Tampilkan postingan dengan label RANJANG PENGANTIN / 1975. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RANJANG PENGANTIN / 1975. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Januari 2011

RANJANG PENGANTIN / 1975













Nona Kawilarang (Lenny Marlina) mencintai Bram Tanamal (Slamet Raharjo) "Aku bukannya tidak setuju kau kawin dengan Bram, tapi apakah dia akan menjadi bapak yang baik buat anak-anak mu?" tukas pak Kawilarang (Aedy Moward). Tetapi karena Bram dan Nona terlanjur berbuat di alang-alang Bina Ria, tidak ada pilihan lagi buat Nona. Perkawinan tanpa restu orang tua berlansung diruang tengah tatkala pa Kawilarang menutup diri di ruang atas. Dari balik tirai Pak Kawilarang masih sempat mengikuti perjalanan putrinya ke sebuah ranjang pengantin, nun di sebuah gubuk kecil di bilangan mskin Jakarta. Apakah Nona yang anak orang kaya bisa hidup di kampung? Kalau cinta? inilah pernyataannya.


Nona memang mencintai Bram, makanya ia tinggal di gubuk bertingkat ini, tanpa mengeluh. Bram yang buruh bengkel, bahkan ia mencari tambahan sebagai supir truk. Hidup mereka harmonis, dan tidak ada keluh kesah. Tetapi ketika paru-paru Bram terserang parah, Bram tetap ingin melakukan kerjaannya guna mendapatkan uang demi istri dan anak-anaknya. Ia rela menderita dari pada dompetnya ke dokter. Disinilah konflik mulai terjadi.



Kisah sebuah keluarga dari bagian kumuh kota. Bram (Slamet Rahardjo) mengawini Nona (Lenny Marlina), tanpa restu orangtua Nona, karena sudah dijodohkan dengan Paul (George Kamarullah). Kehidupan suami-istri yang hidup dengan gaji Bram yang pas-pasan ini, masih ditambah masalah karena hubungan tak intim mereka dengan Nien (Mieke Wijaya), kakak Bram yang perawan tua. Peristiwa sehari-hari yang dilukiskan dengan sangat realis menunjukkan perjalanan keluarga ini hingga akan lahir anak ketiga. Bram terkena sakit paru-paru, tapi memaksakan diri untuk bekerja terus. Nona mencoba meringankan beban keluarga dengan menerima jahitan dari Lili (Christine Hakim), istri muda pemilik bengkel tempat kerja Bram. Hubungan ini memperuncing konflik keluarga tadi. Kisah kemudian menjadi melodrama: Bram bunuh diri dengan mengerat nadi tangannya sembari menulis surat untuk Nona

Cerita lebih menarik lantaran yang punya kisah sudah lebih dulu menyediakan tokoh-tokoh lain guna mendukung konflik. Hidup bersama Bram adalah kakak perempuannya, seorang pewawan tua yang bernama Nien (Nike Wijaya). Bertetanggaan dengan keluarga Bram adalah Lili (Christien Hakim), perempuan cantik yang mundar-mandir dengan taxi (ia sebenarnya istri muda majikan Bram) dalam keadaan susah, Nona mendapat bantuan Lili dan Nien mencurigai perempuan bertaxi itu menghasut adiknya sembari memfitnah iparnya. Bukti-bukti yang dilaporkan oleh Nien memang logis, tetapi penggambarannya dilayar terasa agak terencana. Ketika Nona bersama Lili mengunjungi kantor Sasmita (Muni Carder) untuk pijam uang, Sasmita menyempatkan menutup pintu kantor setelah merangkul masuk Nona dan Lili. Adegan ini terlihat jelas oleh Nien yang atas suruhan adiknya datang ke kantor itu mengantarkan surat pemberitahuan sakit. Dalam keadaan bingung Nona sempat diundang pesta oleh Lili dan Sasmita. Kunjungan Nona ke pesta Sasmita (merangkul nona disaksikan Bram) sore itu jugalah yang amat menyakitkan Bram -setelah sebelumnya terhasut oleh kakaknya -bahwa istrinya memang menyeleweng.

ketika Bram mengakhiri hidupnya setelah menyaksikan anak sulungnya tewas terjatuh dari tangga -yang kelihatannya terlalu tinggi -nyatalah bahwa tragedi ini benar yang ingin dikejar oleh Teguh Karya yang menulis dan menyutradarai film ini. Untuk ukuran film Indonesia cara Teguh mencapai niatnya memang masih tetap tidak tercela. Tetapi bagi penonton yang terbiasa dengan selera tinggi, masih terasa kerikil dalam perjalanan kisah ini.

Teguh memang telah berusaha keras. Pemain tampil dengan meyakinkan. Dari awal hingga akhir film ia tetap menyajikan skenario dengan baik. Dan kematian Bram karena batuk darah, bukan karena kerja keras Bram siang dan malam, ini karena keturunan yang bapaknya juga mati dalam penyakit ini. Juga pisau cukur, sebelum memutuskan nadi Bram, penonton telah diperkenalkan (planting Information) dua kali, Bram bercukur, dan pisau cukur diketemukan tersembunyi oleh putra mereka. 

Kecuali adegan Nona bersama Sasmita dan Lili tubuh cerita terjalin rapi. Teguh yang terkenal apik sejak di panggung menempatkan kisahnya dalam kalangan keluarga Menado, dan Ambon. Betapa mengenalnya betul mengenaknya Teguh dengan tokoh-tokoh dan lingkungan yang ia gambarkan.

Dalam film ini dan ketiga filmnya yang lain. Teguh memang terlihat berani memainkan darah dalam filmnya, mungkin untuk menyamai dramatik dalam filmnya. Kalaupun makin ada yang tidak dikerjakan secara wajar oleh Teguh, film ini justru tokoh utama film adalah Bram. Tragedi Bram biasa-biasa menakutkan para pemuda terutama yang miskin-miskin untuk kawin.











Note: Melalui film ini Teguh Karya memantapkan dirinya sebagai sutradara langganan Piala Citra dan mampu mencetak pemain dan pekerja kreatif terbaik Indonesia. Kemenangan Teguh di Festival Film Indonesia, telah membentuk kepercayaan bahwa film-film Indonesia yang baik dihasilkan oleh sutradara film yang menguasai dramaturgi. Kelompok Teater Populer, sanggar kreatifnya menjadi "pabrik" sumber daya manusia perfilman Indonesia.