Tampilkan postingan dengan label SLAMET RAHARDJO 1971-2004. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SLAMET RAHARDJO 1971-2004. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Februari 2011

SLAMET RAHARDJO / SLAMET RAHARDJO DJAROT / 1971-2004

Foto ini saya dapat dari teman saya, Lono yang juga sepupu dari Mas slamet, pada tahun 1996, ini foto mas Slamet saat shoot Surobuldog, di Jawa Tengah.

Cukup bangga dan senang, dia dosen penyutradaraan saya waktu kuliah di IKJ. Walaupun jarang datang ngajar, tetapi cukup banggalah menjadi murid dia. Tapi sayangnya di kelas penyutradaraan kita diajarkan secara teoritis saja mengenai sutradara. Yang dimana diajarkan karakter penokohan saja. Kita banyak belajar dari sudut sinematography-nya saja dalam penyutradaraan. Tetapi kurang diajarkan bagaimana mengarahkan, mengolah dan memunculkan akting dari pemain kita dilapangan. Seharusnya kelas sutradara harus mengambil 2 atau lebih semester di fakultas teater untuk pengarahan pemain kita. Karena pengalaman saat saya membuat karya akhir untuk ujian, saya terbentur pada persoalan, si pemain bertanya, saya harus bagaimana? Saya bingung untuk hal itu. Karena memang kita tidak diajarkan. Banyak yang harus dipelajari dari seni pengolahan akting ini. Dan ternyata ada trik untuk hal itu, yang secara kurikulum teater itu ada. Jadi sayang saja kita tidak mendapatkan pelajaran tentang hal itu.

Percakapan di atas bukan adegan film. Ini nyata terjadi pada kehidupan Slamet Rahardjo. Aktor gaek ini kerap berurusan dengan petugas imigrasi luar negeri karena wajahnya. "Saya sangat mencintai Jawa, walaupun muka saya mengkhianatinya," katanya tertawa.

Parasnya memang terlihat blasteran. Rambut dan alisnya tebal. Matanya hitam dan dalam. Hidungnya bangir. Ia kerap berkumis rimbun pula. Sekilas memandang, Slamet lebih mirip orang dari Asia Barat. 

Tak heran mendiang sutradara masyhur Teguh Karya memanggilnya Arab. Tapi ketika Slamet tiba di Amerika Serikat, ia dikira orang Amerika Latin. Padahal ayahnya Jawa, ibunya Banten.

Petugas imigrasi asing mungkin tak tahu pria yang lahir di Serang dan besar di Yogyakarta ini adalah seniman dan budayawan mumpuni di tanah air. Di masa jayanya, pada era 1970-1980an, Slamet adalah magnet penonton.

Hampir semua film yang ia bintangi dan sutradarai menjadi box office. Slamet memulai semuanya ketika film nasional sedang booming

Ia memerankan banyak peran. Dari mulai mantan narapidana, laki-laki miskin jatuh cinta pada perempuan kaya, kapten Belanda, gangster, hingga pahlawan nasional. 

Sebenarnya judul film yang ia bintangi banyak. Sebut saja di antaranya, Wadjah Seorang Laki-Laki, Ranjang Pengantin, Di Balik Kelambu, Badai Pasti Berlalu, Ponirah Terpidana, November 1928, Kodrat, dan Tjoet Nja' Dhien.

Tapi jumlah itu sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan tawaran yang ia terima. "Saya orang yang bandel, enggak mau main film sembarangan," katanya. "Saya enggak mau main yang ngaco-ngaco."

Resep kebandelan itu terbukti berhasil mengharumkan namanya. Piala Citra untuk aktor dan sutradara terbaik pernah ia raih. Ia juga pernah menjadi aktor dengan bayaran termahal.

Kesuksesan ini tak hanya membuat namanya harum. Banyak wanita yang menggilai dirinya. Memberi kecupan dari jauh, itu biasa. Memegang pahanya saat duduk berdekatan, juga bukan hal yang aneh. 

Rumah, mobil, perempuan, dan uang sebenarnya bisa ia dapatkan dengan hanya meminta. Tapi ia menolak semua kemudahan itu dan memilih jalan sulit menjadi seniman. Dua kali ia harus menjual cincin kawin untuk menghidupi keluarganya.

"Aku tetap seperti aku. Bintang film yang pakai kaus oblong dan enggak pernah menikmati hidup jadi selebritis," ujar pria yang akrab dipanggil Memet itu.

Saat kecil hidupnya berpindah-pindah. Ayahnya penerbang Angkatan Udara yang sering mendapat tugas ke berbagai tempat di Indonesia. 

Ia masih ingat, ketika duduk di bangku Sekolah Dasar pernah tinggal di dekat Bandara Udara Polonia, Sumatera Utara. Halaman rumahnya luas. Slamet sering bermain dengan Eros.

Adiknya itu setahun lebih muda. Mereka seperti sepasang anak kembar. "Ukuran badan sama. Baju sama. Main sama-sama," kata pria kelahiran Serang 69 tahun lalu ini.

Di halaman luas itu mereka berkhayal sedang bertualang. Ada burung gereja, ia tembak dan bakar dengan lilin. Slamet lalu menyuruh Eros memakannya. "Aku jadi raja, yang kuperintahkan harus nurut," ujar anak kedua dari 11 bersaudara.

Semua hewan yang mereka temukan langsung dibakar dan dimakan. Hanya kecoa dan kodok saja yang luput dari perburuan mereka. Alasannya karena jijik.

Eros tumbuh menjadi anak pintar dan baik. Ngomong jorok saja tidak pernah. Ia sulit mendapat nilai delapan di sekolah karena selalu sembilan. "Kalau saya sulit dapat nilai delapan karena tujuh terus," kata Slamet.

Saat Eros kena masalah, Slamet pasang badan. "Saya kalau berantem pasti karena belain Eros," ujar suami Mira Djarot itu.

Keduanya sempat terpisah jarak ketika Slamet memutuskan kuliah di Jakarta. Eros ke Jerman. Tapi setelahnya, mereka bersatu kembali.

Eros yang menyandang gelar insinyur kimia mengikuti jejak kakaknya menjadi seniman. Ia bermain band, menjadi pengarah musik film Badai Pasti Berlalu, dan menyutradarai film kolosal Tjoet Nya' Dhien. Piala Citra ia dapatkan dari kedua film tersebut.

Keduanya sukses bersama-sama. Bahkan memiliki mertua yang sama. "Ini teknik ekonomi. Jadi kalau lebaran salah satu lagi tidak ada uang, cukup satu saja yang kasih ke orang tua," ujar Slamet tertawa. 

Tapi Slamet menolak menjawab ketika kami tanya apakah keduanya pernah rebutan pacar atau tidak. "Enggak mau jawab kalau itu. Anakku udah gede-gede, nanti ditiru," katanya. 

Ayahnya demokratis. Anak-anaknya bebas bereksplorasi. Ia juga memberi falsafah hidup dalam hidup Slamet. Misalnya, soal pangkat. Jangan ditaruh di atas kepala. "Taruh di lubang silit," kata Slamet mengingat perkataan ayahnya.

Ajarannya juga termasuk bagaimana laki-laki bersikap. Harus satria. Satu kata dan perbuatan. Tidak boleh mencla-mencle. "Kenapa nama saya Slamet? Supaya jangan mencari selamat hanya untuk mencapai keraharjaan," ujarnya.

Dari ibunya, ia belajar melihat kehidupan dengan pendekatan intelektual. Slamet jadi mengenal buku dan kesenian. Ia masih ingat ibunya jago melukis. 

Umur sembilan tahun orang tuanya bercerai. Slamet kehilangan sosok ibu karena ia ikut ayahnya. Saat dewasa, Slamet merajah tangan kanannya dengan nama sang ibu, Enie.

Masuk Sekolah Menengah Pertama, ia tak mau lagi berpindah-pindah dan memutuskan tinggal di Yogyakarta bersama kakeknya. Di kota ini jiwa berkeseniannya muncul. 

Ia suka nonton ketoprak, teater, dan wayang orang. Kakeknya tak pernah marah walau Slamet kerap absen mengaji. Tapi kalau Eros yang absen, sabetan rotan yang ia terima. "Kakek sepertinya mengerti saya," kata Slamet.

Lulus Sekolah Menengah Atas, ia memutuskan ke Jakarta untuk belajar film. Ayahnya sempat menentang. Tapi Slamet kadung ingin menjadi seniman. Umur 19 tahun ia meninggalkan rumah. 

Slamet menjadi nomad di ibu kota. Ia bisa tidur di mana-mana. Sarinah, Sunda Kelapa, Semanggi hanya sebagian kecil lokasi tempat tinggalnya.

Tidak ada kemewahan kala itu. Ia kerap membayar mandor tukang bangunan untuk bisa tinggal di lokasi proyek. Setelah seminggu, ia cabut dan mencari tempat baru.

Masa kuliahnya tak berjalan lancar. Saat di Akademi Film Nasional, Slamet hanya sempat belajar satu semester. Seluruh staf pengajarnya sibuk mengerjakan berbagai proyek film pascakesuksesan Macan Kemayoran. Akademi ini bubar.

Ia pindah ke Akademi Teater Nasional Indonesia. Sebenarnya kesenian ini tak menarik hatinya. Pernah beberapa kali menonton pertunjukan drama di Yogyakarta, menurut Slamet, kualitasnya jauh dari kata bagus.

Slamet juga bukan anak yang suka tampil. Sosok aslinya adalah pendiam. Selama 12 tahun bersekolah, ia tak pernah percaya diri untuk tampil di depan kelas.

Kalau sudah ujian menyanyi, ia hanya sanggup membawakan satu lagu, yaitu Maju Tak Gentar. Itu pun ia nyanyikan dari balik papan tulis.

Jurusan penata artistik akhirnya ia ambil. Slamet yakin bisa melukis karena mamanya melakukan hal serupa. 

Suatu waktu ia kehabisan uang dan tidak bisa ujian. Sutradara Teguh Karya dan Sjumandjaja bersedia menalangi. Sebagai balasannya, Slamet harus membuat set untuk pertunjukan drama Teguh.

Ia menolak. Tapi Teguh mendesak, malah menyuruhnya tampil. Slamet terpaksa mau. Dengan grogi, ia naik ke atas panggung. Keringat bercucuran dari ujung rambut sampai kaki. 

Ia hafalkan dialog sekuat tenaga, lalu berakting. Satu menit. Dua menit. Akhirnya ia turun kembali ke bawah panggung.

"Eh, Arab, udah makan lu? Mau makan enggak?" tanya Teguh. Slamet menerima tawaran itu. Tiba-tiba Teguh mengatakan Slamet telah lulus dan harus berganti jurusan ke akting. "Padahal itu bukan akting, tapi saya ketakutan," ujar Slamet.

Mata Teguh tidak salah. Slamet memang benar-benar bisa berakting. Ia langsung mendapat pemeran utama di Teater Populer -- bentukan Teguh Karya. Lakon pertamanya berjudul Hantu dan dipentaskan di Hotel Indonesia pada 28 November 1969.

Pentas drama itu sukses dan media menyebut Slamet seorang calon bintang. Wartawan senior Salim Said adalah orang pertama yang mengatakan Slamet aktor berbakat.

Teguh lalu membuat Wadjah Seorang Laki-Laki pada 1971. Slamet menjadi pemeran utamanya. Film ini meraih sukses. Kesuksesan ini terulang kembali tiga tahun kemudian dalam film Cinta Pertama. Kali ini Slamet berpasangan dengan Christine Hakim. 

Sejak saat itu, keduanya ibarat duet maut. Layaknya Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra zaman sekarang, film-film yang mereka bintangi selalu laris-manis di bioskop. Teguh pula yang kerap mengarahkan Christine dan Slamet. 

Kuliah Slamet tak berjalan semulus kariernya. Akademi Teater Nasional Indonesia bubar tak lama setelah ia belajar di sana. Ia jadi hakulyakin pendidikan formal bukan jalan hidupnya. Ia memilih autodidak.

Semua jenis buku ia baca. Sastra, roman, komik, stensilan, psikologi hingga filsafat. Untuk mendalami seni peran, ia juga kerap berdiskusi dengan banyak tokoh film, seperti Sjumandjaja dan Asrul Sani.

Slamet juga rajin ke lembaga-lembaga kebudayaan asing. Referensi filmnya jadi kaya. Ia tidak mau menonton film Hollywood. "Enggak doyan aku," katanya. "Saya lebih kenal film-film seni dari Jepang, Rusia, Slovakia."

Semangat belajarnya ini membuahkan hasil. Aktingnya sebagai Bram, laki-laki frustrasi yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri di Ranjang Pengantin, memberikan Piala Citra pertamanya, kategori aktor terbaik pada 1975. 

Piala itu sempat ia tunjukkan ke ayahnya. "Ayah diam saja, tidak berkomentar apa-apa," kata Slamet tersenyum. 

Ia sempat menjadi aktor dengan bayaran tertinggi. Narkoba, alkohol, uang, dan perempuan bisa dengan mudah ia dapat. Tapi ia menganggap semua itu tak perlu. Tuhan masih sayang kepadanya. "I'm a lucky boy. Pelarian saya adalah pulang ke rumah kakek," katanya.

Selalu merasa punya rumah, hidup Slamet jadi tidak neko-neko. "Persoalannya bukan saya enggak doyan duit, bohong. Bukan saya enggak suka barang bagus, bohong," katanya. "Yang saya tahu, barang saya ini harus berguna untuk orang lain."

Baginya bermain film tak sekadar mengimitasi kehidupan tapi memberi makna di balik peristiwa. Ia menjadi aktor yang pemilih. Tak sembarang film mau ia kerjakan. Hal itu sebenarnya tidak mudah. Kerap kali ia kesulitan keuangan.

Slamet beruntung menemukan istri yang mengerti dengan idealismenya. Mira Djarot adalah satu-satunya orang yang berani mengkritiknya. "Saat saya jadi yang terbaik pada zaman itu, enggak ada yang berani bilang jelek ke saya, kecuali istri saya," katanya.

Mira berhasil membawa Slamet kembali ke bumi. Ia jadi sadar masih punya kelemahan dan apa yang ia kerjakan belum tentu berhasil. "Saya beruntung sekali mendapat istri yang juga bisa menjadi sahabat," ujarnya.

Slamet dan Mira menikah pada 1984 dan memiliki dua anak perempuan, Laras dan Kasih. Di tahun itu pula Slamet membeli rumah di kawasan Bintaro yang sampai sekarang masih ia tinggali.

Mira masih aktif bekerja di bidang jurnalistik. Slamet berkarya di dunia seni dan budaya. Sambil memimpin Teater Populer, Slamet mengajar di IKJ seminggu tiga kali. Sudah lebih 25 tahun ia menjadi dosen di sana.

Gelar Ki sekarang tersemat di depan namanya, menjadi Ki Slamet Rahardjo Djarot. "Ini bukan menunjukkan keilmuan saya, tapi keempuannya," kata Slamet. "Saya senang sekali mendapat gelar itu dari Fakultas Film dan Televisi IKJ."

Ia masih menerima tawaran bermain film. Yang teranyar, A Perfect Husband akan tayang pekan depan. Tapi sampai sekarang ia belum berencana membuat film. Alasannya sepele. Tidak ada yang mau mendanai. Film terakhirnya adalah Marsinah pada 2001.

Resep eksistensinya selama lebih 40 tahun sangat sederhana, hanya kerendahan hati dan kebebasan jiwa. "Makanya, kalau ada anak main film cenanangan (ngawur) dan hanya jual sensasi, itu pasti enggak berbakat," ujar Slamet.


SEPUTIH HATINYA SEMERAH BIBIRNYA 1980 SLAMET RAHARDJO
Director
BUKIT PERAWAN 1976 OSTIAN MOGALANA
Actor
NOPEMBER 1828 1978 TEGUH KARYA
Actor
LANGITKU RUMAHKU 1989 SLAMET RAHARDJO
Director
KAWIN LARI 1974 TEGUH KARYA
Actor
PERKAWINAN DALAM SEMUSIM 1976 TEGUH KARYA
Actor
KEMBANG KERTAS 1984 SLAMET RAHARDJO
Director
SOUTHERN WINDS 1993 SLAMET RAHARDJO
Director
RANJANG PENGANTIN 1975 TEGUH KARYA
Actor
KODRAT 1986 SLAMET RAHARDJO
Actor Director
KASMARAN 1987 SLAMET RAHARDJO
Director
SANG PENARI 2011 IFA ISFANSYAH Drama Actor
BADAI PASTI BERLALU 1977 TEGUH KARYA
Actor
TJOET NJA DHIEN 1986 EROS DJAROT
Actor
LOST CHILD, THE 1992 SLAMET RAHARDJO Television film Director
TERAN BULAN DI TENGAH HARI 1988 CHAERUL UMAM
Actor
KANTATA TAQWA 1992 EROS DJAROT
Director
DI BALIK KELAMBU 1983 TEGUH KARYA
Actor
TELEGRAM 2001 SLAMET RAHARDJO
Director
INFATUATION 1989 SLAMET RAHARDJO
Director
PUTERI GUNUNG LEDANG 2004 SAW TEONG HIN
Actor
REMBULAN DAN MATAHARI 1979 SLAMET RAHARDJO
Director
CINTA PERTAMA 1974 TEGUH KARYA
Actor
PONIRAH TERPIDANA 1983 SLAMET RAHARDJO
Actor Director
PASIR BERBISIK 2001 NAN T. ACHNAS Drama Actor
MARSINAH 2001 SLAMET RAHARDJO
Director
WADJAH SEORANG LAKILAKI 1971 TEGUH KARYA
Actor

REMBULAN DAN MATAHARI / 1979

REMBULAN DAN MATAHARI

 
Bagus (Djago Sasongko) sudah tujuh tahun meninggalkan desanya karena ia diusir gurunya. Saat kembali,ia melanggar pantangan yaitu menghamili Wong Ayu (Nungky Kusumastuti) yang kemudian melahirkan anak. Sejak itu Bagus mulai terlibat dengan berbagai masalah desa, di samping ia sendiri terus bergulat dengan dirinya, karena ulahnya dimasa lalu. Film ini merupakan film pertama Slamet Rahardjo yang berambisi memberi warna tersendiri, sehingga terkesan fragmentaris daripada keutuhan sebuah cerita.
 P.T. DHARMA PUTRA JAYA FILM

DJAGO SASONGKO
NUNGKY KUSUMASTUTI
CHRISTINE SUKENDAR
HASSAN SANUSI
SARDONO W. KUSUMO
KIES SLAMET
SUTOPO HS
HENKY SOLAIMAN
SOERIP
ETTY SUMIATI
SRI ASIH
TRI WARSONO


REMBULAN DAN MATAHARI Sutradara/Skenario: Slamet Rahardjo Pemain: Christine Sukandar, Djago Sasongko, Hasan Sanusi dan Nungki Kusumastuti. MITOS yang berkembang di Ponorogo, tempat para tokoh bermain, mengilhami judul film itu. Konon Ponorogo berasal dari dua kata: pramono yang dalam bahasa Jawa berarti matahari -- sumber cahaya bagi rembulan dan seluruh kehidupan di bumi -- dan rogo yang berarti badan wadag. Film Rembulan dan Matahari diawali suara sayup orang mengaji, lalu sebuah kompleks pelacuran di Jakarta hadir di layar. Penggambarannya realistis. Lengkap dengan orang tawar-menawar, lalulalang para calo, lagu Rhoma Irama dan sejumlah orang berjoged. Beberapa pelacur malam itu sedang berkemas untuk berlebaran di kampung masing-masing. Di tengah kesibukan itu, seseorang berkerudung sarung menyikat kalung Paitun (Christine Sukandar). Pelacur itu berteriak. Si maling tertangkap. Ternyata ia datang dari kalangan mereka sendiri.


Di tangan Slamet Rahardjo, si maling diselamatkan dan dibiarkan tetap tinggal menjadi bagia dari masyarakatnya. Bahkan maling itu sempat diberi uang, ditraktir minum dan tertawa-tawa. Sikap semacam itu mewarnai keseluruhan film Slamet yang pertama ini. Di desa, seorang ila (Kies Slamet) dibiarkan menjadi milik masyarakatnya. Ia menjadi semacam tokoh Petruk dalam pewayangan yang sering memberikan citra hidup yang luhur dengan cara sederhana. Pelacur Paitun menyusul Wong Bagus (Djago Sasongko) pacarnya, ke desa itu. Seolah ia tidak mengacaukan nilai moral yang berlaku. Justru Wong Bagus sendiri yang malu. Padahal ia sendiri tak bersih. Wong Bagus penah menghamili Wong Ayu (Nungki Kusumastuti) yang dicintainya. Guru kebatinannya (Sardono W. Kusumo) menanggap hal itu sebagai pelanggaran Si Guru menggasak muridnya dan menyuruhnya minggat. Tujuh tahun lamanya Wong Bagus mengembara sampai akhirnya ia jadi centeng di kompleks pelacuran dan mengenal Paitun. Ketika ia kembali, desanya sudah banyak berubah. Wong Ayu sudah kawin dengan lelaki lain. Gombloh -- benih Wong Bagus -- sudah menjadi anak yang cukup bengal. Gurunya sudah mati. Sengkuni (Henky Solaiman) dan komplotannya makin mencekik kehidupan di desa itu. Wong Bagus diangkat menjadi Jagabaya (petugas keamanan) desa, lalu menggasak komplotan Sengkuni. Di akhir film, dengan long shot beberapa mobil colt memasuki desa itu lagi dan anak-anak kecil berlari bersorak-sorai. 
Dewan Juri FFI '80 yang telah memberikan 3 Citra untuk film ini (tata artistik, pemeran pembantu wanita dan pria), sempat mempertanyakan akhiran yang kurang memberi penegasan itu. Apakah Slamet menyetujui modernisasi sebagai jalan keluar atau tidak? Tapi pada banyak hal, sebetulnya Slamet juga kurang tegas bersikap. Ia bisa membiarkan maling, pelacur, penindas, menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Tapi ia tidak bisa menerima perbuatan Wong Bagus bercintaan dengan Wong Ayu. Kejelasan, dalam banyak hal, sulit ditangkap dalam film ini. Sehingga penonton, yang ingin mencari ceritanya, cukup sulit merangkai-rangkaikan adegan demi adegan yang lewat di layar. Namun secara sendiri-sendiri, secara fragmentaris, adegan-adegan itu berhasil dihidupkan dengan baik. Masyarakat desa, alam kanak-kanak, suasana-suasana, muncul dengan kuat. Setidaknya untuk hal ini Slamet boleh dipuji. Yudhistira A.N.M. Massardi.

TELEGRAM / 1997



TELEGRAM bagi DAKU ( Sujiwo Tejo) memiliki arti khusus karena pengertiannya tidak lagi sekedar benda pos. Kabar tentang kesulitan keluarganya dan kekecewaannya atas pengembangan pulau Bali yang cenderung menjauhi dasar budayanya, bercampur aduk menjadi satu membentuk rasa jengkel dan gelisah - yang pada akhirnya dia selalu menolak segala kabar yang datang dari Bali.


TELEGRAM berabrti gangguan bagi pikiran dan perasaannya karena pada dasarnya DAKU sangat mencintai keluarga dan tanah kelahirannya. Benturan perasaan ini membuat DAKU selalu gamang dan selalu serba salah dalam tindakannya.


DAKU lari dari kenyataan. DAKU terperangkap dalam kehidupan khayalinya yang indah dimana ROSA ( Ayu Azhari ) , perempuan muda yang cantik tampil sebagai kekasih yang amat mencintai dan mampu mengobati rasa sepi yang membakar dirinya. Keindahan dunia khayal yang dimilikinya selalu pudar oleh kehadiran SINTA ( Mira Ayudhia ) Anak angkatnya , yang selalu menyadarkan dirinya pada kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia khayal yang indah dan kenyataan hidup yang pahit berbaur menjadi satu sehingga DAKU semakin terperosok jauh ke dalam kehidupan yang semakin mengambang dan menyakitkan.


Kehadiran Rosa sebagai kekasih khayalannya dan SINTA , gadis kecil yang mewakili dunia nyata merupakan konflik utama pada diri DAKU. Apakah dia harus terus larut dalam kehidupan khayalinya atau mencoba memberanikan diri menatap kenyataan dengan berpihak pada SINTA yang semakin hari semakin tumbuh menjadi gadis kecil yang memberikan seluruh rasa sayang dan perhatian pada dirinya.


Keberpihakan pada Sinta mengental ketika ibu kandung Sinta ( Deasy Ratnasari) datang dengan maksud menculik Sinta. Daku mempertahankan Sinta dan takut kehilangan gadis kecilnya karena pada kenyataannya Sinta telah menjadi kekuatan yang mampu mengembalikan kepercayaan dirinya. Membesarkan Sinta sejak bayi hingga menjadi gadis kecil merupakan bukti bahwa dia bukanlah lelaki lemah dan tak berkemampuan. Secara perlahan tapi pasti , Sinta berhasil mengeluarkan Daku dari perangkap indah dunia khayalnya.


Ketika TELEGRAM berikutnya datang , Daku memiliki keberanian untuk membuka dan membaca isinya karena Sinta berada disampingnya. Suatu kenyataan pahit sekalipun , kini dia berani menghadapi - karena hakikatnya kehidupan selalu mempergilirkan nasib baik dan buruk secara bergantian.

TELEGRAM bagi DAKU ( Sujiwo Tejo) memiliki arti khusus karena pengertiannya tidak lagi sekedar benda pos. Kabar tentang kesulitan keluarganya dan kekecewaannya atas pengembangan pulau Bali yang cenderung menjauhi dasar budayanya, bercampur aduk menjadi satu membentuk rasa jengkel dan gelisah - yang pada akhirnya dia selalu menolak segala kabar yang datang dari Bali.


TELEGRAM berabrti gangguan bagi pikiran dan perasaannya karena pada dasarnya DAKU sangat mencintai keluarga dan tanah kelahirannya. Benturan perasaan ini membuat DAKU selalu gamang dan selalu serba salah dalam tindakannya.


DAKU lari dari kenyataan. DAKU terperangkap dalam kehidupan khayalinya yang indah dimana ROSA ( Ayu Azhari ) , perempuan muda yang cantik tampil sebagai kekasih yang amat mencintai dan mampu mengobati rasa sepi yang membakar dirinya. Keindahan dunia khayal yang dimilikinya selalu pudar oleh kehadiran SINTA ( Mira Ayudhia ) Anak angkatnya , yang selalu menyadarkan dirinya pada kenyataan hidup yang sesungguhnya. Dunia khayal yang indah dan kenyataan hidup yang pahit berbaur menjadi satu sehingga DAKU semakin terperosok jauh ke dalam kehidupan yang semakin mengambang dan menyakitkan.


Kehadiran Rosa sebagai kekasih khayalannya dan SINTA , gadis kecil yang mewakili dunia nyata merupakan konflik utama pada diri DAKU. Apakah dia harus terus larut dalam kehidupan khayalinya atau mencoba memberanikan diri menatap kenyataan dengan berpihak pada SINTA yang semakin hari semakin tumbuh menjadi gadis kecil yang memberikan seluruh rasa sayang dan perhatian pada dirinya.


Keberpihakan pada Sinta mengental ketika ibu kandung Sinta ( Deasy Ratnasari) datang dengan maksud menculik Sinta. Daku mempertahankan Sinta dan takut kehilangan gadis kecilnya karena pada kenyataannya Sinta telah menjadi kekuatan yang mampu mengembalikan kepercayaan dirinya. Membesarkan Sinta sejak bayi hingga menjadi gadis kecil merupakan bukti bahwa dia bukanlah lelaki lemah dan tak berkemampuan. Secara perlahan tapi pasti , Sinta berhasil mengeluarkan Daku dari perangkap indah dunia khayalnya.


Ketika TELEGRAM berikutnya datang , Daku memiliki keberanian untuk membuka dan membaca isinya karena Sinta berada disampingnya. Suatu kenyataan pahit sekalipun , kini dia berani menghadapi - karena hakikatnya kehidupan selalu mempergilirkan nasib baik dan buruk secara bergantian.

NEWS
Liputan6.com, Jakarta: Masyarakat di Tanah Air masih membutuhkan banyak informasi. Dan film adalah satu di antara media yang dapat memberikan informasi bagi masyarakat. "Jadi apabila perfilman di Tanah Air mati maka itu adalah sebuah tragedi," kata Slamet Rahardjo, sutradara film, kepada Trie Ambarwaty di Studio SCTV, Jakarta, Ahad (30/9) siang.


Menurut Slamet, buat orang film, dengan mengikuti sejumlah festival film mereka bisa tetap hidup. Sebab, festival adalah satu-satunya lahan yang membuat mereka bisa tetap terus berkarya. "Dan Festival Film Asia Pasifik di Jakarta, 16-20 Oktober mendatang satu di antara tempat bergantung orang film," kata Slamet.


Slamet menjelaskan, dalam festival itu Indonesia akan mengikutsertakan tiga film, di antaranya Reinkarnasi, Pasir Berbisik, dan Telegram. Dalam film telegram, Slamet sebagai sutradaranya menegaskan, film itu menggambarkan kesederhanaan dan sesuatu hal realistis yang terjadi di masyarakat. Film yang diangkat dari novel karya Putu Wijaya ini juga dibintangi artis Ayu Azhari. Menurut Ayu, film tersebut mengangkat realitas masyarakat di Tanah Air.


Pembuatan film tersebut juga sempat mengalami masalah dana. Menurut Slamet, saat mendatangi kontrak pembuatan film tersebut, kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih sebesar dua ribuan. Namun, ketika tengah berproduksi kurs rupiah melemah hingga level Rp 11.000. "Setidaknya fasilitas yang diberikan kepada crew dan artis cukup sederhana," kata Slamet.(ORS)

 Di Balik Novel Telegram

Oleh Arif Budianto
A.Pendahuluan
        Novel Telegram karya Putu Wijaya ini dicetak pertama kali oleh penerbit  Pustaka Jaya di Jakarta Tahun 1973.  Novel yang ditulis Putu Wijaya saat berumurr 28 tahun ini pernah menyabet hadiah pertama mengarang roman DKI, Jakarta 1972. Para kritikus sastra seperti Y.B. Mangunwijaya  (1988 : 50) telah membuat esei tentang novel Telegram (1973) dan mengatakan bahwa novel tersebut merupakan karya yang matang dan dewasa, sedangkan bentuknya sangat berhasil.


        Novel Telegram di antara banyaknya karya-karya Putu Wijaya adalah salah satu pembuktian bahwa saat itu sastra kita sudah tenggelam jauh ke dalam realisme. Novel telegram juga membuahkan kesuksesan tersendiri bagi Putu Wijaya dalam dunia perfilman yaitu ketika novel ini   diangkat menjadi sebuah film oleh sutradara Slamet Rahardjo. Ide penggarapan film Telegram dimulai tahun 95-an. Pada saat itu, Slamet Rahardjo yang mewakili Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN),melakukan perjalanan ke Prancis dalam rangka membuat kerjasama dengan Pusat Perfilman Prancis(CNC) Centre Nationale Cinematograph. Tujuannya,adalah untuk membangkitkan perfilman nasional di dunia.


        Novel Telegram menceritakan tentang seorang lelaki asal Bali yang tinggal Di Jakarta, Tokoh Daku(Aku) dalam novel adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum menemukan jati dirinya. Daku mempunyai dunia khayal yang tinggi sehingga ia tidak mampu membedakan mana yang khayalan dan mana yang nyata, suatu hari ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena menurut benaknya,telegram selalu membawa berita buruk,isinya adalah ibunya meninggal,selain itu dalam dunia khayal daku juga mempunyai kekasih, dan anak angkat,tapi semua itu hanya khayalan. Hingga daku sadar ketika ada seseorang yang memberinya telegram berisi bahwa ibunya meninggal dunia,dan itu nyata bukan khayalan lagi.
B. Jalinan Cerita

 Tokoh Daku (Aku),  yang diperankan Sujiwo Tejo dalam film, adalah individu yang lembek tapi keras,seseorang yang belum menemukan jati dirinya. Cerita novel ini berawal dari seorang laki-laki dari Bali yang tinggal Di Jakarta,suatu hari ia mempunyai firasat akan menerima telegram dari kampung asalnya,ia selalu gelisah dan merasa bahwa telegram itu sudah di tangannya,ia sangat takut karena menurut benaknya,telegram selalu membawa berita buruk seperti kabar kecelakaan,atau kabar menakutkan lainnya,sekarang ia tidak bisa berbuat apa-apa karena telegram itu sudah ditangannya, isinya kabar ibunya yang meninggal.


         Khayalan daku seakan-akan kenyataan, setelah membaca telegram,ia segera bersiap-siap untuk pulang ke kampung halamannya. Ia gelisah dan membayangkan bagaimana kelanjutan nasibnya, ibunya meninggal,sebagai anak tertua ia harus berperan sebagai kepala keluarga,sehingga semua yang berurusan dengan pemakaman ibunya ia yang menanggung,juga dengan tanah dan rumah yang ibunya tinggalkan. Dilema itu yang berkecambuk di benaknya,di tengah kebingungannya,tiba-tiba anak angkatnya,Sinta yang diperankan Mira Ayudia dalam film,Sinta yang dibuang ibunya ingin tahu isi dari telegram itu,sebagai seorang ayah yang bijaksana ia takkan mengizinkan Sinta mengetahui isi telegram itu, sehingga ia berbohong kepada Sinta. Namun Daku tidak tahu kalau sebenarnya anak angkatnya  sudah tahu isi dari telegram itu.


        Mereka berdua bersiap diri untuk segera pulang ke Bali, namun tiba-tiba ibu kandung Sinta yang diperankan Desi Ratnasari dalam film datang dan ingin meminta anak kandungnya itu,Daku menolak karena ia yang membesarkan Sinta,mereka kemudian membuat kesepakatan dan menyerahkan keputusan kepada Sinta,siapa yang akan dia pilih. Belum lagi persoalan tentang Sinta kelar,muncul lagi khayalan dibenaknya, daku merasa tubuhnya lemas,gemetar dan terserang demam,ia khawatir jika penyebabnya adalah penyakit kotor yang ditularkan wanita penghibur yang pernah tidur bersamanya,ia takut akan mengalami hal yang sama seperti temannya.


        Daku tidal lagi dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang khayalan,kadang ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah khayalan semata,namun itu hanya sebentar ia masuk kedunia khayalannya lagi, dalam khayalannya ia berpisah dengan kekasihnya,Rosa yang diperankan Ayu Azhari dalam film,padahal sosok Rosa itu tidak nyata ada,Rosa hanya khayalannya saja seperti ia mengkhayalkan tentang telegram itu. Daku kembali berkhayal, ia dan Sinta bersiap akan ke Bali,ia telah memesan tiket pesawat.


        Tiba- tiba di tengah khayalannya,ada orang yang datang,ia bangkit dan membuka pintu,ternyata bibi pemilik kontrakan yang datang, membawa sepucuk telegram ,daku segera membuka isinya dan isinya ibunya telah meninggal dunia, telegram itu nyata dan benar terjadi,itu fakta bukan khayalan,itu kenyataan yang sebenarnya, sedangkan seluruh cerita sebelumnya hanyalah khayalan lelaki itu saja.


 

C. Novel Telegram yang Difilmkan

 Slamet Rahardjo seorang sutradara perfilman Di Indonesia  memilih novel Telegram karya Putu Wijaya dengan pertimbangan dari sekian banyak karya sastra yang diciptakan seniman asal Bali itu, novel ini mempunyai nilai universal dan warna etnis yang tak terlalu kentara. Kebetulan pula Telegram sudah diterjemahkan dan beredar di Prancis, sehingga karya ini relatif lebih mudah diterima . skenario film ini digarap sendiri oleh Putu Wijaya dibantu Slamet Rahardjo.


        Film Telegram yang disutradarai oleh Slamet Rahardjo ini merupakan produksi bersama Indonesia dan Prancis. Dirilis di tahun 2002, film ini memenangkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 dan untuk kategori aktris terbaik disabet oleh Ayu Azhari.


       Telegram telah menjadi bukti sebuah kerja keras dan kegigihan seorang Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo Djarot salah seorang sineas yang menyaksikan kejayaan dan kehancuran film nasional yang mencoba kembali membangkitkan sebuah dunia yang telah lama mati.


         Pujian dari Mira Lesmana, salah seorang generasi baru perfilman Indonesia,ia termasuk yang mengagumi film ini. Dari segi film, Mira yang sudah menyaksikan premier film Telegram itu mengaku seolah dibawa kesuatu nostalgia tentang sebuah gaya dalam perfilman Indonesia yang sudah lamatidak dia lihat. "ada rasa sentimentil yangmuncul dalam diri saya," ujarnya. Telegram digarap dengan cukup manis, terutama tata cahaya dan penataan artistiknya.



D. Novel Telegram dalam Kesusastraan Indonesia

.

        Dengan novelnya Telegram (1973), Putu Wijaya membuktikan bahwa kondisi sastra kita saat itu sudah terlalu jauh tenggelam ke dalam realisme. Dengan melecehkan alur dan penokohan, ia memotret jiwa atau ketidaksadaran si pelaku. Pemandangan yang terlihat pembaca adalah campuran antara kenyataan obyektif dan imajinasi pelaku, dan hampir-hampir kita tak mampu membedakan keduanya. Demikianlah kesatuan cerita dihancurkan: peristiwa tidak terpapar dalam hubungan sebab akibat. Perjalanan tokoh utama hanya diikat oleh motif yang menjadi judul buku, yaitu Telegram dan Stasiun. Jika fragmen-fragmen peristiwa bergerak terlalu liar, pengarang segera meredamnya ke suasana yang mirip puisi atau jika pelukisan terasa kelam memberatkan, ia memberikan lanturan atau semacam ironi.


         Putu Wijaya seorang penulis novel yang sekaligus sering membuat film ini terkenal mengajukan problem-problem psikologis dalam novelnya. Bagi banyak orang ini disebut dengan “absurd”. Absurditas karya-karya Putu Wijaya ini mengemuka disaat kita membaca beberapa karyanya. Dalam banyak prosanya itu, Putu Wijaya biasanya banyak memerikan pergulatan pikiran sang tokoh utama seperti dalam Novel Telegram. Para pengamat sastrapun  menyebut novel ini  yang pertama di Indonesia yang menggunakan tehnik stream of conciousness, kisah ini dibangun dengan cara penuturan “monologue interiur” percakapan diri sendiri.




E. Putu Wijaya

. I Gusti Ngurah Putu Wijaya adalah nama lengkapnya,  ia lahir di Puri Anom,Tabanan,Bali pada tanggal 11 April 1944. Pada masa remaja ia sudah menunjukkan kegemarannya pada dunia sastra. Sampai saat ini Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih dari 30 novel,40 naskah drama, sekitar seribu cerpen,ratusan esai,artikel lepas,dan kritik drama, selain itu ia juga menulis skenario film dan skenario sinetron, Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Cerita pendek karya Putu Wijaya sering mengisi kolom-kolom pada Harian Kompas,dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya juga kerap muncul di Majalah Kartini,Femina, dan Horison. Beberapa karyanya yang sering diperbincangkan banyak orang adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam Sobat, Nyali.


         Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan Angkatan 1966 – 1970 an. Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Majalah Sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis . Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini, novel Telegram juga pertama kali dicetak oleh Pustaka Jaya. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, termasuk paus sastra Indonesia H.B. Jassin,Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, , Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lain.


        Karya-karya Putu Wijaya banyak mendapatkan tanggapan dari para kritikus sastra. Berbagai komentar terhadap novel-novel Putu Wijaya baik yang bersifat sekilas atau yang sifatnya mendalam dalam bentuk esei bermunculan di media massa, buku, maupun dalam forum-forum seminar. Bahkan karya-karya Putu Wijaya sampai saat ini banyak dipergunakan sebagai objek penelitian untuk penyusunan skripsi oleh mahasiswa jurusan sastra.


        Imran T. Abdullah dkk. (1978 :12) mengatakan bahwa sebagai seorang novelis, Putu Wijaya menempatkan dirinya tak jauh dari kelihaiannya sebagai penulis naskah drama. Dalam prosanya ia cenderung mempergunakan gaya atau metode objektif dalam pusat pengisahannya dan gaya stream of consciousness dalam pengungkapannya. Sementara itu,Jakob Sumardjo (1983 : 133) menyebut Putu Wijaya sebagai tokoh utama sastrawan Indonesia pada dasa warsa 1970-an. Lebih lanjut Jakob mengatakan bahwa Putu Wijaya muncul dan berkembang dalam dekade itu. Dialah sastrawan paling produktif dan paling kreatif pada saat itu. Novel Putu Wijaya juga penuh potongan-potongan kejadian yang padat, intens dalam pelukisan, ekspresif  bahasanya dan  disatukan oleh suasana tema (ibid : 133).
        Sampai saat ini Putu Wijaya masih aktif dalam dunia pementasan, Pada bulan Juni 2010 Putu Wijaya menggelar pementasan Di Yogyakarta untuk mengenang Almarhum W.S  Rendra dengan judul “Kereta Kencana”. sebelumnya “Kereta Kencana” pernah beberapa kali dipentaskan  oleh Almarhum W.S Rendra. Diumurnya yang sudah tidak muda lagi Putu Wijaya masih saja bergulat dengan seni pementasan,ini adalah hal yang luar biasa dari diri seorang Putu Wijaya, ia adalah dramawan dan  sastrawan ternama di negeri ini.

MARSINAH (Cry Justice) /2001


 



















PT GEDAM SINEMUDA PERKASA

MEGARITA
DYAH ARUM
INTARTI
TOSAN WIRYAWAN

Marsinah: Cry Justice adalah sebuah film tahun 2001 yang diproduksi oleh PT Gedam Sinemuda Perkasa, disutradarai oleh Slamet Rahardjo Djarot. Film ini diangkat dari kisah nyata tentang Marsinah, seorang aktivis dan buruh di sebuah perusahaan jam tangan di Sidoarjo yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993.

Skenarionya ditulis oleh Agung Bawantara, Eros Djarot, Karsono Hadi dan Slamet Rahardjo. Eksekutif produser: T.B. Maulana Husni, Direktur fotografi: Yudi Datau, penata artistik: Berthy Ibrahim Lindya, penata suara-editor: Tri Rahardjo, dan penata musik: Djaduk Ferianto.

Film berbiaya sekitar Rp 4. milyar ini sempat menimbulkan kontroversi. Salah satu penyebabnya adalah munculnya permintaan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea yang meminta pemutaran film itu ditunda. Produser film ini juga disomasi oleh mantan Kepala Seksi (Kasi) Intel Kodim 0816/Sidoarjo Kapten (Inf) Sugeng dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik.

Proses pascaproduksi, mulai mixing, penataan audio, hingga pemrosesan film dikerjakan di Bangkok, Thailand.

Pemutaran perdana filim Marsinah (Cry Justice) diselenggarakan di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, pada 3 April 2002. Mulai ditayangkan di bioskop tanggal 18 April 2002

Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter.

Tokoh Marsinah diperankan Megarita, seorang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta sedangkan Mutiari diperankan oleh Diah Arum. Keduanya cukup berhasil menghadirkan adegan-adegan yang bersifat natural dalam film yang berdurasi satu jam 55 menit itu sehingga ciri khas film ini yang kuat dengan nilai true story kian mengental.

Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT. Catur Putra Surya (CPS), film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.

Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknumPKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. aparat militer kerap mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh

Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam Brawijaya.

Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.

Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.

Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.

Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.

Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.




 15 April 2002
Menguak Kisah Marsinah 
Marsinah (Cry Justice)

Sutradara : Slamet Rahardjo Djarot Skenario : Agung Bawantara, Karsono Hadi, Tri Rahardjo, Slamet Rahardjo, Eros Djarot Pemain : Megarita (Marsinah), Diah Arum (Mutiari) Produksi : PT Gedam Sinemuda Production SEKELEBAT gambar hidup, sekelebat jeritan, sekelebat kematian. Marsinah hadir dalam adegan-adegan yang begitu cepat, susul-menyusul berdesakan dengan potongan gambar lain. Dia datang begitu cepat dengan semangat menggebu untuk memperjuangkan kenaikan upah buruh dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 per hari. Dan dia pergi begitu cepat pada suatu malam tanggal 5 Mei 1993 dan tak pernah kembali. Empat hari kemudian, ia ditemukan tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang mengerikan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Tokoh Marsinah dalam rekaan sutradara Slamet Rahardjo Djarot hanya tampil dalam durasi yang begitu pendek. Namun, rohnya hidup hingga akhir film ini. Jika begitu banyak yang memprotes kenapa film ini memberikan porsi yang lebih banyak kepada Mutiari, harus dipahami bahwa penonton (Indonesia) tampaknya masih terbiasa dengan pendekatan biografis, terutama bila sosok yang diangkat sudah menjadi ikon, lambang, atau pahlawan. Film ini pada akhirnya memang hanya mengambil satu cuplikan periode peristiwa yang dimulai dari demonstrasi para buruh PT Catur Putra Surya; disusul kematian Marsinah; pencidukan sembilan orang tertuduh, termasuk Mutiari, kepala personalia per-usahaan itu, yang dianggap sebagai otak pembunuhan; hingga pengadilan para tersangka. Yang membuat film ini layak tonton adalah bagaimana sutradara menyajikan suasana interogasi para tertuduh dengan teknik dokumenter, kamera yang agresif, cepat, dan adegan-adegan yang menggebrak mata. Di sebuah markas militer, para tertuduh itu tampil close-up dalam kondisi "orang-orang yang kalah", basah, menunduk, dan memberikan kesaksiannya kepada penonton tentang apa yang terjadi pada mereka. Slamet kemudian memilih Mutiari sebagai tokoh "jembatan" antara penonton dan subyeknya. 


Kepada penonton tidak disajikan seluruh adegan kekerasan secara telanjang dan verbal. Melalui reaksi Mutiari-yang disekap di ruang sebelah tempat penyiksaan-kita mendengar jeritan-jeritan tokoh Yudi Susanto, Yudi Astono, Karyono, Suwono, Suprapto, Prayogi, Bambang Wuryantoyo, dan Widayat. Secara sugestif, kamera merekam situasi mereka dalam ke-adaan yang paling hina yang tak pernah terbayangkan oleh peradaban mana pun. Justru karena kekerasan sesungguhnya tak divisualkan ("karena saya tak tega," demikian ungkap sang sutradara), efek sugestif itu malah mencekam dan menggerogot. Slamet sama sekali tak menyentuh materi siksaan secara verbal-seperti penis yang diolesi Remason, penyetruman, atau pemaksaan minum air kencing-bukan hanya untuk kemanusiaan. Ini juga menjadi adegan-adegan yang melahirkan gambar yang jitu secara estetis dan sinematik. Dari problem interogasi dan penyiksaan, penonton akhirnya memperoleh pandangan Mutiari atas segala peristiwa. Marsinah pada akhirnya menjadi roh yang mempertanyakan keadilan melalui kesenang-senangan dan rekayasa gila-gilaan dari seluruh kasus ini. Memang ini pilihan yang penuh risiko. Penonton mengharapkan dua hal: kesatu, profil Marsinah sejak kecil hingga ia tewas (dan pendekatan seperti ini punya risiko lain: romantisisme); atau kedua, sebuah investigasi memburu pembunuh Marsinah sebenarnya (pilihan ini akan memaksa Slamet Rahardjo menjadi detektif Sherlock Holmes). Slamet menolak kedua pendekatan itu, seperti halnya dia menolak banyak usul-termasuk ada usul memasang Krisdayanti sebagai pemeran Marsinah. Maka pilihan mengambil Mutiari sebagai sosok "jembatan" untuk memandang ketidakadilan ini berisiko banyak hal: banyak penonton merasa judul film ini tidak tepat karena pada akhirnya Mutiari mengambil begitu banyak porsi. Slamet mengaku berangkat dari data yang tersedia dan dia tak bersedia berspekulasi. Artinya, dia juga tak ingin menghakimi atau menyimpulkan siapa pembunuhnya. Sutradara Oliver Stone juga hanya menampilkan John F. Kennedy beberapa menit-dalam bentuk dokumenter-dalam film JFK dan lebih mengutamakan sosok asisten jaksa. Bedanya, Stone berani bersikap-dengan teori konspirasi yang agak gegabah-tentang pembunuhan JFK. Terlepas dari sikap Slamet yang dianggap terlalu "santun" itu, ada beberapa hal yang perlu dipujikan dalam film ini. 

Pertama, adegan-adegan teknik dokumenter yang penuh sesak. Setiap kali adegan Marsinah, gambar berubah menjadi hitam-putih bak sebuah dokumen yang tengah bercerita. Adegan-adegan kilas balik ini berselang-seling dengan berbagai adegan penyiksaan para tersangka yang disajikan secara sugestif. Kedua, akting para pemainnya-yang sama sekali bukan pemain profesional-yang luar biasa wajar, menyentuh, dan alamiah. Mereka tampil tanpa pupur, lipstik, atau teori akting Stanislavsky yang membebani pundak. Dalam hal ini, baik para pemain maupun sutradaranya layak diberi penghargaan. Ketiga, keberanian Slamet dan timnya untuk menampilkan adegan kekejaman-meski sugestif-sebagian anggota militer. Ini adalah sesuatu yang baru dalam perfilman Indonesia, bahkan pasca-Orde Baru, yang melahirkan film-film komersial, persona yang sama sekali tak menyentuh persoalan sosial dan politik negeri ini. Yang perlu dikritik adalah keengganan Slamet untuk menampilkan Marsinah sebagai manusia biasa. Meski ia sudah telanjur tampil sebagai ikon, dan meski Slamet tak ingin menggunakan pendekatan biografis, penonton tetap ingin tahu sosok Marsinah yang lengkap. Selain aktif memperjuangkan hak buruh dan sibuk bekerja di pabrik, bagaimana kehidupan sehari-harinya? Bagaimana hubungannya dengan keluarganya dan rekan-rekannya? Apa sih hobinya? Di beberapa media, teman-temannya yang diwawancarai sering mengatakan Marsinah senang membaca buku primbon untuk iseng. Kenapa sisi-sisi human seperti ini tak ditampilkan untuk memperlihatkan bahwa ia juga seorang gadis yang memiliki hidup yang wajar? Seorang pahlawan, bagaimanapun hebatnya dia, pasti akan dipandang juga sebagai manusia yang lengkap dengan jiwa dan kegairahannya dengan hidup. Saya yakin, penonton pemuja Marsinah mana pun tak keberatan memandang dia sebagai manusia. Pada akhir film, Slamet melemparkan sebuah pertanyaan untuk republik ini-yang selalu saja terlindas oleh rutinitas sehari-hari, sehingga melupakan satu jiwa yang masih belum jelas pembunuhnya. Pertanyaan itu dilontarkan melalui bibir Marsini ketika para tersangka dibebaskan: "Jika bukan mereka, siapa pelakunya?" Leila S. Chudori

”Marsinah”
Simbol Pencari Keadilan yang Terlupakan

Jakarta, Sinar Harapan
Misteri pembunuhan Marsinah—seorang buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur—tanggal 8 Mei 1993 yang sempat menghebohkan waktu itu dan pelakunya hingga kini belum terungkap diangkat ke layar lebar lewat judul Marsinah (Cry Justice). .

Film berdurasi dua jam yang disutradarai Slamet Rahardjo Djarot itu menggunakan cara bertutur kronologis lengkap dengan tanggal dan tempat kejadian, tak ubahnya seperti film dokumenter. Dibuka dengan adegan unjuk rasa buruh PT CPS, film bergulir dengan adegan penangkapan para buruh dan petinggi PT CPS oleh sejumlah oknum berbaju preman, diselang-seling adegan hitam putih yang menceritakan kilas balik saat Marsinah bersama rekan-rekannya menggerakkan buruh untuk meminta hak mereka.
Seperti yang biasa terjadi di rezim Orde Baru dulu, setiap orang yang diciduk oleh oknum-–sebagai kata ganti aparat militer—mengalami siksaan. Tiga belas orang buruh yang ditangkap, semuanya dituduh PKI, sebuah stigma yang biasa diberikan masa Orde Baru dulu untuk orang-orang yang mengikuti aksi demonstrasi yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional. Tak kurang delapan petinggi PT CPS yang ditangkap tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodim Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. 


Awalnya mereka semua mengelak terlibat, tapi akibat siksaan yang tiada henti, satu per satu akhirnya terpaksa mengakui perbuatan yang sebenarnya tidak mereka lakukan. Mutiari yang sedang hamil muda pun, tak urung keguguran saat diinterogasi.
Menyadari istrinya hilang, suami Mutiari, Hari Sarwono mencari istrinya ke mana-mana. Mulai dari pabrik PT CPS hingga ke kantor polisi setempat. Bisa ditebak, hasilnya nihil. Dari informasi yang diperoleh dari seorang karyawan PT CPS, Hari mengetahui kalau istrinya dibawa oknum tak dikenal. Hari lalu mendatangi LBH Yayasan Persada Indonesia, Surabaya untuk mencari bantuan. Sementara itu, keluarga Hari merasa malu atas pemberitaan media mengenai pelaku pembunuhan Marsinah yang mengarah pada Mutiari dan rekan-rekannya, meminta Hari untuk menceraikan Mutiari.
Hari yang yakin istrinya tidak bersalah, menolak permintaan keluarganya dan semakin getol mencari bantuan. Tak tanggung-tanggung, Hari mendatangi SCTV Surabaya untuk menceritakan istrinya yang hilang. Di situ Hari juga mengungkapkan oknum yang terlibat dalam penangkapan istrinya, yang diduganya sebagai anggota militer. Berita seputar terbunuhnya Marsinah dan penangkapan karyawan PT CPS yang semakin gencar membuat aparat militer panik. Apalagi Hari bermaksud mempraperadilankan aparat atas penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai prosedur.
Aparat balik menekan Mutiari dan mempercepat proses pemeriksaan, dipindahkan ke tahanan Polda Jawa Timur hingga akhirnya Mutiari dipaksa menandatangani BAP dan diajukan ke pengadilan sebagai tersangka. Karena keburu diajukan ke pengadilan, gugatan pra peradilan gugur dan sidang Mutiari digelar lebih cepat dibandingkan rekan-rekannya yang lain sebagai ”hukuman” karena suaminya bersikeras mempraperadilankan aparat.
Sisa film dipenuhi dengan adegan pengadilan Mutiari dan rekan-rekannya yang divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, sampai mereka mengajukan banding dan kasasi ke MA yang membebaskan mereka karena tidak cukup bukti. Sementara pembunuh Marsinah yang sebenarnya tak pernah terungkap. Film diakhiri dengan adegan adik Marsinah, Marsini, yang menangis sambil menatap tumpukan majalah dan koran yang dipenuhi berita Marsinah mempertanyakan siapakah yang sebenarnya membunuh kakak kandungnya.

Dokumenter
Film yang berjudul Marsinah ini boleh dibilang telah lama ditunggu. Ada sepercik harapan untuk menyaksikan kisah perjuangan Marsinah yang menjadi bahan pembicaraan beberapa tahun lampau. Namun ternyata, Slamet Rahardjo tidak memberi porsi penuh pada Marsinah. Alih-alih, ia malah menggambarkan perjuangan Mutiari, mantan tersangka utama pembunuh Marsinah, untuk memperoleh keadilan. Tokoh Marsinah hanya muncul dalam cerita kilas balik yang digambarkan hitam-putih.
Penonton tidak diberi pengantar yang cukup untuk mengetahui sosok Marsinah dan apa yang membuatnya sampai tewas terbunuh, sehingga kematiannya memang perlu dijadikan bahan renungan. 

Penonton hanya disuguhi adegan Marsinah terbunuh, divisum dan dikuburkan hingga sempat dibongkar lagi untuk diperiksa ulang. Mengingat kurun waktu yang cukup lama dari peristiwa yang terjadi hampir 10 tahun lampau, kata pengantar agaknya diperlukan, apalagi bagi penonton yang ketika itu belum mengikuti peristiwa tersebut sehingga harus meraba-raba peristiwa yang terjadi.
Yang patut dipuji adalah keberanian sang sutradara mengungkap oknum alias aparat yang terlibat. Tanpa menyebut nama, sutradara cukup jelas memberikan gambaran siapa pihak yang berwenang saat itu. Selain itu, akting dan wajah para pemain yang notabene pemain baru, juga cukup lumayan. Sayangnya, hingga akhir film usai pertanyaan besar mengenai perjuangan Marsinah tak pernah terungkap.

Simbol Perjuangan
Disinggung mengenai peran Mutiari yang lebih dominan dalam film ini dibandingkan Marsinah, Slamet Rahardjo mengatakan dirinya memang sengaja ingin menjadikan Marsinah sebagai idiom bahwa Marsinah adalah identik dengan semangat kebebasan, keadilan serta sendi-sendi kehidupan yang saat itu tiba-tiba menjadi beku.
”Marsinah bukan lagi nama gadis desa atau pejuang buruh tetapi telah menjadi idiom permasalahan kita semua. Kebesaran nama Marsinah tidak perlu diungkapkan oleh dirinya sendiri tapi bisa lewat orang lain yaitu Mutiari. Angle yang ingin saya angkat adalah seperti itu dan bukan membuat film biografi,” tandas Slamet usai pemutaran film perdana Marsinah (Cry Justice) di gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Rabu malam lalu (3/4).
Kesan film ini terkesan berat sebelah karena kurang mengungkapkan informasi dari sisi aparat keamanan, juga dibantah Slamet. Menurutnya ia sudah berusaha mengungkap apa adanya sesuai data yang timnya peroleh, sementara pihak militer seperti yang terungkap dalam persidangan selalu membantah telah melakukan kesewenang-wenangan. 
”Ini adalah film nonfiksi, dialognya dan jalan ceritanya nggak boleh ngarang. Saya memang sengaja tidak menyinggung orang terlalu berat dalam film ini, tapi ada indikasi jika saat itu terjadi komando tunggal,” sahut Slamet yang mengaku tidak takut dan tidak pernah mendapat tekanan selama pembuatan film ini. Apalagi sebelum pembuatan film ini, bersama PT Gedam Sinemuda Perkasa yang memproduksi film ini, dia sudah sowan ke berbagai pejabat militer.
Sesuai jadwal semula, film yang telah dinyatakan lulus sensor ini akan mulai ditayangkan di jaringan Bioskop 21 Jakarta mulai tanggal 18 April mendatang. Setelah itu, Marsinah akan preview dan diputar di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya.
Soal pembuatan film yang cukup lama hingga 2 tahun, tak lain karena masalah dana yang terbatas. ”Maklum saja kami kerja tanpa sponsor,” cetus produser Gusti Randa yang mengaku belum memiliki target jumlah penonton film ini. 

”Marsinah” Digugat, Pemutaran Filmnya Ditunda
Jakarta, Sinar Harapan
Pro dan kontra seputar pemutaran film Marsinah (Cry Justice) semakin berlanjut. Setelah mendapat kritikan dari beberapa pihak, termasuk Menakertrans, Jacob Nuwa Wea, produser film ini juga disomasi oleh mantan Kepala Seksi (Kasi) Intel Kodim 0816/Sidoarjo Kapten (Inf) Sugeng dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Meski demikian, produser Marsinah (Cry Justice) Gusti Randa mengaku tak gentar. Gusti mengaku hingga kini belum mendapat tembusan somasi seperti yang diutarakan Sugeng melalui kuasa hukumnya, Sunarno Edi Wibowo.

Saya belum menerima somasi dan belum dihubungi sama sekali oleh pengacaranya. Saya justru heran, somasi belum diterima kok beritanya sudah ada di mana-mana. Jadi yang melakukan pencemaran nama baik itu saya atau dia?” tandas Gusti Randa saat dihubungi SH per telepon di bandara Soekarno Hatta Jakarta sebelum terbang ke Surabaya melakukan preview film Marsinah, Selasa siang kemarin (22/4).
Seperti ditulis detikcom hari Sabtu kemarin Sunarno menyatakan akan melayangkan surat somasi ke PT Gedam Sinemuda Perkasa (GSP) yang memproduseri film Marsinah (Cry Justice). Pihaknya meminta agar film yang menceritakan kasus pembunuhan buruh PT Catur Putra Surya yang hingga kini masih misterius itu ditarik dari peredaran. PT GSP dituduh telah mencemarkan nama baik kliennya karena sebelum film itu dibuat, Sugeng tidak pernah dihubungi baik oleh pihak produser maupun sutradaranya Slamet Rahardjo Djarot.
Sugeng yang pada saat terjadinya kasus pembunuhan Marsinah tahun 1993 masih berpangkat Kapten yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Dia telah menyekap Marsinah di ruang kerjanya, sebelum akhirnya mayat Marsinah ditemukan di hutan di Nganjuk. Menurut Sunarno, Sugeng yang sudah tiga kali diperiksa di Polda Jatim, hingga kini belum terbukti secara hukum. Dalam surat somasi juga disebutkan, Sunarno juga mengundang PT GSP untuk membicarakan masalah tersebut secara baik-baik. Jika tidak, mereka sepakat untuk mengajukan gugatan perdata maupun pidana.
Atas tuduhan ini, Gusti mengakui pihaknya memang tidak menghubungi Sugeng sebelum film ini dibuat. ”Karena film ini tidak menceritakan tentang dia (Sugeng). Dia hanya muncul sebatas figuran,” kilah Gusti yang berencana akan menemui Sunarno setibanya di Surabaya untuk menjernihkan permasalahan ini.

Tidak Ingin Memojokkan
Dikatakan Gusti, pembuatan film ini memang tidak bermaksud untuk menyebut nama atau memojokkan orang-orang yang terlibat, dalam hal ini aparat kepolisian dan militer. Bahkan sejak awal pembuatan film ini, Gusti bersama Slamet sudah menemui Kapuspen TNI saat itu Marsda Graito Usodo dan Pangdam Diponegoro (saat itu) Letjen TB Silalahi yang lantas memberikan izin pembuatan film ini dengan syarat tidak boleh trial by film, tetap memegang asas praduga tak bersalah dan kemasan film tidak boleh provokatif. Lokasi syuting film juga tidak bisa dilakukan di tempat aslinya sehingga tim produksi harus membuat set baru di Yogyakarta.
Saat pemutaran perdana film ini awal bulan lalu, keduanya juga diundang tetapi tidak ada satu pun yang hadir. Mengenai ketidakhadiran mereka ini, Gusti juga enggan berkomentar. ”Saya nggak mau berandai-andai. Mungkin saja mereka sibuk,” sahutnya.
Atas somasi ini, Gusti menyatakan dirinya tidak merasa cemas. Malah secara bergurau dia mengatakan hal ini bisa menjadi publikasi gratis untuk filmnya. ”Saya dulu sempat bercanda dengan Mas Slamet, bagaimana caranya menekan bujet produksi tapi meningkatkan bujet publikasi. Eh ternyata, ini yang terjadi. Saya bilang sama Mas Slamet, ya sudah tidak usah pakai publikasi karena kita sudah terpublikasi,” cetusnya sembari tertawa.

Kritik Pedas
Sebelum keberatan yang diajukan Sugeng, sesungguhnya film ini sudah banyak menerima kritikan pedas. Misalnya saja dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwawea dan Ratna Sarumpaet. Secara garis besar mereka menyatakan bahwa isi film tidak sesuai dengan judulnya, tidak berani menyatakan aparat militer yang bersalah dan meminta agar film itu ditunda pemutarannya.
Belum jelas apakah kritikan ini yang membuat film Marsinah tak diputar di jaringan bioskop 21 sesuai rencana tanggal 18 April kemarin. ”Bukan takut, yang berhak menetapkan film itu layak edar atau tidak kan LSF. 


Film saya jelas sudah lolos sensor. Kebetulan tanggal itu film belum siap karena masih menjalani pasca produksi di Bangkok,” jelas Gusti yang ingin menampung semua pro dan kontra mengenai film ini sebelum jadi diputar.
Selain itu, Gusti juga tidak ingin dengan diputarnya film ini, dirinya justru dibenturkan oleh pihak-pihak yang selama ini menunggangi kasus ini. Siapakah pihak-pihak yang menunggangi? Gusti tak mau menjawab jelas. ”Macam-macam. Saya dibenturkan dengan buruh, dengan TNI, padahal film ini belum beredar,” cetus aktor yang melejit tahun 1980-an dan kini terjun menjadi pengacara profesional. Gusti juga tidak ingin filmnya ini nanti dikait-kaitkan dengan keinginan Komnas HAM untuk membuka kembali kasus ini. ”Saya tidak mau film saya jadi bahan referensi,” tandasnya.
Ditanya kapan film itu akan diputar di bioskop, Gusti belum bisa menjawab pasti. Bahkan dia mengaku jika kesimpulan yang didapatnya nanti negatif, alias banyak orang yang mengatakan filmnya jelek, ada kemungkinan filmnya tak akan diputar sama sekali. ”Buat apa saya membuat kopi film banyak-banyak kalau tidak ada orang yang mau menonton. Kalau memang banyak yang menentang, ya berarti selera orang Indonesia cuma sampai di situ, daripada menonton film yang memperjuangkan keadilan mereka lebih senang film yang menjual mimpi,” tandas Gusti yang mengaku sejak awal tak pernah membayangkan filmnya bakal meraih tanggapan sebesar ini.

KASMARAN / 1987

KASMARAN


Sutra sangat dihantui oleh ketidak perawanan Ayu, bahkan sampai lima tahun usia perkawinannya, meski Ayu sudah berterus terang apa adanya. Akibatnya Sutra sukar berhubungan seks dengan istrinya. Kebetulan juga Ayu berjumpa dengan teman lamanya, Manaseh (Agust Melaz). Sutra semakin curiga dan suasana kejiwaannya makin tidak labil. Ia sendiri juga punya hubungan dengan Rhoda darsono(Ira Wibowo) yang sangat posesif cintanya hingga sudah sampai pada tiongkat meresahkan. Sutra yang hanya ingin bersenang-senang saja. Sayang film ini bukan film Psikologis tapi film kriminal. Pada puncak keadaan Ayu yang tak tahan lagi, justru Sutra sadar atas kesalahannya. Pada saat itulah Sutra terbunuh. Makanya film ini menjadi ajang penyelidikan siapa pembunuhnya lewat interograsi panjang polisi baik secara sendiri-sendiri ataupun memperhadapkan semua saksi. ternyata Rhoda lah pembunuh itu.
 P.T. MULTI PERMAI FILM

IDA IASHA
DWI YAN
IRA WIBOWO
ROSSY S. DRADJAT
AUGUST MELASZ
RACHMAT HIDAYAT
AFRIZAL ANODA
ROBERT SYARIEF
TATTY RODIAH
EKA GANDARA
SYLVIA WIDIANTONO
NANI SOMANEGARA