Tampilkan postingan dengan label R.A. KARTINI (RADEN AJENG KARTINI) / 1983. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label R.A. KARTINI (RADEN AJENG KARTINI) / 1983. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Februari 2011

R.A. KARTINI (RADEN AJENG KARTINI) / 1983

R.A. KARTINI

 
















Raden Ajeng Kartini (dewasa, Jenny Rachman) lahir di Mayong, Jepara tanggal 21 April 1879. Ayahnya R.M. Aryo Sosroningrat (Wisnu Wardhana), wedana Jepara dan ibunya Mas Ayu Ngasirah (Nani Wijaya), selir ayahnya. Kartini mendapat pendidikan yang sama seperti adik-adiknya maupun kakak-kakaknya lain ibu. Berkat pendidikan dan rajinnya membaca, seprti buku terbitan Belanda, Max Havelar, Kartini mulai melihat kenyataan aneh di lingkungannya. Di kabupaten hidupnya dirasakan berlebihan, sementara di luar untuk sesuap nasi para wanita harus bekerja berat. Ibunya sendiri tidak berhak untuk makan bersama dengan ayahnya. Kartini merasakan dilingkupi kesewenangan laki-laki. Jiwanya menjerit. Terlebih setelah ia menginjak dewasa. Kartini bersama saudara-saudara perempuan lainnya harus menjalankan kebiasaan dipingit. Hal ini kemudian mendapat protes keras dari teman Kartini, suami-isteri Asisten Residen dan Residennya sendiri. Mereka berhasil mengeluarkan Kartini, Kardinah dan Rukmini dari pingitan. Kartini lalu bisa mengajarkan membatik kepada para wanita sekitarnya. Kartini dan Kardinah kemudian mendirikan sekolah di kabupaten Jepara untuk memajukan kaumnya. Sekolah ini mendapat sambutan dari wanita-wanita, baik kaum ningrat maupun rakyat jelata. Ketika cita-cita Kartini sebagian sudah terwujud, ia dipinang oleh Bupati Rembang Djojoadinigrat (Bambang Hermanto). Lamaran itu sebenarnya tidak dia inginkan, karena takut cita-citanya kandas, tetapi tidak lazim menolak lamaran seorang ningrat. Kartini akhirnya menerima lamaran itu dengan syarat, agar suaminya membolehkan Kartini untuk meneruskan cita-citanya. Bupati Djojoadiningrat akhirnya menyetujui syarat tersebut. Kartini kemudian kawin dengan Bupati Djojoadiningrat, setelah istrinya, Soekarmilah, meninggal. Sjuman mendekati kisah populer ini dengan sikap romantik.

RA. KARTINI Pemain: Yenny Rachan, Wisnoe Wardhana, Nani Wijaya Skenario/Sutradara: Sjumandjaya Tidak asing, bahkan bagi murid TK sekalipun, sekarang R.A. Kartini lebih diakrabkan lagi ke seluruh lapisan masyarakat lewat film yang sejudul dengan namanya. Dan sutradara menggarap tidak tanggung-tanggung: Kartini ditampilkan sejak lahir sampai meninggal -- merangkum kurun waktu 26 tahun. Mungkin baru kali ini tokoh sejarah nasional difilmkan sedemikian utuh.

Orang dalam mengatakan, film ini masa putar aslinya empat jam, tapi sesudah melewati editing berat tinggal tiga jam. Namun banyak penonton kecele karena pihak bioskop telah mempersingkat masa putarnya belasan menit. Hingga, tentu saja, ada bagian-bagian yang hilang. Kalau ini benar, adakah hak seniman film untuk menuntut pemilik bioskop? Editing tambahan semacam ini merupakan preseden berbahaya yang perlu segera dicegah. Masalah lain adalah soal missi yang terlalu membebani. Sutradara bersiteguh untuk mengangkat buah pikiran dan renungan Kartini yang terpusat pada proses pemiskinan moral dan materi di kalangan pribumi Jawa. Akibatnya muncul kesulitan: bagaimana menjalin kebesaran tokoh dengan kebesaran masalah. Aksentuasi sutradara memang masih tetap pada tokoh, namun kesinambungan jadi kurang terpelihara. Di film ini Yenny berusaha keras untuk tidak hadir sebagai dirinya sendiri, tapi dia juga tidak nampak mewakili Kartini. Banyak kritik dilontarkan, misalnya, tentang beberapa hal kecil: lafaz bahasa Jawa dan bahasa Belanda Yenny terdengar asing di telinga, close up mata yang muncul berulang-ulang, penyambutan massal kelahiran bayi Kartini, dan aureol untuk tokoh Kartini.

Semua ini cacat kecil yang mengurangi angka. Tapi, di samping itu film R.A. Kartini juga punya beberapa adegan bagus: protes bersila Sosrokartono yang berlanjut dengan awal masa pingitan Kartini, dialog di pantai ketika Sosroningrat memberi informasi tentang lamaran bupati, konflik Kartini dan suaminya Djojoadiningrat. Terlepas dari banyak kontroversi dan kelambanannya yang menggelisahkan penonton di kursi, film ini cukup bertahan dan selamat melewati minggu ke-3 yang gemilang. Jangan-jangan bisa menandingi film terlaris Sjuman terdahulu: Kabut Sutra Ungu. Dengan segala cacat kecilnya, film ini pantas dipujikan untuk pemain pria terbaik (Wisnoe Wardhana sebagai bupati Sosronigrat), pemain pembantu wanita terbaik (Nanny Widjaya sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini) dan sinefotografi terbaik (Soetomo Gandasubrata).

 P.T. NUSANTARA FILM

WISNU WARDHANA
JENNY RACHMAN
BAMBANG HERMANTO
ADI KURDI
RAE SITA
FARIDA FEISOL
DHANNY DAHLAN
CHINTAMI ATMANEGARA
NANI WIDJAJA
CORRY ROBERT
ANDY AURIC
SUTOPO HS

















Siapa sebenarnya ibu RA Kartini?  istri sah (Garwa Padmi/ Permaisuri) atau Garwa Ampil ( baca: selir) atau ‘istri muda’?
Polemik yang berkembang di masyarakat sudah terjawab kini.  Fakta Sejarah menyebutkan bahwa istri bupati Rembang ke 7 Djojo Adiningrat yang pertama R.A.A.A Sukarmilah wafat pada 13 November 1902 dan tidak mempunyai anak. Setahun kemudian tepatnya 12 November 1903,  bupati  Rembang menikahi RA Kartini  dengan cara sederhana.  RA Kartini wafat pada 17 September 1904,  4 hari sebelumnya, yaitu  pada tanggal 13 September 1904, ia melahirkan anak yang di beri nama Singgih/ RM Soesalit. Posisi saat RA Kartini meninggal atau menghembuskan nafasnya terakhir yaitu berada di pangkuan suaminya (menurut pengakuan para abdi dalem yang ada saat peristiwa itu), bukan di atas tempat tidur (seperti dalam film RA Kartini yang  di sutradarai  oleh alm Sjuman Djaya).

RM Soesalit pernah menjabat sebagai Panglima Divisi III/ Diponegoro di kota Yogyakarta dan Magelang ( periode 1 Oktober 1946 – 1 Juni 1948) dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. RM Soesalit menikahi Gusti Bendoro A.A Moerjati, putri Susuhunan Paku Buono IX dan mempunyai dua putri yaitu R.A Srioerip dan R.A Sri Noerwati (putra pertama meninggal dan istri RM Soesalit meninggal saat melahirkan putri kedua). Dalam perjalanan waktu,  RM Soesalit memperistri Ray. Loewiyah Soesalit DA dan mempunyai Putra tunggal, yaitu :  RM. Boedi Setiyo Soesalit ( cucu RA Kartini) yang menikahi Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari pernikahan itu dikarunia 5 orang anak (cicit dari R.A Kartini) yakni: RA. Kartini Setiawati Soesalit, RM. Kartono Boediman Soesalit,RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit. Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat sendiri  meninggal di sebuah ruangan di bangsal Pavilliun Rumah Sakit RSPAD pada 17 Maret 1962, tepat jam 05.30 WIB, di makamkan di desa Bulu, Rembang dekat dengan makam ibundanya RA Kartini. Tepat tanggal 21 April 1979, alm Mayjen RM Soesalit Djojo Adiningrat mendapat anugerah dari Pemerintah Republik Indonesia berupa Tanda Kehormatan Bintang Gerilya. 




Kebangsawanan Raden Ajeng
Raden Ajeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluk Awur, Jepara.Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkimpoian ( baca: perkawinan;pernikahan)  itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. 

Menyambut visit Jawa Tengah 2013 , Rembang berbenah diri untuk menjadi salah satu destinasi  wisata sejarah  di Jawa Tengah. Sejarah pengabdian dan akhir hayat RA Kartini di kota ini sangatlah kental. Jejak sejarah RA Kartini sampai saat ini masih di lestarikan, seperti : Museum Kamar Pengabdian dan Makam RA Kartini yang sudah mengalami renovasi  dan dilengkapi dengan fasilitas canggih. Museum Kamar Pengabdian berlokasi di lingkungan rumah dinas bupati Rembang ini merupakan tempat dimana RA Kartini melakukan segala aktivitas, menulis buah pikiran, termasuk  melahirkan putra sau-satunya alm RM  Soesalit. Sedangkan  makam RA Kartini terletak di desa Bulu 17 kilometer dari kota Rembang, berbentuk pesanggrahan dengan cungkup atap berbentuk joglo, di sanalah RA Kartini bersama suaminya bupati Djojo Adiningrat serta putranya di semayamkan.