Tampilkan postingan dengan label KOTOT SUKARDI 1951-1961. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KOTOT SUKARDI 1951-1961. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Februari 2011

KOTOT SUKARDI 1951-1961



Ia adalah sutradara LEKRA (Isu PKI), yang terkena imbas juga. Kotot Sukardi, yang menjadi pegawai Kementrian Penerangan, membuat “Si Pincang” (1952), dengan PERUSAHAAN FILM NEGARA – PFN sebagai produser. Dan film Si Pincang adalah film perjuangan juga yang dinilai sarat dengan ideologi Lenin-Marx melalui film. Contoh-contoh dari karya mereka di bidang film antara lain adalah “Corak Dunia” (1955) produksi GARUDA FILM STUDIO Ltd, yang disutradarai oleh Bachtiar Siagian, sineas LEKRA yang paling berbakat; “Daerah Hilang”(1956), juga produksi GARUDA FILM; “Turang” (1957), produksi REFIC / YAYASAN GEDUNG PEMUDA, dua-duanya disutradarai oleh Bachtiar Siagian. Basuki Effendi membuat antara lain “Pulang” (1952), produksi SANG SAKA dan “Ho Lo Pis untul Baris” (1959), produksi SANGGABUANA, berdasarkan semboyan yang dipopulerkan Sukarno pada waktu itu untuk mengobarkan semangat gotong royong. Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro membuat antara lain “Rahasia Suku Domas” (1954), produksi GARUDA FILM ; “Taman Harapan” (1957), produksi SANGGABUANA.

Dalam rangka apa yang dinamakan Prolekult dan usaha memikat hati rakyat dengan cara halus tersembunyi, para seniman dan sineas LEKRA dengan sadar memilih tema-tema, yang dengan penuh sentimentalitas dan kadang-kadang bombastis mendramatisir hidup dan suka-duka kaum gembel, yang menjadi “pejoang-pejoang” dan “pahlawan-pahlawan” kaum proletar/komunis sambil dengan bersemangat dan penuh emosi menyanyikan lagu Internasionale. Dan tiap aksi mereka disebarluaskan oleh pres kiri dan antek-anteknya.

Sedangkan lawan dari Lekra adalah Lesbumi, lebih suka film perjuangan yang heroik dan romantisme masa perjuangan yang pahit.

Selain di Film ia juga aktif dalam kesusastraan Indonesia yang sejajar dengan tokoh sastra lainnya. Tetapi karena aliran Lekra menjadi terpisahkan dengan teman-temannya. Selain sastrawan ia juga banyak menghasilkan naskah sandiwara juga. Kotot Sukardi menulis sandiwara Bende Mataram yang berlatar belakang maa perang Diponegoro (1825-1830). Sandiwaara itu kemudia diterbitka Balai Pustaka dengan judul yang sama bersama-sama dengan karangan Inu Kertapati yang berjudul Sumping Sureng Pati tahun1945.

Berdasarkan konsistensinya dalam berkarya, tampaknya Kotot Sukardi memiliki ketekunan dalam menggarap ide cerita, penata skenario, dan sutradara. Sebagai Pegawai Kementerian Penerangan di zamannya, sehingga memungkinkan sebagian besar karya–karya filmnya diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PFN). Seperti film “Si Pintjang” yang diproduksi tahun 1951, “Lajang–lajangku Putus” tahun 1958. Demikian pula dengan karya–karya Kotot lainnya, seperti film “Sepandjang Malioboro” (1951), “Si Mientje” (1952), “Djajaprana” (1955), “Ni Gowok” (1958), “Tiga Nol” (1958), “Kantjil Mentjuri Mentimun” (1959), “Melati di Balik Terali” (1961), “Dibalik Dinding Sekolah” (1961), “Sajem (sebuah kisah di kota Kudus)” dan “Sampai Berdjumpa Kembali.”

Selain sebagai sutradara film ia aktif berkarya dalam bidang kesusastraan Indonesia, ia banyak menghasilkan naskah sandiwara, antara lain mengisahkan tentang Bende Mataram yang berlatar belakang masa Perang Diponegoro (1825–1830). Sandiwara itu pun kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka dengan judul yang sama, yaitu “Bende Mataram”.

Hal yang patut dicatat adalah Kotot sangat produktif membuat film, tetapi jejak–jejak karyanya banyak yang tidak sampai ke tangan kita. Berdasarkan penelusuran terhadap beberapa caption foto koleksi keluarga, yang direproduksi oleh Yayasan Idayu, terbukti adanya fakta sejarah aktivitas Kotot dalam dunia perfilman Indonesia. Tepatnya sekitar tahun 1956 hingga 1959, Kotot dengan timnya tengah menyiapkan film tentang Ki Hadjar Dewantoro sebagai Tokoh Pendidikan Nasional yang diproduksi oleh PFN. Dari foto–foto yang ada itu, dapat dimaknai bahwa Kotot saat proses pembuatan film juga mendiskusikan berbagai hal tentang film itu langsung dengan narasumbernya, yaitu Ki Hadjar Dewantoro, Tokoh Pendidikan Nasional kita.

Dari data-data yang ada, dapat ditafsirkan bahwa sebagai seorang penulis cerita, penata skenario, dan juga sutradara, Kotot bersungguh– sungguh untuk mengangkat sebuah realitas sosial-politik ke dalam layar bioskop. Bagaimana ia mengangkat sosok Ki Hadjar Dewantoro, sebagai pelopor pendidikan, untuk masyarakat pribumi di Indonesia pada masa kolonial Belanda. Atas jasa kepeloporan Ki Hadjar Dewantoro itulah, maka setiap tanggal 2 Mei—yang merupakan tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantoro—diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Pada saat itu, tampaknya sudah ada upaya dari beberapa insan perfilman untuk membangun emosi penonton yang bersifat dinamis, terlepas dari kondisi sosial politik yang sedang terjadi. Sebagai catatan dalam hal produksi, pada awal 1950-an terjadi lompatan produksi film nasional yang melonjak tajam. Lonjakan produksi itu terlihat, antara lain selama tahun 1949 diproduksi hanya 8 film, tetapi setahun kemudian meningkat menjadi 23 judul. Selanjutnya pada tahun 1951 jumlahnya menjadi 40 judul. Perusahaan film yang aktif memproduksi adalah Djakarta Film, Samudra Film Golden Arrow, Bintang Surabaya (semuanya milik pengusaha etnis Tionghoa). Juga perusahaan film yang dimiliki negara, seperti Perusahaan Film Negara, Kino Drama Atelier, dan yang terbanyak produksi Persari. Dengan iklim yang sangat kondusif di masa itu, hampir setiap tahunnya Kotot—baik sebagai penulis cerita, penata skenario maupun sebagai sutradara—aktif berkarya, setidaknya dalam kurun waktu selama 10 tahun lebih, yaitu sejak tahun 1951 sampai dengan 1961.

Satu ciri terpenting dari Kotot melalui karya-karyanya adalah semangat nasionalisme dalam skenario ataupun film yang disutradarinya dan sangat kental melandasi proses kreativitasnya, khususnya pada periode 1950–1964-an. Semangat tersebut direpresentasikan melalui sekitar 12 film, yaitu “The Long March” (Darah dan Doa),1950 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Bunga Bangsa,” 1951 (Sutradara Nawi Ismail, produser Persari); “Enam Djam di Djogdja,” 1951, (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Sepandjang Malioboro,” 1951, (Sutradara H. Asby, Produser Persari); “Kafedo,” 1953 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Lewat Djam Malam,“ 1954 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Turang,” 1957 (Sutradara Bachtiar Siagian, Produser Rencong Film Corp. Yayasan Gedung Pemuda Medan (Refic Film, Abubakar Abdy); “Pedjuang,” 1960 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Badja Membara,” 1961 (Sutradara Bachtiar Siagian, Produser Rencong Film Corp. Yayasan Gedung Pemuda Medan (Refic Film, Abubakar Abdy); “Di Lereng Gunung Kawi,” 1961 (Sutradara Tandu Honggonegoro, Produser Gema Masa Film); “Toha, Pahlawan Bandung Selatan,” 1961 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini); “Anak–anak Revolusi,” 1964 (Sutradara Usmar Ismail, Produser Perfini).



Catatan pinggir Goenawan
mengingatkan tentang suatu peristiwa yang terjadi kurang lebih 52 tahun lalu. Saat itu, Maret 1957, tiga orang seniman Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer dan Kotot Sukardi bersama dengan seniman-seniman lain menyatakan sikap dan dukungan mereka terhadap "Konsepsi Bung Karno" (Lentera, Bintang Timur, 3/3/1963), suatu konsepsi yang kemudian dikenal secara luas sebagai "Manifesto Politik". Ia menjadi dasar haluan negara. Ia menjadi landasan penerapan Demokrasi Terpimpin. Pandangan positif dan dukungan terhadap "Konsepsi Bung Karno" diberikan pula oleh seniman kenamaan Asrul Sani dalam sebuah esainya "Sumbangan Artis Film terhadap Pembangunan Jiwa Bangsa" (Asrul Sani, 1997). Apa sebab para seniman memberi dukungan terhadap "Konsepsi Bung Karno"? Mereka meyakini, "Konsepsi Bung Karno" dapat melahirkan suatu forum resmi bagi perkembangan seni yang berwatak keindonesiaan dalam tugasnya menyelesaikan Revolusi Nasional (Lentera, Bintang Timur, 3/3/1963). Dalam konteks ini, Asrul bahkan mencontohkan keberhasilan Sovyet-Rusia dalam membangun negerinya, memusnahkan susunan hidup lama dan membangun kehidupan baru dengan mengikutsertakan kaum seni.

Dalam pembangunan, khususnya pembangunan jiwa, demikian Asrul mengatakan, kaum seni memiliki kedudukan amat penting (Asrul Sani, 1997). Atas dasar itulah maka kaum seni bersedia turut melaksanakan "Konsepsi Bung Karno" dengan sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Aspirasi, harapan dan cita-cita kaum seni tercermin di dalam "Konsepsi Bung Karno". Namun, sejarah berkata lain. Dalam perjalanannya, kaum seni pendukung "Manifesto Politik" dituding telah menjadikan seni sebagai subordinasi politik (Detik, No. 032 Th. XVII, 13-19/10/1993). "Manifes Kebudayaan", yang ditandatangani oleh – salah satunya – Goenawan Mohamad, lahir sebagai perlawanan terhadap "Manifesto Politik" yang didukung para seniman dari organisasi-organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Mengapa saya mengaitkan tulisan Goenawan dengan peristiwa yang terjadi kurang lebih 52 tahun lalu? Pertama, saya menempatkan Goenawan sebagaimana halnya Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi maupun Asrul Sani sebagai "seniman yang mendukung kebijakan presiden".

Goenawan memberi dukungan terhadap kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sementara Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi dan Asrul Sani memberi dukungan terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Kedua, saya menempatkan Goenawan sebagai (salah satu) penandatangan "Manifes Kebudayaan". Jadi, catatan pinggir Goenawan saya baca dalam kerangka pikir tarikan historis seperti itu. Ada Lekra (Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi), ada Lesbumi (Asrul Sani), ada Manifes Kebudayaan (Goenawan Mohamad). Dua alasan ini cukup bagi saya untuk mempertemukan mereka, mempertemukan kedua peristiwa itu dalam bingkai "Sejarah Politik-Kebudayaan Indonesia 1960-an" dan menghadirkannya kembali dalam konteks kini. Sebuah reuni. Jika dipahami dari sudut pandang pernyataan sikap dan dukung-mendukung kebijakan presiden, tak ada perbedaan antara dua peristiwa itu. Namun, jika dipahami dari sudut pandang "apa yang diperjuangkan" sehingga kaum seni menyatakan sikap dan memberi dukungan mereka terhadap kebijakan presiden, ada perbedaan sangat mendasar dalam dua peristiwa itu. Melalui "Manifesto Politik", kaum seni bersama-sama dengan Bung Karno mencita-citakan suatu masyarakat sosialis Indonesia. Sebuah sosialisme Indonesia. Sementara dalam pernyataan sikap Goenawan, dalam dukungannya terhadap pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tak nampak adanya suatu ungkapan cita-cita masyarakat keindonesiaan seperti apa yang hendak dicapai. Yang nampak adalah sebuah pragmatisme ekonomi.

Sekalipun Goenawan menghadirkan Bung Karno dalam catatan pinggirnya, namun ia gagal menghubungkan hasrat, semangat dan cita-cita masyarakat keindonesiaan yang hendak dicapai Bung Karno dengan hasrat, semangat dan cita-cita masyarakat keindonesiaan yang hendak dicapai Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Indonesia hendak ke mana? *** Dalam penilaiannya seputar pro-kontra "Manifes Kebudayaan", Lesbumi, usai penyelenggaraan Konperensi Karjawan Pengarang se-Indonesia 1964, membulatkan pendapatnya: ...'Manifes Kebudajaan' tersebut belumlah setjara sempurna mengungkapkan landasan idiel jang dapat dipergunakan oleh para pengarang Indonesia dalam pengabdiannja kepada Revolusi Indonesia dan dalam beberapa hal memberikan kemungkinan untuk penafsiran2 jang mengaburkan tudjuan Revolusi Indonesia tsb. (Duta Masjarakat, 10/3/1964) *** "Manifes Kebudayaan", menurut Goenawan, sudah selesai, jika dilihat dari segi perlawanannya terhadap realisme sosialis Lekra (Detik, No. 032 Th. XVII, 13-19/10/1993). Lebih dari sekedar itu, "Manifes Kebudayaan" memang sudah selesai. Sebab, lewat catatan pinggirnya, Goenawan sedang menghadirkan sebuah "Manifes Ekonomi". Sebuah jalan lempang menuju gerakan "ekonomi adalah panglima". Wallāhu a'lam. *** * Penulis buku "Lesbumi; Strategi Politik Kebudayaan". Bacaan: Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan, Penyunting: Ajip Rosidi, Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya, 1997. Detik, "Tepiskan Racun Kecurigaan", No. 032 Tahun XVII, 13-19 Oktober 1993. Duta Masjarakat, "Penilaian Lesbumi Sekitar Manifes Kebudayaan", 10 Maret 1964. Foulcher, Keith, "The Manifesto is not dead": Indonesian literary politics thirty years on, Working Paper 87, Clayton, The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994. Goenawan Mohamad, "Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah", Tempo, No. 3818, 18-24 Mei 2009. Lentera, Bintang Timur, 3 Maret 1963 dalam D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Kebudayaan: Kilas Balik Ofensif Lekra/ PKI dkk (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah), Bandung, Mizan dan HU Republika, 1995. Revrisond Baswir, "Boediono dan Neoliberalisme", Kedaulatan Rakyat, 20/06/2009.

KANTJIL MENTJURI MENTIMUN1959KOTOT SUKARDI
Director
LAJANG-LAJANG PUTUS 1958 KOTOT SUKARDI
Director
DJAJAPRANA 1955 KOTOT SUKARDI
Director
NI GOWOK 1958 KOTOT SUKARDI
Director
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Director
MELATI DIBALIK TERALI 1961 KOTOT SUKARDI
Director
TIGA-NOL 1958 KOTOT SUKARDI
Director
SI PITJANG 1951 KOTOT SUKARDI
Director

KANTJIL MENTJURI MENTIMUN / 1959

DINAS FILM TJERITA

TIGA-NOL / 1958


Kisahnya sederhana, dan masa putarnya tidak panjang, sesuai daya tangkap bocah. Tidak pula diselipkan adegan yang maksudnya hendak menarik penonton dewasa. Menceritakan sekumpulan anak-anak, yang antara lain suka main sepakbola. Dari permainan itu bisa dimunculkan soal iri, kecurangan, dendam maupun sportifitas.

NI GOWOK / 1958


Ceritanya hendak mengemukakan bahwa sifat loba (serakah) seseorang pada akhirnya mendatangkan kerugian bagi dirinya sendiri. Ni Gowok (Ani Sembiring) bermalas-malasan karena menganggap tak punya kekuatan sebagai perempuan. Lalu dewa murka, dan menjadikannya lelaki. Setelah itu ia melihat saudagar kaya, dan ingin pula seperti itu. Begitu seterusnya, tak kunjung habis.

Dinas Film Cerita (Difta) yang dibentuk PFN menghasilkan film anak-anak, "Tiga Nol" (3 - 0), "Lajang-Lajangku Putus", "Kantjil Mentjuri Ketimun" dan "Ni Gowok" ini.


DIFTA
P.F.N.

LAJANG-LAJANG PUTUS / 1958

LAJANG-LAJANG PUTUS

Lewat layang-layang milik Amat (Nurdjojo) yang putus ditonjolkanlah pentingnya persatuan Indonesia, yang terdiri dari pulau-pulau dan berbagai suku bangsa. Pengembaraan ke Mentawai, lalu Jakarta, Jawa Tengah, Bali dan lain-lain, ingin dikesankan bahwa Indonesia itu satu. Layang-layang tadi dikejar Amat hingga ke Ambon. Ketika layang-layangnya kembali, Amat terbangun dari mimpinya.

Dalam sejarah perfilman Indonesia, khususnya pada periode 1950–1964-an, ada beberapa tokoh perfilman dan karyanya yang tidak dapat dilupakan begitu saja, salah satu tokoh tersebut adalah Kotot Sukardi dengan karya filmnya yang sangat dikenal saat itu adalah “Si Pintjang” dan “Lajang– lajangku Putus.” Kedua film tersebut bertemakan semangat nasionalisme yang tinggi.

DJAJAPRANA / 1955



Karena tertarik kepada Layonsari, Raja memerintahkan Jayaprana, anak angkatnya dan suami Layonsari, pergi ke suatu daerah untuk membasmi pengacau. Siasat itu diusulkan oleh Gde Murka, sementara Sawunggaling diperintahkan untuk membunuh Jayaprana. Usaha itu berhasil. Jayaprana terbunuh, tapi Layonsari memilih bunuh diri daripada menyerahkan dirinya kepada Raja. Karena tertarik kapada Layonsari, isteri Jayaprana, maka Raja memerintahkan anak angkatnya itu pergi ke suatu daerah untuk membasmi pengacau. Siasat itu diusulkan oleh Gde Murka, sementara Sawunggaling diperintahkan untuk membunuh Jayaprana. Usaha itu berhasil, Jayaprana terbunuh, tapi Layonsari memilih bunuh diri daripada menyerahkan dirinya kepada Raja.

SI PITJANG / 1951




Giman pincang sejak lahir. Sebenarnya ia anak keluarga petani yang tergolong cukup, tetapi perang memporak-porandakan keluarganya. Ayah dan abangnya di romusha kan tentara pendudukan Jepang. Indonesia merdeka pada tahun 1945, tetapi Belanda berusaha menjajah lagi. Dalam suatu serangan udara, nenek Giman meninggal dunia. Si Pincang terlunta-lunta, tetapi tetap berdikari dalam mencari sesuap nasi. Di kota Yogya ia hidup bersama pengemis dan pencopet cilik. Persatuan mengikat anak-anak gelandangan itu. Seorang penolong datang membantu dan menampung mereka dalam. 
 
film ‘Si Pincang’ produksi PFN arahan Kotot Sukardi yang merupakan film Indonesia pertama yang mendapat penghargaan tinggi di festival film internasional di Praha tahun 1951



Film ini dianggap karya terbaik Kotot, tidak lagi bicara besar tentang harapan yang bisa diperoleh dari kemerdekaan. Setelah para bekas pejuang sendiri sudah mulai menikmati cita-cita mereka, yang diminta Kotot cumalah agar anak-anak yang terlantar akibat revolusi juga mendapat perhatian. Karena saat itu semua sibuk membuat film tentang penyesuaian para bekas pejuang selepas revolusi ke dalam masyarakat. Tetapi Kotot kali ini tampil beda ceritanya.

“Si Pintjang” merupakan film Indonesia pertama yang diputar pada Festival Film Internasional di Cekoslavia (Festival Film Karlovy-Vary, Ceko) pada tahun 1951. Film anak–anak ini pun menjadi catatan penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Film ini menceritakan Giman yang pincang sejak lahir. Ia anak keluarga petani yang berkecukupan, tetapi karena situasi pada saat itu perang, keluarganya pun porak-poranda. Giman terlunta–lunta, namun dengan keterbatasannya ia tetap berusaha mencari sesuap nasi. Dalam cerita tersebut digambarkan pula ayah dan kakaknya yang ternyata masih hidup, dan berhasil menemukan Giman, Si Pincang yang tinggal di asrama anak–anak telantar. Meski “Si Pintjang” adalah film anak–anak, namun di dalamnya menggambarkan perjuangan yang sarat dengan nilai–nilai ideologis, dengan genre “oldies drama” dan berdurasi 67 menit.

MELATI DIBALIK TERALI / 1961

 

Ina (Chitra Dewi) ditinggal kekasihnya yang pergi berjuang. Ia lalu kawin dengan orang lain, tapi perkawinan ini tak berlangsung lama karena suaminya meninggal dalam suatu kecelakaan. Kemudian ia berkenalan dengan Hari (Rasyid Subadi), yang mengaku pengusaha, tapi sebenarnya penjahat buronan polisi. Ina terbujuk dan kawin dengan Hari, yang ternyata menghabiskan harta Ina untuk membiayai gerombolannya. Ina masih juga belum sadar. Ia bahkan meminjam uang dan perhiasan dari teman-temannya untuk memajukan usaha Hari yang tengah mundur.

Hari yang berhasil mencapai maksudnya dan merasa terancam, karena incaran polisi, lalu kabur. Ina baru sadar bahwa ia tertipu dan harus mempertanggungjawabkan pinjamannya dan masuk penjara. Di penjara ia jumpa lagi dengan Hari. Ternyata Hari digunakan polisi untuk membongkar kejahatan kawan-kawannya. Hal ini dilakukan untuk meringankan hukumannya dan menebus dosa terhadap istrinya yang tak bersalah.

Rubiathin Widjaya adalah bekas Kepala Penjara Wanita Semarang. Kisah dibuat berdasar kejadian sebenarnya dari salah seorang tahanan wanita.
ANOM PICTURES

CHITRA DEWI
RASYID SUBADI
ASTAMAN
MISNAHATI
ARY SANDJAJA
DJOHAN
INDRAWATI