Tampilkan postingan dengan label RORO MENDUT / 1982. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RORO MENDUT / 1982. Tampilkan semua postingan

Senin, 31 Januari 2011

RORO MENDUT / 1982

RORO MENDUT


Film ini diangkat dari Novel, Y.B. Mangunwijaya tak  mau dicantumkan  namanya tatkala diangkat ke layar putih oleh Ami  Prijono. Alasannya cukup beragam, mulai   ketidak cocokan atas cerita novel ke layar lebarnya...atau karena Ami   terlalu melihat sudut seksualitas Roro Mendut-nya saja, dari pada   sejarahnya.  Toh ,Akhir cerita ini membuat sengketa dengan penulis ceritanya. Dalam   cerita rakyat aslinya memang bunuh diri yang terjadi, tapi  Mangunwijaya membuat akhiran terbuka yang diharapkan menjadi lambang perlawanan dan optimisme.

Roro   Mendut (Meriam Bellina), wanita muda dan cantik adalah salah  satu  dari  seluruh kekayaan Kadipaten Pati yang diboyong ke Mataram.  Karena  suka  citanya, Sultan Agung berkenan menghadiahkan semua hasil  rampasan   perang itu kepada Tumenggung Wiroguno (WD Mochtar), yang  berhasil   memimpin penumpasan pemberontakan Kadipaten di pantai utara  Jawa di   abad XVII tersebut. Wiroguno tidak bisa menikmati hadiah itu    sepenuhnya. Roro Mendut menolak untuk dijadikan selir. Wiroguno sangat    terpukul dan harga dirinya runtuh, karena ditolak Roro Mendut. Demi    menegakkan wibawa dan harga dirinya, Wiroguno menghukum Roro Mendut    untuk membayar pajak yang sangat besar jumlahnya. Ternyata Roro Mendut    selalu bisa memenuhinya. Caranya, dia mengisap dan menjual rokok itu di    sebuah warung tertutup. Makin pendek batang rokok yang diisap, makin    mahal harganya.

Suatu   ketika Roro Mendut bertemu dan jatuh cinta dengan Pronocitro  (Mathias   Muchus). Tentu saja hubungan cinta mereka terhalang oleh  kungkungan   Tumenggung Wiroguno. Maka Pronocitro mencari siasat dengan  menghamba   kepada Tumenggung Wiroguno. Pada suatu kesempatan ia mengajak  Roro   Mendut melarikan diri, mencari kebebasan dan kebahagiaan bersama.  Tentu   saja Wiroguno sangat murka. Ia bertekad menangkap Roro Mendut   kembali,  bukan semata-mata karena persoalan harga diri dan wibawa   pribadi. Demi  menegakkan citra keagungan dan kekuasaan Mataram yang  jaya  atas daerah Kadipaten Pati. Pronocitro dan Roro Mendut bunuh  diri.

P.T. GRAMEDIA FILM

MERIAM BELLINA
MATHIAS MUCHUS
W.D. MOCHTAR
SOFIA WD
SUNARTI RENDRA
CLARA SINTA
PEDRO SUDJONO
ABDI WIYONO
KIES SLAMET
MIRNA COLEMAN
GITO
GATI


This  exquisitely  designed and photographed film is set in the 17th century  kingdom  of Mataram in Central Java. It is based on a legend that has  been  reworked many times in traditional performances, songs and  narratives,  and more recently has appeared in Ketoprak popular drama,  and in  novel form. In the film the old legend intertwines a story of  passion  and love, with subtle references to cultural contradictions in  Indonesia.  The armies of the king of Mataram have suppressed the rebels  in the  North coast of Java. But one coastal woman, Roro Mendut,  refuses  to surrender to her aristocratic captor, who leads the army.  Roro  Mendut uses her sexuality to resist the sexual aggression of a  powerful  man. When she and her lover die in their attempt to escape  captivity,  we are left asking if weapons and force are an adequate  means of  conquering the spirit of resistance. Though set in a kingdom  of the  past, cultural and sexual conflicts combine in this film to make   it a powerful and yet subtle statement about power relations of today.   Of particular note in the film is the use of traditional dances from   Central Java and the North Coastal regions as a means of expressing   both cultural and sexual difference. It is one of the most successful   recent attempts to incorporate elements of traditional culture into  a  modern Indonesian narrative film. (Notes by Krishna Sen) This video   release version has been subtitled by SBS Television in Australia.

Cerita rakyat (halaman belum tersedia), adalah seorang Perempuan cantik yang hidup di Pulau_Jawa" pada zaman Kesultanan_Mataram"Kesultanan Mataram. Kecantikannya memukau semua orang, termasuk Wiroguno yang sangat berkuasa saat ituNamun, Roro Mendut bukanlah wanita yang lemah. Dia berani menolak keinginan  Wiroguno yang ingin memilikinya. Bahkan dia berani terang-terangan untuk  menunjukkan kecintaannya kepada pemuda lain pilihannya, Pronocitro Wiroguno yang murka mengharuskan Roro Mendut untuk membayar kepada kerajaan. Roro Mendut pun harus berpikir panjang untuk mendapatkan uang guna membayar pajak tersebut. Sadar akan kecantikannya  dan keterpukauan semua orang terutama kaum lelaki kepadanya, akhirnya  dia tiba pada suatu ide untuk menjualyang sudah pernah dihisapnya dengan harga mahal kepada siapa saja yang  mau membelinya. Roro Mendut dan kekasihnya, Pranacitra, mati bersama  demi cinta mereka.Erotisme  Roro Mendut ketika berjualan rokok lintingan, dengan lem dari jilatan lidahnya, menggambarkan potensi perempuan dalam pemasaran. Di samping  itu, penolakan Roro Mendut diperistri oleh Tumenggung Wiroguno  memperlihatkan kemandirian perempuan Nusantara saat ini.