Tampilkan postingan dengan label SEJARAH 30 Maret Hari Film Nasional. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH 30 Maret Hari Film Nasional. Tampilkan semua postingan

Rabu, 04 November 2009

Sejarah Hari Jadi Film Nasional 30 Maret

Hari Film Nasional 

 
diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal 30 Maret. Tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahirnya Film Nasional karena pada 30 Maret 1950 adalah hari pertama pengambilan gambar film “Darah & Do’a” atau “Long March of Siliwangi” yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Alasan disakralkannya film “Darah & Do’a” karena film ini dinilai sebagai film lokal pertama yang bercirikan indonesia. Selain itu inilah film pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga dilahirkan dari perusahaan film milik orang Indonesia asli. Perusahaan ini bernama Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) Usmar Ismail juga pendirinya.

Film Nasional telah disepakati lahir pada tanggal 30 Maret 1950, namun sebenarnya sejarah pembuatan film cerita di Indonesia yang dulunya bernama Hindia Belanda, sudah dimulai pada tahun 1926. Bahkan sampai tahun 1942 industri film lokal sudah cukup berkembang, meskipun masih kalah bersaing dengan film-film asing terutama dari Amerika. Pada masa itu para pemilik perusahaan-perusahan film lokal adalah orang-orang Cina & Belanda.



Judul film cerita yang pertama kali dibuat di negeri ini adalah: “Loetoeng Kasaroeng” yang masih berupa film bisu. Pemain-pemainya adalah orang-orang pribumi, pembuatnya adalah dua orang Belanda: G. Krugers & L. Heuveldorf. Ketika film ini dibuat penduduk di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Surabaya dll sudah tidak asing lagi dengan pemutaran film yang dulu dikenal dengan sebutan “Gambar Idoep”. Mereka sudah biasa melihat film-film cerita yang berasal dari Amerika, Cina dan Belanda. Penduduk Hindia Belandakhususnya warga Batavia untuk pertama kalinya bisa menyaksikan film di penghujung tahun 1900.
 
Awal Pertunjukan Film
Pada 1895 Lumiere bersaudara (August & Louis) untuk pertama kalinya memutar film di kota Paris tepatnya di grand Cafe dengan cara memungut bayaran dari penonton, seperti halnya sistem pada bioskop saat ini. Sebelumnya mereka telah menemukan alat perekam gambar bergerak (kamera) dan berhasil memperoyeksikannnya kembali, sehingga bisa disaksikan orang banyak. Film-film yang ditampilkan adalah rekaman kehidupan sehari-hari warga kota Paris seperti buruh-buruh yang keluar dari pabrik dan seorang ibu yang sedang memberi makan bayinya. Yang paling membuat kegaduhan adalah rekaman gambar kereta yang berjalan ke arah layar. Ketika kereta semakin “mendekati” layar, penonton pun dibuat panik, mereka merasa kalau kereta tersebut akan menabraknya. Film akhirnya semakin berkembang khusunya di Eropa termasuk Belanda. Kemudian film mulai di eksport ke koloni-koloni bangsa Eropa. Tentunya Belanda mengirimnya ke Hindia Belanda.

Gambar Idoep tiba di Betawi

.

Tanggal 5 Desember 1900 warga Betawi utuk pertama kalinya dapat melihat “gambar-gambar idoep” atau Pertunjukan Film. Pertunjukan ini berlangsung di Tanah Abang, Kebonjae. Film pertama yang ditampilkan adalah sebuah dokumenter yang terjadi di Eropa & Afrika Selatan, juga diperlihatkan gambar Sri Baginda Maha Ratu Belanda bersama Yang Mulia Hertog Hendrig memasuki kota Den Haag. Bioskop yang terkenal saat itu antara lain adalah dua bioskop Rialto di Tanah Abang (kini bioskop Surya) dan Senen (kini menjadi gedung Wayang Orang Baratha) serta Orion di Glodok. Saat itu bioskop dibagi-bagi berdasarkan ras, bioskop untuk orang-orang eropa hanya memutar film dari kalangan mereka sementara bioskop untuk pribumi & tionghoa selain memutar film import juga memutar film produksi lokal. Kelas pribumi mendapat sebutan kelas kambing, konon hal ini disebabkan karena mereka sangat berisik seperti kambing.

Film Cerita Lokal Pertama

Film cerita lokal pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng” (1926) diambil dari cerita legenda yang berasal dari Jawa Barat. Pembuatannya dilakukan di Bandung, oleh Perusahan Film: Java Film Company yang dipimpin oleh G.Krugers dari Bandung dan L. Heuveldorf dari Batavia. Heuveldorf adalah seorang Belanda totok yang disebutkan sudah berpengalaman di bidang penyutradaraan di Amerika. Krugers adalah seorang Indo-Belanda asal Bandung, ia adalah adik menantu dari Busse seorang raja bioskop di Bandung. Penyutradaraan Film ini dilakukan oleh Heuveldorf, sementara pemainnya adalah anak2 dari bupati Bandung Wiranata Kusuma II. Hasilnya tergolong sukses, diputar selama satu minggu di Bandung, antara 31 Desember 1926-6 Januari 1927.
 

Kemudian Java Film Coy me

mbuat film kedua: “Euis Atjih”, perekamannya kembali dilakukan di Bandung. Tidak seperti “Loetoeng kasaroeng” yang merupakan cerita legenda, “Euis Atjih” adalah kisah drama modern. Hasilnya juga tergolang sukses. Setelah orang Belanda memproduksi film lokal, berikutnya datang Wong bersaudara, yang hijrah dari industri film Shanghai. Awalnya hanya Nelson Wong yang datang, ia menyutradarai “Lily van Java” (1928) pada perusahaan South Sea Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua & Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.


Film Bicara
Pada akhir tahun 1929 diputar di sini film-film bersuara yaitu “Fox Follies” dan “Rainbouw Man” yang merupakan film bicara pertama yang disajikan di Indonesia. Perkembangan pemutaran film bicara agak lambat. Sampai tengah tahun 1930, baru sebagian kecil saja bioskop yang sanggup memasang proyektor film bicara. Masuknya film bicara sebetulnya menguntungkan kedudukan film buatan dalam negeri. Karena penonton kalangan bawah semakin kurang faham menyaksikan film asing. Sebab informasi yang semula hanya disampaikan dalam bentuk aksi, kini banyak diganti dengan dialog, yang bahasanya tidak dipahami mereka. Sejak 1931 pembuat film lokal mulai membuat film bic

ara. Percobaan pertama yang antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya: “Bunga Roos dari Tjikembang” (1931) hasilnya amat buruk. 
 
Film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film adalah Indonesie Malaise (1931). Sampai 1934 usaha pembuatan film bicara oleh perusahaan film lokal belum mendapatkan sambutan yang sangat antusia dari penontonnya sendiri.


Film cerita lokal pertama yang “Meledak”
Nama Albert Balink tercatat sebagai orang pertama yang memproduksi film lokal yang sangat laris, judulnya “Terang Boelan”. Albert Balink adalah seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan.
Pada tahun 1934 Balink mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film “Pareh”. Untuk mendampinginya didatangkan dari negeri Belanda tokoh film Dokumenter Manus Franken. Mungkin karena Franken berlatar belakang dokumenter maka banyak adegan dari film “Pareh” yang menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal karena sehari-harinya mer

eka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut. Kemudian Balink membuat perusahaan film “ANIF” (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara) dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen, mereka membuat film “Terang Boelan” (1934). Hasilnya: inilah Film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari kalangan penonton kelas bawah.

Film tersebut dibintangi oleh Miss. Roekiah & R.d Mochtar dimana berkat film “Terang Boelan” ini nama mereka jadi ikut melambung. Ketika namanya naik Miss. Roekiah sudah berkeluarga, ia bersuamikan Kartolo (pemain film juga) dan anak mereka kelak menjadi pemain film terkenal yaitu Rachmat Kartolo. Cerita film “TB” sendiri sebenarnya sangat mirip dengan film buatan Amerika yang berlatar kepulauan Hawai. Pada film “Terang Boelan” kostum penduduk pulau SAWOBA (pulau fiktif , SWOBA adalah singkatan dari: SAeroen, WOng & BAlink) mirip dengan kostum penduduk kepulauan Hawai yang bisa diliat pada film-film Amerika, jadi bisa dipastikan bahwa film “TB” adalah hasil adaptasi. Kesuksesan TB di pasar menyebabkan pembuat film lain jadi ikut tergiur, maka film-film selanjutnya banyak yang menggunakan resep “TB”.
 

Film di bawah Pendudukan Jepang & Masa Revolusi. Pada 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Dalam bidang film yang pertama-tama dilakukan Jepang adalah menutup semua perusahaan film yang ada, termasuk 2 perusahaan film milik orang Cina yang produktif. JIF dan TAN’s FILM. Peralatan studio-studio tersebut disita untuk dimanfaatkan pada pembikinan film berita & penerangan. Dengan di tutupnya studio film tersebut maka para pengusahanya yang keturunan Cina beralih ke bisnis lain. Para pemainnya pun yang sebelumnya bergelut di panggung sandiwara kembali ke bidang tersebut. Pemerintah Jepang memang amat menggalakan media panggung sandiwara sebagai alat propaganda. Pada masa ini film cerita diproduksi dibawah pengawasan ketat pemerintah Jepang semua film harus sejalan dengan keinginan pihak Jepang.
 
Setelah Jepang menyerah terhadap sekutu maka di Indonesia terjadi kekosongan pemerintahan, proklamasi kemerdekaan pun dikumandangkan, namun pihak Belanda tidak mengakuinya & terjadilah perang sampai 1949. Pada masa revolusi kemerdekaan ini seorang pemuda yang bernama Usmar Ismail (kelak akan menjadi tokoh penting Perfilman Nasional) ikut dalam peperangan ia kemudian ditawan pihak Belanda. Setelah diketahui latar belakangya oleh pihak Belanda maka ia dipekerjakan pada perusahaan film Belanda sebagai asisten sutradara. Pada perusahaan film tersebut ia sempat menyutradarai film “tjitra”.
 

Hubungan Perfilman Lokal & Pergerakan Nasional pada zaman kolonial
Film lokal, terutama pada masa Hindia Belanda dan awal berdirinya Republik ini, ditujukan untuk masyarakat kelas bawah, sementara kaum pergerakan Nasional adalah orang-orang terpelajar yang berasal dari kalangan atas. Sepertinya mereka hidup di dalam dunia yang berbeda. Dimata kaum terpelajar film lokal dinilai tidak bermutu, baik dari segi teknis pembuatan maupun cerita. Namun bukan berarti tidak ada persentuhan sama sekali antara dua dunia ini. Beberapa orang film juga ada yang sepaham dengan pikiran2 kaum pergerakan nasional ini. Seperti Saeroen (“sutradara” film “Terang Boelan”) yang dulunya adalah seorang wartawan pernah menulis di koran “Pemandangan” dengan nama samaran Kampret. Dia menuliskan suatu kali ia memimpikan berdirinya negara “Republik Indonesia Serikat” dengan Perdana Menteri: M.H Thamrin, Menteri Pekerjaan Umum: Abikusno Tjokrosujoso, Menteri Pengajaran: Ki Hajar Dewantoro, Menteri Penerangan: Parada Haraha. Akibatnya koran “Pemandangan” dibreidel Pemerintah Belanda.
 
Kemudian ada seorang terpelajar yang bernama A.K Gani yang bermain dalam film “Asmara Moerni”, namun akibat dari perbuatan A.K Gani ini, ia dikecam oleh kalangan terpelajar/ pergerakan nasional lainnya. Setelah penampilannya di film tersebut A.K Gani tidak pernah muncul lagi di dunia perfilman.

“Lahirnya” Film Nasional

Usmar Ismail yang sempat bekerja untuk perusahaan film Belanda akhirnya keluar dari perusahaan tersebut karena ketidak-cocokannya dengan sistem yang diterapkan. Ia pun mendirikan perusahaan film sendiri yang bernama Perfini (Perusahaan Film Indonesia). Produksi pertama film ini adalah “Darah & Do’a” atau “The Long March of Siliwangi” yang perekamannya dimulai pada 30 Maret 1950. Film ini mengisahkan tentang perjalanan jauh serombongan tentara bersama para pengungsi, di dalamnya terjadi saling tertarik hati antar komando tentara dengan salah satu pengungsi wanita Indo-Belanda, wanita dari kalangan musuh yang sedang diperangi, ceritanya digarap oleh Sitor Situmorang. Oleh Usmar Ismail dijelmakan dengan menggunakan pemain baru sama sekali, tidak menggunakan pemain profesional, rupanya ia anti “Star System”. 12 tahun sesudah produksi film “Darah & Do’a” tepatnya pada 11 oktober 1962 konferensi kerja Dewan Film Nasional dengan organisasi perfilman menetapkan hari shooting pertama film tersebut yaitu 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Indonesia.

Ketetapan tersebut sempat mendapat perlawanan dari golongan kiri yang sangat agresif dalam menghadapi pihak yang dianggap sebagai lawan-lawannya. Pada 1964 golongan kiri membentuk PAPFIAS (penulis menemukan dua versi arti dari PAPFIAS: yang pertama Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat, yang kedua Panitia Aksi Pengganyangan Film Imperialis Amerika Serikat.) Golongan kiri melakukan serangan-serangan kepada film Usmar Ismail yang dianggap tidak nasionalis atau kontra-revolusioner. PKI dan golongan kiri pun tidak mengakui tanggal 30 Maret 1950 sebagai Hari Film Nasional, tapi menuntut 30 April 1964 yang dijadikan sebagai Hari Film Nasional, saat berdirinya PAPFIAS. Pada 1966 terjadi peristiwa Gestapu, golongan komunis yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini dihabisi. Artinya wacana penggantian tanggal hari film nasional ikut lenyap dan tanggal 30 Maret 1950 tetap diakui sebagai hari lahirnya Flm Nasional sampai saat ini.
  
KFT
__._,_._



LESBUMI DAN FILM NASIONAL
Oleh Muhammad Yulius, Ketua Umum Majelis Budaya Rakyat (MBR)


….bagi putjuk pimpinan Lesbumi, perdjuangan melawan dominasi film2 asing, chususnja film2 Amerika, bukanlah perdjuangan hari kemarin, tetapi sudah merupakan perdjuangan jang bertahun2 jang dilakukan melawan berbagai rintangan dan halangan, baik jang merukan sikap para exploitant bioskop dan bookers.
--Usmar Ismail, Surat Orang Budaja

Kebetulan yang Unik
Memang sebuah kebetulan yang unik bahwa ternyata setiap bulan Maret kita tidak saja memperingati Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret, tetapi juga mengenang keberadaan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang didirikan pada 28 Maret 1962 di Jakarta.

Kebetulan ini makin mengental ketika kita menelisik kembali latar belakang dipilihnya tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Momentum perhelatan insan perfilman ini diambil berdasarkan hari pertama syuting film Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. 
 
Dan, siapapun tahu, bahwa selain ditahbiskan sebagai Bapak Perfilman Indonesia, Usmar Ismail juga merupakan salah satu tokoh penting Lesbumi (duduk dalam struktur organisasi ini sebagai Wakil Ketua 1) bersama Asrul Sani (Wakil Ketua 2) dan Djamaluddin Malik (Ketua Umum).

Dengan fakta ini, Lesbumi memiliki saham sejarah yang besar bagi kelahiran dan perkembangan perfilman nasional. Lembaga ini bahkan telah menjadi citra pengukuh dari “ideologi” tiga tokoh besar film Indonesia tersebut terhadap konstruksi film nasional sebagai produk budaya yang menjadi “gaja pribadi seorang seniman jang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu jang hendak ia sampaikan pada masjarakat”—konstruksi ini diletakkan Lesbumi berlandaskan “firman Tuhan jang terkandung dalam Al-Quran: “Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana sadja ditemukan ketjuali kalau mereka berpegang teguh pada tali Allah dan tali manusia”. (Q.S. Ali Imran: 112)”. (Surat Kepercayaan Lesbumi yang dimuat di majalah Gelanggang, Desember 1966).

Memodernkan NU
Berlatar belakang situasi politik pada masa Demokrasi Terpimpin (1950-1960), kehadiran Lesbumi memang menjadi bagian dari iklim afiliasi politik lembaga-lembaga seni budaya terhadap partai politik. Selain Lesbumi yang berafiliasi kepada Partai Nahdatul Ulama (NU), era itu juga mencatat kehadiran Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/PNI), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra/PKI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI/Masyumi), Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK/Partai Katolik), Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi/Partindo), Lembaga Kebudayaan dan Seni Muslim Indonesia (Laksmi/PSII), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi/Perti), dan lain-lain. Tentu saja, masing-masing lembaga kebudayaan itu menarik gerbong pemikiran yang menjadi visi dan misi partainya.

Yang menarik dari kelahiran Lesbumi adalah bahwa lembaga ini dianggap sebagai titik tolak proses modernisasi selera budaya NU—meski oleh kalangan NU justru diangaap sebagai “kurang menjaga martabat NU” (Choirotun Chisaan, 2008). Modernisasi selera budaya itu dilihat dari upaya Trio Djamaluddin, Usmar, dan Asrul memadukan cita rasa tradisional-Timur NU seperti gambus, barzanji, dibaan, ketimpring, terbangan, kasidah, ataun samrah, dengan dekor-dekor seni budaya modern-Barat seperti teater, film, musik, puisi, atau lukis. Meski secara tegas menolak jargon “politik adalah panglima” Lesbumi praktis tidak dipandang sebagai lembaga yang mencoba memperkenalkan “bid’ah” budaya kepada NU, sebab seperti dikataka KH Saefudin Zuhri saat meresmikan pendiriannya, Lesbumi hanyalah mengembangkan budaya yang sudah ada dan diperkenalkan sesuai dengan bentuk dan cita-citanya (Chisaan Mansoer, 2007).

Melalui Lesbumi, citraan modernisme tiga serangkai Djamaluddin, Usmar, dan Asrul meresap secara sangat natural. 
 
Di tangan mereka, wajah tradisional NU tidak menjadi penghalang bagi proses strategi politik kebudayaan, justru sebaliknya; nilai-nilai konservatif NU menjadi asas gerak organisasi, sebagaimana tertuang dalam anggaran dasarnya (Pasal II, Azas, Organisasi ini berasaskan ajaran Islam, berhalauan Ahlussunnah wal Jama’ah fil Madzhabil Arba’ah (Syafi’ie, Maliki, Hambali, dan Hanafi)).

Maka, ketika Djamaluddin menjadi Ketua Umum, rekam jejaknya sebagai pendiri Perseroan Artis Indonesia (Persari) dan penggiat upaya memperkenalkan film Indonesia ke level interansioal (Festvial Film Asia 1955) tidak pernah dicurigai dapat “meracuni” ideologi NU. Begitu juga dengan Usmar dan Asrul yang sama-sama lulusan sekolah film di Amerika. Dari tangan ketiga tokoh film nasional ini kemudian lahir film Panggilan Tanah Sutji (1964), sebagai tanda keseriusan mereka dalam meletakkan ideologi Islam dalam ranah perfilman Indonesia.

Pada saat film ini diputar di bioskop-bioskop, banyak warga NU dari kalangan pesantren yang mengapresiasi secara positif kecenderungan yang sama sekali baru ini. Menonton film di bioskop menjadi sesuatu yang biasa di kalangan santri dan kiai, meski mereka menonton dengan mengenakan sarung dan peci. Bagi pengamat budaya waktu itu, peristiwa ini merupakan fenomena yang sangat luar biasa, sebab warga NU yang diidentikkan dengan kaum tradisionalis mampu mengapresiasi produk seni budaya dari kalangan modernis.

Melalui perkenalan pertamanya dengan film Panggilan Tanah Sutji inilah, warga NU kemudian terbiasa mengapresiasi film-film lain garapan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memang berkualitas, baik dari segi penceritaan maupun garapan sinematografisnya meski tidak selalu bertema "islami". (Chisaan Mansoer, 2007) 

“Jihad” Melawan Film Amerika
Visi menjadi tuan rumah di negeri sendiri bagi film Indonesia, sudah menjadi garis perjuangan tiga sekawan Djamaluddin-Usmar-Asrul sejak mereka mengawali karier di dunai film. Sejak 1950-an, Djamaluddin (melaui Persari) dan Usmar (dengan Perfini) mendesak pemerintah agar membatasi kuota terhadap peredaran film-film Amerika. Berkat usaha mereka, kuota film Amerika berkurang dari 250 film per tahun menjadi 120 film.



Bersama Lesbumi, “jihad” melawan film Amerika dilancarkan Usmar dengan lebih tegas lagi. Meski tidak diikuti oleh produksi film nasional, kuota film Amerika berkurang menjadi 80 film pada tahun 1964. Bahkan, Usmar memperlihatkan alasan ideologi (Islam) yang melandasi perjuangannya melawan film asing dengan memberi labeling haram bagi film-film yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi kehidupan kaum Muslimin Indonesia. Usmar berkata, “Mengenai segi kulturil dan moralnya, kami lebih tegas lagi, karena djusteru kami berpegang teguh kepada adjaran2 agama Islam jang mendjadi landasan organisasi kami. Seperti sudah saja tegaskan dlm tjeramah saja itu, bagi kami pengaruh2 film Amerika jang menimbulkan segi2 negatif, seperti tjara bersolek, berpakaian, dll itu bukan sadja terlarang, tetapi adalah haram hukumnja! Apalagi djika film itu terangan2an mengandung moral jang merusak achlak! Dan tidak sadja jang diperlihatkan dalam film2 Amerika tetapi dalam bentuk apapun.” (Usmar Ismail dalam Chisaan, 2008).

Lesbumi dan Konstruksi Film Nasional
Sebagai organisasi yang dibentuk dengan mengacu kepada rekam jejak tiga tokoh film nasional, sebagai pucuk pimpinannya, Lesbumi sesungguhnya telah berhasil memberikan kepercayaan kepada Djamaluddin, Usmar, dan Asrul bahwa kemusliman mereka menempati posisi strategis dalam menentukan konstruksi film nasional.

Saat menggarap cerita Titian Serambut Dibelah Tujuh (1961) yang kemudian difilmkan, Asrul mengaku bahwa cerita dan film itu merupakan hasil pergulatan keislamannya, dari yang sekadar sekumpulan hafalan dan hukum semata menjadi Islam yang mencipta, ketika ia pergi haji pada tahun 1963 untuk keperluan syuting film Panggilan Tanah Sutji. Perjalanan spiritual itu dilanjutkan Asrul dengan mengunjungi Alhambra di Granada yang menghasilkan tekad baginya untuk bekerja ke arah “Islam yang mencipta”.

Lesbumi juga ikut meletakkan cita-cita kemandirian film Indonesia, yang eksistensi industrinya setara Hollywood, dengan sosok Djamaluddin Malik yang dikenal sangat patuh kepada ajaran NU dan loyal kepada para kiainya. Djamaluddin menampilkan profil pengusaha film yang “ambisius-duniawiyah” di satu sisi dan “relijius tradisional” di sisi yang lain. Dengan peran Djamaluddin, upaya Lesbumi untuk memainkan strategi kebudayaan Lesbumi dengan menampilkan citra dan pesan Islam dalam film nasional menjadi sangat bertenaga.

Di tangan Usmar, keberadaan Lesbumi terasa lengkap dengan jalan ke arah masa depan film nasional yang terbentang. Selain dikenal sebagai seorang sutradara yang “nasional relijius”, Usmar juga tangguh sebagai pengusaha film dengan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang disebut-sebut sebagai perusahaan film Indonesia pertama yang dimiliki kaum pribumi.

Dengan posisi kunci ketiga tokoh film nasional ini, Lesbumi dapat mewujudkan tujuannya untuk “Membuat garis pemisah jang tegas antara dua unsur seni dan kebudajaan jang saling berlawanan, antara jang haq dan jang bathil setjara objektif” dan “Mentjiptakan sesuatu jang bernilai seni dan budaja jang dituntutn oleh adjaran Islam” (Pasal IV butir 6 dan 8, Tujuan, Anggaran Dasar Lesbumi).


 
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa peran Lesbumi bagi dunia perfilman Indonesia seperti tak pernah terekam dalam memori sejarah bangsa ini? Mengapa film-film bernuansa dakwah Islam yang diproduksi para tokohnya, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh (Asrul Sani, 1961), Menjusuri Djejak Berdarah (Misbach Yusa Biran, 1966), atau Di Bawah Lindungan Ka’bah (Asrul Sani, 1978), tak menginspirasi generasi Lesbumi masa kini untuk melanjutkan perjuangan para pendahulunya di ranah perfilman nasional yang makin “bergairah”? Wallahua’lam bissawab.