahak-bahak.

"Sutradara Rustamhaji bingung kenapa penonton ketawa, dari belakang panggung ada celah untuk melihat ke penonton," kata Koko saat berbincang di Solo, beberapa waktu lalu. Rustam langsung melapor ke Teguh soal kelakuan Gepeng.

Teguh tak langsung percaya. Ia pun menyamar menjadi penonton untuk melihat sendiri. Faktanya, saat Gepeng usil menyeletuk, ia kepalang lucu.

Teguh lalu kembali ke belakang. Ketika esok jelang pentas, Teguh 'memutasi' Gepeng.

"Sudah, kamu mulai nanti malam enggak usah jadi pengrawit. Main ketoprak jadi dagelan," kata Koko menirukan perkataan Teguh kepada Gepeng.

Namun di panggung pertamanya, Gepeng justru mati kutu. Ia tak berkutik ketika Mantang dan Subur mengeroyok dirinya dengan lelucon yang jauh lebih lucu. Gepeng sadar tampil di atas panggung memang beda dengan asal nyeletuk.

Teguh tak puas dengan penampilan gagal Gepeng dan kemudian memindahkannya ke panggung Aneka Ria Srimulat Solo, yang juga dibintangi Mantang dan Subur.

Gepeng kembali mati kutu. Ia tak sanggup lagi 'dikeroyok' oleh dua seniornya itu demi memenuhi tantangan dari Teguh.

Di saat-saat inilah Gepeng kemudian mengadu kepada pelawak senior yang dijuluki Mbah Panggung. Beruntungnya, Gepeng dibela.

"Nanti saya ngomong ke sutradara. Saat kamu keluar [untuk pentas], aku juga minta dikeluarkan, biar ngikut. Aku pengin ngerti si Mantang sama Subur seberapa [lucu] sih," kata Mbah Panggung, sebagaimana dituturkan Koko.

Mbah Panggung bak balas dendam atas nama Gepeng. Mantang dan Subur tak berkutik. Sejak saat itu, Gepeng jadi anak didik Mbah Panggung. Perlahan tapi pasti, Gepeng semakin mahir melawak.


Ke Jakarta Tuk Meroket

Kemahiran Gepeng melawak masih belum membuat Teguh puas. Ia kemudian meminta Gepeng bergabung dengan Aneka Ria Srimulat Jakarta yang pentas di Taman Ria Senayan pada pertengahan 1981.

Jakarta nyatanya jadi rezeki Gepeng. Namanya meroket. Bahkan, ia mendadak jadi salah satu pelawak terlucu di masa itu. Saking lucunya, penonton sudah tertawa saat Gepeng yang tampil cepak belum berbicara.

Gepeng pun menuai massa penggemar yang besar dan jadi penyumbang penonton tertinggi Srimulat. Kepiawaiannya mengocok perut penonton menghasilkan pundi-pundi uang bagi Srimulat Jakarta.

Bahkan pernah suatu kali, seorang penggemar perempuan melemparkan kunci mobil ke arah Gepeng yang sedang mentas.

Biasanya, penonton melempar benda ke panggung sebagai bentuk apresiasi. Benda yang dilempar juga biasanya hanya rokok atau uang yang diremas.

"Kunci mobil dikembalikan, akhirnya jadi kenal kan penggemar ini. Penggemar mengajak makan Gepeng sama keluarganya, akhirnya jadi kenal dekat dan baik," kata Koko.

Tawaran mendulang uang terus datang kepada Gepeng melalui film. Semasa hidup, Gepeng pernah bermain dalam empat film yang bertajuk Gaya Merayu (1980), Untung Ada Saya (1982), Gepeng Mencari Untung (1983) dan Gepeng Bayar Korban (1983).

Gepeng menuai banyak uang dari proyek film. Jumlah yang tak pernah ia bayangkan dalam hidupnya. Gepeng mendadak jadi orang kaya.

Semakin lama ketenaran Gepeng makin di atas angin dan semakin sering menerima tawaran di luar panggung Srimulat. Teguh pun mengizinkan. Namun kadang Gepeng kerap nakal mengambil tawaran tak seizin Teguh.

Catatan Herry 'Gendut' Janarto dalam buku Teguh Srimulat Berpacu dalam Komedi dan Melodi menulis Gepeng pernah menerima pekerjaan 'liar' di Banjarmasin.

Pada 6 Januari 1986, sebuah keputusan Teguh menjadi mimpi buruk bagi Gepeng. Teguh memecat pelawak paling tenar itu dari Srimulat. Keputusan yang terbilang mengejutkan mengingat Gepeng adalah 'magnet' penonton bagi Srimulat, meski sering ambil tawaran di luar panggung.

Koko menyebut Teguh punya sejumlah pemikiran mendalam di balik keputusan itu. Alasan pertama, Gepeng dipecat karena sudah terlalu kaya dan bahkan sempat menyandang predikat pelawak terkaya pada masanya. Teguh ingin nama pelawak lain juga terangkat naik dan menambah pundi-pundi pribadi.

Alasan kedua, Gepeng telalu terkenal. Teguh khawatir ketenaran Gepeng membuat Srimulat tenggelam.

Ketiga, Teguh ingin Gepeng mengelola Ketoprak Cokroiyo. Ia merasa pelawak itu punya kemampuan jadi dalang dan sutradara.

"Aku kepengin ketoprakku ini dipegang oleh orang yang benar. Aku pilih kamu yang pegang," kata Teguh kepada Gepeng, dituturkan kembali oleh Koko.

Bukan hanya memberikan grup Ketoprak, Teguh juga disebut memodali puluhan juta rupiah untuk pengelolaannya. Meski begitu, tetap Gepeng merengek kepada Teguh karena dipecat dari Srimulat.

Namun Teguh bersikukuh. Suami Jujuk itu bahkan memberikan uang sebesar Rp400 juta kepada Gepeng, tabungan dari upah Gepeng menerima tawaran di luar Srimulat.

Teguh memang kerap menyisihkan pendapatan pemainnya untuk tabungan mereka di kemudian hari.

Usai diusir Teguh, Gepeng berusaha mengelola Ketoprak Cokroiyo. Namun apa daya, ia tak seandal mentornya. Grup itu pun bangkrut. Bahkan memiliki utang.

Ketika mendengar kabar itu, Teguh kecewa berat. Ia menyesal memberikan uang tunai kepada Gepeng yang gampang menghamburkan uang.

Dari pelawak terkaya, Gepeng terperosok dan tak punya apa-apa. Bahkan, kata Koko, Gepeng tak sanggup membayar kontrakan di Jakarta yang berada di dekat rumah Teguh di Slipi, Jakarta Barat.

Gepeng memberanikan diri untuk kembali ke Srimulat dengan mendatangi Teguh, walau ia amat malu. Ia sempat ragu bertamu ke rumah Teguh dan hanya menunggu di warung. Sampai akhirnya Koko yang masih remaja memergoki Gepeng.

"Karena saya tahu banget watak bapak saya kayak apa, enggak mau ketemu pemain yang sudah dikeluarkan," kata Koko.

"Saya cuma ngomong (pada Teguh) 'pak dicariin itu lho'. Setelah Gepeng masuk, saya disuruh pergi. Tapi saya menguping."

Teguh sebenarnya senang Gepeng datang karena ingin sang bintang kembali ke panggung. Utang Gepeng senilai Rp5 juta pada dirinya pun tak terlalu dihitung-hitung.

Gepeng berbinar mendapatkan tawaran tersebut. Ia dijadwalkan tampil di Srimulat Jakarta tiga hari, di Semarang selama dua hari, dan Surabaya pada dua hari -- sebagai cara membayar utang.

Di akhir perbincangan, Teguh memanggil Koko yang asyik menguping di balik pintu. Teguh lalu meminta putranya itu mengantar Gepeng ke dealer penjualan mobil keesokan harinya.

Setelah mengantar Gepeng membeli mobil Mitsubishi Galant hijau di keesokan hari, Koko melihat Teguh sudah menunggunya di rumah dengan mata berkaca-kaca. Suatu hal yang tak pernah Koko alami sebelumnya.

"Saya mau nanya enggak berani," kata Koko.

"Akhirnya saya pura-pura makan di dekat ruang makan. Bapak saya lagi duduk baca koran. Terus bapak saya ngomong lagi ke saya, 'udah dianterin? Udah dikasihkan?'"

Sembari keheranan Koko bertanya kepada ayahnya, mengapa ia mau memanjakan anak buahnya. Kebiasaan itu memang jarang dilakukan Teguh.

"Jawabannya cuma satu dan itu saya enggak bisa tanya apa-apa lagi. 'Umurnya enggak panjang'," kata Koko menirukan ucapan Teguh soal Gepeng.

Ramalan itu jadi kenyataan. Freddy Aris alias Gepeng meninggal dunia pada 16 Juni 1988, hanya lima bulan setelah ia manggung kembali dengan Srimulat. Disebutkan, ia meninggal karena penyakit liver.

Dalam masa lima bulan itu, Gepeng kembali menjadi magnet bagi penonton Srimulat. Saat ia manggung gedung selalu ramai. Dalam tujuh kali penampilan, 90 persen lebih kursi penonton selalu terisi.

Mantra 'untung ada saya' ternyata mustajab hingga akhir hayatnya.

MUTIARA DI KHATULISTIWA / 1990



Kisah kampanye membangun daerah. Sofyan (Eeng Saptahadi). Yulia {lyut Bing Slamet) dan Andri (Alvian) adalah tiga pemuda asal Palu, Sulawesi Tengah, yang merantau ke ibukota mencari ilmu. Sofyan kembali ke Palu dan membangun daerahnya. Yulia mulanya sinis dan memperlihatkan kebencian terhadap Sofyan, yang dicintainya namun sudah punya pacar bernama Deilira (Ria Irawan). Berkat kegigihan Sofyan memperlihatkan niat baiknya membangun daerah asal, Yulia dan Andri sadar bahwa sebagai putra daerah mereka tak boleh melupakan kampung halaman.

MUTIARA / 1977

 

Suami istri Gunadi (Yoseano Waas) dan Mira (Debby Cynthia Dewi) pecah, karena Mira serong. Anak mereka, Mutiara (Lia Santoso), akibatnya jadi nakal, sampai-sampai gurunya, Hanna (Marina Gardena) harus mengadakan pendekatan terhadap ayahnya. Akibatnya lagi, Hanna dan Gunadi jadi akrab. Padahal ada pemuda lain yang diam-diam mencintai Hanna. Sementara itu, Mira dikecewakan pacarnya yang serong di hadapan matanya, dan ingin menemui anak yang ditinggalkannya sejak bayi. Ketika Mira celaka berkelahi dengan pacarnya dan dirawat di rumah sakit, Hanna berhasil mempertemukan ibu dan anak..

BENINGNYA HATI SEORANG GADIS / 1980

BENINGNYA HATI SEORANG GADIS


Guntur (Roy Marten) gagal mendekati Larasati (Gina Adriana). Kemudian ia dekati adiknya, Lestari (Ita Mustafa). Akibatnya kakak-beradik itu terlibat konflik. Kemudian, terbuka rahasia bahwa sebenarnya Larasati bukan anak kandung dalam keluarga itu, meski dialah yang selama ini mencari nafkah dengan menjadi guru. Larasati memilih pergi dan Lestari menjadi korban pelampiasan Guntur.

ARIE HANGGARA / 1985



Ini adalah kisah nyata saat itu, bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya hingga anaknya tewas. Berita ini cukup heboh dan menggemparkan kebencian masyarakat atas orang tua ini. Sehingga cerita diambil kisah nyata ini di filmkan. Film terlaris I di Jakarta, 1986, dengan 382.708 penonton, menurut data Perfin.

Tino Ridwan (Deddy Miswar) menginginkan anaknya seorang anak yang jujur dan penurut Untuk itu dia menanamkan disiplin keras. Cara ini berakibat buruk. Ketiga anaknya adalah hasil perkawinannya dengan istri pertama yang diceraikannya. Karena kehidupan ekonomi yang menghimpit, anak anak dititipkan pada orang tuanya. Setelah kehidupannya agak mapan, Tino yang hidup bersama pacarnya Santi (Joice Erna), menjemput anak anaknya. Suatu hari Santi menemukan sejumlah uang di dalm tas sekolahnya Ari. Timbul kecurigaan pada Tino, karena dia tidak pernah memberi Ari uang dalam jumlah besar. Tino berkesimpulan Ari telah mencuri uang. Padahal uang itu didapat Ari dari pemberian orang yang telah ditemukan dompetnya. Maka Tino dan Santi menghukum Ari. Di luar dugaan, hukuman yang terlalu berat bagi Ari berakibat fatal. Ari meninggal dunia. Tino sangat menyesal, tetapi terlambat. Tino dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia ditahan dengan dakwaan menyiksa anak kandung sendiri.


News
03 Mei 1986

Melintas badai bajakan

PEMBAJAKAN film ke video kaset kian seru. Film Arie Hanggara, yang baru dua hari diputar di Jakarta, kasetnya sudah tersedia di tempat penyewaan video. Film Sebening Kaca, yang baru diputar untuk kalangan terbatas, kaset videonya juga sudah muncul. Yang luar biasa, kasus film Melintas Badai. Film ini lolos sensor 23 Maret lalu, dan oleh PT Virgo Film dijadwalkan main 2 April di Ujungpandang. Ternyata, kaset videonya sudah muncul di tempat penyewaan kaset pada 28 Maret. Tudingan yang dialamatkan ke gedung bioskop sebagai satu-satunya tempat pembajakan, dengan kasus Melintas Badai, diragukan kebenarannya. "Kemungkinan terkuat, pembajakan dilakukan di Badan Sensor Film," kata Pengacara Henry Yosodiningrat, S.H., yang mewakili 20 produser yang film-filmnya dibajak, pekan lalu. Sesuai dengan ketentuan resmi, sebuah film baru bisa dipindahkan ke video kaset setelah masa putar tiga tahun. Tapi kenyataannya tidak demikian. Bustal Nawawi dari PT Prasidi Film, Februari lalu, mencak-mencak ketika filmnya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap, diketahui video bajakannya beredar seminggu setelah film itu diputar. "Langsung saya menghubungi pengacara, dan produser yang senasib. Tapi, waktu itu, mereka kelihatan takut," ujar Nawawi. Ketakutan para produser, konon, karena pembajak sudah merupakan sindikat. "Sekarang sudah ada alat yang disebut telecine, yang bisa memindahkan dari proyektor ke rekaman langsung. Hasil rekaman sangat bersih, coba lihat film bajakan Arie Hanggara," kata Nawawi lagi. Apakah pembajakan tak mungkin dilakukan di tempat lain?

Mengingat perjalanan film sampai ke bioskop cukup panjang, Nawawi, produser yang menghasilkan tiga film, dan semuanya dibajak, tak menolak kemungkinan itu. Ia lalu menjelaskan tahap-tahap yang ditempuh sebuah film setelah diproses di laboratorium luar negeri. Pertama kali, film itu singgah di gudang pelabuhan udara di luar negeri, kemudian bertahan di Bea Cukai Cengkareng antara tiga dan empat hari, menunggu penyelesaian surat-surat. Dari Cengkareng film dikawal ke Badan Sensor Film. Di sini menunggu penyelesaian 5 sampai 15 hari. Setelah lolos sensor, film masuk gudang produser menunggu giliran putar. "Di setiap tahap itu, bisa saja film dicuri untuk dibajak," kata Nawawi. Untuk itu Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) sudah membentuk Tim Penanggulangan Pembajakan, yang diketuai Moh. Sadikin Natadipura. "Segera dijajaki kemungkinan-kemungkinan penyalinan sejak film itu keluar dari laboratorium sampai lolos sensor BSF. Termasuk keadaan di Bea Cukai diteliti,' ujar Sadikin. Yang memberikan reaksi terhadap pembajakan baru BSF. "Mana mungkin kami melakukan pembajakan itu? Selain tidak memiliki peralatan canggih, pada waktu penyensoran, para pemilik film itu juga hadir, kok," kata Ketua BSF Thomas Soegito. Dirjen RTF Drs. Subrata tak kalah terkejut, ketika BSF ini dibawa-bawa oleh Penasihat Hukum Henry Yosodiningrat.

"Masya Allah, kalau pembajakan itu dituduhkan ke alamat BSF," kata Subrata, sembari menyesalkan keterangan penasihat hukum para produser itu. "Pemberantasan pembajakan tidak perlu menggunakan bahasa emosional. Mestinya, rasional dan konsepsional." Kesalahpahaman memang terjadi gara-gara disebut-sebutnya BSF. Sampai-sampai, menurut sumber TEMPO, BSF menunda pengeluaran surat tanda lolos sensor untuk film baru. Alasannya, blangko surat sedang kosong. "Sebelum ini tak ada alasan seperti itu," kata seorang produser. Dan, Henry sudah pula mengajukan permohonan bertemu dengan Ketua BSF, supaya persoalan menjadi jelas. "Saya tidak menuduh lembaga BSF melakukan pembajakan. Saya mengatakan pembajakan kemungkinan di BSF, bukan oleh BSF," ujar Henry. Pengacara muda ini sudah melaporkan hasil temuannya ke polisi. Disertai daftar film yang dibajak, saat ditemukannya kaset bajakan itu, dan juga dilaporkan sejumlah kedai video yang menyewakan kaset bajakan. Tetapi, Henry sadar, laporan itu tak akan menyelesaikan masalah. "Sebab, dari seluruh perangkat undang-undang yang ada, tidak ada satu pun peraturan yang bisa dijadikan penangkal pembajakan," katanya. Menurut Henry, kalaupun seseorang terbukti membajak, hukumannya hanya denda Rp 50.000. "Kalau kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, tidak mustahil produser film menghentikan produksinya, karena bangkrut," tambah Henry. Henry menyebut contoh film Arie Hanggara ketika diputar di Lampung. "Dua hari pertama menyedot 14 ribu penonton.

Hari ketiga hanya 5 ribu penonton, karena saat itu video didrop ke sana," katanya. Nawawi menambahkan, film Hati yang Perawan menderita rugi Rp 80 juta gara-gara video bajakannya lebih laris dari rumah ke rumah. Yang paling sengsara, film Melintas Badai, karya Sutradara Sophan Sophian, yang dibintangi oleh Marissa Haque. "Harapan saya film ini memasukkan Rp 250 juta. Sekarang dapat Rp 150 juta saja sudah bagus," kata Ferry Anggriawan, produser Virgo Film. Ada contoh lain yang menguatkan sinyalemen Henry. PT Tobali Film memproduksi film Sunan Kalijaga dengan biaya Rp 700 juta dan dikerjakan dua tahun, karena perlu riset. Film itu dibajak setelah setahun beredar. "Sampai sekarang film itu baru memasukkan Rp 600 juta," kata Gunawan, pimpinan Tobali Film. Pengusaha ini belum kapok. Dibuat lagi film Syekh Siti Jenar dengan biaya Rp 400 juta, beredar 1985. "Entah kapan biaya itu kembali, videonya sudah ada secara gelap," sambung Gunawan. Kini, Tobali Film menjadi pengedar bukan memproduksi. Henry yakin bahwa hanya dengan ancaman hukuman yang berat, masalah pembajakan ini bisa dikurangi. Untuk itulah, dalam waktu dekat ini, ia akan mengunjungi DPR. "Keresahan produser film perlu disampaikan," katanya. Putu Setia Laporan Moebanoe Moera & Eko Yuswanto

16 Agustus 1986
Anak betawi dengan dua piala

DUA Piala Citra tidak mampu mengubah penampilan Deddy Mizwar sehari-hari. Ia tetap saja muncul sederhana, walau dikerumuni penggemarnya di Hotel Sanur Beach yang berbintang lima atau tampil di panggung terbuka Werdi Budaya, Denpasar. Ini adalah acara Pekan Film Daerah Bali yang dibuka Jumat malam pekan lalu dan berakhir Senin malam pekan ini, diisi diskusi, pemutaran film, dan pawai.

Dan Deddy Mizwar tampil dalam semua kegiatan itu. Anak Betawi ini, yang memang tak biasa dengan dunia gemerlapan para bintang, mengaku tidak punya jas. "Bukannya aku tak bisa. Tapi aku tak suka suasana seperti itu." Selama pekan itu, jika mobil jemputan panitia tak muncul, Deddy terkadang naik bemo. Atau nebeng mobil VW Safari yang disewa wartawan. "Di Jakarta, kalau aku pulang dari tempat pacar, aku biasa naik mikrolet." Bukan Deddy tak suka tampil di depan umum. Ia sibuk melambai-lambaikan tangan dan menerima salam khalayak yang memenuhi jalan ketika rombongan artis Jakarta diarak di Denpasar. Ia hadir di gedung bioskop yang memutar film yang dibintanginya. "Kita harus menghargai penonton film nasional, di tengah tidak seimbangnya jumlah film nasional dan film impor," katanya. Deddy Mizwar, anak ketiga dari enam bersaudara yang lahir 5 Maret 1955, adalah aktor yang menonjol sekarang ini. Ia sudah malang-melintang di panggung drama pada awal 1970-an. Pertama kali mendapat peran utama dalam teater pada 1973, lewat pementasan Matahari Sore Bersinar Lembayung karya N. Riantiarno yang disutradarai Aldizar Syafar. Ialah pemain yang, bersama grupnya, dulu ditandai dengan lagu dialognya yang model Indo alias tak sama dengan cara bicara sehari-hari ("Tidak begittun, Mammaaa ... Akku Chinta Khau!"), dengan naskah-naskah yang kebanyakan blasteran. Tahun 1975 ia pemain terbaik Festival Teater Remaja se-Jakarta, acara tahunan Dewan Kesenian Jakarta. Grupnya sendiri Teater Remaja Jakarta namanya -- meraih kejuaraan pertama dan berhak mendapat pembinaan dan sekaligus kesempatan pentas di TIM. "Saat itu aku memang sudah gila-gilaan di teater. Tak terbayang sama sekali akan melangkah ke film." Adalah Wahyu Sihombing, salah seorang pembina teater para muda itu, yang lalu menawari Deddy bermain film dalam Cinta Abadi, 1976. Langsung peran utama. "Banyak hal yang mengagetkan. Aku masih buta dunia yang kumasuki. Apalagi shooting hari pertama itu kebetulan di hari kelima pementasan dramaku di TIM. Adegan yang kulakukan: berpelukan, terus berciuman, dengan lawan main yang tidak kukenal. Aku gemetar. Ha hak haak ...(tertawa). Di panggung teater, adegan berciuman paling-paling hanya simbolis.

Tapi di film, sungguhan ! Ditonton banyak orang. Diterpa lampu sekian watt. Panas. "Saya kemudian banyak belajar teknik perfilman. Format film harus juga diketahui. Kalau yang di-shoot hanya mata, bagaimana mengorganisir seluruh kemampuan akting pada mata? Belum lagi kalau adegan yang diambil melompat-lompat. Dalam teater, itu 'kan tidak ada." Bukankah semuanya bisa diberi petunjuk sutradara? "Memang. Tapi yang keluar nanti akting yang teknis saja. Bukan akting wajar. Memerankan tokoh (di film maupun teater) adalah menjadikan tokoh itu manusia. Untuk itu perlu analisa." Dalam Arie Hanggara, film yang menyebabkannya memperoleh Citra untuk pemeran utama pria, ia menganalisa tokoh Machtino dengan, antara lain, mengunjunginya di penjara. "Karena, modelnya sudah ada," katanya. "Di film Opera Jakarta, jenderal yang saya mainkan adalah gabungan dari banyak hasil pengamatan. Memegang tongkat, saya tiru dari seorang tokoh. Berjalan, dari tokoh lain. Begitu banyaknya, sehingga sosok jenderal di Opera Jakarta pasti tak ada modelnya, ha hak haak .... "Stanislavsky sudah bilang akting itu bukan sekadar gerakan dan ucapan, tapi motivasi apa yang mendorong lahirnya gerakan dan ucapan. Ini 'kan perlu penghayatan mendalam. Aktor itu harus banyak belajar, ha hak haak ...." Dan dalam hal itulah ia melihat kelemahan dunia bintang film Indonesia. "Yang diperlukan para bintang saat ini adalah bagaimana menciptakan iklim kebutuhan belajar itu," katanya. Ia sendiri mengakui, ketika memasuki Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta, 1980, yang dicarinya adalah kebutuhan belajar. "Banyak bintang, aku tak menyebutkan nama, yang populer pada suatu periode, tetapi karena tak mau belajar meningkatkan akting, hilang dari peredaran.

"Yang saya katakan adalah belajar terus-menerus. Tidak selalu harus teater. Jenny Rahman awal-awalnya hanya bermodal paras cantik dan keberanian memamerkan tubuh. Tapi ia segera belajar lebih tekun ketika bersama Teguh Karya -- kemudian dipoles lagi ketika ditangani Sjumandjaja. Christine Hakim juga begitu, tidak lewat teater." Menumbuhkan iklim belajar ini, menurut Deddy, bisa lewat bentuk sanggar, seperti yang dilakukan Teguh Karya. Trend film nasional sekarang ini, dalam pengamatan anak muda yang suka wayang golek ini, sudah membutuhkan aktor dan aktris yang matang. Penonton sudah mulai memperhatikan akting, tidak lagi paha dan pipi yang mulus. "Buktinya film-film unggulan FFI juga menyedot banyak penonton. Produser pun sudah mulai membuat film yang tidak hanya mengikuti selera pasar. Lagi pula, apa, sih, selera pasar ? Kita bisa mengatur selera itu ! ha ha...." Dari 21 film yang dibintanginya, Deddy sulit mengatakan mana filmnya yang paling bagus, mana permainannya yang paling menonjol. "Kalau saya bermain film, saya bermain habis-habisan, seperti di teater. Karena itu, betapa tak masuk akalnya kalau ada bintang film yang bermain rangkap sampai tiga atau empat film." Tapi bujangan yang akan menikah pekan depan ini -- dengan Giselawati, sarjana komputer berdarah Sunda -- pernah bermain rangkap. Pada saat Arie Hanggara tinggal bagian akhirnya, ia sudah harus terjun dalam jadwal Pengantin Baru. "Capeknya luar biasa. Capek mikir. Kepala ini terasa pecah. Tapi, itu karena di luar perencanaan." Lalu ia tertawa lagi: hak hak hak haaaaak .... Putu Setia

18 Mei 1985
Kasetnya telah beredar

BOCAH malang Arie Hanggara, yang mati di tangan ayahnya itu, batal dimonumenkan lewat patung karena diprotes pihak keluarganya. Tapi tak lama lagi, kaset yang menceritakan nasib bocah tersebut akan beredar di masyarakat. Kaset cerita yang berisikisah-kisah sedih Arie ini diproduksi pasangan penyanyi tahun 1960-an, Ony Soerjono dan Tuty Soebardjo. "Ini kisah yang sebenarnya tentang Arie," kata Tuty, yang bersama suaminya mengelola Ony Record. Menurut Tuty, kaset cerita Arie, yang baru akan beredar pekan depan, dikerjakan mereka kurang dari sebulan dan menelan biaya Rp 15 juta. Yang mereka tunggu, ditariknya kaset-kaset lain tentang Arie, yang dibuat tanpa diketahui keluarga korban. Henry Yosodiningrat, S.H., penasihat hukum Machtino Eddiwan - orangtua Arie yang kini mendekam di penjara - sudah memasang iklan di koran Ibu Kota. Isinya melarang peredaran kaset mengenai musibah Arie Hanggara. Iklan itu ditujukan untuk kaset yang tak jelas siapa produsernya. "Soalnya, kaset-kaset itu tanpa izin dan pihak Machtino," kata Tuty. Ia menambahkan, satu-satunya perusahaan yang mengantungi izin adalah Ony Record. "Kalau tidak begitu, ceritanya nanti simpang siur."

AKIBAT BUAH TERLARANG / 1984

 

Film ini awalnya ditolak Badan Sensor Film (BSF). Akhir cerita aslinya yang melukiskan Satrio membunuh Ayuna, diminta diganti.

Meski dilarang saudara-saudaranya, Ayuna (Ayu Azhari) dan Satrio (Chris Salam) nekat hidup bersama. Acara perkawinan dan malam pengantin dilakukan berdua saja seolah seperti permainan anak-anak. Masa indah itu perlahan-lahan punah. Realitas kehidupan harus dihadapi. Satrio mulai goyah. Konflik kecil menjadi membesar saat Satrio melihat Ayuna menerima sejumlah uang dari sahabat lamanya menjelang kelahiran bayinya. Sang bayi tetap tidak mampu mendekatkan pasangan muda ini. Satrio makin rapuh, sedang Ayuna yang berusaha bertahan akhirnya tak kuat dan mencoba bunuh diri. Untung terselamatkan dan perkawinan mereka diresmika.
P.T. GARUDA FILM

AYU AZHARI
CHRIS SALAM
RATNA RIANTIARNO
ZAINAL ABIDIN
ADITYA DEWI
IDA KUSUMAH
YENNY FARIDA
YAYUK SRI RAHAYU
NYOMAN AYU LENORA

BAYANG-BAYANG KELABU / 1979



Kisah satu keluarga Duta Besar yang terdiri dari ayah, ibu dan tiga orang anak kembali ke Indonesia. Kesulitan dalam menyesuaikan diri dalam kehidupan di Indonesia lebih dikarenakan oleh latar belakang dan masalah pribadi masing-masing,kecuali Yenni (Ricca Rachim, anak ke tiga. Rani (Rae Sita) selalu memimpikan suaminya kembali.Sang diplomat Rasyid Subadi)selalu terkenang masa lampaunya. Tony (Amy Prijono) ingin jadi teroris tapi tidak berani sendirian, karena bayangan ibunya yang tertembak di depan matanya selalu hadir. Yenni hidup sebagai jururawat di rumah sakit jiwa.Dalam kisah ini muncul tokoh penyegar, yaitu Taslim (Azwar AN) yang hanya ingin menjadi pelayan hotel. Namun semua tokoh akhirnya kembali pada kenyataan sebenarnya.

SATU MAWAR TIGA DURI / 1986


Hendra (Deddy Mizwar) anak keluarga kaya yang telat kawin,pernah ia jatuh cinta pada Rini (Ita Mustafa). Rini tinggal bersama tiga pamannya yang masih bujangan dan menjadi duri bagi Hendra. Masing-masing paman menghendaki Rini kawin dengan pemain teater, petinju atau penerjun. Satu demi satu Hendra mengelabuhi pamannya tadi. Hanya bibinya yang membantu Rini, ia menyalahkan paman-paman tadi sampai mereka belum kawin meski sudah cukup umur.

BERSEMI DI LEMBAH TIDAR /1981



Marsaban (Tino Karno) menjalin kasih dengan gadis Ita (Sandra Ciptadi). Dalam pergaulan selanjutnya, Ita malah menjauhi Marsaban, berpacaran dengan pemuda lain karena Marsaban bercita-cita ingin masuk AKABRI. Sebagai keluarga miskin Marsaban hanya hidup bersama ayahnya Matadi (Benyamin S),sementara ibunya telah lama meninggal. Untuk menyambung hidup mereka berdagang rokok. Kendati miskin Matadi tetap jujur dan berusaha bekerja keras sebisanya. Marsaban kemudian berhasil masuk AKABRI dan lulus dengan pujian. Akhirnya Ita yang dulu meninggalkan Marsaban segera mencari dan menemukannya kembali.Film ini ingin bermaksud menyampaikan pesan bahwa AKABRI merupakan pilihan yang baik.

COLAK-COLEK / 1979



 
Film ini menginspirasikan atas lakunya lagu Rhama Irama dan Elvi Sukaesih. Lagu ini menginspirasikan pergaulan anak-anak muda saat itu yang sudah mulai berani dalam hal bercinta dan juga bergaul. Tetapi Rhoma dan Elvi di gantikan dengan....

Seorang pemusik dangdut dari Medan (Reynold Panggabean) mengadu nasib ke Jakarta, berpacaran dengan Camelia (Camelia Malik). Mereka dicemooh adik Camelia yang suka disco, hingga hubungan mereka putus. Setelah melalui jalan yang berliku-liku, keduanya bersatu kembali dan mencapai puncak ketenarannya melalui lagu "Colak-colek.

NANTI KAPAN-KAPAN SAYANG / 1990



Dami (Eva Rosdiana Dewi) dan Dodi (Dwi Yan) sama-sama sibuk dengan karirnya, hingga tak sempat memikirkan untuk punya keturunan. Kehidupan rumah tangga mereka tenteram karena mereka jarang bertemu. Dami sibuk sebagai pemandu wisata dan Dodi pengawas agen rokok di berbagai daerah. Soal anak, mereka selalu berkata "nanti kapan-kapan sayang". Hal ini berheda dengan pasangan Rini (Dewi Yull), sahabat Dami, yang sejak menikah dengan Remi (Roni Tripoli) meninggalkan pekerjaannya sebagai pemandu wisata dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Masalah muncul ketika ada pria lain mengikuti Dami, sementara Dodi dianggap ada main dengan gadis lain. Dua-duanya saling cemburu. Dalam memecahkan masalah ini Rini berperan dengan usul-usulnya yang ternyata malah membuat tambah kacau.