Tampilkan postingan dengan label MT RISYAF 1971-1992. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MT RISYAF 1971-1992. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Februari 2011

MT RISYAF 1971-1992



Semua orang tahu NAGA BONAR sekarang. Bagi yang ketinggalan jaman saat itu, mereka tahu naga bonar dari film Naga bonar 2, lalu orang mencari film nagabonar 1-nya. Dan setuju juga disebut, masih enak di tonton. Apakah ini sebuah film klasik juga? Film klasik adalah film yang temannya tidak habis di makan jaman, artinya temannya masih terus bisa di segala jaman ke depan.

Selama Indonesia masih banyak kebobrokan birokrasi dan segalamacam korupsi, maka nagabonar adalah film yang masih enak di tonton. Karena film ini juga sangat kuat dalam hal meledek situasi politik di Indoensia saat itu. Asrul sani sangat jenuius menangkap hal ini dan di tuangkan dalam komedian. Memang banyak film yang menampilkan komedian untuk menutupi frontalisasi kritik terhadap pemeritah yang kuat/otortioter dan juga untuk menutupi sex dari agama. Tetapi agama tidak bisa di jadikan komoditi komedi. Komedi sering juga di pakai untuk kritik, kita tertawa tapi kita sadang sedang di singgung dan di keritik.

Banyak yang bilang naga bonar 1 Asrul sanilah yang kuat, Tetapi film tetap film. Sutrdara lah yang kuat, karena kita sedang menonton film, bukan membaca skenarionya.

Saya suka dengan karakter naga bonar ini, preman yang takut sama ibunya. Inilah kunci dari simpatik penonton terhadapnya walaupun dia jelek, tukang copet, tidak pernah mandi, dan mau naksir cewek Belanda yang canti? Apa mungkin? Ini adalah tehnik skenario (makanya untuk menjadi penulis skenario tidak cukup hanya bisa nulis dan punya hayalan, tetapi banyak tehnik yang bvutuh di pelajaran, sekolah penting sekali), tehnik skenario untuk menampilkan sisi baik si penjahat ini ungtuk mendapatkan simpatik penonton. Bayangkan kalau naga bonar cintanya di tolak saat itu, penonton kan menangis buat naga bonar, karena simpatik penonton sudah masuk ketika dia menggendong ibunya di awal film. Makanya saat Bustal Nawawi (dosen Produksi Film saya, dan ikut sebagai produser di film naga bonar) dia sempat bilang di kuliah kita, bahwa untuk menampilkan sosok naga bonar itu, diskusi untuk menyumpal mulutnya saja butuh waktu lama. Jadi pendapatnya adalah bagaimana bisa bikin tokoh yang hancur kayak naga bonar bisa mendapat simpatik penonton. Ini yang sering kita lupakan saat ini. Jadi rintangan ketika dia mendekati cewek belanda itu penonton akan dag-dig duk (ini yang mahal dari sebuah film/dramanya). Beda dengan Nasri Cepy bikin Catatan Si Boy, sudah kaya, ganteng, alim dan sebagainya sangat sempurna untuk mendapatkan sebuah cewek cantik juga. Dan tehnik ini juga yang terjadi pada film saat ini. Jarang sekali menampilkan sosok yang biasa saja, tetapi jatuh hati sama yang cantik. Secara tehnik skenario ini yang baik, ada kontras, sehingga rintangan dan usahanya dapat dilihat. Walhasil semua pemain kita saat ini INdo-atau ke indiaan, atau segalannya, yang melayu pun sibuk bersikap ke indo-indoan atau memirangkan rambutnya, karena pasar film mencari orang yang seperti itu. Tetapi ketika membuat film indonesia asli, sangat sulit memilih pemain yang ada dengan wajah dan fisik asli indonesia.

Nagabonar adalah sosok pemimpin yang kita butuhkan, mungkin di saat jaman Asrul sani menulisnya saat itu. Sosok yang sederhana, tiodak pendidikan tetapi lebih peduli dan niatnya yang baik. Banyak karekter yang jauh lebih pintar dari naga bonar, seperti si Lukman yang sekolah tinggi tapi korupsi beras, ini yang terjadi pada pemerintahan kita. Saya setuju dengan pendapat asrul sani, pemimpin bukan dilihat dari pendidikan yang pertama, tetapi niatnya lah, pendidikan nomor dua.

Kritika seperti asal membuat pangkat, seorang yang sudah mengabdi sekali minta naik pangkat, yang tidak mengabdi bisa naik pangkat. Apakah jaman itu (saat Asrul Sani menulisnya) semua pemimpin gila pangkat?

Yang pasti Asrul sani memiliki test komedian yang baik sekali. Yang pasti nagabonar jadi legend juga, tetapi ini sekali lagi atas usaha Dedy Mizwar, karena dia memunculkan nagabonar 2. Bagi yang sudah berumur, jadi terkenang, dan bagi yang masih remaja menjadi idola dan mencari film nagabonar 1. Sehingga menjdi daya tarik lagi. Dedy memunculkan yang terlupakan dan menjadikannya sebagai idola.

Nama :Mourtadha Risyaf
Lahir :Pemangkat,Kalimantan Barat,7 Juni 1947
Pendidikan Formal :SMA Negeri 1 Pontianak
Pendidikan Non Formal :
Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974)
Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita Yayasan Citra (1985)

Mourtadha Risyaf, lahir di Pemangkat, Kalimantan Barat, 7 Juni 1947. Berlatar belakang pendidikan SMA Negeri 1 Pontianak, Kalimantan Barat. Karirnya dimulai sebagai wartawan lepas (1971-1974). Selanjutnya, selama dua tahun bekerja sebagai pencatat skrip.

Karena menyenangi dunia film, ia mendalami pengetahuannya tentang film pada Kino Workshop LPKJ & Deppen RI (1974) dan Workshop Teknik Penulisan Skenario Film Cerita, Yayasan Citra (1985). Pada 1974-1979, ia mencoba jadi asisten sutradara. Pengalaman itu membuatnya matang untuk menyutradarai film sendiri.

Mengukir sukses lewat film Kembang Semusim. Film tersebut meraih piala Citra pada FFI 1981 untuk peran wanita terbaik. Pada FFI 1982, ia masuk dalam nominator sutradara terbaik dalam Film Bawalah Aku Pergi. Pada FFI 1987, sukses gemilang diraihnya lewat film Naga Bonar yang dinobatkan sebagai film terbaik. Sempat menyutradarai film Omong Besar pada tahun 1988 yang dibintangi oleh Deddy Mizwar, Sylvana Herman, dan Roldiah Matulessy. Film tersebut diproduksi oleh PT Kanta Indah Film dengan komposer Harry Sabar.

Selain aktif sebagai sutradara, ia juga menulis skenario film. Skenario film yang ia tulis diantaranya Jejak Pengantin, Kembang Semusim, dan Sepondok Dua Cinta. Belakangan ia diminta untuk menggarap sinetron, seperti serial Abu Nawas, Numpang Parkir, Masih Ada Kapal Ke Padang serta Antara Jakarta dan Perth.



MT RISYAF
Annida-Online-Sobat Nida pasti ngeh dong sama sosok copet insyaf yang lantas jadi jendral, nasionalis bin patriotis yang kocak abis. Siapa lagi kalau bukan Nagabonar. Pemainnya, Deddy Mizwar yang dikenal juga sebagai produser dan sutradara andal.

Tapi, tahukah siapa orang di balik suksesnya film buatan tahun 1986 itu? Dialah Sang Maestro kita kali ini, sutradara M.T. Risyaf alias Pak Taba (62). Akhir Juli kemarin Nida berkesempatan bincang-bincang di rumah Pak Taba di Tanah Baru, Beji, Depok. Di rumah batu yang ditata apik artistik itu, Nida disambut taman yang hijau dan bebatuan nemplok di dinding dan lantainya. Ada anthurium, adenium, aglaonema, koleksi tanaman hias Pak Taba. Ya, sejak tak lagi aktif di kancah perfilman nasional, Pak Taba mengisi waktu dengan merawat tanaman hiasnya. Belakangan, pria kelahiran Pemangkat, Kalimantan Barat itu juga sibuk mengasuh cucu pertamanya; Natanaila Akhsya Sheadyta Azaria (8 bulan).

Setelah cukup lama vakum di perfilman, Pak Taba sesekali menyutradari atau menulis ulang naskah sinetron, serta menjadi pembicara workshop film. Terkait film anyar, ia punya rencana besar nih. Pak Taba kepengen bikin film kolosal yang berlatar sejarah. Wah, seru juga kayaknya. Ceritanya berpatok pada tragedi pembantaian masyarakat Pontianak pas zaman penjajahan Jepang. Sekarang ini Pak Taba lagi getol menyiapkan materi, mengumpulkan data dengan mencari dan membaca buku-buku sejarah tentang itu.

"Buku ada tapi belum komplet. Ini salah satunya," kata Pak Taba sambil menunjukkan buku lawas karya M. Yanis berjudul Kapal Terbang Sembilan (Yayasan Perguruan Panca Bhakti, 1983).

Dengan ramah, pria bertubuh subur ini bilang, ia ingin membuat film yang bisa memuaskan sekaligus memanjakan penonton. Juga menambah wawasan yang mengendap di benak penonton, menjadi sesuatu yang berguna untuk kehidupan.

"Saya nggak mau bikin film seperti yang lagi trend sekarang, hantu-hantu dan cinta-cintaan. Takut disumpahi sama penonton, sudah bayar mahal kok filmnya jelek. Kalau buat memanjakan penonton, saya rasa bisa dibantu dengan tehnologi canggih. Pembaruan tehnologi ini mesti dipikirkan oleh orang-orang film, supaya ada bedanya antara film di bioskop dengan sinetron," beber Pak Taba.

Selain kagum dengan dolby stereo yang menjadikan suara menggelegar dan menambah efek sensasional, Taba juga senang dengan perkembangan ragam peralatan film serta instannya pembuatan sinetron.

"Tahun 80-an kami bikin film dengan segala keterbatasan tehnologi, setiap rekaman cuma bisa dilihat oleh kameramen karena belum ada monitor. Kalau ada adegan kurang bagus nggak bisa langsung re-take. Membuat sinetron juga cepat banget, soalnya diburu-buru deadline, kejar tayang," lanjutnya ayah empat orang putra ini.

Dari sederet film yang pernah digarapnya, menurut suami dari Titin Suwardini (52) ini, semuanya menorehkan kesan dan kenangan tersendiri. Namun, Kembang Semusim (1980)-lah yang menurutnya paling berkesan.

"Bagi semua sutradara, tentu setiap film yang dibuatnya punya kesan. Tapi buat saya, yang paling berkesan film Kembang Semusim, karena itu film pertama saya. Di situ saya jadi sutradara sekaligus penulis skenario. Sebagai sutradara baru kala itu, saya senang sekali bisa mengorbitkan bintang baru Marissa Haque. Film itu juga dapat penghargaan Piala Citra untuk Pemeran Wanita Terbaik, Mieke Wijaya," jelas pria yang pernah menjadi karyawan Maskapai Pelayaran Nusantara (MPN) serta wartawan sebelum terjun ke dunia film. [Esthi]
---------------
Nama besar Deddy Mizwar memang identik dengan sosok Nagabonar, prajurit mantan pencopet dari Sumatera Utara. Nama hero yang menjadi judul film peraih piala Citra FFI 1987 itu kini dirilis ulang dalam versi yang lebih disempurnakan. Sepintas, nama sutradaranya, yakni MT Risyaf tenggelam di balik kebesaran nama Deddy. Sejauh apa sih perannya dalam film tersebut?
”Tetap men-direct kok. Bahkan untuk urusan dubbing sampai ke Bangkok segala. Ini kan tanggung jawab profesi,” ucap Risyaf beberapa waktu lalu.

Kendati hanya memperbaiki film lawas, Risyaf menyebutkan bahwa lingkup kerjanya mulai dari mengawasi kualitas akting para pemain, kualitas tata gambar, hingga tata suara. Lebih jauh dicontohkannya,”Jika dulu ada intonasi vokal pemain yang kurang baik, sekarang bisa diperbaiki,” lanjut Risyaf lagi.

Untuk urusan sulih suara ulang atas film ini, Risyaf menyebutkan bahwa mereka yang memperkuat film ini terjun lagi ke dapur rekaman. ”Beberapa pemain sudah meninggal dunia hingga suaranya harus diganti dengan yang mirip,” tuturnya.

”Mereka adalah Fritz G. Schadt, Robert Syarif dan Ras Barkah,” selorohnya. Sementara pemeran Emak Nagabonar, Roldiah Matulessy yang sudah terlalu sepuh juga tak bisa ikut sulih suara. ”Inipun harus digantikan pula,” kata Risyaf lagi.

Risyaf sendiri mengaku puas dengan teknologi baru ini. ”Dengan sistem dolby suara ledakan lebih menggelegar. Kalau dulu kan sistem mono, suara pistolnya pak-pak-pak-pak...,” ujarnya sambil tertawa.

Tentang biaya film versi revisi ini, sutradara Pelangi di Nusa Laut ini mengaku tidak tahu-menahu lantaran itu urusan produser. ”Kalau versi yang tahun 1986, ya di atas 100 jutaan,” sambungnya. Ditambahkannya, film yang berlokasi di Cisolok, Sukabumi ini menghabiskan sekitar 70-an kaleng film. ”Ya, sekitar 75-76 kalenglah. Kan ada juga bahan yang terbuang.”

PELANGI DI NUSA LAUT1992M.T. RISYAF
Director
KESAN PERTAMA 1985 M.T. RISYAF
Director
MERANGKUL LANGIT 1986 M.T. RISYAF
Director
TJISDANE 1971 ASKUR ZAIN
Actor
KEMBANG SEMUSIM 1980 M.T. RISYAF
Director
NAGA BONAR 1986 M.T. RISYAF
Director
JEJAK PENGANTIN 1984 M.T. RISYAF
Director
SEPONDOK DUA CINTA 1990 M.T. RISYAF
Director
YANG TERCINTA 1991 M.T. RISYAF
Director
BAWALAH AKU PERGI 1982 M.T. RISYAF
Director

PELANGI DI NUSA LAUT / 1992



Mayor Seno (Onky Alexander), komandan KRI Ajak, punya prestasi menonjol, tapi belum menikah. Ini yang jadi masalah. Kenangan masa lalu membuat dia masih bujangan. Waktu masih taruna, ia pernah pacaran dengan Ratna (Nurul Arifin), penyanyi amatir. Sahabatnya Bobby (Dolly Martin), juga punya pacar, dan kariernya hancur karena harus menikahi pacar. Lalu ada masalah lain: ayah Seno meninggal, hingga ia merasa harus menggantikan kedudukan ayah terhadap dua adik perempuannya. Dalam keadaan seperti ini, ia menyatakan tidak saat Ratna minta ketegasan. Hubungan putus. Obsesi cinta muncul lagi dan sebenarnya saling merindukan, namun gengsi menghambat. Apalagi Ratna juga menduga Seno sudah berkeluarga.

YANG TERCINTA / 1991




Barli (Ikang Fawzi), wartawan, didatangi teman lamanya. Ia diberi tiket dan uang 5.000 dollar agar menemui seorang gadis, Bunga (Marissa Haque), di Amsterdam karena "ancaman moral". Bunga perlahan-lahan bisa didekati, hingga terkuaklah bahwa gadis itu tiba-tiba disuruh belajar ke Belanda atas biaya perusahaan, dan bahwa dia punya calon suami bernama Denny (Dolly Martin), anak Umar Abdulah (Sophan Sophiaan). Anehnya lagi surat-suratnya tak pernah dibalas Denny. Semua ini ulah Umar. Saat pesta ulang tahun 25 perkawinannya, Bunga diperkenalkan padanya. Ia melihat Bunga mengenakan sebuah bros, yang diberikan ibunya. Umar langsung sadar bahwa Bunga adalah anak kandungnya, hasil percintaannya dengan ibu Bunga, seorang gadis Belanda (Minati Atmanegara), waktu istrinya (Widyawati) mengandung Denny dan sakit-sakitan. Umar menyembunyikan dosanya ini demi gengsi suami setia, martabat keluarga dan bisnisnya, yang kini sudah jadi konglomerat. Ia ingin menyelesaikan masalah ini dengan caranya.

Barli diculik dan diberi tahu masalah sebenarnya. Barli mau membantu dengan caranya, meski sebelumnya sudah menolak ketika temannya datang lagi minta bantuan untuk masalah "ancaman moral", tapi tak jelas duduk perkaranya. Barli berangkat lagi ke Belanda dan membeberkan seluruh masalahnya. Ia bawa foto pertemuan Umar dan ibu Bunga, yang sudah kawin dengan orang Indonesia lain dan tinggal di Medan. Foto itu hasil jepretan secara mencuri-curi. Saat itu Umar minta bantuan ibu Bunga agar Denny jangan sampai kawin dengan Bunga. Maka Bunga bersedia diajak pulang. Ia diminta Umar untuk datang ke sebuah pertemuan keluarga di rumah. Di hadapan istri dan anak-anaknya, Umar mengakui perbuatannya. Melyana (Soraya Haque), yang begitu mengagungkan ayahnya, langsung marah. Begitu juga istrinya. Denny kabur dengan mobil dan mengalami kecelakaan. Bunga kembali ke Belanda. Barli diminta Umar untuk menemui Bunga lagi, apalagi ia bertugas meliput perang di Yugoslavia. Bunga dan Barli jadi kekasih.
P.T. RANA ARTHA MULIA FILM

MARISSA HAQUE
IKANG FAWZI
WIDYAWATI
SOPHAN SOPHIAAN
DOLLY MARTIN
RINA HASSIM
MINATI ATMANEGARA
EKKI SOEKARNO
SORAYA HAQUE
CLAUDIA HIDAYAT

SEPONDOK DUA CINTA / 1990

SEPONDOK DUA CINTA


Dahlan (Didi Petet) yang baru cerai, bisa dapat jodoh dan nikah lagi dengan Nurlela (Eva Arnaz), pegawai sebuah taman ria, sementara Dahlan sendiri belum dapat pekerjaan lagi. Bekas istri Dahlan, Tati (Marissa Haque), tiba-tiba pulang ke rumah itu, karena dia merasa punya hak juga atas rumah yang mereka beli berdua. Maka kejadian kocak diharapkan tampil dari kehidupan bertiga (suami, istri dan bekas istri) dalam satu rumah. Nurlela yang cemburu pelan-pelan berubah jadi simpati. Dahlan yang mencoba tetap berbaik hati, ternyata sebenarnya masih mencintai Tati. Apalagi saat Tati tertipu seorang "pangeran seberang", yang diharapkan bisa mengangkat kariernya sebagai perancang pakaian. Dahlan berubah jadi cemburu saat Tati mendapat jodoh dan nikah. Nurlela yang tahu bahwa suaminya masih cinta pada bekas istrinya, ngambek. Happy end terjadi di Bali.

P.T. RANA ARTHA MULIA FILM

OMONG BESAR / 1988

OMONG BESAR

 
Jamal (Deddy Mizwar) dan Kamil (Eeng Saptahadi) berdagang pakaian di kaki lima satu sudut Jakarta. Mereka sering dikejar-kejar petugas kamtib. Lama-lama Jamal jadi jengkel dan berniat mengubah nasib dengan jalan dagang omongan. Ia mengubah penampilannya menjadi tongkrongan orang kaya, namun norak. Untuk itu, ia memanfaatkan semua sahabatnya untuk jadi sopir, penjahit setelan jas, pelayan restoran dll. Secara nekat ia berkenalan dengan pengusaha kaya, Broto (Rachmat Hidayat), yang punya wanita simpanan. Kemudian ia mengenal Rini (Sylvana Herman), gadis miskin yang juga sok kaya dan membual sebagai pemain film. Ketika berhasil dan jadi direktur, Jamal membantu sahabat-sahabatnya, tapi Rini malah memoroti uangnya dan minta dikawin. Padahal ibu Jamal menginginkan ia kawin dengan gadis sekampung, Munah (Raja Emma). Kisah kemudian berbelok soal Jamal yang sibuk memikirkan soal kawinnya.

Raja Emma dari Malaysia untuk kesekian kalinya dipakai di film Indonesia.
 

MERANGKUL LANGIT / 1986



Anak bengal bernama Rimo (Rano Karno) selalu membuat keluarganya susah, lebih-lebih ibunya yang punya penyakit jantung. Untuk menyalurkan kebengalannya, ayahnya memasukkan ke sebuah klub sepak bola. Dalam klub ini Rimo pacaran dengan Indah (Ira Wibowo). Ini jadi masalah lagi, karena pacar Indah tidak terima. Perkelahian tak terelakkan, hingga saat Rimo pulang dalam keadaan babak-belur, ibunya terguncang. Nyawanya harus diselamatkan dengan operasi. Rimo yang merasa bertanggung jawab, pontang-panting cari uang. Tak berhasil.

Kesempatan yang diperoleh: jadi donor ginjal orang kaya yang membutuhkan. Dengan cara ini semua masalah selesai. Ibunya bisa selamat, dan Indah diserahkan oleh pacarnya kepada Rimo. Ternyata pacar Indah itu adalah orang tua yang sekarang menggunakan ginjal Rimo.

P.T. PARKIT FILM

IRA WIBOWO
RANO KARNO
LEILY SAGITA
PONG HARDJAMOTO
PITRAJAYA BURNAMA
MIEN BRODJO
DEWANTI BAUTY
MATHIAS AGUS
TONNY DAMANIK
DOLLY MARTIN
RAS BARKAH
IDA LEMAN

JEJAK PENGANTIN / 1984

 

Hanafi (Zainal Abidin) menjadi kaya raya dari usahanya yang melanggar hukum. Ia ingin melestarikan kekayaannya dengan menjodohkan anak angkatnya, Ani (Marissa Haque) dengan anak kandung satu-satunya, Deni. Hal itu ia paksakan karena juga untuk menutupi kecurangan-kecurangannya. Ani tidak mau begitu saja menuruti apa kata Hanafi. Ia telah memilih sendiri pemuda pilihannya yakni Yanuar (George Rudy). Mengetahui hubungan Ani dengan Yanuar, Hanafi membuat pengawalan ketat terhadap Ani. Ani dapat meloloskan diri bersama Yanuar. Anak buah Hanafi kemudian menculik Ani dalam keadaan sakit, lalu diserahkan kepada Deni. Dalam keadaan panik Yanuar bersama yang berwajib kemudian dapat menyelamatkan Ani. Saat itu pula terbongkarlah kecurangan Hanafi.

KEMBANG SEMUSIM / 1980



Film ini kejadiannya praktis dalam satu hari satu malam. Lima belas tahun lalu Farida (Mieke Wijaya) bercerai dengan suaminya, padahal mereka telah beranak Mirna (Marissa Haque). Farida kemudian mengawini Wijaya (Rachmat Hidayat), duda dengan dua anak, Macan (Simon Cader) dan Lidia (Dewi Irawan). Mirna yang selama ini tinggal bersama neneknya di Sambas, Kalimantan, ingin menemui ibu yang selalu dirindukannya dan diimpikannya bak seorang malaikat yang akan memeluknya dengan hangat.

Kenyataannya lain. Ibunya terlambat menjemputnya di bandara, karena telegram yang dikirimkan nenek Mirna, terlambat datang. Ibunya seolah menyesal Mirna datang. Begitu sampai di rumah, maka tahulah Mirna keadaan keluarga ibunya. Ayah belum pulang. Macan, bekas pembalap yang cacat kaki, masih dihantui masa lalunya. Lidia sedang berpesta ria dengan kawan-kawannya. Ia punya masalah sendiri. Cintanya ditolak oleh Rusdi (Rano Karno), pacar Mirna sejak di kampung, yang menumpang di rumah itu, tapi lalu diusir karena ulah Lidia. Ayah tiri Mirna, Wijaya, juga sedang mengalami masa suram dalam bisnisnya. Sementara istrinya Farida yang bekerja untuk menghidupi keluarga itu disalah-salahkan, dan agaknya sudah lama menahan beban keluarga "kacau" itu. Ia mengajukan cerai. Malam pertama Mirna di rumah itu merupakan penyelesaian masalah keluarga Wijaya. Mengenang masa lalu, mengaku bersalah, dlsb. Farida sendiri juga menjelaskan duduk perkara pribadinya pada Mirna. Pagi hari semuanya selesai. Rusdi pun datang dan diterima kembali dalam keluarga Wijaya.

KESAN PERTAMA / 1985

 

Sumantri (Barry Prima)sudah lama menduda, hingga dua anaknya sangat mendambakan hadirnya seorang ibu. Pertemuannya dengan Ika (Lia Waroka) membuat Sumantri mengalah pada anak-anaknya. Ia mengawini Ika. Tak lama dari perkawinannya, Sumantri meninggal karena kecelakaan. Ika menyembunyikan kematian suaminya di hadapan anak-anak, dan secara kebetulan bertemu dengan seseorang yang mirip dengan Sumantri. Maka ia mengupah orang itu untuk bersandiwara seolah-olah dia adalah Sumantri. Orang itu adalah Barli (Barry Prima), orang upahan dari sebuah sindikat kejahatan. Meskipun anak-anak Sumantri merasakan sedikit keanehan pada ayahnya, mereka tetap menganggap Barli adalah ayah mereka.

Satu bulan menjalani kontrak, Barli yang tadinya buas mulai berubah. Dia mulai menolak tugas-tugas dari kepala sindikatnya, Gondo (Dicky Zulkarnaen). Gondo tak mau kehilangan Barly, maka diculiklah dua anak Sumantri. Barli berhasil membebaskan, dan anak-anak itu memanggil papa pada Barli.

BAWALAH AKU PERGI / 1982



Abdul Rauf (Roy Marten) adalah seorang pengarang novel. Suatu saat Rauf mencari inspirasi di daerah Vietkong, Vietnam yang sedang dilanda perang saudara. Dalam perjalanan, Rauf kehilangan kawannya (Muni Cader) akibat pertempuran. Melihat keadaan itu Rauf merasakan betapa hancurnya martabat manusia akibat perang.

Saat itu Rauf sedang mengalami kegagalan mencintai Bulan (Maria Oentoe) gadis impiannya, karena ibu gadis itu menganggap Rauf tidak mempunyai masa depan. Dalam petualangannya ke Singapura, Rauf berkenalan dengan Kartika (Marissa Haque), putri Dr. Ibrahim Mahmud (Maruli Sitompul), seorang sarjana sastra yang sedang menyusun kamus bahasa Indonesia.

Kartika yang biasa dimanja ayahnya tertarik dengan penampilan Rauf. Mereka kemudian saling mencinta. Hubungan itu mendapat tantangan dari ayah Kartika, yang dijuluki Rauf sebagai kakek pencari kutu. Namun akhirnya Dr. Mahmud berbalik simpati setelah membaca novel terbaru Rauf.

Cuma orang gila yang tak tahu apa itu cinta. Sedang orang waras pasti ngenalnya. Kelebihan Bawalah Aku Pergi cuma karena berani mengeluarkan biaya lebih. Sedang setting negeri tetangga yang jadi latar belakang cerita, hanya tampil sebagai omamen tak bermakna. Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk syuting di negeri jiran, sama sekali tak mengubah nilai hiburan

P.T. BOLA DUNIA FILM

NAGA BONAR / 1986

NAGA BONAR
BEST FILM FFI 1986
 

Banyak yang menilai hubungan Asrul Sani dengan Chairul Umam harmonis sering memfilmkan skenarionya saat itu, kenapa skenario film ini tidak jatuh ketangan Chairul Umam. Dan bagaimana seandainya skenario ini di filmkan oleh Chairul Umam, apakah akan menjadi lebih baik atau sebaliknya. Beberapa orang menganggap akan sama saja, ada yang menilai bahwa Chairul Umam terlalu sibuk dengan film lainnya, tidak ada waktu dan sebagainya.

Tokoh Naga Bonar (Deddy Mizwar), adalah seorang pencopet yang mendapatkan kesempatan menyebut dirinya seorang Jenderal di pasukan kemerdekaan Indonesia pada saat pasukan pendudukan Jepang mundur pada tahun 1945 dan Belanda berusaha kembali menguasai daerah yang ditinggalkan tersebut.
 
Pada awalnya Naga Bonar melakukan ini hanya sekedar untuk mendapatkan kemewahan hidup sebagai seorang Jenderal, akan tetapi pada akhirnya dia menjadi tentara yang sesungguhnya, dan memimpin kemenangan Indonesia dalam peperangan.

Tidak habisnya saya salut terhadap film ini, Film ini hadir disaat film Indonesia sedang suka-sukanya cerita tentang anak muda cosmopolitan, lalu muncul film ini. Dulu saya sempat nonton film ini 2 kali di bioskop. Awalnya saya tidak tahu kalau ini adalah Film Indonesia, karena posterfilmnya kerudung ibu Nagabonar lebih dominan dari pada yang lain. Dari jauh tampak kerudung itu seperti rambut wanita bule/karena putih. Sedang topi Naga adalah topi yang kurang umum di Indonesia, sehingga terkesan itu film asing, apalagi judulnya. Ternyata ini film Indonesia. Entah skenariona yang dasyat atau sutradaranya? atau keduanya kah? Kalau cerita ini untuk menyindir para Jendral karbitan (asal punya pangkat) saat itu bisa dibilang film ini cukup berani saat itu, maklum tahun itu Soeharto sedang jayanya. Bahkan digambarkan, orang inteleklah yang mencuri/korupsi beras dalam karakter Lukman, dia juga yang menghamili anak gadis orang juga. Orang yang pintar dalam sekolahan sebenarnya menggunakan kepintarannya untuk membohongi orang,  Bujang yang berjuang digaris depan, tidak mendapatkan pangkat berarti, sedang Lukman yang orang sekolahan tidak ikut berperang, korupsi dan punya pangkat lebih tinggi dari Lukman. Cerita tentang pangkat ini sangat menarik, apa definisi pangkat? Naga sendiri masa bodoh, karena mau berunding itulah, mereka membuat pangkat.

Sewaktu kuliah Pak Bustal Nawawi adalah dosen produksi film, di sempat bilang saat film itu dibuat, sangat alot diskusi adalah membuat tokoh Naga ini jelek, hingga pembahasan yang lama adalah sumpelan mulut naga agar tterlihat jelek. Maksudnya adalah, bagaimana tokoh yang sebenarnya jahat, ia mencopet, keluar masuk penjara, enggak mandi, pokoknya jeleklah untuk ukuran percintaan, sosok dan karakter tidaklah harus idola gadis. Tapi Asrul memasukan unsur yang membuat semua penonton lupa kalau dia itu jahat dan jorok. Yaitu memasukan unsur sisi baik si tokoh yang sangat sayang ibunya. Tidak ada Jendral yang bisa diperintah, kecuali ibunya. Ini yang membuat nilai sangat tinggi dalam karakter NagaBonar, selain sisi kejujurannya dalam berjuang.

Jendral yang mencopet alroji Jendral Belanda saat berunding, Jendral yang menangis bagai anak kecil ketika kematian Ujang, menggendong ibunya sendiri untuk mengungsi (ini adegan saya suka, sebelumnya seorang tentara menggendong ibunya, tapi tiba-tiba diludahi ibunya karena ia bau kambing, lantas Naga sendiri yang menggendongnya. Kebanyakan orang menonton film ini lucu, saya juga pendapat demikian. Tapi ini bukan hal baru saat itu. Ada film juga yang dihasilkan Tamu Agung (Usmar Ismail 1955 dan Kejarlah Daku Kau Ku Tangkap -Charul Umam 1986). Film-film itu adalah komedi, komedi yang tanpa bintang lawak, seperti yang sedang ramai saat itu.

Saat penonton ketawa nonton Naga bonar, sadar atau tidak, kelucuan itu bersumber pada penggambaran yang jujur dan polos, karena itu tawanya adalah tawa simpatik , yang kita tertawai adalah diri kita sendiri dalam waktu silam. Film ini tentang revolusi Indonesia, tanpa banyak gangguan sensor resmi maupun tidak resmi. Padahal dulu sempat dialami oleh film Darah dan Doa (Usmar Ismail 1950).
Baca Skenario asli oleh ASRUL SANI

NEWS
Naga Bonar: Kembalinya Harta Karun
Jenis film: Komedi/Drama
Pemain: Deddy Mizwar, Nurul Arifin, Afrizal Anoda, Wawan Wanisar, Piet Pagau, Roldiah Matulesy, Yetty Mustafa, Nico Plemonia, Kaharuddin Syah
Sutradara: MT Risyaf
Penulis skenario: Asrul Sani
Produser: Bustal Nawawi
Produksi: Prasidi Teta And Citra Sinema
Dua puluh dua tahun pita seluloid film Naga Bonar arahan sutradara MT Risyaf itu tersimpan di ruangan Sinematek. Kini, lewat perjuangan yang keras, film yang skenarionya ditulis secara bernas dan cerdas oleh mendiang budayawan Asrul Sani itu, akhirnya dihadirkan kembali kepada masyarakat.

Itu sebuah kerja keras yang perlu diapresiasi. Ia hadir untuk setidaknya memaknai momen seabad Kebangkitan Nasional.

Kehadiran kembali Naga Bonar, seperti dituturkan Deddy Mizwar, salah satu pemain yang menggagas pemutaran kembali film tersebut, diharapkan bisa memberi ruang bagi masyarakat untuk mengambil pelajaran darinya tentang nilai-nilai perjuangan dalam rangka memaknai momen 100 tahun Kebangkitan Nasional.

Tak mudah memang untuk bisa menghadirkan kembali Film Terbaik Festifal Film Indonesia 1987 (FFI 1987) ini dengan kualitas di atas rata-rata. Namun, berkat kegigihan Deddy dan sejumlah rekannya, film ini bisa dinikmati lagi dengan kualitas gambar dan sound yang sangat layak.
Meski tidak sedikit adegan terpaksa dipotong lantaran tak bisa diselamatkan dari jamuran, itu tak berarti membuat Naga Bonar kehilangan ruhnya. Seperti yang pernah dilontarkan mendiang Asrul Sani tentang skenario yang ditulisnya itu, ia ingin menyuguhkan sebuah cerita yang bisa menumbuhkan rasa persahabatan, kesederhanaan berpikir, dan memiliki nilai-nilai patriotisme.

Ya, meski film ini telah melewati zamannya, ruh yang dibangun dalam ceritanya masih terasa relevan dengan suasana kebangsaan saat ini. Lewat Naga Bonar, Deddy, peraih Citra untuk Pemeran Utama Pria Terbaik FFI 1987, memang berharap nilai-nilai yang ada dalam film tersebut menjadi hal yang bisa direnungkan kembali untuk kita bangkit menjadi bangsa yang besar dan dihargai. Dan, tema perjuangan, persahabatan, dan kasih sayang dalam film itu berhasil diracik lewat pendekatan komedi yang cerdas.

Naga Bonar, tokoh rekaan Asrul Sani, menjadi simbol dari tiga tema besar tersebut. Dikisahkan, Naga Bonar bukan sosok yang terpelajar. Ia hanya seorang mantan copet yang tergerak maju ke medan perang demi mempertahankan Tanah Air dari usaha pendudukan kembali pasukan penjajah. Ia mendaulat dirinya menjadi seorang Jendral untuk memimpin pasukan kemerdekaan Indonesia di wilayah Sumatera Utara. Dengan pangkat jendral itu, awalnya ia berharap bisa menikmati segala kemewahan. Tapi, kenyataan justru lain.

Naga Bonar boleh saja terlihat tampak bodoh. Tapi, di balik itu semua, ia sosok yang memiliki nilai-nilai hidup yang luhur. Kecintaannya terhadap Mak-nya (Roldiah Matulesy), persahabatannya dengan si Bujang (Afrizal Anoda), dan ketulusan cintanya pada Kirana (Nurul Arifin)--perempuan yang jadi tawanannya semasa bergerilya--merupakan gambaran betapa ia memiliki nilai-nilai tersebut.

Sosok Naga Bonar pada akhirnya diharapkan bakal menjadi jembatan bagi generasi muda untuk memahami siapa sebenarnya Naga Bonar, yang berhasil mencuri perhatian generasi MTV lewat film Naga Bonar Jadi 2, yang disutradarai dan dimainkan oleh Deddy.

Rentetan cerita yang disuguhkan dalam Naga Bonar Jadi 2 memang tak terlepas dari film pertamanya yang disutradarai MT Risyaf. Pertemuan Maryam dan Naga Bonar dalam Naga Bonar Jadi 2 bukan tanpa alasan. Adegan tersebut menjadi bagian yang mengharu biru, tentu saja bagi mereka yang pernah menonton versi pertamanya. Generasi MTV tentu saja menganggap pertemuan itu tak ubahnya sebuah reuni biasa. Tapi, jika anda termasuk mereka yang berkesempatan menyaksikan film pertamanya, tentu saja anda akan sangat berbeda memahami makna pertemuan tersebut.

Pada akhirnya, kehadiran kembali Naga Bonar, film yang nyaris terkubur itu, pantas diberi acungan dua jempol. Terlebih butuh usaha ekstra untuk bisa menghadirkannya kembali ke masyarakat melewati sebuah perjuangan yang panjang.

Diakui Deddy, tidak gampang untuk bisa mengumpulkan ulang para pemainnya demi melakukan proses pengisian suara atau dubbing kembali, mengingat kualitas film terdahulunya sudah dalam kondisi kurang prima. ''Menyamakan suara yang tentu saja berbeda dengan suara 22 tahun itulah yang paling sulit,'' ujar Deddy.

Belum lagi usaha melakukan restorasi yang tak gampang. Banyak seluloid yang telah berjamur dan membuat sejumlah scene tidak bisa diselamatkan.

Usaha keras juga dilakukan dengan mengajak kembali Franky Raden, music director, yang pada FFI 1987 meraih Piala Citra untuk ilustrasi musik, agar bisa terlibat kembali dalam proses penggarapan ulang film itu. Franky sengaja didatangkan dari AS untuk melakukan supervisi ulang penggarapan musiknya. Hasilnya? Ya, bangsa ini patut bersyukur karena harta karun tersebut kini telah kembali untuk dijadikan bahan perenungan atau mungkin sekadar bernostalgia