Tampilkan postingan dengan label MISBACH JUANBIRAN 1962-1970. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MISBACH JUANBIRAN 1962-1970. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Februari 2011

MISBACH JUSA BIRAN / 1962-1970



Profesi:
Wartawan, Pencatat skrip, Pembantu Sutradara, Penulis Skenario,

Ketua Redaksi Mingguan Abadi ( 1958 -1960),

Ketua Redaksi Majalah Purnama (1962- 1963),

Redaktur Duta Masyarakat (1964-1965),

Redaktur Abad Muslimin (1966),

Anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1981),

Anggota Dewan Film Nasional (1969-1970)

Pengajar tetap pada Akademi Sinematografi LPKJ/IKJ untuk mata kuliah Sejarah Film Indonesia dan Teknik Penulisan Skenario (1971-1995),

Ketua I Ikatan

Karyawan Film & Televisi

(1972-1975),

Wakil Direktur TIM Bidang Artistik (1973-1975)

Kepala Sinematek /Pusat Dokumentasi Film Usmar Ismail (1975-2005)

Ketua Umum Ikatan

Karyawan Film & Televisi

(1978-1984 & 1987-1991),
Direktur Pelaksana DKJ (1980-1981),





MISBACH JUSA BIRAN

Lahir Jumat, 22 September 1933 di Rangkasbitung
Mengecap pendidikan di Taman Siswa . Sejak beberapa tahun lalu, ia menikmati masa pensiun sebagai Kepala Sinematek (Pusat Dokumentasi Film Usmar Ismail) yang di emban sejak Oktober 1975. Awalnya Misbach lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario.

Misbach, aktif dibidang penyutradaraan sandiwara sejak masih sekolah di tahun ’50-an’. Termasuk salah seorang seniman Senen’ yang membukukan kisah-kisah temannya (orang-orang film dan sandiwara) di bawah judul Keajaiban di Senen Raya”dan Oh Film.

Masa mudanya pernah aktif sebagai wartawan disamping kegiatannya dalam dunia film, dimulai sebagai pencatat skrip untuk film Putri Dari Medan”tahun 1954 yang dibintangi oleh Titien Sumarni, dengan sutradara D. Djajakusuma. Setahun kemudian mendapat kepercayaan untuk menjadi pembantu sutradara dalam Tamu Agung”di tahun 1955 yang disutradarai Usmar Ismail. Lalu lebih banyak bekerja sama dengan sutradara Wim Umboh sebagai co-sutradara dan pengarang cerita/penulis skenario. Dimulai dengan Istana Jang Hilang”tahun 1960, kemudian Djumpa Diperjalanan”tahun 1961, Bintang Ketjil”tahun 1963, yang sukses komersil, Matjan Kemajoran”tahun 1965,”…Bunga-bunga Berguguran”tahun 1970, Biarlah Ku Pergi”tahun 1971.

Misbach Jusa Biran juga menyutradarai film misalnya ‘Pesta Musik Labana”tahun 1959, Holiday in Bali”tahun 1962, film berwarna produksi Persari bekerjasama dengan perusahaan“Sampaguita”/Philipina. Operasi X”ditahun 1968 cerita tentang penumpasan G. 30. S/PKI, dan lain-lain. Terpilih sebagai Sutradara Terbaik dalam Pekan Apresiasi Film Nasional tahun 1967 untuk karyanya Dibalik Tjahaja Gemerlapan”yang dibuat tahun 1966 dan Penulisan Cerita Terbaik Menjusuri Djedjak Berdarah”tahun 1967.

Misbach menolak menyutradarai setelah timbul musim ‘film seks diawal thun ’70-an. Karena, film seks dipandang kurang etis. Ia hanya bersedia menulis skenario, Romansa”tahun 1970, Samiun dan Dasima” tahun 1970, Bandung Lautan Api”tahun 1974, Krakatau”tahun 1976, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”tahun 1977.

Sesudah menyelesaikan, Honey, Money, and Djakarta Fair”di tahun 1970 dimana istrinya NaniWidjaja menjadi peran utama, Misbach lebih banyak memusatkan pikiran dalam Pusat Dokumentasi Film yang kemudian dikenal sebagai Sinematek Indonesia, Pusat Perfilman H.Usmar Ismail. Predikat ‘haji’ diperolehnya sejak ikut membantu sutradara Asrul Sani menyelesaikan film cerita tentang haji berjudulTauhid”pada tahun 1964.


Resep Skenario dari Misbach
Ada tanggung jawab sosial dalam membuat film dan menulis skenario. Bakat bagian yang sangat menentukan keberhasilannya.

Tahun 1970-an, film Indonesia sedang terkena wabah pornografi. Rahayu Efendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang (1974). Suzanna tampil sebagai bintang film berani di adegan ranjang dalam film Bernapas dalam Lumpur (1970).

Serbuan film jenis ini membuat Misbach Yusa Biran geram. Dia memprotes keras, seraya memutuskan berhenti menyutradarai film. Tapi aksi ini ternyata tidak sanggup menahan laju film-film berbau porno. Tema kekerasan dan seks masih menjadi arus utama hingga dua dekade selanjutnya, bahkan masih menjadi konsumsi masyarakat hingga saat ini. Kini, tiga dasawarsa setelah itu, Misbach melukiskan perannya saat itu: ”Arus utama tetap dominan, tapi perlu ada figur idealis.”

Misbach, Teguh Karya, Arifin C. Noer, atau Slamet Rahardjo termasuk kaum idealis. Mereka yakin film ikut mengantar penontonnya berpikiran maju, punya hati nurani, punya cita rasa. Misbach menilai masyarakat Indonesia harus mendapat pendidikan film sehingga bisa menakar kualitas film. Lihat Iran.

Kubu idealis memang kecil, sanggup bergerak dari festival ke festival dan mendapat tempat terhormat dalam peta film internasional.

Di mata Misbach, pembuatan film bermutu harus dibangun dari awal sekali: penulisan skenario. Dan dia pun membuat Teknik Menulis Skenario Film Cerita. Misbach mengumpulkan materi kuliah sinematografi sewaktu menjadi dosen di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta pada 1972 hingga 1996. Diktat itu pula yang menjadi pegangan Mira Lesmana dan Riri Reza sewaktu menjadi mahasiswa Misbach.

Dalam kata pengantarnya, Misbach mengajukan asumsi yang selalu menjadi perdebatan panjang: perlu-tidaknya bakat. Misbach percaya calon penulis skenario harus lebih dulu mempunyai bakat mengarang. Dia menganalogikan penulis skenario dengan penyanyi. ”Biar belajar pada guru nyanyi paling hebat di ujung langit, kalau tidak ada bakat tidak bakal jadi pandai menyanyi,” katanya.

Tentu saja Misbach, misalnya, berbeda dengan Elizabeth Lutters. Sosok yang menulis Kunci Sukses Menulis Skenario ini merasa tidak punya bakat menulis. Elizabeth hanya punya kebiasaan menulis buku harian sejak masa sekolah menengah pertama.

Bakat juga bukan menjadi persoalan bagi Enang Rokajat Asura, penulis buku Panduan Praktis Menulis Skenario, dari Iklan sampai Sinetron. Menurut dia, kunci sukses penulis skenario adalah latihan. Bukan mengandalkan pemberian alam. ”Alam memang telah memberi talenta. Tapi talenta tidak akan menjadi apa-apa kalau tanpa proses latihan,” kata Enang dalam bukunya.

Misbach termasuk penulis skenario yang otodidaktik. Dia pertama menulis skenario dengan judul Kroncong Kemayoran pada tahun 1955, tanpa belajar teori dan teknik. Misbach hanya mengandalkan pengalaman mengetik ulang skenario karya S. Sumanto dan menjadi asisten sutradara Usmar Ismail. Studio Persari membeli naskah Misbach, yang kemudian difilmkan dengan judul Saodah (1956).

Misbach terus menulis skenario tanpa pijakan pemahaman teknik dan teori. Dia mampu merampungkan karya Istana yang Hilang, Matjan Kemajoran (1965), dan Di Balik Tjahaja Gemerlapan (1966). Misbach mengerjakan semua skenario itu dalam tempo yang cepat dan tanpa kesulitan. Hanya, dia tidak bisa menganalisis kesalahan konstruksi dramatik skenarionya. Misbach akhirnya berpendapat, bakat tetap harus mendapat polesan dengan teknik dan teori penulisan skenario.

Skenario merupakan desain penyampaian cerita dengan media film. Cerita asalnya bisa berupa karya tulis seperti novel atau cerita pendek. Dalam bab awal, Misbach memberi bekal bagi calon penulis skenario soal cerita yang bisa dijadikan skenario. ”Sebuah karya sastra yang bagus belum tentu bagus dituturkan dalam bahasa film,” ujarnya.

Misbach juga memberi landasan pemahaman yang mendalam mengenai detail skenario. Menurut dia, penulis skenario yang baik harus menguasai prinsip kerja kamera, penataan visual, komposisi, editing, ilustrasi musik, dan akting. Misbach pun memerinci unsur media visual dan audio dalam skena-rio. Media visual terdiri dari aktor, tempat kejadian, properti, dan cahaya. Sementara audio berupa dialog, efek suara, dan ilustrasi musik. Misbach pun memberikan contoh karya film klasik seperti The Godfather.

Dalam setiap pembahasannya, Misbach selalu memberikan penekanan soal hak cipta. Bahkan dia memberikan ruang khusus pada halaman akhir. Menurut dia, penjiplakan adalah kejahatan dalam dunia seni. Misbach mencontohkan karya filmnya Ayahku yang diilhami naskah drama Jepang Cici Kaeru, atau Irisan-irisan Hati (1988) dari film Italia Sunflower (1960). Setelah menjadi film, ternyata produser tidak mencantumkan titel kreditnya. ”Ada produser yang dengan ringan menugaskan penjiplakan,” katanya.

Penulis skenario adalah sebuah profe-si. Untuk itu, Misbach mengharapkan calon penulis harus menguasai konsep dasar penulisan skenario. Dia pun berharap penulis pemula punya pemahaman soal tanggung jawab sosial sebuah skenario. ”Jangan orientasinya selalu uang. Kalau mutunya sudah terjamin, hal itu pasti menyusul,” ujarnya. Tapi, soal tanggung jawab sosial ini juga yang membuat Misbach bingung saat mendapat order menulis skenario yang menampilkan konflik keluarga secara berlebihan.

BINTANG KETJIL1963WIM UMBOH
Director
DIBALIK TJAHAJA GEMERLAPAN 1966 MISBACH JUSA BIRAN
Director
HOLIDAY IN BALI 1962 TONY CAYADO
Director
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Director
PESTA MUSIK LA BANA 1960 MISBACH JUSA BIRAN
Director
OPERASI X 1968 MISBACH JUSA BIRAN
Director
PANGGILAN NABI IBRAHIM 1964 MISBACH JUSA BIRAN
Director
MENJUSURI DJEDJAK BERDARAH 1967 MISBACH JUSA BIRAN
Director
HONEY, MONEY AND DJAKARTAF FAIR 1970 MISBACH JUSA BIRAN
Director

HONEY, MONEY AND DJAKARTAF FAIR / 1970



Saat Jakarta Fair berlangsung sebuah berita datang: seorang pengusaha besar dari Makasar akan meninjau untuk mencari mesin baru dan partner usaha. Maka para pimpinan stand dalam pameran itu berusaha mencari keterangan agar standnya didatangi rombongan tamu, yang sengaja menyembunyikan identitas sang pengusaha. Mansur (Mansjur Sjah) menyuruh sekretarisnya, Sinta (Nani Widjaja), untuk menemukan Andi Rachmat Syah (Ratno Timoer), sang pengusaha. Sinta lalu mendekati pemuda ganteng yang anggota rombongan tadi untuk mencari tahu siapa yang jadi majikan. Si pemuda mau memberitahu dengan syarat, diajak putar-putar Jakarta Fair dulu. Maka geger terjadi. Saingan Mansur, Samiaji (Ismed M. Noor), yang juga naksir Sinta cemburu. Sampai akhir cerita tak ada yang tahu yang mana Andi, kecuali Sinta, yang diantar pulang setelah bermalam-malam menyusuri Jakarta Fair. Melalui jalan-jalan Andi dan Sinta ini stand-stand Jakarta Fair dibeberkan.

HOLIDAY IN BALI / 1962


Film ini disutradarai oleh Misbach Jusa Biran (Indonesia) dan

TONY CAYADO












Dalam data film Misbach juga masuk dalam sutradara juga dan penulisan skenario filmnya. Sedang produksinya pihak Indonesia Persari dan Philipines. Tony Cayado.

Dan USmar Ismail lah yang mendorong Misbach untuk terlibat dalam film ini, padahal Misbach belum pernah menyutradari film sama sekali, selain hanya sebagai pembantu sutradara sebelumnya. Disaat Misbach masih ragu, justru Usmar yang memberi semangat padanya, itung-itung latihan dan study juga.

Film ini adalah film berwarna, disaat itu film indonesia masih hitam putih, walaupun pertamakali film berwarna tahun 1952 itu film kerja sama.

Ketika belajar di Filipina, Cokorde Gde Rai (Johny Misa) berkenalan dengan Angelo Reyes (Luis Gonzales), yang akan ke Indonesia untuk memperdalam pengetahuannya sebagai ahli tumbuhan. Sebelum ke Bali, Cokorde mengantarnya dulu melihat Borobudur dll. Sesudah beberapa waktu di Bali, pacar Reyes, Liza Presler (Daisy Romualdez), datang. Maka terjadi konflik, karena Reyes sudah jatuh hati pada Aryani (Josephine Estrada), adik Suryati (Chitra Dewi), pacar Cokorde. Liza mencoba menghalangi hubungan pacarnya dengan Aryani. Gagal. Akhirnya Liza malah mendapatkan Raka (Jusman) yang berniat mengawini Aryani, tapi gagal, karena Aryani memilih Reyes.

SAMPAGUITA PICTURES
PERSARI


JOSEPHINE ESTRADA
CHITRA DEWI
LUIS GONZALES
JOHNNY MISA
FIFI YOUNG
RD ISMAIL
DAISY ROMUALDEZ
JUSMAN
MANSJUR SJAH

"Holiday In Bali" Serba Besar Untuk Serba Singkat Oleh: Djamaluddin Malik
Joint-Productions Persari dan Sampaguita (Pilipina) melahirkan film "Holiday in Bali` merupakan wujud kembalinya Persari dan dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanya kerusuhan di perfilman Indonesia. Film "Holiday in Bali" merupakan suatu sinar bagi perfilman Indonesia karena dalam melakukan pembuatan pile mini banyak hal-hal yang bertemali dengan problem perfilman Indonesia.

Soal yang menarik dari pembuatan film adalah masa pembikinan yang direncanakan hanya dalam tempo 2 bulan ternyata Sampaguita telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop-bioskop di Filipina untuk diputar. Sementara pihak Sampaguita sendiri merencanakan tanggal 22 Desember yang akan datang film "Holiday in Bali" harus sudah selesai direlease. Untuk memperkokoh barisan pemain sesuai dengan dasar kontrak yang menyebutkan bahwa semua dilakukan dengan joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Keanehan lain yang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris dan Indonesia, sementara untuk peredarannya masih akan dilihat perkembangan selanjutnya apakah bahasa lain yang akan didubbing ke dalam film ini

NEWS
Joint-Productions Persari dan Sampaguita (Pilipina) melahirkan film "Holiday in Bali` merupakan wujud kembalinya Persari dan dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanya kerusuhan di perfilman Indonesia. Film "Holiday in Bali" merupakan suatu sinar bagi perfilman Indonesia karena dalam melakukan pembuatan pile mini banyak hal-hal yang bertemali dengan problem perfilman Indonesia. Soal yang menarik dari pembuatan film adalah masa pembikinan yang direncanakan hanya dalam tempo 2 bulan ternyata Sampaguita telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop-bioskop di Filipina untuk diputar. Sementara pihak Sampaguita sendiri merencanakan tanggal 22 Desember yang akan datang film "Holiday in Bali" harus sudah selesai direlease. Untuk memperkokoh barisan pemain sesuai dengan dasar kontrak yang menyebutkan bahwa semua dilakukan dengan joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Keanehan lain yang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa yang dipakai adalah bahasa Inggris dan Indonesia, sementara untuk peredarannya masih akan dilihat perkembangan selanjutnya apakah bahasa lain yang akan didubbing ke dalam film ini.

Apakah joint-productions Persari Sampaguita (Pilipina) untuk melahirkan “Holiday in Bali” jang djuga merupakan come backnja Persari setelah “tidur2an” sedjak tahun 1958, dipergunakan Djamaluddin Malik sebagai bantahan atas adanja “kerusuhan” diperpileman Indonesia tidaklah menarik perhatian kita, karena sebenarnja masaalah itu bukanlah masaalah jang harus ditjari2 pemetjahannja. Jang pokok, dengan adanja joint antara Persari dan Sampaguita ini tidaklah berarti tahun 1962 berlalu tanpa kesan, chusus dibidang produksi. “Holiday in Bali” merupakan suatu “sinar” bagi perfilman Indonesia, karena dalam melakukan pembuatan pile mini banjak hal2 jang bertemali dengan problem perfilman Indonesia.

Mungkin untuk pertama kalinja dalam sedjarah perfilman Indonesia dilahirkan sebuah film jang memakan biaja begitu besar seperti jang dialami “Holiday in Bali”. Dalam kontrak telah ditetapkan Persari menanggung segala biaja jang dikeluarkan dengan rupiah dengan pengertian selama diadakan lokasi di Indonesia, Persari-lah jang mendjadi “bandar”nja dan menurut kalkulasi kasar jang sudah terkira selama “Holiday in Bali” masih dikerdjakan di Indonesia, Persari harus mengeluarkan wang sedjumlah Rp. 9.000.000,- Kemudian apabila film ini nanti selesai lokasi di Indonesia dan penggodogannja dilakukan di Pilipina, seluruh biaja ditanggung pula oleh Sampaguita, termasuk honorarium artis2 Pilipina dan crew jang datang dari Manila. Lokasi jang dilakukan di Pilipina hanja ketika artis2 tersebut akan “terbang” ke Djakarta sadja. Berdasarkan kenjataan2 jang ada sekarang, sedikitnja Sampaguita akan menarik wang dari sakunja sedjumlah 150.000,- pesos. Kalau dipindahkan mendjadi wang rupiah dengan nilai SIVA, paling tidak wang jang 150.000 pesos itu akan mendjadi Rp. 35.000.000,-

Dengan demikian total djenderal “Holiday in Bali” keseluruhannja akan menekan biaja Rp. 44.000.000,-

TJUMA DUA BULAN

Lain soal jang menarik adalah masa pembikinan jang direntjanakan hanja dalam tempo 2 bulan, djusteru Sampaguita pada saat ini telah selesai menawarkan film tersebut pada bioskop2 di Pilipina untuk diputar. Pihak Sampaguita merentjanakan tgl. 22 Desember jad., “Holiday in Bali” harus sudah selesai direlease. Kalau memang nanti benar2 “Holiday in Bali” ini bisa diselesaikan dalam tempo jang telah direntjanakan tersebut, “kerdja Pilipino” ini harus mendjadi soko guru bagi pekerdja2 film Indonesia karena meski perfilman di Pilipina nampak lebih “tjemerlang” djika dibandingkan dengan Indonesia, namun perlengkapannja sama sadja dengan Indonesia, malah kalau dinilai dengan apa jang kini sudah dimiliki PFN, Indonesia sudah lebih baik.

Untuk memperkokoh barisan bermain2 sesuai dengan dasar kontrak dimana disebutkan semuanja dilakukan dengan joint, pendukung “Holiday in Bali” ini djuga adalah joint antara bintang Indonesia dengan bintang Pilipina. Indonesia memadjukan artis2 jang sudah tjukup tenar namanja seperti Bing Slamet, Chitra Dewi, pasangan old- crack Rd. Ismail dan Fifi Young serta Jusman, sedang dari pihak Pilipina ditemui Josephino Estrada, Deasy Romualdes dengan aktor2nja jg gagah Luiz Gonzal Johnny Misa. Selain bintang2nja djuga sutradaranja dilakukan joint, dimana akan bertemu sutradara Pilipina Tony Cayado dengan Misbach Jusa Biran, sedang tjerita dan scenario diserahkan kepada scenario- writer dari Pilipina Luciano B. Carlos jang djuga merangkap associate director.

Mengenai sutradara Tony Cayado dapat diterangkan, bahwa ia pernah menjadi best director hasil filmnja, " I sold my son"e Estrada Sebelum itu pada tahun 1956, ia menghasilkan pula seorang actor terbaik. “Holiday in Bali” adalah filmnja jang ke-17. Sebuah karyanja jang dianggap besar ketika ia memfilmkan novel Jose Leonard jang berdjudul “Big Broadcast” dan berhasil keluar sebagai best musical choreography untuk tahun 1962.

Untuk “Holiday in Bali” ini Ratu Kentjantikan Pilipina Josephin dan actor “tjakap” Johnny Misa akan memegang peranan sebagai gadis dan pemuda Bali.

DENGAN BAHASA INGGERIS
Suatu “keanehan” lain jang ditemui dalam film berwarna ini adalah bahasa jang dipakai jakni bahasa Inggeris dan Indonesia dengan pengertian kalau artis Indonesia berhadapan dengan artis Pilipina dipakai bahasa Inggeris, demikian djika sesame artis Pilipina berhadapan. Tapi djika jg. harus berdialog sesama

artis Indonesia bahasa jang dipakai adalah bahasa Indonesia pula.
Untuk peredarannja nanti masih akan dilihat perkembangan apakah bahasa lain jang akan didubbing kedalam film ini.

Dalam melaksanakan pembuatan film ini dipergunakan 4 buah truck jang membawa generator jang akan menjusuri Bali dan pulau Djawa. Opname pertama jang jg. semula direntjanakan di Djakarta tidak djadi dilakukan dan pada tgl. 15 Oktober’62 telah dimulai di Bali untuk seterusnja berpindah2 tempat kebeberapa kota di Djawa seperti Jogja, Solo, Bandung, Bogor dan tempat2 tourus jang terkenal Borobudur, Mendut, Kebon Raya dll. Crew dan artis2 jang ber “Holiday in Bali” selama dua bulan ini tertjatat 60 orang.

DIDAHULUI “HOLIDAY IN HONGKONG”
Sampaguita jang mendjadi “akrab” Persari kali ini adalah sebuah perusahaan film terbesar di Manila dan dengan “Holiday in Bali” perusahaan film ini sudah dua kali melakukan joint. Pertama kalinja Sampaguita mengadakan joint dengan perusahaan film Hongkong dan menghasilkan “Holiday in Hongkong”.*

1962: Holiday in Bali
Pada tahun 1962, Persari membawa beberapa bintang dan sutradara Sampaguita untuk membuat film di Bali (Indonesia). Tony Cayado dan Misbach Yusa Biran mengarahkan Holiday in Bali.

Holiday in Bali diproduksi dalam satu versi dengan bahasa Inggris, dan pemeran serta aktris Indonesia dan Filipina bermain dalam film yang sama. Luis Gonzales, Josephine Estrada, dan Daisy Romualdez datang ke Bali dan bergabung dengan Chitra Dewi, Johny Misa, dan Jusman untuk memerankan karakter mereka.
 
Film ini berkisah tentang kisah cinta yang rumit antara seorang wanita Filipina dan seorang wanita Bali dan menggunakan beberapa tujuan wisata di Indonesia. Luciana Carlos mengawali cerita dengan pertemuan antara Cokorde Gede Rai (Johny Misa), yang belajar di Filipina, dan Angelo Reyes (Luis Gonzales), ahli botani. Reyes memutuskan untuk meneliti tumbuhan di Bali, namun sebelum tiba di Bali, Cokorde menemaninya melihat beberapa tempat wisata Borobudur, candi Budha. Saat melakukan penelitian, Reyes jatuh cinta dengan gadis Bali, Aryani (Josephine Estrada). Aryani adalah adik dari Suryati (Chitra Dewi), kekasih Cokorde. Masalah terjadi ketika kekasih Reyes, Liza (Daisy Romualdez), datang ke Bali dan mengetahui bahwa Reyes sedang jatuh cinta pada Aryani. Liza mencoba menghentikan hubungan kekasihnya namun gagal, Reyes dan Aryani menjadi sepasang kekasih. Akhirnya Liza memiliki kekasih baru, Raka (Jusman) yang gagal menikah dengan Aryani (Kristanto 62). Secara teknis, tidak ada kendala berarti dari segi waktu pengambilan gambar. Kesulitan dalam pembuatannya berasal dari sudut pandang produsen terkait dengan pemasaran. Kesulitan utama justru datang dari pihak produser yang ingin lebih menampilkan adegan-adegan yang memiliki daya jual meski bertentangan dengan estetika dan etika. Misalnya, produser Filipina lebih suka memodifikasi adegan menjadi lebih gaya yang tidak lazim dalam budaya Bali. Misalnya, produser ingin memodifikasi adegan gadis berjalan di pinggir jalan dengan menambahkan percakapan di antara kekasih. Awalnya dalam budaya Bali tidak ada kegiatan seperti itu.
 
Karena ini adalah produksi bersama, masalah harus didiskusikan bersama. Tony Cayado adalah direktur utama dan Misbach Yusa Biran adalah wakil direktur. Keduanya saling mendukung dengan memberikan ide atau koreksi. Mereka selalu berdiskusi sebelum memutuskan untuk berfoto. Mengenai adegan yang dimodifikasi, baik sutradara maupun penulis skenario membahasnya dan Tony Cayado memutuskan untuk mematuhi budaya Bali. Stagnasi dalam pembuatan film ini bisa dihindari karena pemahaman penuh dari Tony Cayado dan dukungan dari Misbach Yusa Biran.
 
Selama pertunjukan perdananya, ada sedikit keraguan bahwa film tersebut akan sukses di kalangan penonton bioskop. Hal itu terjadi karena banyaknya film asing terutama dari India dan Amerika, dan turunnya jumlah film Indonesia dari 37 (1961) menjadi 15 (1962) menantang peredaran Liburan di Bali. Kondisi politik di Indonesia, dengan maraknya partai komunis dan produk-produk anti asing, tentu menjadi penghambat film tersebut. Untungnya, kondisi ini tidak menimbulkan respon negatif karena ceritanya masuk akal dan sesuai dengan budaya Indonesia.
 
Pemasaran film di Indonesia tidak terlalu sukses karena kondisi ekonomi saat itu kurang baik dan tingkat inflasi tinggi. Hal tersebut berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat Indonesia yang rendah sehingga menyebabkan peredaran film cukup moderat. Namun, di tingkat internasional Holiday in Bali mendapat penghargaan khusus dalam Asian Film Festival 1963 di Tokyo.

MENJUSURI DJEDJAK BERDARAH / 1967

Misbah di lokasi shooting


Di tengah jalan mencari pembunuh kakaknya, Achmad (Rachmat Kartolo) dengan mudah mengalahkan bandit yang menjajal kepandaiannya. Hal ini membuat kagum Citra (Syamsul Fuad), seorang anak, yang lalu mengikuti Achmad kemanapun perginya. Di suatu desa yang tercengkeram ketakutan karena banyak rampok, Achmad berhenti dan berusaha menghentikan keadaan itu. Salah satu jagoan desa itu, Wirya (Sukarno M. Noor), yang barusan kembali dan melihat sepak terjang Achmad, sangat terkesan. Apalagi Achmad pemuda taat beribadah. Pada awalnya karena gosokan kawan-kawannya, Wirya mencoba menjajal Achmad, tapi karena hatinya mengatakan Achmad orang baik, ia malah berbalik sikap dan berusaha ingin bersahabat. Ia juga terpaksa menuruti syarat Wirya agar tidak mengganggu Aisah (Nani Widjaja), gadis yang sebenarnya mencintai Achmad. Perampok-perampok yang merasa terhalang Achmad, lalu mengadakan penyerbuan besar-besaran dipimpin langsung kepalanya. Dari kepala rampok yang dikalahkan ini, Achmad mendapat kunci pencarian pembunuh kakaknya, Wirya. Wirya mengaku membunuh kakaknya, karena sang kakak itu berbuat salah dan serong.

PERSARI
IFDIL FILM
PERFINI
Film silat ini dibuat Misbach setelah ia bertemu Nani Wijaya setelah Film Dibalik Cahaya Gemerlap. Pertemua yang kedua kali ini membuat mereka semakin akrab, yang nantinya dinikahi oleh Misbach.

Pemeran perempuan jatuh pada Nani karena permintaan produser, dan prianya Rahmat Kartolo yang ingin serius dalam peran ini yang dinilai bagus., dan tokoh antagonisnya Soekarno M.Noer. Lokasi di desa Sangkan Urip diantara Cerebon dan Kuningan Disini Misbach menerapkan sistem shoting crew dan pemaion harus berkelakuan baik. Sehingga tidak ada pemain dan crew yang main cewek dengan masyarakat desa.

Film ini mendapat tangapan positif dari pers, tapi pemasarannya anjlok, selain film ini dan Matjan Kemayoran adalah film silat indonesia yang orisinil, tapi setelah itu tidak ada lagi yang membuat film silat seperti ini lagi, yang banyak adalah silat ala kungfu.

PANGGILAN NABI IBRAHIM / 1964

 
 
Film ini adalah semi dokumentar tentang ibadah Haji, hitam putih. Intruksional.
PERSARI

MANSJUR SJAH
M. THAHA

DIBALIK TJAHAJA GEMERLAPAN / 1960


 
Film ini mencoba menguakkan kehidupan di balik panggung pertunjukan. Djoni (Sukarno M. Noor), promotor yang sering menipu seniman, dengan rayuannya akhirnya bisa dipercaya mengatur pertunjukan yang dimaksud untuk mencari dana pertunjukan sendra tari. Penyanyi top macam Rachmat Kartolo dan Titiek Puspa menjadi bintang pertunjukan. Djoni menunjukkan kelihaiannya, hingga meski sering menipu, kali ini ia mengatur pertunjukan dengan cara koboi. Mereka berangkat ke Bandung hanya dengan pinjaman sebuah bus dan tanpa rencana. Selama perjalanannya banyak terjadi cekcok, cemburu, curiga antarseniman maupun terhadap Djoni. Pokoknya, suka-duka di balik panggung. Meski demikian, pertunjukan sukses.

Film ini adalah pertemuan awal Misbach dengan Nani wijaya (istrinya). Kisah yang menuturkan suka duka di belakang layar para seniman pertunjukan. Sejumlah artis, penyanyi dan pemusik show ke Bandung yang dipimpin oleh produser mereka yang petualangan. Problem ada di produser mereka, problem artis sendiri cinta yang terpendam, konflik batin kreografer, kesepian seorang pelawak, dan sebagainya


Film ini sukses dalam pemasaran


PERSARI
PERFINI
IFDIL FILM

PESTA MUSIK LA BANA / 1960



Amir (M. Sharieffudin A), anak Yahya (Awaludin),pengusaha, lebih tertarik pada musik daripada jabatan direktur, karena ia ingin sukses dari tangannya sendiri. Yahya tentu saja menentang, bahkan adiknya, Ismed (Ismed M. Noor), dilarang membantu Amir. Bantuan datang dari Norma (Tuty S), sekretaris pribadi Yahya dan para pemusik muda. Festival musik yang diselenggarakan Amir akhirnya berhasil, meski dari segi keuangan belum menguntungkan. Yahya akhirnya menjabat tangan Amir. Yahya bisa istirahat dengan tenang. Perusahaan diserahkan pengelolaannya pada Ismed, sedang Norma dipecat, agar bisa membantu Amir.

OPERASI X / 1968


Intelijen AD mensinyalir adanya gerakan gelap. Dilancarkanlah "Operasi X". Letnan Hadi (Ishaq Iskandar) mendapat tugas rahasia: merasuk ke dalam tubuh gerakan gelap itu. Segala penemuannya dilaporkan. Demi menjaga kerahasiaan itu Hadi memutuskan hubungan kasihnya dengan sang pacar, Savitri (Nani Widjaja), untuk sementara. Tugas ganda Hadi tercium oleh gerombolan gelap, yang kemudian menjadikan Savitri sebagai sandera. Berkat kesigapan AD, gerakan gelap dapat ditumpas secara tuntas. Savitri dapat dibebaskan, sehingga bisa bertemu kembali dengan Hadi untuk merencanakan masa depan mereka.
PUSROH AD
Film ini dibuat untuk Pusroh Islam Angkatan Darat dengan dana yang sangat kecil. Film dakwah yang untuk para militer maka harus ada relevansi dengan kadaan militer saat itu, yakni sedang menghadapi berbagai gerlia dari sisa-sisa orang PKI, dan dibuat judul operasi x, yang menuturkan tugas rahasia seorang anggota RPKAD yang diseludupkan ke sarang gerakan bawah tanah PKI untuk bisa membongkar jaringan mereka. Didalamnya tentu ada dakwah islam secara tidak langsung.