Tampilkan postingan dengan label FRITZ G. SCHADT 1963-1986. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FRITZ G. SCHADT 1963-1986. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Januari 2011

FRITZ G. SCHADT 1963-1986

 
 
Sutrdara berdarah Jerman ini lahir di Medan, 1940, mendapat pendidikan hingga tingkat 2 fakultas hukum. Terjun ke dunia film lewat peran kecilnya dalam film Kuala Deli 1955, setelah itu beberapa tahun menjadi anak didik Usmar ISmail di Perfini, bidang yang dipilihnya editing. Ia banyak mengedit film hingga menjadi sutradara pada tahun 1971, disamping itu juga mengajar di akademi sinematograpfi LPKJ

Nama :Fritz G. Schadt
Lahir :Medan, Sumatera Utara, 21 Mei 1940
Wafat :5 Maret, 2001
Pendidikan :SMA,Fakultas Hukum, tingkat II

Profesi :Sutradara,Editor,Pemain Film,Pengajar di Akademi Sinematografi LPKJ
Ia terjun ke dunia film pertama kali sebagai figuran untuk film Kuala Deli (1955), Fritz muncul kembali sebagai pemain pembantu dalam film Sungai Ular (1961) dan Penyeberangan (1963).
Tahun 1964, ia pernah bekerja di Perfini sebagai pembantu editor dalam film-film Anak-anak Revolusi, (1964), Liburan Seniman (1965), Insan Bahari (1966), Bima Kroda (1967). Tahun 1967, Fritz secara penuh mengedit film Operasi Tjendrawasih II (1967). Film Yudha Bhakti (1968) juga diedit olehnya.

Fritz kemudian menjadi pembantu sutradara untuk film-film Djampang Mentjari Naga Hitam (1968), Mat Dower (1969), juga sebagai pemain. Si Bego Menumpas Kutjing Hitam (1970), Si Bego dari Muara Tjondet (1971). Ia mulai menjadi sutradara penuh dalam film Si Gondrong (1970). Selanjutnya Fritz menyutradarai film-film Lingkaran Setan (1972), Ibu Sejati (1973), Bobby (1974), Jinak-jinak Merpati (1975), Balada Dua Jagoan (1977), Si Ronda Macan Betawi (1978).

Setelah jadi sutradara penuh ia juga masih menjadi editor untuk film-film Malin Kundang (1972) dan Ibu Sejati (1973). disamping kesibukan membuat film, Fritz juga menjadi pengajar di Akademi Sinematografi LPKJ (IKJ).

DARI dahulu hingga sekarang lekak-liku pembuatan film selalu menarik perhatian orang ramai. Aspeknya yang amat beragam menempatkan soal pembuatan film ini dalam posisi yang tidak bisa sekali dikisahkan pada halaman-halaman TEMPO yang juga terbatas ini. Lagi pula soal yang dihadapi tiap orang film, aktor, aktris, karyawan ataupun produser, tentulah berbeda-beda adanya.

Melalui wawancara mereka dengan kepala desk film Salim Said, mudah-mudahan para pembaca TEMPO yang berminat terhadap dunia perfilman bisa secara berdikit-dikit mengetahui apa yang lazim disebut kegiatan di belakang layar. Berturut-turut berikut ini dapat diikuti bagian-bagian penting percakapan Salim Said dengan sutradara muda Fritz G.Schadt, 33 tahun dan Washi Dipa, produser dan pemilik PT Dipa Djaja Film yang mempercayakan modalnya pada kreativitas sutradara muda kelahiran Medan itu.

FRITS G.SCHADT Tentang film terbaru saya: Takdir, produsernya, Washi Dipa, sebelumnya berpesan agar jadinya tidak macam Lingkaran Setan (LS). Menurut dia, LS ini terlalu berat buat penonton kita di sini' "Anda supaya membuatnya lebih ringan sedikit. Ya, seperti film-film India, begitu", kata Washi. Maka saya membuatnya secara biasa saja, tidak macam membuat LS yang saya kerjakan dengan segala daya kreatifitas dan intrepretasi, sehingga film tersebut menjadi karya kebanggaan saya. Jadinya saya hanya mengikuti hukum-hukum pembuatan film serta skenario yang ditulis oleh M.Aminudin. Ya, skenario itu sendiri telah diubah oleh Aminudin atas permintaan kita, dan dalam penuangannya ke dalam seluloid saya lakukan lagi perubahan- perubahan.

Pemain & keseimbangan. Kesanggupan para pemain kita tidak selalu mencapai keinginan saya untuk membuat sesuatu dalam satu shoot. Dengan Wolly Sutinah, misalnya, saya dihadapkan kepada soal tentang bagaimana mencegahnya agar dia tidak bermain rutin seperti yang selalu ia lakukan di panggung, di banyak film atau juga di depan kamera TVRI Mungkin sekali keterangan dan penjelasan saya sulit ditangkapnya, sehingga permainannya jadinya agak karikatural. Saya kurang puas dengan permainan Wolly Sutinah yang ini. Adegan introduksi Surabaya yang berakhir pada kelihatannya tugu pahlawan lalu meloncat (intercut) ke Jakarta kembali itu, saya kira bukan kekeliruan editing secara fisik.

Habis skenarionya mau begitu, mau apa lagi saya. Kalau harus merevisi seluruh skenario sambil membikin film, wah, ya, sulit dan tidak mungkin. Tapi saya sadar betul bahwa itu mengganggu ilusi penonton. Soal kekeliruan kesinambungan (continuity), ya, ini mungkin saja terjadi tanpa kita perhatikan karena yang kita edit adalah bahan yang hitam-putih belum dicetak warna, jadi sulit melihat perbedaan dari suatu yang mustinya memang sama. Tapi pangkal dari kekeliruan kesinambungan itu adalah karena saat pemotretannya tidak sekaligus. Ini bisa dikurangi kalau kita berpegang pada salah satu dari dua pendekatan: pendekatan pemain atau pendekatan tempat. Dengan pendekatan pertama, seorang pemain dipotret harus terus menerus sampai selesai, untuk kemudian, memberi giliran pemain lainnya. Sedang dengan pendekatan kedua, kita tergantung pada tempat. Kalau tempat itu A, misalnya, maka semua pemain yang kelihatan di A harus secara bersama dishoot di tempat tersebut, untuk kemudian pindah lagi ke tempat lain setelah seluruh adegan di sana selesai. Tapi merangkapnya, banyak artis pada beberapa produksi sekaligus tidak memungkinkan kita menganut satu dari dua pendekatan ini. Saya tidak mungkin terus menerus mendapatkan Rima Melati pada suatu tempat (set) yang sedang saya kerjakan, sehingga terpaksa harus kembali lagi menyambung adegan yang terputus beberapa waktu sebelumnya. Dari sinilah menyelinapnya ketidaksinambungan itu.

Kompromi & pemesan. Dengan producer kita memang harus berkompromi. Lagi pula saya bukan tipe sutradara yang terlalu bersikeras pada suatu prinsip. Saya tahu jumlah uang yang dipertaruhkan produser yang juga tidak berdiri sendiri. Ia juga masih harus berhadapan dengan pemesan (booker) film dan kadang-kadang bahkan pemilik gedung bioskop. Dalam film Takdir ini misalnya, kita merasa sudah menggunakan bintang-bintang terkenal macam Dicky Zulkarnaen. W.D. Mochtar, Rima Melati, Wolly Sutinah, dan sebagainya, tapi si pemesan masih saja mengeluh: "Wah, Dicky, ini kurang di daerah kami, kalau pakai Sophan dan Widyawaty, tutup mata saya beli, deh". Ini menjadi bahan pemikiran producer,
 

LINGKARAN SETAN1972FRITZ G. SCHADT
Director
NAGA MERAH 1976 FRITZ G. SCHADT
Director
IBU SEJATI 1973 FRITZ G. SCHADT
Director
MIDAH PERAWAN BURONAN 1983 FRITZ G. SCHADT
Director
ANAK YATIM 1973 FRITZ G. SCHADT
Director
SI BEGO MENUMPAS KUTJING HITAM 1970 LILIK SUDJIO
Director
SUZIE 1966 LILIK SUDJIO
Actor
PENJEBERANGAN 1963 GATUT KUSUMO
Actor
CACAT DALAM KANDUNGAN 1977 FRITZ G. SCHADT
Director
JAKA GELEDEK 1983 FRITZ G. SCHADT
Director
BUAYA PUTIH 1982 FRITZ G. SCHADT
Director
PEMBALASAN NAGA SAKTI 1976 FRITZ G. SCHADT
Director
BALADA DUA JAGOAN 1977 FRITZ G. SCHADT
Director
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Actor
TAKDIR 1973 FRITZ G. SCHADT
Director
KUPU-KUPU BERACUN 1984 FRITZ G. SCHADT
Director
SI GONDRONG 1971 FRITZ G. SCHADT
Director
BANG KOJAK 1977 FRITZ G. SCHADT
Director
BOBBY 1974 FRITZ G. SCHADT
Director
SAKURA DALAM PELUKAN 1979 FRITZ G. SCHADT
Director
MELATI HITAM 1978 FRED WETIK
Actor
MATT DOWER 1969 NYA ABBAS AKUP
Actor
BENYAMIN SI ABUNAWAS 1974 FRITZ G. SCHADT
Director
SI RONDA MACAN BETAWI 1978 FRITZ G. SCHADT
Director
CANTIK 1980 FRITZ G. SCHADT
Director
SI JAGUR1982FRITZ G. SCHADT
Actor Director

JAKA GELEDEK / 1983



Dengan latar belakang Perang Padri di Sumatra Barat, Jaka Geledek (George Rudy) yang kedua orang tuanya dibunuh Belanda saat ia masih kecil, selesai belajar silat pada gurunya dan hendak turun gunung dengan tekad membalas dendam. Di jalan ia jumpa dengan pelarian dari pasukan Diponegoro. Berdua mereka menggabungkan diri dengan pasukan Padri dan mengacaukan gerakan Belanda. Di samping itu, Rabiah (Siska Widowati) juga ingin membebaskan suaminya, Sabarudin (Dicky Zulkarnaen) yang ditahan di benteng Belanda. Perang habis-habisan menyerbu benteng Belanda mengakhiri film.

BUAYA PUTIH / 1982



Di sebuah desa tempat sebuah sungai yang cukup besar mengalir, seekor buaya besar berwarna putih menyeret dan menenggelamkan Juleha (Yatie Octavia), anak keluarga Kadir (Syamsuri Kaempuan, Marlia Hardi). Berkat jasa Komar (Deddy Sutomo), pawang buaya, Juleha dapat diketemukan lagi dalam keadaan hidup. Buaya itu ternyata buaya jadi-jadian. Ia adalah Jafar (George Rudy), teman seperguruan Komar. Dalam perkelahian tangan Komar buntung, tapi kepala Jafar juga putus. Karena kemudian Juleha hamil, sementara tak ada satu lelaki pun yang berhubungan dengannya, ia dipasung dan diasingkan di pinggir hutan. Juleha melahirkan seorang bayi yang diberi nama Nurbiyah. Juleha lalu pergi. Setelah Nurbiyah berumur setahun, Juleha meninggal. Nurbiyah kemudian dipungut oleh seorang pemburu tanpa anak, Iskandar (Dicky Zulkarnaen). Nurbiyah (Siska Widowati) tumbuh besar, punya pacar Firman (Boy Tirayoh), dan punya sifat aneh: tiba-tiba jadi buaya. Ternyata ia dipengaruhi oleh ayahnya, Jafar. Iskandar semula tidak percaya tentang keanehan pada anak pungutnya itu. Jafar membayangi Nurbiyah untuk membalas dendam terhadap Komar. Jafar akhirnya dapat dibinasakan.

Ini adalah asli Indonesia hutan bambu / desa atmosfer (perempuan menjahit, bekerja - pipa untuk kepala keluarga), yang meliputi tinggi LEECH Wizard juga ditampilkan. Kali ini tidak menjijikkan kágyillók (jujj! => Deep Zala ekspresi pada siput telanjang sehari-hari) adalah sumber bahaya, bukan film horor Asia disukai fauna-taker dalam jumlah yang tidak teratur jelek dan terkonsentrasi ular, tapi hewan peliharaan yang paling populer kedua di buaya putih besar (~ buaya putih) mematuk korban yang tidak bersalah.

Para penyihir jahat sebenarnya buaya, ia mengubah keadaan fisik, sejalan dengan situasi. Di sini, perhatikan bahwa perempuan Indonesia becserkészendő szemrevalóak benar dan eksplisit, bukan hanya terkenal bentuk wajah timur (Cina, Jepang, Korea) dibandingkan, tapi semua bola yang luar biasa dan jenis karakter. Para penyihir hitam adalah salah satu pertempuran setelah tanpa kepala, nyakcsonkkal berdarah mengintai, tangan putih kasar dan mengungkapkan hewan szubsztanciájáról.

Pistol disewa mengatasi ancaman serius Kroko-pemburu, dan kepala biasanya acak-acakan, putih mage ilmu kehutanan lama terbentuk. "Intuitif" untuk melihat pengantin muda yang cantik berada di bawah pengaruh setan tébolydában menghantui meningkat. The Italian Carlo Maria Cordial (Absurd) dikandung dalam gaya synth-efek cukup efektif, tangguh, tapi aku tidak bisa melewatkan musik átemelését hiu, disusun oleh John Williams. The blog EVIL CROCODILE Hong Kong adalah beberapa kesamaan, tetapi persaudaraan para putra dan putri yang nyata, bahkan berbicara saya akan membawa lagi dibintangi Suzzanna, 1988 vintage yang PUTIH CROCODILE QUEEN-t, yang juga merupakan rasa ingin tahu nyata untuk Timur Jauh horor / sampah pecinta .

 
Seekor buaya putih tinggal di sungai besar di sebuah desa. Ini menyeret putri Kadir Juleha (Yatie Octavia) dan menenggelamkannya. Berkat Komar, penjinak buaya (Deddy Sutomo) Juleha ditemukan hidup. Ternyata aligator tersebut merupakan jelmaan dari pria bernama Jafar (George Rudy) teman Komar. Dalam duel tersebut, Komar kehilangan tangannya sedangkan Jafar kehilangan kepalanya. Juleha hamil namun dia belum menikah. Dia diberangus dan diasingkan di hutan. Juleha melahirkan seorang bayi dan menamainya Nurbiyah. Juleha meninggalkan hutan. Dia meninggal saat Nurbiyah berumur satu tahun. Iskandar (Dicky Zulkarnaen) seorang pemburu tanpa anak menemukan gadis tersebut di sebuah gua dan mengadopsi anak tersebut. Tubuh tanpa kepala Jafar mengikuti mereka. Nurbiyah (Siska Widowati) besar dan memiliki pacar bernama Firman. Dia memiliki kekhasan yang bisa dia ubah menjadi buaya. Rupanya, ini ada hubungannya dengan ayahnya Jafar. Awalnya Iskandar tak percaya dengan kekhasan putri angkatnya. Jafar merayu Nurbiyah untuk membalaskan dendam Komar. Dalam duel sakti antara Nurbiyah dan Jafar melawan Komar Jafar terbunuh dan Nurbiyah berhasil diselamatkan.
 
Pria buaya yang menculik wanita untuk menghamilinya hanya bisa datang dari asia. Ada lebih banyak film tentang buaya manusia. RATU BUAYA (1983) dan RATU BUAYA PUTIH (1987) dari Indonesia, film KRAI THONG dari Thailand, CROCODILE EVIL (1985) dari Hong Kong misalnya. Duel pertama antara Jafar dan Komar menjadi highlight film tersebut. Komar melempar tali ajaib yang memisahkan kepala Jafar.
 
Kepala Jafar menoleh ke dalam tengkorak buaya dan menggigit tangan Komar. Komar kemudian mengecilkan kepala buaya dengan mantra sebesar kepalan tangan dan memakainya. Mulai sekarang, Jafar yang malang perlu menjalani seluruh film tanpa kepala. Cukup luar biasa.

SI JAGUR / 1982


Dalam surat tanda lulus sensor berjudul "Keris Jagur".



Abad XVII. Tapak Tirta, seorang tokoh perompak yang memiliki kekasih Agni Dewi, diduga telah menyimpan banyak harta karun. Tapak Tirta ditangkap Kompeni, dan dipaksa oleh Kapten Mauritz untuk mengaku di mana harta karun itu disimpan. Di dalam penjara Tapak Tirta bertemu dengan Suro Gledek, yang juga tahu Tapak Tirta menyimpan harta karun. Seorang dukun bernama Sukma Layang yang telah menjadi kaki-tangan Belanda ternyata bermuka dua. Dia membujuk Citra Jaya (Si Jagur), anak buah Sultan Agung, untuk membebaskan Tapak Tirta. Guna mendapatkan harta karunnya untuk membiayai perjuangan melawan Kompeni. Kapten Mauritz lalu meminta bantuan ke Batavia. Datanglah seorang ninja dari Jepang bernama Saburo Tadashi. Ternyata Tadashi juga menginginkan harta karun itu. Maka terjadilah baku hantam di antara mereka yang saling menginginkan harta karun tersebut. Akhirnya tak seorang pun mendapatkannya, karena lokasi harta karun telah hilang ditelan gempa.

NAGA MERAH / 1976

 

Kisah tentang pemberantasan narkotika. Kapten Edi Rosadi (Dicky Zulkarnaen) memimpin operasi pemberantasan itu. Ketika gembongnya lari ke Filipina, Edi "terpaksa" menyusul ke Filipina. Tentu dengan hasil baik.

Marissa Bigode adalah pemain Filipina. Film ini dibuat dengan kerja sama Interpol juga. Maksud awalnya, film ini merupakan bagian dari serial "Metro 77", yang diharapkan jadi serial pertama televisi buatan Indonesia.

BENYAMIN SI ABUNAWAS / 1974

 

Karena didesak pacarnya, Warni (Ida Royani), Napi (Benyamin S) yang sudah ngebet kawin, mencari kerja ke Jakarta. Begitu tiba di stasiun Gambir, sudah terjadi salah paham. Marni (Rosaline Oscar), yang karena konflik dengan suaminya, Pinarto (Benyamin S.) pengusaha meubel, mengira Napi adalah suaminya yang sengaja mau memata-matai. Nasib mempertemukan Napi dan Pinarto. Napi diterima jadi pegawai dan setelah dicoba berbagai macam kerja, akhirnya jadi tukang antar barang dan tukang tagih. Kelucuan diekploitasi karena kekembaran dua orang yang berbeda pangkat itu: soal penguangan cek, kesalahpahaman istri, rekan-rekan usahawan, bahkan Napi digunakan oleh pegawai Pinarto yang dipecat untuk mencurangi perusahaannya tanpa tahu, karena Napi tak bisa baca-tulis. Anehnya, mereka sungguh-sungguh tak mencari tahu kemiripan mereka. Di akhir cerita baru diberi tahu bahwa mereka anak kembar yang terpisah waktu revolusi.

News
05 Oktober 1974
Se'gitu doang

DI tahun limapuluhan, penonton film Indonesia sempat menikmati film dengan judul Abunawas. Cerita kocak yang dibintangi oleh Raden Syamsit (kini anggota tetap Komedia Jakarta di TVRI) mendasarkan kisahnya pada dongeng-dongeng 1001 malam yang memang amat populer. Di tahun 1974 ini, Dipa Djaya Film muncul pula dengan Abunawas, pada layar lebar dan berwarna-warni. Tapi harap perhatian anda semua: ini film sama sekali tidak berurusan dengan kisah 1001 malam yang barangkali dianggap berlindung di balik film yang dimainkan Benyamin Suaeb dan Ida Royani.

Hanya untuk menyelamatkan jumlah maka di bagian akhir film ini, Tien Rengat, penulis skenario, merasa terpaksa untuk menyelipkan dialog yan menyerempet nama Abunawas. Nama Abunawas memang tidak dikunjungi oleh kantor patent tapi popularitasnya dengan konotasi yang khas dalam masyarakat, paling sedikit harus dihormati oleh setiap orang yang ingin mem-perdagangkannya. Barangsiapa yang sempat menyaksikan Abunawas versi Wiashi Dipa ini, tentulah akan sampai pda kesimpulan betapa jalan memintas telah ditempuh oleh sang produser untuk meraih sebanyak mungkin uang. Sudah jelas tidak ada sedikitpun karakter Abunawas dalam film yang disutradarai oleh Fritz G. Schadt ini. Tokoh Napi (Benyamin) memang konyol, tapi tidak lihay macam Abunawas yang konon selalu berhasil mengecoh raja Harun Al-Rasyid di kota Bagdad. Keberuntungan Napi dalam film Dipa Djaya ini justeru bukan karena kepandaiannya, tapi melulu lantaran mukanya mirip dengan saudagar Pinarto (juga dimainkan oleh Benyamin). Bisa Diterka Kisah kehidupan rakyat kecil ini bermula ketika seorang perempuan menolak kawin dengan lelaki konyol tanpa kerja. Bisa diterka yang laki adalah Benyamin, yang perempuan dimainkan Ida Royani. Dorongan untuk kawin itulah yang menyeret Naii ke Jakarta. Orang kampung yang memang sudah konyol ini tentu saja makin jadi konyol di mata penduduk Jakarta. Dan dari situasi macam ini terlalu banyak lelucon yang suka ditimba oleh para produsen sebelum akhirnya dijual massal kepada para pembeli karcis. Puncak keko- nyolan muncul ketika di layar lebar bertemu muka dua Benyamin. Maka terciptalah berkarung-karung lelucon akibat kerja kamera K Husein yang cukup teliti dengan adegan kembarnya. Melewati serentetan banyolan yang dibuat-buat, cerita berakhir pada suatu kenyataan bahwa kedua Benyamin dalam tim Washi Dipa ini sesungguhnya memang saudara kembar.

Habis perkara. Dan polisi boleh kalang kabut kocak juga kalau diingat bahwa tokoh polisi diperankan oleh Haji Mansyur Syah yang akhir-akhir ini sibuk dengan peran-peran konyol) sementara yang akhirnya harus diborgol adalah nereka yang memancing di air keruh, yakni mereka yang memperalat Napi konyol untuk mengambil uang Pinarto dari Bank. Maka kembali judulnya yang bisa mengecoh, juga yang istimewa dari tontonan ini adalah permainan kembar Benyamin. Tapi kombinasi Benyamin-Ida Royani (yang konon masih tetap komersiil), ternyata tidak menghasilkan apa-apa yang baru terasa sekali bahwa yang dijual hanya nama mereka, dan bukan kebolehan mainnya. Skenario yang amat lemah juga tidak merangsang Fritz G Schadt untuk lebih gesit dengan aksi tambal sulam. Hasil kerja sutradara dan awak produksi memang tidak lebih dari sebuah tontonan dengan lawakan dari itu ke itu saja. Dan jelas hal semacam itu amat membosankan adanya. Salim Said

LINGKARAN SETAN / 1972

 

Tohir (Sukarno M.Noor) dijatuhi hukuman berat oleh pengadilan kolonial 22 September 1938. Hukuman itu dijatuhkan karena jaksa Hasan (Aedy Moward) lebih menekankan pada faktor keturunan daripada tindakan kejahatannya. 
 
Padahal Tohir melakukan kejahatan lebih karena desakan kebutuhan hidup. Istrinyahamil tua. Ia dipenjara kerja paksa di pembuangan. Ketika mendengar berita anak dan istrinya meninggal, Tohir melarikan diri. Ia culik anak Hasan. Ia besarkan dengan kejahatan, tapi hidup bagai orang terhormat. Husin juga menjalani kehidupan ganda. Di kampung ia disukai seorang gadis lugu, sementara di tempat lain ia berfoya-foya dengan perempuan lain. Di saat tuanya, Tohir hidup bermabuk-mabuk, apalagi saat ia tahu bahwa Hasan yang menghukumnya mendapat anugrah dari negara karena jasa-jasanya. Ia gunakan anaknya, Husin alias Boy (Farouk Afero) untuk membalas dendamnya dengan merampok rumah Hasan. Husin gagal. Polisi mengusut dan berhasil mengajukan Husin ke pengadilan. Di situ Tohir dalam keadaan mabuk, membuka siapa sebenarnya Husin itu. Hasan dan istrinya menerima Husin.

P.T. DIPA JAYA FILM

IBU SEJATI / 1973



Tuan tanah Darto berhasil menumpuk harta benda dengan menipu petani, apalagi dia mendapat dukungan dari pihak Belanda. Bagi siapa saja yang melawan akan dibunuh seperti yang dialami ayah Sani, karena ingin mempertahankan haknya. Sani yang belajar di Pesantren setelah tamat kembali ke desa dan berniat membalas dendam kematian ayahnya. Sani sempat pacaran dengan Lasmijah anak Darto. Karena Sani membela rakyat maka Sani pun jadi musuh Belanda. Bersama dengan seorang kawannya yang residivis, Sani berhasil membunuh Darto, namun akhirnya Darto juga mati ditembak belanda.

P.T. PANAH FAKTA FILM


MIDAH PERAWAN BURONAN / 1983



Dari cerita komik

Johar (George Rudy) adalah pemuda yang sangat beruntung karena berhasil memikat hati Midah (Eva Arnaz) bunga desa yang menjadi rebutan. Kemesraan mereka terancam oleh Mirja (Eddy S. Jonathan) seorang jagoan yang telah lama merindukan cinta Midah menewaskan Johar dan memaksa memperisteri Midah. Dengan terpaksa Midah bersedia setelah Midah lulus dari mengaji. Setelah tamat mengaji, Midah melarikan diri ke hutan menghindari Mirja. Tetapi setelah sekian lama Mirja berhasil menemukan persembunyian Midah, dan memaksanya pulang. Johar yang ternyata masih selamat dididik ilmu bela diri oleh seorang Kiai. Johar berhasil mengalahkan Mirja. Midahpun kembali pada Johar.
P.T. BUDIANA FILM