Tampilkan postingan dengan label NYOO HAN SIANG. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NYOO HAN SIANG. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Februari 2011

NYOO HAN SIANG

PENDIRI INTER DELTA STUDIO
Melepaskan diri dari laboratorium film di Tokyo dan Hong Kong.

Sebulan lebih setelah merayakan ulang tahun ke 56 tanggal 31 Agustus 1985, Nyoo Han Siang tutup usia setelah empat tahun menderita penyakit yang cukup parah yaitu kelumpuhan saraf yang mengakibatkan kebutaan dan kebisuan. Hanya kemauan baja dari seorang tokoh kaliber pejuang yang mampu melewati masa kegelapan dan kesendirian itu dengan semangat perjuangan keinginan untuk hidup dan berkarya.

Nyoo pada tahap terakhir riwayat hidupnya yang berliku mulai dari pemuda yang resah. mencari bentuk, wartawan, pengusaha, bankir dan semi-politikus, mendekati dan menjadi produser film suatu profesi yang berada dekat dengan kawasan budaya dan wawasan seni.

Dari perjalanan hidupnya yang pada kita dapat menggali pelbagai inspirasi dan dapat merupakan sumber motivasi untuk melanjutkan idealisme almarhum yang masih memerlukan penggarapan khususnya di bidang pembauran bangsa.

Nyoo Han Siang termasuk dalam tokoh masyarakat keturunan Cina (*kalau memang tida pantes di sebut Tionghoa) yang pada mula’nya memang berafiliasi dengan Baperki sebagaimana almarhum Auwyong Peng Koen alias PK Oyong (Pendiri „Kompas") almarhum Soe Hok-gie (adik Arief Budiman) dan Mr.Yap Thiam Hien dari deretan tokoh eselon I Baperki Mereka ini adalah keturunan Cina yang pada awal mulanya turut mendirikan Baperki sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menggalakkan proses integrasi bangsa, Kemudian karena berbeda pendapat dengan almarhum Siauw Giok Tjhan yang menyelewengkan aliranya jaringan syaraf Nyoo. Akan tetapi patut di ingat bahwa almarhum memang pada mulanya menderita penyakit turunan diabetes di mana orang tua dan kakak-kakaknya semua meninggal karena diabetes tsb. Pelbagai schok itu menerangkan bagaimana Nyoo menghadapi gelombang pukulan moral, fisik dan biologis pada sisa 10 tahun umurnya sejak pertengahan dekade 1970an.

Idealisme Gigih

Nurani wartawan, bakat dan minatnya sebagai intelektual tidak pernah hilang dari karier Nyoo Han Siang sekalipun telah menjadi bankir. Ia tetap bergaul dengan semua golongan yang bisa dianggap "intelektual" mulai dari wartawan, seniman, politikus ABRI di samping bankir dan pengusaha sebagai rekan seprofesi.

Penulis mengenal Nyoo sejak tahun 1970, masih di saat garis karier yang menanjak menjelang kulminasinya di BUN (*Bank Umum Nasional) dalam suatu wawancara khusus untuk majalah berita "Ekspres" (almarhum).

Laporan utama itu memuat wawancara penulis dengan Nyoo Han Siang dan ulasan tentang golongan Cina di Indonesia berjudul "Minoritas Cina Pintu Kecil dan Cukong Besar". Nyoo berusia 40 tahun dan penulis 25 tahun, tapi segera dapat berkomunikasi secara berimbang dalam frekuensi yang kurang lebih sarna dalam strategi dan praktek pembauran. Sejak itulah penulis mengenal Nyoo dan mengikuti dari jauh keterlibatannya dalam kegiatan politik dan bisnis, sosial dan ekonomi serta menyaksikan kegigihannya memperjuangkan idealismenya.

Cikal bakal Prasetiya Mulya adalah suatu pertemuan di CSIS yang disponsori oleh Nyoo Hian Siang yang kemudian agak abortus. Nyoo juga aktif mendirikan Karpenas sebagai upaya membantu pengusaha golongan pribumi, tapi karena mis-manajemen, Karpenas lenyap tak tentu rimbanya. Pada 28 Oktober 1977, Nyoo Han Siang adalah salah satu dari 8 orang pendiri Bakom PKB yang dikukuhkan oleh Mendagri 31 Desember 1977.

la aktif dalam kepengurusan Perbanas, menghidupkan majalah Perbankan, mendinamisasi Akademi dan Lembaga pendidikan yang disponsori Perbanas, turut ambil bagian dalam majalah "Progres" (almarhum) di samping, tentu saja punya andil dalam mendirikan "Suara Karya" dan banyak proyek politik bisnis lainnya. Kemudian terjadilah kemerosotan grafik riwayat hidup Nyoo yang telah terurai di atas. Ketika Yayasan Prasetya Mulya lahir tahun 1980 Nyoo telah agak invalid, kehilangan penglihatan dan kelumpuhan mulai menyerang dirinya. Praktis sejak tahun 1981 itu kesibukannya hanyalah berobat dan berobat, melanglang buana dari Chicago sampai Tokyo, Eropa dan Hongkong kembali ke Jakarta dalam kondisi yang stagnan dan memburuk. Tapi ia tetap mempunyai ambisi dan selalu bertekad untuk berprestasi sehingga karier sebagai produsen dan pemilik laboratorium film berwarna di Indonesia juga di manfaatkan untuk merangsang arus baru film Nasional.

Thema kepahlawanan seperti November 1828 serta thema-thema kemanusiaan, perjuangan yang mengungkapkan dedikasi, pengabdian tulus dari manusia Indonesia di tengah kemelut pembangunan telah memberikan banyak piala Citra bagi film yang diprakarsainya. Terakhir yang belum tercapai adalah rencananya mengabadikan biografi Chairil Anwar :"Aku Ingin Hidup 1000 Tahun Lagi".

Nyoo Han Siang hanya diberi 56 tahun untuk hidup di bumi Indonesia di mana sepersepuluh harus menyelesaikan panggilan terakhir profesinya sambil bergelut melawan kelumpuhan dan kebutaan. Hanya manusia kaliber tokoh sanggup mengatasi cobaan hebat itu. Pada saat berkabungnya segenap aliran masyarakat dari segala lapisan, dari pelbagai profesi, tidak hanya keturunan Cina tapi juga pribumi yang merasakan kehilangan besar bagi masyarakat Indonesia. Nyoo Han Siang adalah satu dari sekian banyak warga negara Indonesia ke turunan Cina yang tidak perlu ganti nama tapi dapat membuktikan bahwa dedikasi dan idealismenya diterima oleh masyarakat secara wajar dan sepadan.


Pelajaran

Komplikasi politik dan bisnis merupakan sebab dan akibat menanjak dan merosotnya karir Nyoo Han Siang. Akan tetapi penampilan pribadinya mengalahkan "kekejaman iklim politik", disegani dan dihormati kawan dan saingan. Pada masa-masa yang akan datang ini akan sulit mencari tokoh semacam Nyoo Han Siang yang unik.

Kita melihat ada tokoh tokoh non pribumi yang non bisnis "non-economic animal", yang "pure social animal" seperti Dr. Lie Tek Tjeng, Dr. Thee Kian Wi, Dr. Mely Tan, Mr. Yap Thiam Hien tapi kita jarang melihat orang bisnis yang aktif dan prihatin dengan soal-soal intelektual.

Nyoo Han Siang unik, sebab ia bisa mengkombinasikan antara "economic animal" sebagai bankir, dengan "social animal" sebagai dermawan dan cendekiawan yg pandai bergaul dengan seniman walaupun perbendaharan kata dan bahasanya memang tidak memungkinkannya menjadi "full-intelectual" seperti Sinduhata atau Junus Jahya:

Pada generasi non-pribumi yang akan datang barang kali akan sulit ditemukan tokoh atau pribadi seperti Nyoo Han Siang yang mampu ber-dwi-fungsi seperti itu. Kebanyakan masyarakat non-pribumi sangat takut berpolitik, akibat trauma Baperki dahulu. Mereka hanya ingin hidup tenang, tidak berpolitik dengan siap risiko dituduh hanya mencari uang mencari uang melulu dan tidak berjiwa sosial. Sebabnya dapat diuraikan bahwa mereka politik-phobie karena memang takut atawa di paksa takut

Yang bisa berpolitik dan mampu menembus hutan rimba politik Indonesia setelah Orde Baru bisa dihitung dengan jari tangan, dan yang bisa dikatakan itu-itu juga. (*minimal mampu menjilat dan punya watak budak kepada sang Penguasa tampa mesti repot-repot perjuangken ia punya kaum)

Yang seperti Nyoo masih belum diketemukan dan dalam konteks ini masyarakat yang mendambakan pembauran kehilangan seorang tokoh dan pribadi yang dapat menjadi sumber inspirasi dan panutan dalam bergaul, berbaur, bersahabat, bersetia kawanan dengan tidak menjadikan keturunan sebagai hambatan. Selamat jalan Nyoo Han Siang. Pribadi langka seperti Anda memang jarang tapi kami yakin Tuhan juga akan tetap mewarisi bangsa ini dengan semangat kesetia-kawanan seperti yang telah diperlihatkan oleh Anda.


SINAR HARAPAN SABTU, 5 OKTOBER 1985
"Njoo Han Siang, Pertemuan Dua Arus" adalah tema dari perayaan pertemuan untuk memperingati 21 tahun meninggalnya Njoo Han Siang yang diselenggarakan oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies) bersama dengan PT. Inter Pratama Studio Laboratorium (Interstudio). Siapakah Njoo Han Siang ? mungkin tak banyak lagi orang mengetahuinya, karena ia meninggal pada tahun 1985 atau 21 tahun yang lalu. Perayaan yang diadakan pada tanggal 18 Januari 2006 digedung CSIS di jalan Tanah Abang itu, adalah untuk mengenang Njoo Han Siang yang bersama dengan Ali Murtopo, Soedjono Hoemardani, Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi cs. ikut terlibat dibelakang layar dalam pendirian CSIS di tahun 1971 sebagai donatur dan fundraiser, sedangkan Harry Tjan, Jusuf Wanandi serta Sofian Wanandi adalah motor dan pemegang peranan utama operator politik dan tokoh intelektualnya CSIS. Perayaan peringatan untuk mengenang Njoo ini dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat seperti mantan menteri, insan perfilman nasional, wartawan, budayawan, tokoh-tokoh politik, pendidik, intelektual, pengusaha, media massa dan dari etnis Tionghoa sendiri serta anggauta CSIS dll. Dalam perayaan peringatan ini ditayangkan sebuah film singkat narasi dari beberapa orang yang pernah dekat dan berkerja sama dengannya.

Film singkat tentang kehidupan Njoo ini dibuat oleh sutradara kenamaan Slamet Rahardjo, kawan dekat dari Njoo.Acara perayaan ini juga diselingi dengan lagu-lagu dari penyanyi soprano tunggal Aning Katamsi yang diiringi oleh musik piano. Njoo mungkin lebih dikenal sebagai orang merintis perfilman dan perbankan nasional. Sebenarnya Njoo awalnya adalah seorang wartawan, kemudian menjadi pengusaha (pelayaran, agrobisnis, perbankan, asuransi dan real estate), pendidik, tokoh pembauran dari etnis Tionghoa, pecinta seni dan kebudayaan Indonesia serta seorang yang perduli dengan kehidupan sosial dan politik bangsa. Singkatnya sebagai orang yang multifacet, karena minatnya yang luas. Njoo lahir pada tahun 1930 di Jogyakarta dari keluarga totok Tionghoa yang berbicara bahasa Hokkian dan juga Jawa dirumahnya, dan pada tahun 1942 pindah ke Semarang hingga tahun 1946, lalu melanjutkan sekolahnya ke Tiongkok (Xiamen), dan kembali ke Indonesia lagi (Semarang) pada tahun 1950, setelah setahun sebelumnya tinggal di Hongkong. Pada tahun 1954, Njoo pindah ke Jakarta Pada tahun 1950 Njoo belajar jurnalistik dan menjadi wartawan photo Sunday Courier, serta bersahabat dengan BM Diah dan Adam Malik. Pada tahun 1958 Njoo mendirikan maskapai pelayaran PT. Delta Baru dan sekaligus menjadi pengusaha ekspor-impor bahan pangan, seperti beras dan terigu dengan nama CV. Krisna. Di tahun 1966 Njoo dengan Suhardiman (pendiri dan ketua SOKSI) yang sebelumnya ikut dalam pembentukkan PP Berdikari, bersama Thomas Suyatno mendirikan Bank Dharma Ekonomi yang kemudian menjadi Bank Duta, lalu kemudian harinya merger menjadi Bank Permata. Pada tahun 1969, Njoo membantu Ali Murtopo menjadi pemasok logistik untuk Pepera di Irian. Dari hasil pelaksanaan operasi logistik ini, kelompok Ali Murtopo menyisihkan dana untuk membeli BUN (Bank Umum Nasional) pada tahun 1968. BUN didirikan dan dimiliki oleh tokoh- tokoh PNI, disini Njoo menjadi Presiden Komisaris BUN. Njoo juga yang mendirikan Bankers Club Indonesia, sebagai wadah para bankir Indonesia dimana Njoo menjabat sebagai ketua umumnya yang pertama (1976). Kegiatan usaha lainnya dari Njoo adalah mendirikan perusahan agrobisnis PT. Great Giant Pinneaple Company (GGPC) bersama Lie Siong Thay dan Go Swie Kie pada tahun 1973 . Dengan Jusuf dan Sofyan Wanandi serta Pang Lay Kim (ayah dari Marie Pangestu) Njoo mendirikan perusahan asuransi PT. Maskapai Asuransi Madijo yang berubah namanya menjadi PT. Asuransi Wahana Tata pada tahun 1976. Njoo juga bersama Sri Budoyo memelopori kartu kredit di Indonesia dengan mendirikan Diners Club Indonesia di tahun 1970-an. Selain itu Njoo juga memiliki sebuah restoran, bar dan night club Golden Gate di Kemayoran, sebelum bandara ini dipindahkan ke Cengkareng. Di bidang real estate, Njoo mendirikan PT. Darmo Permai di Surabaya (1973) dan PT. Wai Halim di Lampung (1978).

Selain itu Njoo juga memprakarsai dan merintis pendirian Akademi Perbankan Nasional yang berkembang menjadi STIE Perbanas dikemudian harinya dan juga pernah menjadi ketua umum Perbanas. Atas jasanya, Njoo diabadikan dalam bentuk monumen di depan kampus STIE Perbanas. Bersama Lim Sioe Liong dan William Soeryadjaya, Njoo juga ikut aktif dalam pembentukkan dan kepengurusan Yayasan Prasetya Mulia. Dibidang politik dan pembauran bangsa, Njoo bersebrangan dengan konsep Siauw Giok Tjhan dari Baperki (konsep integrasi), dan bersama Sindhunata sebagai salah satu pendirinya ikut mendirikan Bakom PKB (Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa) pada tahun 1977 (konsep asimilasi), yang sebelumnya bernama LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) yang dibubarkan pada awal pemerintahan Orde Baru. Walaupun Njoo duduk dalam kepengurusan Bakom PKB ini (dewan penyantun), namun dia tetap mempertahan nama Tionghoa-nya dan tidak mengikuti anjuran dari kelompok asimilasi. Mungkin disamping sebagai bankir, nama Njoo lebih dikenal oleh masyarakat sebagai seorang tokoh perintis perfilman nasional. Bersama Wim Umboh, (seorang sutradara senior dari etnis Tionghoa Manado yang fasih berbahasa Mandarin dan menjadi penterjemah film bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia) dan Aloysius Soegianto (perwira Opsus mantan kolonel RPKAD yang pernah berperan dalam operasi Seroja dan deklarasi Balibo di Timtim 1975 , selain itu juga pernah menjabat lama sebagai ketua PERKIN –Perkumpulan Kinologi Indonesia ) mendirikan PT. Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) di Pasar Minggu pada tahun 1972 (diresmikan pada tahun 1976) dengan tujuan membebaskan diri film Indonesia dari ketergantungan luar negeri dan juga yang merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti sound recording, sound effects, mixing, music edit, dubbing dan optical effects. Sebelumnya proses perfilman di Indonesia harus diproses di Hongkong atau Tokyo yang membutuhkan biaya tinggi serta makan waktu.

Inter Studio ini diharapkan mampu memproduksi film-film nasional secara utuh di Indonesia. Visi Inter Studio ini adalah untuk menghasilkan film bermutu, kultural edukatif dan bermoto "Masuk Ide , Keluar film" serta menjadikan film Indonesia "Tuan di negeri sendiri" atau "Film Indonesia telah dapat dilahirkan di dalam negeri" atau dapat dikatakan juga sebagai "hardware" dan dapur perfilman Indonesia. Salah satu sinematograf yang sering memanfaatkan fasilitas Inter Studio ini adalah Teguh Karya (Liem Tjoan Hok) dari "Teater Populer" atau sering dipanggil Steve Liem atau disebut juga "Suhu Teater Indonesia". Teguh juga berhasil meyakinkan produser-produser film dan sutradara muda untuk memanfaatkan jasa Inter Studio ini untuk memproses film-nya. Film-film yang diproses di Inter Studio ini telah berhasil mendapatkan beberapa piala Citra serta banyak melahirkan film-film terbaik di FFI (Festival Film Indonesia) dan FFAP (Festival Film Asia Pasifik). Film-film yang pernah diproduksikan oleh Njoo ini antara lain adalah: "Chicha", sebuah film anak-anak yang disutradarai oleh Eduard P.Sirait (1976) dengan bintang ciliknya Chicha Koeswoyo serta pemain lainnya, Rae Sita, Ade Irawan, Ria Irawan, dengan iringan musik Idris Sardi dan skenario Asrul Sani. Film "Chicha" ini telah memenangkan piala "Akhnaton" pada film festival Cairo II, Mesir. "November 1828", film epik perjuangan Diponegoro yang disutradarai oleh Teguh Karya (1978), dengan pemainnya Slamet Raharjo, El Manik, Jenny Rachman, Sardono W Kusumo, Maruli Sitompul dll. Film ini memperoleh 5 piala Citra dan merupakan film terbaik FFI 1978 serta mendapat predikat "most outstanding historical presentation Film" di FFAP, Singapura (1979). "Rembulan dan Matahari", film yang mengangkat nilai-nilai budaya pedesaan, disutradarai oleh Slamet Rahardjo sebagai karya pertamanya(1979). "Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa" (1979), disutradarai oleh Amir Prijono, dengan pemain-pemainnya Christine Hakim, El Manik, Joice Erna, Maruli Sitompul, Ikranegara, dll. Nano Riantiarno, Putu Wijaya dan Asrul Sani juga ikut serta dalam pembuatan film ini. "Seputih Hatinya Semerah Bibirnya", disutradarai oleh Slamet Rahardjo (1980), dengan pemainnya, Christine Hakim, El Manik, Frans Tumbuan, dll. Eros Jarot dan George Kamarullah juga ikut dalam pembuatan film ini. "Usia 18", disutradarai oleh Teguh Karya (1980), dengan pemain-pemainnya, Yessy Gusman, WD Mochtar dll. Walaupun bukan produsernya, Njoo membiayai dan aktif mendukung pembuatan film yang mengangkat tema pembauran etnis yang berjudul "Mei Lan, Aku Cinta Padamu" (1974), dengan Wim Umboh sebagai produsernya serta disutradarai oleh Pitrajaya Burnama dimana aktris tiga jaman Fifi Young (Tan Kiem Nio, kelahiran Aceh) juga ikut bermain dalam film ini. Selain itu Njoo juga beberapakali mendukung penyelesaian film yang macet, antara lain "Secangkir Kopi Pahit", yang pada FFI 1985 memperoleh 11 piala Citra dari 13 yang tersedia. Selain itu ada beberapa ide cerita yang akan difilmkan namun belum sempat diwujudkan seperti film "Cut Nyak Dhien" yang akhirnya diproduksi dengan sukses oleh Eros Jarot dengan Christine Hakim sebagai pemeran utamnya serta film "Chairil Anwar- Aku Ingin Hidup 100 Tahun Lagi", yang skenarionya ditulis oleh Syuman Jaya, namun tidak terealisir, karena Syuman meninggal dunia. Selain memproduksi film, Njoo juga mendirikan Sekolah atau Kursus Seni Peran bersama Wahyu Sihombing dan Tatiek Maliati di pusat perfilman nasional H. Umar Ismail, Kuningan, dimana pesertanya bebas uang sekolah, bahkan mendapat uang transport dan kost. Murid-muridnya yang pernah mendapatkan pendidikan disini antara lainadalah Ray Sahetappy, Ida Leman, Heru Fadila, Alan Nuary dll. Selain seni sinematografi, Njoo juga mesponsori perkembangan seni musik yang dianggap sebagai infrastruktur penunjang produksi film. Pada tahun 1973, Njoo menyelenggarakan pesta musik semalam suntuk yang diikuti oleh 17 group musik yang tengah populer waktu itu seperti Koes Plus, The Pros, AKA (Ucok Harahap, Arthur Kaunang cs), Godbless (Achmad Albar cs). Peristiwa musik akbar itu dinamakan "Summer 28" (memperingati hari kemerdekaan RI ke 28) yang menyerupai pesta musik populer di AS, Woodstock. Pesta musik ini diselenggarakan di kompleks Inter Studio, Pasar Minggu yang luas lahannya dan dipimpin oleh Idris Sardi dan Dimas Wahab yang hingga kini tercatat sebagai peristiwa budaya yanglangka dan jarang terulang kembali. Atas jasa-jasanya Njoo dibidang sinematografi nasional dan 19 tahun setelah wafatnya, Njoo Han Siang dianugerahkan "Satya Lencana Wirakarya" dari Presiden RI Megawati dalam acara peringatan Hari FilmNasional, pada tahun 2004.

Selain itu, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, melalui BPPN (Badan Pertimbangan Perfilman Nasional) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan Piala Khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri. Ini dimaksudkan untuk mengenang dan menghargai perjuangan Njoo serta untuk melanjutkan dan memotivasi semangat kemandirian membebaskan perfilman Indonesia dari ketergantungan luar negeri. Njoo Han Siang wafat pada tahun 1985 di usia 55 yahun, karena penyakit diabetis. Beliau mempunyai seorang isteri tetapi tidak mempunyai keturunan, sesudah Njoo meninggal, kegiatan bisnisnya seperti Inter Studio dilanjutkan oleh keponakannya yaitu Rudy Sanyoto yang menjabat sebagai direktur Inter Studio hingga sekarang. Njoo selama hidupnya dikenal sebagai seorang idealis, nasionalis, wartawan, pengusaha, politikus (semi politikus), pecinta seni dan budaya serta aktivis berbagai bidang profesi dan seorang tokoh perfilman nasional. Njoo yang walaupun lahir dari generasi kesatu keluarga Tionghoa totok di Jogyakarta, telah mewarisi nilai-nilai kebudayaan Jawa yang mengalir dalam dirinya (bahasa Tionghoanya beraksen Jawa). Akulturasi ini telah mewarnai perjalanan hidupnya dimana naluri bisnis yang diwarisi dari orang tuanya berpadu dengan kepeduliannya terhadap Indonesia termasuk dengan kelompok etnisnya sendiri, atau dinamakan pertemuan dua arus (budaya Tionghoa dan Jawa). Lingkaran pergaulan Njoo adalah sangat luas, lintas etnis, agama dan profesi seperti sahabat-sahabatnya yang berasal dari pengusaha, militer, budayawan, politikus, intelelektual, pribumi maupun non-pribumi dll. Njoo adalah seorang yang unik dengan minat yang luas, selain banyak kawan dia juga mempunyai lawan. Hubungannya yang dekat dengan Ali Murtopo cs. yang misterius serta sangat dipercaya olehnya juga banyak menimbulkan pertanyaan dan tetap menjadi misteri. Apapun penilaian orang terhadapnya, Njoo adalah bagian dari mosaik tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia yang menonjol peranannya dalam kehidupan sosial budaya dan politik di Indonesia. Mungkin kontribusi Njoo yang positif untuk Indonesia selain di bidang perbankan adalah di bidang perfilman nasional. Beliau adalah orang yang ikut serta membangun fondasi perfilman nasional dan aktif mengembangkan seni sinematografi di Indonesia. Njoo Han Siang yang oleh Harmoko disebut sebagai salah satu pelopor budaya sinema, menambah lagi daftar nama-nama dari golongan etnis Tionghoa lainnya yang berkiprah dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan seni teater dan sinematografi di Indonesia, seperti Nyoo Cheong Seng, Fifi Young (istri Nyoo Cheong Seng), Tan Tjeng Bok (Mat Item), Teguh Karya, Wim Umboh, Nano Riantiarno dll. termasuk aktris dan aktor sinetron masa kini, Agnes Monica dan Ferry Salim yang pernah bermain di film Ca Bau Kan (karya Remy Sylado) dan juga pernah menjadi duta nasional Indonesia untuk UNICEF.


Oleh Hardo Sukoyo

Minggu, 22 Januari 2006 Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) lewat Festival Film Indonesia (FFI) 2005 kembali memberikan penghargaan kepada produser film yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik film dalam negeri sepanjang tahun, dengan menganugerahkan piala khusus Nyoo Han Siang. Pada FFI 2005 ini piala Nyoo Han Siang diberikan kepada PT. Kharisma Starvision. Piala Nyoo Han Siang untuk pertama kali diberikan kepada Miles Production, pada FFI 2004. Nyoo Han Siang lahir 31 Agustus 1930 di Yogyakarta, berpulang pada 30 September 1985 di Jakarta dan dimakamkan di Semarang, telah dianugerahi Satyalencana Wira Karya oleh Pemerintah sesuai dengan Keppres No.016/TK/ Tahun 2004 tertanggal 13 April 2004, sebagai penghargaan atas dharma bhaktinya terhadap Negara dan Bangsa Indonesia di bidang perfilman. Tetapi kemungkinan bagi generasi muda ada pertanyaan, siapa sebenarnya Nyoo Han Siang? Dan apa andilnya dalam perfilman di Indonesia selama ini? Dalam bukunya "Hidup Boleh Berakhir, Semangat Tetap Berlanjut" (1990), Syarif Hidayat, mantan wartawan Tempo, dalam kata pengantar di antaranya menulis; "Saya kenal Nyoo Han Siang ketika sebagai wartawan.

Salim Said redaktur film majalah Tempo memberi tugas untuk wawancara dengan Nyoo Han Siang sehubungan dengan peresmian studio dan laboratorium film berwarna pertama di Indonesia, International Cine & Studio Centre (disingkat Interstudio), pada 16 Maret 1976, di Jalan Raya Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saya tidak tahu siapa Nyoo yang sebenarnya. Yang pasti saat itu pikiran saya dipenuhi dengan permasalahan perfilman yang menyangkut antara idealisme dan komersialisme. Apakah Nyoo seorang yang idealis, ataukah ia komersialis? Ternyata ia seorang idealis. Pernyataan-pernyataannya dalam wawancara itu menunjukkan bahwa ia sangat rindu untuk membesarkan perfilman nasional. Ia prihatin atas tema film yang mengabaikan segi-segi idiilnya Sebelum Interstudio didirikan oleh Nyoo Han Siang, sepanjang sejarah perfilman Indonesia, dalam catatan kita, film-film berwarna Indonesia terpaksa diproses di luar negeri. Dan dengan adanya laboratorium film Interstudio itu, para pembuat film Indonesia, selain bisa berhemat juga dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada laboratorium film di luar negeri, dan kreatifitas pun diharapkan lebih berkembang. Jika sebelumnya sebuah film yang dibuat di Indonesia dan di proses di Jepang, misalnya, menghabiskan waktu beberapa bulan, dengan hadirnya Interstudio, bisa diproses dengan waktu kurang dari separuhnya. Bahkan, film yang disyuting hari ini, dua hari kemudian sudah dapat dilihat hasilnya. Kenyataan ini, merangsang para sutradara untuk lebih kreatif. Dengan itu Hyoo Han Siang sudah membuktikan bahwa ia seorang pengusaha idealis. Semasa hidupnya, keinginan untuk memajukan perfilman Indonesia yang berkali-kali diucapkan selalu diupayakan dapat terealisir. Dan Interstudio adalah wujud nyata dari keinginannya itu. Masuk ide keluar film, begitulah gagasan Nyoo Han Siang untuk Interstudio. Ide digarap, diproses menjadi film secara utuh di dalam negeri dengan kualitas prima. Jadilah film yang bukan hanya menjadi kebanggaan karyawan, artis, dan produser semata, tetapi juga mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia, karena merupakan karya utuh bangsa.

Untuk membantu menemukan pemain film baru sekaligus membekali mereka dengan pengetahuan seni peran, Nyoo Han Siang telah mengadakan kursus seni peran di bawah pimpinan Wahyu Sihombing dan Tati Maliati Sihombing, yang antara lain telah melahirkan aktor dan aktris film Ray Sahetapi dan Ida Leman. Sebagai seorang produser film, Nyoo Han Siang memiliki kejelian dalam memilih tema-tema cerita yang hendak diproduksinya. Ide-idenya menjangkau persoalan sosial budaya bangsa Indonesia yang multi kompleks, yang terkadang belum pernah dipikirkan oleh produser lain. Hal itu terlihat adanya berbagai variasi tema film yang pernah ia produksi. Untuk mewariskan nilai-nilai kepribadian yang kokoh dibuatnya film Tokoh (Wim Umboh, 1971). Kemudian mempelopori "pembauran" di Indomnesia diproduksilah film Mey Lan Aku Cinta Padamu (Pitrajaya Burnama, 1974). Sebagai perwujudan cinta kasih keluarga dibuat film Chicha (Eduart P. Sirait, 1976). Untuk menggambarkan kesamaan harga diri antara pemuda kaya dan pemuda miskin dibuat film Duo Kribo (Eduart P. Sirait, 1977). Tema perjuangan dan patriotisme juga diangkat, dengan memproduksi November 1828. ( Teguh Karya, 1978). Untuk mengangkat nilai-nilai budaya tradisional dibuatlah film Rembulan dan Matahari (Slamet Rahardjo, 1979). Untuk mendorong gairah mengabdi di daerah terpencil dibuatlah film Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa (Ami Prijono, 1981). Remaja putus sekolah yang mampu menghadapi rintangan film Usia 18 (Teguh Karya, 1981). Tema legenda film Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari (Bay Isbahi, 1982). Untuk membangkitkan semangat pemuda agar berbakti pada bangsa dan negara dibuat film Bersemi Di Lembah Tidar (Frank Rorimpandey, 1982), dan film Secangkir Kopi Pahit (Teguh Karya, 1985) merupakan perwujudan gagasan bagi seorang mahasiswa drope out. Film-film yang diproduksi dengan harapan agar dapat menjadi tuntunan di samping sebagai tontonan, beberapa di antaranya bahkan telah mendapat penghargaan. Antara lain, film Chicha meraih piala Akhnathon di Festival Film Kairo. Film November 1828 meraih piala Citra sebagai film terbaik bidang musik, sinematografi, editing, dan penata artistik FFI 1978.

November 1828 juga mendapat penghargaan sebagai The Most Outstanding Historical Presentation di FFAP 1979, Singapura. Itulah perkembangan Interstudio. Sebagai. studio dan laboratorium film yang kualitas processing negative dan positive filmnya menurut Motion Imaging Technical Centre Kodak pada tahun 1995, telah mencapai tingkat A /Exsellent, telah membantu melahirkan film-film nasional yang berkualitas secara utuh di dalam negeri. Di antaranya film Di Balik Kelambu (Teguh Karya) sebagai film terbaik, dengan tata suara terbaik, FFI 1983. Film Kembang Kertas (Slamet Rahardjo) sebagai film terbaik dan tata suara terbaik, FFI 1985. Film Ibunda (Teguh Karya) sebagai film terbaik, tata gambar, tata suara, dan musik terbaik FFI 1986. Film Dua Tanda Mata (Teguh Karya) sebagai film dengan tata gambar dan tata musik terbaik FFI 1985, juga film terbaik dan tata gambar terbaik pada FFAP 1986 di Seoul, Korea Selatan. Dan film Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh Karya) sebagai film terbaik dengan tata suara terbaik FFI 1989. Film Ramadhan & Ramona, film terbaik FFI 1992 atau FFI terakhir sebelum diadakan kembali pada tahun 2004. Keinginan BP2N lewat FFI selalu memberikan piala Nyoo Han Siang bagi produser yang paling banyak memproses film secara utuh di dalam negeri sepanjang tahun itu, rasanya tidak mengada-ada bila dikatakan sebagai keputusan yang cerdas. Karya nyata Nyoo Han Siang terhadap perkembangan perfilman Indonesia selama ini, sudah terbukti dan sulit untuk dibantah. Apalagi wujud optimesme Nyoo Han Siang yang karya dan kontribusinya terhadap dunia perfilman Indonsia telah banyak mendapatkan apresiasi dari insan film di Indonesia maupun di manca negara. Sudah selayaknyalah bila nama Nyoo Han Siang kemudian diabadikan sebagai nama piala khusus yang diberikan dalam FFI, kepada produser yang lebih memilih memanfaatkan jasa teknik film dalam negeri secara maksimal, sesuai amanat bangsa Indonesia yang tertuang dalam UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman. * Penulis adalah wartawan senior, tinggal di Jakarta.