Tampilkan postingan dengan label OTHNIEL WONG (WONG BERSAUDARA). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OTHNIEL WONG (WONG BERSAUDARA). Tampilkan semua postingan

Jumat, 28 Januari 2011

OTHNIEL WONG


Othniel Widjaya (Othniel Wong), Othniel Widjaya

Lahir: Jumat, 01 Mei 1908 Jakarta. Pendidikan: Wooberry Primary School (1916), San Fransisco, Saint John University (junior), 1920, Pathe Kinema Studio (1924), Hongkong. Dibawa ke Amerika oleh ayahnya Wong Siong Tek yang pendeta untuk menyusul dan menarik kakaknya Nelson dari dunia film Hollywood. Tapi ternyata Othniel dan Joshua (adik Nelson) mengikuti jejak kakaknya terjun ke dunia film. Yang termuda dari Wong bersaudara ini datang ke Indonesia pada tahun 1920-an bersama kedua kakaknya Nelson dan Joshua, didatangkan dari Shanghai oleh Tio Tek Djin untuk bikin film. Walau usaha Tek Djin itu dibatalkan, tapi Wong bersaudara melanjutkan langkahnya. Mereka merupakan orang Timur pertama yang bikin film di Indonesia (tadinya adalah orang-orang Belanda). Bahkan aktifnya Wong ini menarik pula orang-orang Tionghoa perantau lain, sehingga mendesak orang Belanda. Othniel—bersama kakaknya Joshua—terus aktif setelah kakak mereka Nelson sakit mulai sekitar tahun 1934. Diantaranya mendapat penghargaan berkat kerja kameranya dalam pembuatan Pareh (1935) dan De Merapie Dreigt. Ikut mendirikan Tan's Film bersama Tan Khoen Man, setelah keluar dari ANIF—yang antara lain menghasilkan Terang Boelan (1937).
 
Di masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik, kedua kakak beradik mengalihkan usaha dagang di luar film. Baru tahun 1948 kembali ke film, mendirikan Tan & Wong Bros bersama Tan Khoen Hian. Perusahaan ini amat produktif diawal tahun 1950-an. Pada tahun 1955 berganti nama menjadi Tjendrawasih Film, tapi kegiatannya menurun. Baru nampak bergerak lagi di awal 1970-an, di bawah pimpinan Willy Wilianto, anak Othniel. Pada tahun 1973, Othniel mendapat penghargaan dari Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin bersama Joshua. (Lihat juga Nelson Wong dan Joshua Wong).

Beberapa film Disutradarainya Sendiri ada juga yang disutradari berdua dengan Joshua Wong

SORGA KA TOEDJOE1940JOSHUA WONG
Director
SITI AKBARI 1939 JOSHUA WONG
Director
DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD 1954 OTHNIEL WONG
Director
TERANG BOELAN 1937 ALBERT BALINK
Director Of Photography
ROEKIHATI 1940 JOSHUA WONG
Director Of Photography Director
GAGAK ITEM 1939 JOSHUA WONG
Director
RUSMALA DEWI 1955 OTHNIEL WONG
Director
AIR MATA MENGALIR DI TJITARUM 1948 ROESTAM ST PALINDIH
Director Of Photography
FATIMA1938JOSHUA WONG
Director Of Photography Director

DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD / 1954

DJAKATA BUKAN HOLLYWOOD
Disutradarai OTHNIEL WON


Pengusaha piringan hitam Rasyid menugaskan penyanyi kenamaan Burhan untuk memikat RA Rooswati di Villa Murni di Puncak. Ayah gadis itu ingin mempertahankan keningratan, dan menjodohkan anaknya dengan RM Bimayu. Rooswati kabur, mengembara dengan menggunakan nama pelayannya, Suparni. Di tengah pengembaraan itu Rooswati ketemu Burhan. Orang tua Rooswati menyuruh Ma'ruf dan Manaf mencari. Rooswati pulang sendiri ke Puncak. Untuk memeriahkan suasana, dipanggil orkes yang antara lain menghidangkan lagu "Djakarta bukan Hollywood" ciptaan Burhan sesudah melihat lagak pemuda-pemudi yang meniru gaya luar negeri.

ARDJUNA FILM
TJENDRAWASIH


W.D. MOCHTAR
SUKARNO M. NOOR
SUHAIMI SAID
MISS NONIE
S. WALDY
BAS M. AMIN

ROEKIHATI / 1940

ROEKIHATI

Disutradarai bersama
OTHNIEL WONG



Roekihati (Roekiah) adalah seorang gadis desa yang diperistri oleh Mansur (Djoemala), walau ayah si lelaki tidak setuju. Atas bujukan teman-teman, Mansur tertarik pada gadis kota Aminah. Walau disia-siakan, Roekihati tetap setia pada suaminya. Kelemah-lembutan Roekihati akhirnya membuat Mansur sadar akan kekeliruannya.

Film ini tidak mencoba mencari hati penonton kelas atas, 1940. Tetapi film ini adalah anadalan Tan's film dengan lelucon Kartolo sang Suami. Mereka tidak melupakan resep TB (terang Boelan), seperti nyanyian, pemandangan, perkelahian dan sebagainya. Semua ini tidak diupakan agar terlihat lebih modren dari penyanyinya yang sudah-sudah. Pada film ini Tan's film berpihak kepada orang kampung dan mengkritik yang modren.

Roekiah anak Pak Poeki yang harus mencari kerja di kota karena ayahnya menghadapi kesulitan ekonomi dan ibunya sakit. Ia mendapat kerja di rumah orang kaya bernama Mahmud, tetapi mata keranjang dan istrinya pencemburu, hingga hari itu juga sudah timbul masalah. Roekiah harus angkat kaki dan diteman oleh Ancet (Kartolo), jongos di rumah Mahmud. Bancet kasihan padanya, kemudian Roekiah mendapat kerja sebagai penyanyi di restoran. kembali ia keluar kerja karena retoran juga sudah terjadi keributan.

Setelah terlunta-lunta penuh sengsara. diantar bancet yang baik dan lucu itu, akhirnya ia dicintai oleh Mansur (Djoemala) pemuda ganteng dan kaya. Dan menikahinya meski ayah Mansur melarangnya. Lalu rumah tangga mereka terganggu karena teman-teman Mansur mengucilkannya, karena ia mengawini gadis desa yang tidak terpelajar. Ia kemudian tergila-gila dengan Aminah, gadis modren dan menyia-nyiakan Roekih.Meski ia tahu kelakukan suaminya, tapi ia tetap setia. Kehalusan sikap dan budi Roekiah ini membuat mertuanya jadi sayang. Roekiah kembali mendapatkan kebahagiaannya, karena sang mertua menyadarkan putranya bahwa Roekiah ini adalah seorang istri yang semestinya mendapatkan penghargaan tinggi oleh suami yang ingin hidup beruntung.

Menurut film ini yang penting dari istri adalah kesetiaan, kecantikan dan budi luhur. Iklan film ini menekankan bahwa meski...Roekiah gadis desa yang tidak terpelajar, tapi ia punya budi pekerti yang halus dan kelakukan yang lemah lembut, disertakan hati nurani jujur mulia bisa menundukan hati mertua yang beradat keras dan bermula tidak mau mengakui ia sebagai mantunya -kalahkan juga daya upayanya satu gadis modren yang hendak rebut ia punya suami.

Film ini menojol dalam pemasarannya, Roekiah dengan segala keunggulannya sebagai wanita bawah, tetapi menjadi idola rakyat jelata dan tidak pernah diusahakan agar ia nampak sebagai orang Modren.

SORGA KA TOEDJOE / 1940



Judul Belanda In Den Zevenden Hemel
Film pertama Roekiah dengan pasangan barunya, Djoemala, setelah "pecah" dengan Rd.Mochtar.

Film ini sama juga dengan Roekihati, ceritanya tentang seorang gadis miskin yang mendapatkan cinta dari orang terhormat.

TAN'S FILM

ROEKIAH
ANNIE LANDAUW
KARTOLO
DJOEMALA
TITING
ISMAIL
RAMLI

Film ini juga sukses di pasar.

Rasminah (Roekiah) tinggal dengan bibinya yang tuna netra bernama Hadidjah (Annie Landouw) di Puncak, sebuah desa yang berada di tenggara Buitenzorg (sekarang Bogor). Hadidjah telah berpisah dari suaminya, Kasimin, selama beberapa tahun, sejak dia dituduh telah berzina olehnya. Meskipun ia segera menyesali insiden itu, sudah terlambat; mayat menyerupai Kasimin ditemukan mengambang di sungai, dan Hadidjah ditabrak oleh sebuah mobil, yang membuat dirinya buta, ketika ia buru-buru ingin melihat jenazah tersebut. Sekarang dia menyanyikan lagu kroncong "Sorga Ka Toedjoe", yang dinyatakan Kasimin sebagai simbol cintanya, pada pukul 5 sore setiap hari. Tanpa diketahui Hadidjah, Kasimin (Kartolo) masih hidup dan sehat; ia juga menyanyikan "Sorga Ka Toedjoe" setiap hari pada waktu yang sama.

Setelah bertemu dengan orang kaya dan dibenci masyarakat bernama Parta, yang berniat untuk membawanya sebagai istri keduanya, Rasminah pergi ke kota terdekat dari Batavia (sekarang Jakarta) untuk mencari pekerjaan. Beberapa hari kemudian, setelah menemukan pekerjaan, ia kembali ke Puncak untuk mengambil Hadidjah dan membawanya ke Batavia. Namun, Parta dan pengikutnya Doel mengejar-ngejarnya. Ketika kereta Rasminah yang terjebak dalam liang, kedua mulai mengejarnya. Rasminah berjalan ke hutan, dan setelah beberapa berjumpa dengan sejumlah orang, ia menemukan tempat berlindung di sebuah rumah kecil. Di sana ia beristirahat pada malam hari, tanpa melihat pemiliknya.

Keesokan paginya, Rasminah terbangun oleh suara gitar yang dimainkan oleh pemilik rumah itu, Hoesin (Djoemala). Takut bahwa ia bekerja sama dengan Parta, ia menyelinap ke luar, hanya untuk berhadapan dengan Parta dan Doel. Mundur, dia dikejar oleh keduanya. Hoesin campur tangan, dan setelah pertarungan sengit, mengalahkan dua dan mengusir mereka pergi. Dia kemudian meyakinkan Rasminah dan mengantarkan ke rumahnya.

Selama hari-hari berikutnya Hoesin berulang kali mengunjungi Rasminah, dan perlahan-lahan keduanya mulai jatuh cinta. Hoesin ikut Rasminah mengunjungi bibinya di Batavia untuk tinggal bersamanya. Mereka mulai membahas masa depan mereka bersama-sama, tapi Rasminah menegaskan bahwa dia hanya akan menikah jika bibinya kembali dengan Kasimin. Setelah pencarian panjang, ketika ia hampir putus harapan, Hoesin menemukan Kasimin di sebuah perkebunan kecil di perbukitan di luar kota - suami lama Hadidjah yang hilang yang sebelumnya mengolah kebunnya sendiri, tetapi kemudian digusur oleh pemilik licik dan serakah sehari sebelumnya. Akhirnya Kasimin dan Hadidjah bertemu kembali, memungkinkan Hoesin dan Rasminah untuk memulai persiapan mereka sendiri.

Sorga Ka Toedjoe disutradarai oleh Joshua dan Othniel Wong bersaudara dari Tan's Film, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh dua bersaudara beretnis Tionghoa bernama Khoen Yauw dan Khoen Hian. Tan bersaudara, yang memproduksi sejumlah film, telah aktif dalam industri sejak Njai Dasima pada tahun 1929. Wong bekerja dengan Tan sejak 1938, ketika mereka menyutradarai film hit Fatima, membantu pembangunan ulang perusahaan tersebut setelah perusahaan tersebut belum menyelesaikannya pada tahun 1932. Sorga Ka Toedjoe direkam menggunakan hitam putih, dengan beberapa latar film di Telaga Warna, dekat Buitenzorg.

Film tersebut dibintangi oleh Roekiah, Rd Djoemala, Kartolo, dan Annie Landouw dan menampilkan Titing, Ismail, dan Ramli. Dalam syuting film, Roekiah selalu dipasangkan dengan Rd. Mochtar – meskipun pada akhirnya ia menikah dengan Kartolo – sejak berperan dalam film Terang Boelan. Pada tahun 1938, ketiganya bekerja dengan Tan, di mana mereka berakting bersama dalam tiga film sejak berperan dalam film Fatima. Namun, setelah sengketa upah pada film Siti Akbari (1940), Mochtar keluar dari perusahaan tersebut. Sebagai penggantinya, Tan menunjuk penjahit Djoemala sebagai lawan main Roekiah. Sorga Ka Toedjoe adalah film pertama mereka.

Kartolo menangani musik film tersebut, dan kebanyakan pemeran telah berpengalaman menyanyikan kroncong (musik tradisional dengan pengaruh Portugis). Sebelum membuat film pilihan mereka debut dalam Terang Boelan (Terang Bulan; 1937) karya Albert Balink, Roekiah dan Kartolo telah membangun popularitas dengan rombongan musikal panggung Palestina. Landouw telah menjadi penyanyi kroncong dengan orkestra Lief Java buatan Hugo Dumas, dan Titing juga seorang penyanyi yang mapan.

Sorga Ka Toedjoe yang tayang perdana di Surabaya pada 30 Oktober 1940, adalah salah satu dari empat belas produksi domestik yang dirilis pada tahun tersebut. Pada Maret 1941, film tersebut diputar di Singapura yang saat itu merupakan bagian dari Negeri-Negeri Selat. Seperti halnya semua film yang diproduksi oleh Tan, film tersebut ditujukan kepada penonton pribumi kelas bawah untuk semua umur. Film ini diiklankan, terkadang dengan judul berbahasa Belanda In Den Zevenden Hemel, sebagai sebuah "film sederhana namun menarik" dengan menampilkan "musik yang bagus, lagu yang menarik, dan latar yang indah". Versi novel dari film tersebut dirilis oleh penerbit yang berada di Yogyakarta bernama Kolff-Buning.

Film tersebut meraih keberhasilan secara komersial. Tanggapannya yang didapat pun juga positif. Soerabaijasch Handelsblad memberikan pujian yang tinggi terhadap film tersebut, menyatakan bahwa film tersebut memiliki dialog yang bagus dan musik maupun temanya "dipilih dengan baik, romantis dan tidak berlebihan". Menurut peninjau, Sorga Ka Toedjoe tampaknya terinspirasi dari film-film Amerika namun tetap menampilkan karakter Hindia Belanda-nya. Peninjau juga berpendapat bahwa Djoemala lebih baik seperti, kurang lebih, ketimbang Mochtar. De Indische Courant memuji pelatarannya dan menyatakan bahwa film tersebut telah mengkritik para orang kaya pemilik tanah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka, sementara Singapore Free Press memuji akting Roekiah.

Setelah Sorga Ka Toedjoe, Tan's Film membuat empat film lainnya yang terbilang lebih sedikit ketimbang kompetitornya seperti Film Industri Jawa The Teng Chun dan anak perusahaannya. Tiga di antaranya dibintangi oleh Roekiah dan Djoemala sebagai pemeran utama, dan menampilkan Kartolo. Menurut Katalog Film Indonesia JB Kristanto, Landouw tidak membuat film lainnya. Tan berhenti beroperasi pada tahun 1942, ketika Jepang menduduki Hindia Belanda.

Film tersebut kemungkinan hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitrat yang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja. Namun, antropolog visual Amerika Karl G. Heider berpendapat bahwa seluruh film Indonesia yang berasal dari masa sebelum 1950 telah hilang. Meskipun demikian, Kristanto menyatakan bahwa beberapa yang selamat berada di arsip-arsip Sinematek Indonesia, dan sejarawan film Misbach Yusa Biran menuliskan bahwa beberapa film propaganda Jepang yang selamat berada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

SITI AKBARI / 1939



Film ini di sutradarai bersama OTHNIEL WONG
Pada mulanya Siti Akbari (Roekiah) mengalami keberuntungan dalam berumahtangga. Kemudian ia disia-siakan suaminya yang terpikat wanita lain, meski Siti Akbari tetap setia. Kestiaannya berubah kebahagiaan di akhir cerita.


Film ini dimeriahkan oleh suara merdu Titing dan Annie Landauw. Lief Java adalah orkes keroncong. "Siti Akbari" berawal dari cerita karya Lim Kim Hok, yang kemudian mendirikan perkumpulan "wayang cerita" (pendahulu komidi stambul) dengan nama sama. Tidak diketahui, apakah cerita film ini sama atau mengembangkan dari cerita Lim Kim Hok, atau sekadar mengambil nama saja.


TAN'S FILM

GAGAK ITEM / 1938

GAGAK ITEM
















Judul Belanda De Zwarte Raaf
 Di sutradarai bersama OTHNIEL WONG

TAN'S FILM

RD MOCHTAR
ROEKIAH
KARTOLO

Cerita ini ada bukunya, Si Gagak Item memang mirip dengan tokoh Zoro dalam film action Hollywood. Tapi dalam pentas sudah lama dikenal tokoh seperti ini, antara lain Gagak Solo, yang merupakan repertoir paling handal Triomstuk menurut istilah Belanda yang digunakan masa itu, dari rombongan Miss Riboet Orion. Penyuguhannya khas panggung Toneel dengan segala bumbu-bumbu lelucon dan sebagainya. Jagoan bertopeng dari Tan's film ini juga mengacu pada itu. Tim pemain terpentingnya sama dengan produksi pertama dari Terang Boelan. Tapi cerita ini laku di kalangan penonton kelas bawah.

Gagak Item direkam menggunakan kamera hitam putih dan disutradarai Joshua dan Othniel Wong. Mereka juga mengarahkan suaranya. Film ini diproduseri Tan Khoen Yauw dari Tan's Film dan dibintangi Rd Mochtar, Roekiah, Eddy T. Effendi, dan Kartolo. Wong Bersaudara dan para pemeran sempat terlibat dalam film Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937 sebelum bergabung dengan Tan's untuk film Fatima tahun 1938. Film ini diiringi enam lagu yang dinyanyikan grup musik Lief Java pimpinan Hugo Dumas; grup musik tersebut dikenal karena pertunjukan keroncong-nya, yang mencampurkan musik tradisional tersebut dengan pengaruh Portugis. Lagu dalam Gagak Item dinyanyikan oleh penyanyi keroncong Annie Landouw.

Saeroen, mantan jurnalis yang menjadi penulis naskah Terang Boelan dan Fatima, dikontrak sebagai penulis naskah Gagak Item. Film ini bercerita tentang kisah cinta antara seorang gadis dan pria bertopeng yang dijuluki "Gagak Item" dan mengambil latar di pedesaan Buitenzorg (sekarang Bogor). Meski judul "Gagak Item" mirip dengan Zorro, tokoh yang cukup populer di Hindia Belanda pada masa itu, bandit-bandit serupa sudah muncul di setiap pertunjukan teater awal 1930-an. Saat menulis skenarionya, Saeroen menggunakan kembali formula yang ia pakai di Terang Boelan, termasuk aksi, pemandangan indah, dan komedi fisiknya.

 
Gagak Item tayang perdana di Cinema Palace, Batavia (sekarang Jakarta), ibu kota Hindia Belanda, pada tanggal 19 Desember 1939. Film ini tayang di Surabaya, Jawa Timur, pada Maret 1940. Novelisasi film baru dilaksanakan kemudian. Gagak Item juga diiklankan dengan judul Belanda De Zwarte Raaf. Setelah itu, film tersebut dinovelisasikan dan diterbitkan oleh penerbit yang bermarkas di Yogyakarta yang bernama Kolff-Buning. Gagak Item adalah salah satu dari enam produksi domestik yang diluncurkan pada 1939; industri film tersebut mengalami penurunan yang signifikan menyusul terjadinya Depresi Besar, pada waktu itu bioskop-bioskop umumnya menampilkan produksi-produksi Hollywood, dan baru pulih setelah perilisan Terang Boelan.

Ulasan anonim di Bataviaasch Nieuwsblad memuji film ini, terutama musiknya. Si kritikus beropini bahwa film ini akan sukses besar dan industri film Hindia Belanda memiliki masa depan yang menjanjikan. Ulasan lain di koran yang sama menyebutkan bahwa meski "seseorang dapat menggoyang kepala orang lain, bertentangan dengan nilai budaya film-film pribumi", film ini menandakan kemajuan industri perfilman. Ulasan tersebut memuji akting Roekiah yang "lembut".

Setelah kesuksesan Gagak Item, Wong bersaudara, Saeroen, Roekiah, dan Mochtar melanjutkan karyanya dengan Tan's Film. Produksi mereka selanjutnya, Siti Akbari (1940), mendapatkan kesuksesan yang sama, meskipun kembali tidak mendapatkan keuntungan seperti Terang Boelan atau Fatima. Saeroen, Joshua Wong, dan Mochtar meninggalkan perusahaan tersebut pada 1940: Wong dan Mochtar karena sengketa upah, dan Saeroen kembali ke dunia jurnalisme. Sampai 1941, Tan's Film memproduksi jumlah film yang lebih rendah ketimbang para saingannya, dan kemudian berhenti setelah pendudukan Jepang pada awal 1942.

Gagak Item dibuat pada akhir Januari 1951. Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Film-film di Hindia Belanda direkam menggunakan film nitrat yang sangat mudah terbakar, dan setelah kebakaran menghancurkan sebagian besar gudang Produksi Film Negara pada tahun 1952, film lama yang direkam menggunakan nitrat dihancurkan dengan sengaja. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.

FATIMA / 1938

Disutradarai Dengan OTHNIEL WONG











TAN'S FILM

MISS ROEKIAH
RD MOCHTAR
E.T. EFFENDI
MOESA
HABIBAH
SAPRI
KARTOLO

Penduduk pulau Motaro itu hidup makmur. Bunga pulau itu, Fatimah (Roekiah) menjalin cinta dengan Idris (Rd Mochtar), anak nelayan miskin. Hubungan tulus itu terganggu oleh kedatangan Ali (E. T. Effendi), yang selalu membanggakan kekayaan. Salah satu pemberian Ali kepada Fatimah, cincin, justru diserahkan oleh sang gadis kepada Idris. Cincin itulah yang membawa polisi pergi ke pulau untuk menangkap Ali, yang sebetulnya adalah kepala perampok.

Lief Java adalah orkes keroncong. Lagu-lagu dinyanyikan oleh Roekiah, Rd Mochtar, Kartolo, Louis Koch, Miss Ani Landauw.

Film ini sebenarnya meniru resep film Terang Boelan. Semua rempah-rempah dan adonannya digunakan sepersis mungkin. Saroen yang pada Terang Boelan berdiri dibelakng layar, sekarang ditarik keluar untuk menulis ceritanya. Ceritanya mirip Terang Boelan yang berlangsung disebuah pulau antah berantah bernama pulau Muntaro. Para pemainnya juga berasal dengan Terang Bolean, Miss Roekiah, Rd Mochtar, ET Effendy, dan Kartolo. Dalam panfletnya ditulis sebagai pemain yang sudah dapat sukses di seantero Indonesia dan Malaya. Pemain musiknya juga sama Lief Java. Disamping Miss Roekiah, penyanyinya ditambah dengan mengikutsertakan bintang-bintang keroncong yang sudah tenar yaitu Miss Annie Landow dan Luis Koch. Resep ini di utarakan dalam pamflet lainya penuh romance, pemandangan indah, perkelahian dan diselingi dengan lagu-lagu nyanyian Melayu yang disukai oleh penonton semua golongan. Perhitungan Tan memang jitu karean Fatima laku keras. Produksi yang dibuat dengan anggaran f 7000 dalam waktu enam bulan bisa mendapatkan f 200.000. Suatu pemasukan yang luar biasa. Kehebatan Tan kata wong dari segi pemasaran, perhatian Tan hanya difokuskan setelah film itu jadi.

Kesuksesan Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937, yang dirilis saat industri perfilman dalam negeri masih stagnan, mendorong Tan Bersaudara (Khoen Yauw dan Khoen Hian) mendirikan kembali rumah produksi mereka, Tan's Film. Untuk film pertamanya, Tan Bersaudara meminta bantuan Wong Bersaudara, Othniel dan Joshua, untuk menyutradarai dan menangani aktivitas harian perusahaan. Wong Bersaudara, yang sebelumnya menjadi sinematografer Terang Boelan namun menganggur setelah studionya menutup divisi film fitur, menerima tawaran tersebut. Mereka juga menangani sinematografi Fatima yang direkam menggunakan kamera hitam putih.
 








Wong Bersaudara memanfaatkan pemeran Terang Boelan dan beberapa anggota krunya. Penulis film sebelumnya, Saeroen, penned the story for Fatima, closely following the same formula of romance, good music, and beautiful scenery as his earlier film. Para pemeran utamanya seperti Roekiah, Rd Mochtar, dan ET Effendi, serta aktor tokoh figuran seperti Kartolo (suami Roekiah), juga bergabung Mereka digaji lebih tinggi ketimbang saat terlibat di Terang Boelan. Roekiah, misalnya, per bulannya digaji 150 gulden, sedangkan Kartolo 50 gulden lebih banyak. Jumlah tersebut dua kali lipat daripada yang ia terima sebelumnya.

Musik latar film ini ditangani Lief Java. Mereka memainkan musik keroncong (musik tradisional yang dipengaruhi bangsa Portugal). Film ini diiringi beberapa lagu yang dinyanyikan Roekiah, Mochtar, Kartolo, Louis Koch, dan Annie Landauw.

Fatima dirilis tanggal 24 April 1938. Pemasarannya ditangani Tan Bersaudara. Film ini sukses di pasaran dan menghasilkan 200.000 gulden, padahal anggaran pembuatannya hanya 7.000 gulden. Kebanyakan penontonnya adalah orang pribumi, tetapi ada juga sejumlah penonton Belanda. Ulasan di harian Bataviaasch Nieuwsblad menyebutkan bahwa meski film ini tidak dapat dinilai dengan standar Eropa, pemeranan Roekiah sangat menarik dan industri perfilman dalam negeri tampaknya "kembali ke jalan yang benar".

Tan Bersaudara menikmati kesuksesan Fatima, namun Wong Bersaudara kurang puas dengan pangsa laba yang mereka terima karena dianggap terlalu rendah. Meski begitu, mereka terus bekerja sama dengan Tan Bersaudara sampai 1940, dan pada tahun 1948, Tan dan Wong Bersaudara mendirikan rumah produksi lain. Mocthar dan Roekiah tetap menjadi bintang utama Tan's Film sampai Mochtar meninggalkan perusahaan ini tahun 1940 akibat masalah upah.

Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menyebut kesuksesan Terang Boelan, Fatima, dan Alang-Alang (1939) karya The Teng Chun berhasil membangkitkan industri film lokal. Sebagian besar film dalam negeri yang dibuat sebelum kemerdekaan Indonesia diproduksi antara tahun 1939 dan pendudukan Jepang tahun 1942.

Fatima bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya. Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.









RUSMALA DEWI / 1955

 
 
Nazari dan istrinya, Farida, sama-sama bekerja dalam rombongan sandiwara keliling. Jauhari, bandot tua, mencoba menarik hati Farida, tapi yang terakhir ini tetap setia pada suami walau hidup melarat. Hadiah dari Jauhari menimbulkan salah paham hingga Farida dan Nazari bercerai. Farida hidup bersama Rusmala Dewi, anaknya dari perkawinan sebelumnya. Selama ini Rusmala dirawat oleh ibu Farida. Sekali waktu produser film menarik Rusmala jadi pemain berpasangan dengan... Nazari. Tumbuh rasa cinta antara keduanya. Farida cepat membeberkan rahasianya hingga Nazari sadar akan kekeliruannya.

ARDJUNA FILM
TJENDRAWASIH FILM STUDIO

RISA UMAMI
DJURIAH KARNO
ISMAIL SALEH
S. BONO
M.S. DERITA