Tampilkan postingan dengan label TURINO DJUNAIDY 1951-1991. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TURINO DJUNAIDY 1951-1991. Tampilkan semua postingan

Kamis, 29 April 2021

BERNAFAS DALAM LUMPUR / 1991

BERNAFAS DALAM LUMPUR 


Film ini hampir sama dengan tahun 1970 yang di bintangi Suzzana dan sama terrkenal dengan judul yang sama juga. BERNAFAS DALAM LUMPUR / 1970


Supinah, kemudian bernama Yanti (Meriam Bellina) terpaksa meninggalkan anaknya di kampung untuk mencari suaminya yang sudah lama berusaha di Jakarta. Harapannya pupus ketika tahu suaminya sudah menikah lagi, dan malah mengusirnya. Terlunta-lunta di kota ia terperangkap masuk jaringan perdagangan wanita. Pertemuannya dengan Budiman (Rano Karno), anak orang berada yang bertaruh dengan kawan-kawannya agar membawa pacar pada suatu pesta, adalah awal dari perubahan perjalanan hidup Supinah. Lewat liku-liku peristiwa yang dialami Supinah (tekanan germo) dan Budiman (tekanan orangtua), Budiman akhirnya mengejar ke kampung dan mengajaknya menikah. Yanti meninggal. 
#filmindonesia #filmjadul #filmlawas #bernafasdalamlumpur
MERIAM BELLINA
RANO KARNO
FAROUK AFERO
TURINO DJUNAIDY
NINA MARTINI
NYOMAN AYU LENORA
PHIRDHANIE REKSA
USBANDA
HIDAYAT
ABDUH MURSID
SALIM BUNGSU
HENKY SOLAIMAN

Rabu, 09 Februari 2011

TURINO DJUNAIDY 1951-1991



Nama :Teuku Djuned
Lahir :Padang Tiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927
Wafat :Jakarta, 8 Maret 2008
Pendidikan :
Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943),
Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo

Selama ini dikenal sebagai pendiri PT Sarinande Film pada saat dunia film dilanda kelesuan pada 1960-an. Turino aktif memproduksi film, dan sampai awal 1978 sudah memproduksi lebih dari 30 film. Turino juga aktif dalam organisasi seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) dan Yayasan Naional Festifal Film Indonesia (YFI).

Buku Katalog Film Indonesia 1926--2007 yang disusun JB Kristanto mencatat, film garapan Turino Djunaidy ini Bernafas dalam Lumpur sebagai film Indonesia pertama yang menonjolkan seks, perkosaan, dan dialog-dialog kasar

Minat kepada film dimulai ketika ia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih tahun 1949, ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A. Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati tahun 1950, Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Perusahaan dagang G.A.F. Sang Saka yang di dirikannya di awal 1950-an diubahnya menjadi perusahaan pembuat film. Produksi pertamanya film Pulang tahun 1952. film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954. Dalam semua film tadi ia bermain sebagai pemain utama. Dalam film Sri Asih, Turino merangkap sebagai sutradara. Bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Kemudian ia bermain dalam perusahaan film lain antara lain, Oh Ibuku tahun 1955 dan Taman Harapan tahun 1957. Turino kemudian mendirikan perusahaan P.T Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng tahun 1959 yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Filmnya Bernafas dalam Lumpur ditahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu namun film-filmnya yang kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya.

Dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak tahun 1973 mengadakan FFI setiap tahun. 

Pada hari Sabtu, 8 Maret 2008, Turino Djunaedi manghembuskan nafas terakhirnya akibat stroke, jenazah dimakamkan keesokan harinya di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Turino Djunaedi akan selalu dikenang sebagai perintis industri perfilman nasional.

Tokoh paripurna perfilman Indonesia, Turino Djunaedi, meninggal dunia Sabtu 8 Maret 2008 pukul 20.55 pada usia 80 tahun di RS Setia Mitra, Jakarta. Aktor film, sutradara, produser, penulis cerita dan skenario film, kelahiran Padang Tiji, Nanggroe Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, itusudah lama menderita sakit karena stroke.

Jenazah tokoh pembangkit perfilman nasional itu disemayamkan di rumah duka Jalan Gaharu I No 26 Cipete, Jakarta Selatan, dan dimakamkan Minggu 9 Maret 2008 pukul 13.00, di pemakaman keluarga di Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor.

Kolega seangkatannya, sutradara H Misbach Yusa Biran (74), mengatakan, Turino, bersama tokoh lain seperti Usmar Ismail, adalah perintis industri film nasional setelah era kemerdekaan.

Peraih penghargaan Lifetime Achievement Award dalam Festival Film Asia Fasifik di Jakarta, 2001dan Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri, 2004, itu menguasai hampir semua profesi di bidang perfilman, mulai dari aktor, penulis skenario, sutradara, hingga produser.

Turino telah terjun ke dunia film sejak tahun 1950 dengan bermain dalam film Meratap Hati produksi perusahaan film Golden Arrow. Minatnya kepada film bermula saat dia mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Lalu dia tertarik pada film Indonesia ketika untuk pertama kalinya menionton film Indonesia Menanti Kasih, yang di bintangi A. Hamid Arief, tahun 1949.

Setelah itu Turino berangkat ke Jakarta dalam upaya mendapatkan film-film Indonesia. Tetapi sedampai di Jakarta, dia malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Sejenak dia ragu dan bingung sebelum akhirnya menerima tawaran itu. Itulah awalnya dia bermain film, ikut membintangi film Meratap Hati tahun 1950. Kemudian berlanjut pada film Seruni Layu tahun 1951 dan Si Mientje tahun 1952.

Dalam rangka menunjang karir, perusahaan dagang GAF yang didirikannya pada awal 1950-an diubah menjadi perusahaan pembuat film. Selain sebagai produser, dia juga berperan sebagai pemain utama dalam produksi pertamanya, film Pulang tahun 1952. Begitu juga dalam produksi film berikutnya yakni film Rentjong dan Surat tahun 1953, film Sri Asih tahun 1954 dan film Kopral Djono tahun 1954.

Tokoh paripurna dalam profesi perfilman itu, telah pula merangkap sutradara sejak (dalam) film Sri Asih. Dalam film ini, Turino bermain bersama Mimi Mariani yang kemudian menjadi istrinya. Beberapa film dia bintangi dan sutradarai. Kemudian dia mendirikan perusahaan PT Sarinande Film pada tanggal 13 Desember 1959. Produksi pertama Sarinande Film ini adalah Iseng (1959). Film Iseng ini mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein.

Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai tahun 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Salah satu filmnya yang paling terkenal dan tentu telah menghasilkan uang yang besar adalah Film Bernafas dalam Lumpur (1970 dan 1991) 

Turino Djunaedi yang bernama ssli Teuku Djuned, itu juga dikenal sebagai salah satu pendiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Dia juga berperan dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia yang sejak tahun 1973 mengadakan FFI hampir setiap tahun.


KEBANGKITAN ORDE BARU, KANGKITAN FILM KEKERASAN, MISTIK DAN SEX
“Pembuat film pada periode [Orde Baru] tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kreativitas mereka, jadi mereka duduk dengan tenang dan berjuang melawan sistem represif melalui film. Kejahatan dan sifat penghancur yang ditunjukan dalam film dapat dilihat sebagai simbolisme dari pemerintah Orde Baru sendiri.”

Demikian kutipan yang disarikan Ekky Imanjaya berdasarkan wawancara dengan Imam Tantowi, sineas yang kerap terlibat dalam pembuatan film eksploitasi sepanjang tahun 1980-an. Tantowi mengawali debut sutradaranya melalui film Pasukan Berani Mati (1982). Sebelumnya, pernah juga terlibat dalam pembuatan Primitif (1980) dan Jaka Sembung Sang Penakluk (1981) sebagai penulis naskah.

Ekky Imanjaya melalui makalah “The Other Side of Indonesia: New Order’s Indonesian Exploitation Cinema as Cult Films” yang dipublikasikan dalam jurnal Colloquy (2009, hlm.146) menyebut film-film garapan Tantowi cukup populer di Australia, Eropa, dan Amerika Serikat. Distribusinya ditempuh melalui kanal khusus film-film kelas B. Kali pertama dilepas ke pasar internasional, film-film tersebut belum diketahui klasifikasi atau genrenya.

Lama-kelamaan, distributor film asing dan penonton di negara-negara Barat menemukan kesamaan antara film eksploitasi dengan film-film buatan orang Indonesia. Menurut pemaparan Imanjaya, film eksploitasi yang dimaksud meliputi film dengan anggaran rendah, menonjolkan sisi sensasional dengan mengumbar seks, ketelanjangan, kejahatan, dan kekerasan. Tidak jarang, film jenis ini juga mempertontonkan penggunaan narkoba, orang-orang aneh, darah, monster, perusakan, pemberontakan, dan kekacauan.

Indonesia pernah menyaksikan zaman keemasan film-film semacam itu. Dimulai sejak Orde Baru mulai berkuasa, film eksploitasi mencapai puncak kejayaan pada dekade 1980-an. Pesonanya mulai menghilang tatkala persaingan dengan televisi semakin sengit dan industri film mengalami mati suri sampai tamatnya Orde Baru.

Ditolak di Negeri Sendiri

Jenis film yang dipaparkan Imanjaya sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Kecenderungan ini sudah muncul sejak tahun 1968. Kala itu, sutradara Turino Djunaidy pernah bereksperimen dengan sedikit unsur seks dan kekerasan melalui film Djakarta, Hong Kong, Macao. Jika film tersebut bisa disebut film eksploitasi, artinya film genre ini menjamur seiring dengan kemunculan pemerintahan Orde Baru.

Pada praktiknya Orde Baru memiliki kebijakan sensor yang cukup membingungkan bagi sebagian sineas. Di satu sisi, otoritas sensor mengizinkan pemanfaatan unsur-unsur seks dan kekerasan ringan, namun di sisi lain sangat keras mengatur kritik dan pertunjukan yang mempertentangkan kelas sosial. Ditambah lagi, kebijakan yang sering berubah-ubah tidak jarang membuat produser film sering merugi.

Tidak heran jika pada akhirnya dunia perfilman pada periode 1970-an mulai kedatangan tema-tema baru yang terkesan menentang nilai-nilai normatif. Agar bisa terus menjual karya-karyanya, sebagian sineas merasa perlu mengeksploitasi rasa takut, birahi, hingga perasaan jijik. Semuanya dibawakan dengan dalih menjunjung film sebagai alat pendidikan.

Pada 1970, istilah seksploitasi dalam film mulai diperdebatkan di muka publik. Musababnya adalah penggambaran seks dan kata-kata cabul dalam film buatan Turino Djunaidy yang berjudul Bernafas dalam Lumpur. Selang tiga tahun kemudian, film arahan penulis dan sutradara Ali Shahab yang berjudul Bumi Makin Panas kembali mengangkat tema serupa.

 Puncaknya pada 1978, Sisworo Gautama Putra yang kelak tenar berkat mengarahkan film-film horor Suzanna, berhasil menghebohkan publik melalui film garapannya yang berjudul Primitif. Kontroversi timbul akibat tema kanibalisme dan kemunduran peradaban yang menjadi tema sentral film tersebut. Orang-orang film pun saling berdebat hingga membawanya sampai ke acara Festival Film Indonesia 1978.

“Adegan-adegan sex tahun ini relatif berkurang dalam hal penyajian yang menyolok [...] film yang mengemukakan cerita tentang kekerasan dan sadisme dan semacamnya tahun ini meningkat,” kata Rosihan Anwar dalam laporannya pada FFI 1978 yang dikutip Tempo (20/5/1978).

Sebelumnya, kecaman serupa sudah pernah diutarakan oleh kelompok seniman film idealis dalam FFI 1977. Mereka menganggap film dalam negeri sudah tidak ada lagi yang berwajah Indonesia karena semuanya penuh dengan ciri eksploitasi naluri rendah manusia. Catatan Taufiq Ismail yang dikumpulkan Tempo (12/3/1977) menyebut keberatan itu beralasan karena sebanyak 40 persen film Indonesia saat itu memang bertutur tentang prostitusi dan kriminalitas.

Bagi sebagian kritikus dan otoritas sensor Orde Baru, film eksploitasi sering kali tidak dianggap bagian Film Indonesia. Ekky Imanjaya kembali menyoroti masalah ini melalui makalah berjudul “Mondo Macabro as Trashy/Cult Film Archive: The Case of Classic Indonesian Exploitation Cinema yang terbit di jurnal Plaridel (2018, hlm.116).

Ia menuliskan: “Pemerintah Orde Baru dan elit budaya Indonesia selalu berusaha untuk mengecualikan film eksploitasi lokal dari wacana konsep sinema nasional dan budaya film nasional, karena mereka percaya film harus mewakili budaya sejati Indonesia, menggambarkan wajah asli Indonesia, dan menyinggung masalah pendidikan dan budaya”.

Menentang Gelombang Pasang

Perasaan ganjil saat menonton film eksploitasi pernah diutarakan oleh Eros Djarot dalam Kompas (16/1/1983). Ia mengaku sangat kesal saat menyaksikan film Nyi Blorong (1982) arahan Sisworo Gautama Putra. Menurutnya, film tersebut “tidak lebih dari usaha menggalakan kembali kepercayaan pada takhyul yang bersifat membodohkan masyarakat.”

Eros Djarot lantas melanjutkan uraiannya dengan menyinggung anjuran pembuatan Film Kultural Edukatif yang pertama kali disinggung oleh kelompok budayawan sekitar tahun 1979. Usulan ini didukung oleh pemerintah yang kemudian merilis Pedoman Sensor Film dan Kode Etik Produksi Film Nasional tahun 1981. Menurut penjelasan yang dipaparkan Novi Kurnia, dkk., dalam Menguak Peta Perfilman Indonesia (2004, hlm.57), langkah ini dinilai dapat meningkatkan kualitas produksi film dalam negeri.

Kode etik produksi 1981 berisi instruksi kepada setiap pembuat film agar mengedepankan tema sentral yang berlatar budaya dan kondisi sosial Indonesia. Peraturan yang dirancang melalui Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional tanggal 4-8 Mei 1981 ini secara tidak langsung juga mengatur representasi visual dan dialog film yang bermuatan nilai-nilai religius dan disiplin nasional.

Bukan kebetulan jika semenjak kode etik produksi 1981 diberlakukan, film-film bertema sejarah, legenda, dan horor bermunculan bak jamur di musim hujan. Alih-alih membuat film yang sarat akan nilai-nilai yang disarankan pemerintah, sineas yang berkecimpung dalam pembuatan film komersial memilih mengeksploitasi tema-tema lokal menggunakan cara mereka sendiri. Tidak jarang, mereka memberlakukan cara-cara brutal dengan cara menjiplak film-film asing yang disesuaikan dengan selera lokal.

Dalam Indonesian Cinema: National Culture on Screen (1991, hlm. 40-41), Karl G. Heider mencoba mengklasifikasikan genre atau jenis film komersial yang populer pada periode 1980-an. Selain legenda dan horor, ada pula genre kompeni, genre periode Jepang, dan genre perjuangan. Kelimanya sering menjadi tema dasar pembuatan film eksploitasi Indonesia.

Perusahaan Rapi Film menjadi salah satu rumah produksi yang paling sering memproduksi film-film yang diklasifikasikan Heider. Pada titik ini gambaran tentang keganjilan praktek perdukunan yang berdarah-darah acap kali dipertontonkan untuk mendukung premis kebaikan agama mengalahkan ilmu hitam. Sebut saja seperti tokoh kyai dalam Pengabdi Setan (1980) atau tokoh pendeta yang muncul dalam Ranjang Setan (1986).

Selain itu, ada pula genre periode Jepang yang kemudian berkembang menjadi medium untuk membawakan tema penyekapan dan penyiksaan terhadap perempuan. Seperti yang tampak pada Tujuh Wanita dalam Tugas Rahasia (1983), Kamp Tawanan Perempuan (1983), dan Perawan di Sarang Sindikat (1986). Pada jenis film ini bentuk kejahatan itu ada pada kubu penjajah dan organisasi kriminal yang digambarkan gemar menyiksa, melecehkan, dan menyekap perempuan.

Apabila argumen yang dikemukakan Imam Tantowi sebelumnya memang berlaku umum, maka film eksploitasi barangkali memang sangat ampuh mengakomodasi kekesalan sineas yang mengaku kesulitan menyalurkan ekspresi kesenian di bawah tekanan politis Orde Baru. Sebagai bentuk pemberontakan, tokoh dan bentuk-bentuk kekuatan penghancur dalam film dibuat sebagai bentuk simbolis kekuatan politik Soeharto.


Tokoh perfilman nasional yang dikenal membangkitkan perfilman Indonesia pada era 1970-an, H Turino Junaidy, wafat pada usia 80, di RS Setia Mitra Jakarta, Sabtu (8/3) malam, pukul 21.00 WIB.

Lahir di Padangtiji, Nangro Aceh Darussalam, 6 Juni 1927, sebelum terjun ke dunia film, namanya adalah Teuku Djuned. Tetapi, seperti banyak orang yang mengganti nama setelah terjun sebagai pemain film, ia pun menggganti namanya dan menjadi lebih dikenal dengan nama Turino Junaedi. Sebagai orang Aceh, Turino pernah menjadi ketua umum Taman Iskandar Muda, organisasi masyarakat Aceh se-Jabotabek.
Minat kepada film dimulai ketika Turino mengedarkan film-film Mesir di Sumatera. Ketika untuk pertama kalinya ia melihat film Indonesia Menanti Kasih (1949), ia langsung tertarik kepada film yang di bintangi A Hamid Arief itu. Lalu Turino mencoba mendapatkan film-film Indonesia di Jakarta. Sampai di Jakarta malah ditawari bermain film oleh perusahaan Golden Arrow. Tawaran itu diterimanya dengan rasa bingung. Dan bermainlah ia dalam film-film Meratap Hati (1950), Seruni Layu (1951), dan SiMientje (1952). Ketertarikannya pada industri film membuat pria itu mengalihkan usaha yang ia miliki. Perusahaan dagang GAF Sang Saka yang ia dirikan di awal 1950-an menjadi perusahaan pembuat film.

Selain sebagai produser, dalam semua produksi filmnya ia bermain sebagai pemain utama. Filmnya Bernafas dalam Lumpur yang dibintangi oleh Suzanna dan (alm) Farouk Affero di tahun 1970 telah menghasilkan uang yang besar saat itu. "Kesuksesan film itu dianggap menjadi titik kebangkitan film Indonesia saat itu yang sebelumnya didominasi film impor," ungkap pengamat film Yan Wijaya. Namun film-filmnya yang ia produksi kemudian tidak dapat lagi mengulang sukses, sekalipun keuntungan tetap diperolehnya. Diapun dikenal menjadi pengusaha film yang sukses dengan bendera Sarinande Film.

Produksi pertama Sarinande adalah Iseng (1959) yang mengorbitkan nama pelawak Alwi dan Oslan Hussein. Sarinande telah memproduksi lebih dari 40 judul film sampai 1980. Turino juga membimbing Pembantu Sutradara seperti Has Manan, Bay Isbahi dan Arizal. Turino dikenal sebagai pelopor kebangkitan film nasional pada 1970-an dengan menyutradarai dan memproduseri film Bernafas Dalam Lumpur, Petualang Cinta, dan Selangit Mesra. Pada 1995, Turino masih memproduseri film And The Moon Dances yang disutradari Garin Nugroho. "Dia adalah orang yang sangat komitmen pada dunia film. Di usia tuanya ia tetap ingin menjalankan dan menggeluti bisnis perfilman," ungkap Garin.

Turino juga dikenal sebagai direktur, produser, sutradara, penulis PPFI (Perhimpunan Produser Film Indonesia). Kemudian dalam Yayasan Nasional Festival Film Indonesia. Yayasan ini sejak 1973 mengadakan FFI setiap tahun. Pada 2001, almarhum mendapat penghargaan Lifetime Achievement Award dalam ajang Festival Film Asia Pasific yang diadakan di Jakarta. Saat menerima penghargaan pria yang pernah mengecap pendidikan film di Kursus Radio Telegrafis di Medan (1943), dan Sinematografi dan Produksi Film di Tokyo, sudah sakit. Sehingga, ketika maju ke atas panggung harus dipapah oleh dua orang.
 
Berdasarkan Keppres No 016/TK/2004 tertanggal 13 April 2004, oleh Presiden Megawati Soekarnoputri Turino meraih penghargaan Satya Lencana Wirakarya, bersama dengan tokoh film lainnya seperti Soetarto RM dan Njoo Han Siang.


MEREBUT KASIH 1951 A. CANON
Actor
NODA TAK BERAMPUN 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MANIS JEMBATAN ANCOL 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1991 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BERNAFAS DALAM LUMPUR 1970 TURINO DJUNAIDY
Director
SELANGIT MESRA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
PETUALANG CINTA 1978 TURINO DJUNAIDY
Director
BELAIAN KASIH 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
ANTARA TIMUR DAN BARAT 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
MERATAP HATI 1950 RD ARIFFIEN
Actor
PULANG 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
KABUT ASMARA 1994 TORRO MARGENS
Actor
KABUT BULAN MADU 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
PAHIT-PAHIT MANIS 1952 L. INATA
Actor
KOPRAL DJONO 1954 BASUKI EFFENDI
Actor
AKHIR SEBUAH IMPIAN 1973 TURINO DJUNAIDY
Director
HANTJURNYA PETUALANG 1966 TURINO DJUNAIDY
Director
PEMBALASAN 1951 A. CANON
Actor
TAKDIR MARINA 1986 WAHAB ABDI
Actor
KEKASIHKU IBUKU 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
OH, IBUKU 1955 ALI YUGO
Actor
ISENG 1959 TURINO DJUNAIDY
Director
DJAKARTA - HONGKONG - MACAO 1968 TURINO DJUNAIDY
Director
MAUT MENDJELANG MAGRIB 1963 TURINO DJUNAIDY
Director
KRISIS X 1975 TURINO DJUNAIDY
Director
GANASNYA NAFSU 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
SORGA 1977 TURINO DJUNAIDY
Director
SI MIENTJE 1952 BASUKI EFFENDI
Actor
SRI ASIH 1954 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
PUTERI REVOLUSI 1955 ALI YUGO
Actor
1000 LANGKAH 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
LIKU-LIKU PANASNYA CINTA 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
OPERASI HANSIP 13 1965 TURINO DJUNAIDY
Director
PACAR 1974 TURINO DJUNAIDY
Director
AKU DAN MASJARAKAT 1951 MHD A. CANON
Actor
RENTJONG DAN SURAT 1953 BASUKI EFFENDI
Actor
LORONG HITAM 1971 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH TAK SAMPAI 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
KASIH DIAMBANG MAUT 1967 TURINO DJUNAIDY
Director
SERUNI LAJU 1951

Actor
PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN 1926 TURINO DJUNAIDY
Director
ORANG-ORANG LIAR 1969 TURINO DJUNAIDY
Director
INTAN BERDURI 1972 TURINO DJUNAIDY
Director
GADIS DISEBERANG DJALAN 1960 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
DETIK-DETIK BERBAHAJA 1961 TURINO DJUNAIDY
Director
HADIAH 2.OOO.OOO 1962 TURINO DJUNAIDY
Director
KARTIKA AJU 1963 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
BUDI UTAMA 1951 RD ARIFFIEN
Actor
BUNGALOW DI LERENG BUKIT 1976 TURINO DJUNAIDY
Director
DARMAWISATA 1961 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
MATAHARI-MATAHARI 1985 ARIFIN C. NOER
Actor
RELA 1954 DJA'FAR WIRJO
Actor
MADJU TAK GENTAR 1965 TURINO DJUNAIDY
Actor Director
KUTUKAN IBU 1973 TURINO DJUNAIDY
Director

Perkara Film gadis jutawan

27 November 1971
Perkara Film gadis jutawan


DALAM produksi bersama (joint production) dibidang film, Turino Djunaidy memang djago: Kalau pemilik Sarinande ini ditanja, ia tentu selalu siap, dengan djawaban bahwa produksi bersama itu berguna untuk memperluas pemasaran diluar negeri. Turino tidak mengaku sebagai pemula dari pembikinan film dengan tjara produksi bersama, sebab almarhum Usmar Ismail dam Djamaluddin Malik telah mendahului di tahun limapuluhan. Meskipun produksi bersama dengan Hongkong itu telah dilakukan oleh Turino sedjak film eernafas Palam Lumpur, tapi baru sekarang ini dalam persoalan film Gadis Djutawan terdjadi kehebohan dengan djenis pembuatan film matjam itu.

"Barn dengan film Gadis Djutawan itu saja lakukan produksi bersama jang sebenarnja. Pada waktu BDL dulu, kebersamaan itu hanja dalam pemasaran", kata Turino mendjelaskan. Mengapa Gadis dihebohkan? "Karena film itu film Hongkong dengan 2 bintang tamu Indonesia", kata R.M. Sutarto, ketua Badan Sensor Film. Dan dalam daftar isian permohonan penjensoran film produksi dalam negeri jang ditanda tangani Kepala Direktorat Film, Djohardin pada tanggal 28 Oktober sebagai tanda persetudjuan pihak Direktorat Film, tertjantum mama PT Sarinande sebagai pemilik film tersebut,, dam Turino Djunaidy sebagai penanggung-djawabnja. Tapi baik nama sutradara cameraman maupun penulis skenario, semuanja orang Hongkong. Mereka-mereka itu adalah, Cheung Sum, Tjen Hau Djan dam Cheung Sum lagi. Sedang para pemainnja semuanja orang Hongkong ketjuali Widyawaty dan Sophan $ophian jang ternjata djuga tidak mernegang peranan penting. Kehebohan itu malah mendjadi-djadi ketika tersebar berita bahwa film tersebut di dub kedalam bahasa Indonesia, sementara ketentuan jang melarang pen-dub-an maijam itu masih tetap dipegang sebagai kebidjaksanaan BSF jang berasal dari keputusan Dewan Film. Pada PT Sarinande ada beberapa surat resmi Direktorat Film jang memungkinkan lahirnja Gadis Djutawan itu. Surat pertama bertanggal 8 Djuni 1971.

Melalui surat itu, Djohardin selaku Direktur Film, menjetudjui clan menandatangaru atas nama Menteri Penerangan, permohonan Sarinande untuk membuat film dengan tjara produksi bersama dengan Hongkong. Surat kedua tertanggal 18 Agustus 1971: Surat tersebut ditudjukan kepada Kepala Bea & Tjukai Airport Kemajoran jang isinja berupa tekomendasi untuk mengambil rush copy film Kasih Membara (My Love) clan Gadis Djutawan (My Millionaire Sister) dengan maksud -untuk diisi suara. Dan surat ketiga adalah Surat Idjin penjensoran jang ditandatangani pada tanggal 28 Oktober oleh Djohardin. Supaja duduk perkara lebih djelas, orang-orang jang berkepentingan telah dihubungi oleh wartawan-wartawan TFMPO. Keterangan-keterangan mereka adalah sebagai berikut: Menurut Turino Djunaidy. Tjukup menarik untuk diketahui bahwa Turino jang ditemui oleh wartawan TEMPO di kantor Sarinande pada tanggal 8 Nopember, sama sekali tidak memperlihatkan sikap tegang atau sematjamnja. Meskipun ia tentu tahp bahwa selama ia di Hongkong (berangkat tanggal 26 Oktober, dan pulang tanggal 7 Nopember)- kedua film joint-nja itu di hebohkan kalangan perfilman. Ketika diberitahu keputusan Djohardin jang mefarang penjensoran Gadis Djutawan sebagai film Indonesia, beberapa urat menondjol didahinja, ser.aja keluar kalimat berikut: "Lho, bagaimana, dia'kan jang memberikan idjin kepada saja".

Sementara beberapa kahmat bernada djengkel masih mengikuti kalimat tadi, dengan lintjah tangan Turino mengeluarkan surat-surat penting mengenai kedua film jang dihebohkan itu. Melihat bahwa foto-copy sudah disiapkan dalam beberapa eksemplar, bukan tidak mungkin bahwa pemilik: Sarinande itu sudah siap untuk berurusan dengan wartawan. "Kalau memang begitu keputusannja Djohardin tidak punja pendirian", kata Djunaidy kemudian Tidak berlangsung lama pertemuan dengan Turino hari itu, sebab is harus burn-buru menemui Hadji Djohardin di Meideka Barat. Apa jang mereka bitjara kan baru dapat diketahui oleh wartawan TEMPO pada keesokan harinja. Melalui telpon, Turino memberitahukan kepada Salim Said bahwa Djahardin minta maaf padanja karena pentjabutan pemberian idjin untuk joint production kedua film fang dihebohkan itu. "Menteri tidak setudju" kata Direktur film itu kepada Turino.

Lagi pula surat jang dulu itu tjuma surat biasa, kata Djohardin pula, jang menurut Turino kemudian menambahkan bahwa "belum ada peraturan-peraturan jang mengatur joint production ". Tentu sadja Turino djengkel. "Bagaimana itu disebut surat biasa", kata Turino sedikit meninggi lewat telepon. "Lalu apa arti tanda tangan Djohardin fang mengatas-namakan Menteri pada surat jang pada achirnja membawa kedua film itu sampai ke Badan Sensor Film?" Tidak diketahui adakah djuga pertanjaan itu ditanjakan Turino kepada Djohardin. Jang agak menarik adalah ini: meskipun Turino merasa dirugikan 10 djuta rupiah oleh tindakan pentjabutan jang kemudian dilakukan Djohardin itu, pemilik Sarinande itu sama sekali tidak mau menuntut ganti rugi. Turino jang terkenal hemat itu bahkan makin bersikeras untuk tidak menuntut Djohardin setelah ia diberitahu bahwa Direktur Film itu telah melakukan kelalaian dengan menganggap bahwa belum ada peraturan jang mengatur soal joint production. Sebab kenjataannja peraturan itu ternjata telah ditanda tangani Menteri Penerangan Republik Indonesia pada tanggal 11 Djuni pada tahun 1965. Dokumen penting itu merupakan surat keputusan Menteri Penerangan nomor: 61/S.K./M/65, dan sampai sekarang be1 um ditemukan sebuah suratpun jang membatalkan surat penting tersebut. Menurut Djohardio. Kepada Martin Aleida, tanggal 4 Nopember jang lalu Djohardin mengakui bahwa Gadis Djutawan itu ternjata film impor.

Dari mana dia tahu? "BSF mengatakan itu kepada Direktorat" djawabnja. Meskipun dalam surat idjin penjensoran film tersetitzt tertjantum nomor 517/Dir/DF-IV/71 sebagai nomor surat idjin produksi, namun dengan tegas Djohardin membantah adanja surat idjin produksi film Gadis Djutawan tersebut. Padahal seperti bisa dilihat pada foto copy, surat idjin penjensoran itu di tanda-tangani sendiri oleh Djohardin. Pihak Badan Sensor Film merasa. tidak pernah memberi tahu kepada Di-: rektorat Film bahwa film tersebut ada lah film asing jang di-dub kedalam bahasa Indonesia. Tapi Asrul Sani, seorang anggota BSF, mengaku pernah memperingatkan Djohardin kemungkinan terdjadinja heboh djika film tersebut di masukkan sebagai film Nasional. Pertemuan Asrul-Djohardin itu terdjadi pada tanggal 26 Oktober disuatu tempat di mana diadakan pertundjukan film Belanda. Terhadap penngatan Asrul itu, Djohardin mendjawab: "Tidak mungkin film itu masuk sebagai film Indonesia".

Tapi surat idjin penjensoran ternjata bertanggal 28 Oktober, 2 had setelalr pertemuan Asrul-Djohardin. Dan jang djuga menarik ialah: pada surat tersebut djuga ada tanda-tangan Turino dengan tanggal jangsama, padahal sedjak tanggal 26 Oktober, Turino sudah berada di Hongkong. Menurut R.M. Sutarto. Ketua Badan Sensor, R.M.Sutarto djuga punja tjerita lain. Sehari setelah film jang menghebohkan itu masuk gudang BSF, Sutarto mendapat telepon dari Djohardin jang meminta supaja film tersebut ditahan dulu. "Tidak di sebutkan alasannja", kata Sutarto mendjawab pertanjaan Salim Said. Hari itu djuga film itu diputar untuk ditindjau oleh beberapa anggota BSF. "Anak ketjilpun tahu bahwa itu film Hong kong", kata Abdul Karim, sekretaris BSF. Sebuah diskusi ketjil menjertai pemutaran tersebut. Setelah itu Sutarto tiba pada keputusan: "Film ini film, Hongkong jang ditjoba untuk diselundupkan kemari. Karena hal tersebut menjangkut soal bea tjukai dan dana SK 71 sekitar hampir 1 djuta rupiah maka tindakan Sarinande itu bisa tergolong tindak pidana kriminil". Ternjata film tersebut memang film Hongkong.

Di Singapura film itu diiklan kan sebagai film Mandarin dengan subtitle Inggeris. Dan dimana nama Widyawaty maupun Sophan Sophian dalam Wan jang dimuat di Straits Times? "Memang peranan mereka sangat ketjil, kata Frank Rorimpandey jang ikut mengisi suara film Gadis Djutawan itu. "Mqreka hanja bintang tamu", kata Asrul. Tapi Turino bersikeras kepada Salim Said, "Widyawaty pemegang peran utama disitu". Maka jang paling menarik dan heboh Gadis Djutawan itu adalah persoalan berikut: Betulkah Djohardin hanja chilaf ataukah memang ada rentjana matang dibalik beberapa surat resmi jang di tanda-tanganinja atas nama Menteri Penerangan maupun atas nama djabatannja sendiri? Pertanjaan pertama mendjadi l,ebih penting djika dihubungkan dengan pertanjaan berikut: mengapa Turino, jang terkenal paling hemat, begitu sadja mau dirugikan oleh Djohardin sementara dia mempunjai dokumen-dokumen dan alasan-alasan jang kuat untuk menuntut. Direktur film tersebut?

GADIS DISEBERANG DJALAN / 1960

GADIS DISEBERANG DJALAN


Arman (Turino Djunaedy) dan Ida (Mieke Wijaya) tinggal saling berseberangan, tapi nyaris tak pernah ketemu. Bustaman (Hadisjam Tahax) coba mendekati gadis itu, namun Ida tak menggubris. Bustaman menempuh jalan licik untuk menggaet Ida, memeras ibu Ida. Malah Bustaman coba memperkosa Ida. Untunglah Arman, jago judo, muncul dan menaklukkan Bustaman. Dari semula saling tak acuh, akhirnya Arman dan Ida jadi pasangan hidup.

P.T. SARINANDE FILMS

MIEKE WIJAYA
TURINO DJUNAIDY
HADISJAM TAHAX
ALWI SULASTRI
ALICE ISKAK


DETIK-DETIK BERBAHAJA / 1961

 

Menghadapi kenakalan remaja (cross boy) pada tahun 50-an, diambil keputusan untuk mendidik mereka secara militer agar tumbuh rasa disiplin. Mula-mula muncul reaksi negatif dari para remaja, namun lama-lama lahir rasa persahabatan. Selama pendidikan itu mereka juga menyadari bahwa dalam hidup ini banyak hal penting. Di akhir pendidikan mereka berbaris penuh kebanggaan, dimeriahkan raungan kapal terbang, rentetan senapan mesin dan melajunya kapal di laut.

P.T. SARINANDE FILMS

MIEKE WIJAYA
HADISJAM TAHAX
OSMAN ALWI
OSLAN HUSEIN
JEFFRY SANI

DARMAWISATA / 1961

 

Hadi (Turino Djunaidy) meninggalkan Jakarta dan mencoba peruntungannya di sebuah perkebunan teh. Kejujuran dan sifatnya membuat ia disukai Tini (Nina Martini), putri administratur perkebunan, dan Sita (Rima Melati), kemenakan Tini. Marta (Hadisjam Tahax), ajun administratur, menganggap Hadi sebagai penghalang untuk mendekati Sita, yang selama ini membencinya. Marta berusaha menyingkirkan Hadi dengan berbagai cara tapi gagal. Sementara itu Sita juga gagal menarik perhatian Hadi. Begitu juga Tini. Usaha terakhir Hadi adalah menggunakan seorang pemetik teh cantik, lalu menyebarkan gosipnya, hingga Hadi dikeroyok penduduk desa. Hadi lalu berniat meninggalkan perkebunan. Kemudian muncul Biran (Alwi Oslan), yang tahu kecurangan Marta dan memberitahu. Hadi tetap akan pergi, tapi dia selesaikan dulu dengan orang yang mencuranginya. Dalam perkelahian dengan Marta, Hadi menang. Sita mendesak untuk tetap tinggal dan menggantikan Marta, yang dipecat. Sita dan Hadi kemudian menjadi kekasih.

P.T. SARINANDE FILMS

RIMA MELATI
TURINO DJUNAIDY
HADISJAM TAHAX
NINA MARTINI
ALWI OSLAN

KASIH TAK SAMPAI / 1961

 

Iyem (Upit Sarimanah), pembantu, dan Ny. Sukardi (Sumarni), majikannya, sama-sama melahirkan anak perempuan. Iyem hamil oleh lelaki yang tak bertanggung jawab, maka anaknya diakui sebagai anak sendiri oleh Ny. Sukardi. Walau tetap bekerja di rumah Sukardi (Young Thahar), tapi Iyem tak boleh menyebut Ningsih (Rima Melati) itu anaknya. Suatu kali Ratna (Nina Martini) mendengar percakapan orangtuanya (Tuan dan Nyonya Sukardi). Ratna menyampaikan kepada Ningsih, bahwa "saudara"nya itu sebetulnya adalah anak Iyem. Akibatnya Ningsih pergi, dan mendapat keberuntungan jadi bintang film. Dengan kerja "terhormat" itu Ningsih malu mengakui Iyem itu sebagai ibunya. Belakangan ia menyesal waktu Iyem tutup mata untuk selamanya. Ningsih hanya bisa menangis di atas pusara sang ibu.

P.T. SARINDANDE FILMS

RIMA MELATI
UPIT SARIMANAH
NINA MARTINI
DICKY ZULKARNAEN
OSMAN ALWI
OSLAN HUSEIN
SUMARNI
YOUNG THAHAR

HADIAH 2.OOO.OOO / 1962

 

Seorang petani dan kawannya mendapat hadiah uang dalam jumlah amat besar (untuk ukuran masa itu) Rp. 2 juta. Ia pergi ke kota dan bermalam di sebuah hotel. Mereka bersenang-senang bersama seorang gadis cantik. Ketika mereka berekreasi itulah muncul seorang penjahat, yang menggondol sisa uang. Celakanya, sebagian telah dibelikan perhiasan untuk menghadiahi sang gadis. Maka, terpaksalah hadiah itu diminta kembali. Si petani masih beruntung, karena ternyata pencuri tertangkap, dan uang kembali.
P.T. SARINANDE FILMS

RIMA MELATI
OSLAN HUSEIN
ALWI OSLAN
HADISJAM TAHAX
MAKITA

KARTIKA AJU / 1963

 

Kartika (Rima Melati), aktris tenar, mengajak ahli kecantikan Lasmi (Edowati) bekerja di studio tempatnya kerja. Suami Kartika yang pencipta lagu, Eddi Mochtar (Turino Djunaidy), belum bisa menandingi ketenaran isterinya. Ikut tinggalnya Lasmi di rumah Kartika bikin Eddi mendapat seorang pendukung moril, yang tidak diperolehnya dari Kartika selama ini. Lama-lama Lasmi tersadar, bahwa dia bisa bikin berantakan rumah tangga Kartika dan Eddi. Maka pergilah Lasmi, meninggalkan sepucuk surat yang mengharapkan agar Kartika dan Eddi berbahagia (kembali). Surat itu menimbulkan kesadaran di hati Kartika maupun Eddi. Pasangan aktris dan pencipta lagu ini "bersatu" lagi.
 P.T. SARINANDE FILMS

RIMA MELATI
EDOWATI
TURINO DJUNAIDY
HADISJAM TAHAX
ALWI OSLAN

BELAIAN KASIH / 1966

 
 
"Kalau ibu meninggal, carilah ayahmu." Begitu kata-kata terakhir ibunya pada Hanifah (Sri Redjeki) sebelum meninggal. Ayahnya memang hanya dikenal lewat foto, karena pergi berjuang waktu revolusi. Ayah nikah lagi, karena tak mau berzinah, dan punya anak Herni (Ernie Djohan). Ketika perkawinan ini diberitahukan, ibu Hanifah marah dan mereka bercerai. Kebetulan Hanifah berjumpa dengan Herni, dan karena tak punya saudara dianjurkan tinggal di rumah saudara Herni. Hanifah terkejut ketika jumpa ayah Herni, yang dikenalinya sebagai ayahnya dari foto yang selalu dibawanya. Rahasia ini diungkapkan melalui lagu yang diciptakan ayah Hanifah khusus untuk ibunya. Hanifah dan ayahnya saling merahasiakan hubungan ini karena takut mengganggu hubungan keluarga yang sekarang. Herni curiga atas hubungan ini dan mengatakan pada ibunya. Keluarga jadi kacau. Akhirnya sang ayah mengatakan yang sebenarnya, maka keadaan berubah jadi penyesalan. Herni yang merasa bersalah lalu mencari Hanifah, yang ditemukannya sudah akan naik kereta.

LHO NGA DAYA
P.T. SARINANDE FILMS

SRI REDJEKI
ERNIE DJOHAN
SOFIA WD
M.E. ZAINUDDIN
ALWI OSLAN
OSLAN HUSEIN

KASIH DIAMBANG MAUT / 1967

 
 
Anita (Suzan Tolani), anak duda kaya Amir (Emir Sipirok), hamil dengan pria bersuami dan ditinggalkan. Ini akibat ayahnya yang sibuk sendiri. Untuk menutup malu, Anita pergi ke Bandung dan tinggal sendiri. Suatu hari saat berekreasi, Anita jumpa dengan Syamsudin (Wahab Abdi), direktur cabang perusahaan milik ayahnya. Anita mencoba memerangkap Syamsudin, agar bayinya punya ayah syah dengan mengundang Syamsudin menginap di rumahnya. Mula-mula Syam menolak, tapi akhirnya bersedia menginap dengan syarat pagi-pagi sekali pulang agar tidak ketahuan orang. Saat dia datang, yang ditemuinya mayat Anita. Syam cepat-cepat pergi, tapi ia toh dicari polisi yang mendapat laporan. Syam merasa tak bersalah, tapi khawatir karena merasa pembunuh sebenarnya membuntutinya. Atas anjuran sekretarisnya Tuti (Alice Iskak), akhirnya ia melapor pada polisi dan menceritakan duduk perkaranya. Polisi mula-mula tak percaya, tapi lalu kebetulan Syam melihat mobil yang selalu membuntutinya. Syam dipakai polisi sebagai umpan, hingga akhirnya pembunuh sebenarnya terungkap. Syam akhirnya bebas dan Tuti yang mencintainya, lega.

LHO NGA DAYA FILM
P.T. SARINANDE FILM

WAHAB ABDI
SUZAN TOLANI
FAROUK AFERO
ALICE ISKAK
AJU TRISNA
EMIR SIPIROK
BAY ISBAHI

DJAKARTA - HONGKONG - MACAO / 1968

DJAKARTA - HONGKONG - MACAO


Karsono agen subversi asing seperti menggunakan kesempatan mengail di air keruh. Pertama dia suruh Dachlan pergi ke Hongkong untuk tugas rahasia, hingga dia bisa memperkosa istrinya, yang lalu meninggal. Dachlan sendiri terbunuh di Hongkong. Lalu giliran Muchtar, yang mau melakukan tugas rahasia itu, karena butuh uang. Muchtar bisa lolos di Hongkong dan pulang ke Indonesia. Maksud hati hendak menyembuhkan istrinya, tapi yang ditemui istrinya sudah terbunuh. Muchtar lalu kerja sama dengan polisi untuk menyingkap masalah ini. Ia juga dibantu seorang anggota Karsono yang bertobat. Maka Karsono bisa ditaklukkan, dan dipaksa menunjukkan markasnya. Di sini Karsono dibunuh anak buahnya sendiri. Dan polisi meringkus semua.

Fung Ming dan Peter Keong adalah bintang Hong Kong.

P.T. SARINANDE FILM

RATNO TIMOER
FAROUK AFERO
RAHAYU EFFENDI
MILA KARMILA
HADISJAM TAHAX
NURNANINGSIH
SULASTRI
FUNG MING
PETER KEONG

ORANG-ORANG LIAR / 1969

ORANG-ORANG LIAR

Mardi, pengusaha bar dan restoran, diperas komplotan Sarpan. Mardi menolak. Akibatnya, bar dan restorannya berantakan. Mardi bertekad balas dendam. Disetujuinya permintaan Sarpan, namun ketika permintaan itu hendak disampaikan, Mardi bukannya mengeluarkan uang tapi semburan peluru dari pestol. Ia lalu lari ke Bandung dan jumpa Rosita, gadis yang memaksa ikut kemanapun Mardi pergi. Komplotan penjahat juga memindahkan operasinya ke Bandung dan mencari Mardi. Polisi juga mengejar komplotan itu ke Bandung. Mardi dan Rosita tertangkap penjahat dan dianiaya. Sebelum sempat Mardi dibunuh, polisi datang. Tembak-menembak terjadi. Penjahat menyerah.
 PRIBUMI TEKUN
P.T. SARINANDE FILMS

RATNO TIMOER
FAROUK AFERO
SYLVIA IRANI
ISHAQ ISKANDAR
BAY ISBAHI
HARUN SYARIEF
GODFRIED SANCHO
DASRI YACOB
DADI DJAJA
ALICE ISKAK
NURNANINGSIH

KUTUKAN IBU / 1973

 

Madi (Farouk Afero), anak tunggal janda penjual gado-gado, dimanja oleh ibunya, hingga usaha banting tulang sang ibu untuk menyekolahkan Madi, malah membuat Madi jatuh dalam pergaulan judi dan narkotik. Dalam lingkungan ini ia berkenalan dengan Rosita (Lenny Marlina) dan Marni (Laily Dimyathie). Madi sempat menyetubuhi Rosita saat tak sadar. Rosita hamil, dan dikawinkan dengan Madi. Sementara Rosita sadar, Madi terus berjudi, bahkan menghabiskan harta ibunya. Bahkan dua kali ia tak mengakui ibunya yang secara tak sengaja diangkat jadi pembantu Rosita, saat terlunta-lunta diusir dari rumahnya karena tak sanggup membayar kontraknya. Kelakuan Madi membuat ibunya mengeluarkan kutukan. Madi jadi gila, sementara Rosita melahirkan bayinya.

P.T. SARINANDE FILMS

LENNY MARLINA
FAROUK AFERO
W.D. MOCHTAR
SOFIA WD
FIFI YOUNG
AMALIA
LAILY DIMYATHIE

PACAR / 1974

 

RM Suryo Hadiwinoto (A. Hamid Arief), bangsawan yang fanatik dengan kebangsawanannya dan punya 11 anak perempuan dan satu anak lelaki, pusing menghadapi kenyataan bahwa gelarnya dianggap enteng oleh seorang mantri rumah sakit. Gara-garanya, anak lelakinya itu, Bambang Setiadi (Jimmy Samalo) mendekati anak gadis sang mantri. Lalu Bambang jatuh cinta pada penyanyi lagu melayu, Yulia (Yulia Yasmin) yang ternyata digaet penjual daging. Terakhir Bambang jatuh cinta pada perawatnya waktu ia sakit. Ayahnya lagi-lagi melarang. Akhirnya Bambang berusaha meyakinkan bahwa pacarnya yang perawat itu, Nurmala Hayati (Lenny Marlina), anak seorang dokter. Usahanya berhasil.
  P.T. SARINANDE FILMS

LENNY MARLINA
YULIA YASMIN
W.D. MOCHTAR
A. HAMID ARIEF
AMINAH CENDRAKASIH
FAROUK AFERO
HARDJO MULJO
ATMONADI
MANSJUR SJAH
ISMED M. NOOR
ISHAQ ISKANDAR
IDA KUSUMA

PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN / 1976

PENGAKUAN SEORANG PEREMPUAN

Ditolak peredarannya oleh Bapfida Yogya, karena adegan dan dialog yang dianggap tidak sesuai dengan masyarakat Yogya.


Rukmini (Tanty Josepha) yang baru naik kelas III SMA di Jakarta, pulang ke rumah ibunya, Nursanty (Tuty S) yang tak mengacuhkannya dan hanya memikirkan minuman dan lelaki, di luar kota. Rukmini tidak menyangka bahwa ia akan diperkosa oleh pacar ibunya dan calon ayah tirinya, Hengky (Rachmat Kartolo). Maka kembalilah ia ke Jakarta dalam keadaan limbung, apalagi ternyata ia hamil. Bayinya kemudian dipelihara oleh dukun yang membantu persalinannya. Untuk bisa hidup terus, ia akhirnya jatuh ke tangan germo dari Klub 69. Di sinilah ia jadi gadis bar dan berganti nama jadi Monalisa. Nursanty yang menyesal mencarinya dan menjumpainya, tapi Rukmini tak mau mengakui ibunya lagi. Santy pun lalu mencari Hengky dan membunuhnya. Sementara Rukmini lalu mengalami sakit keras, kanker peranakan. Ia akhirnya insaf.
  P.T. SARINANDE FILMS

FAROUK AFERO
TANTY JOSEPHA
RATNO TIMOER
TUTY S
RACHMAT KARTOLO
ENTENG TANAMAL
MANSJUR SJAH
LIES SAODAH
WOLLY SUTINAH

LIKU-LIKU PANASNYA CINTA / 1976

LIKU-LIKU PANASNYA CINTA


Perjalanan cinta Freddy (Robby Sugara), karyawan dan dosen, dengan mahasiswinya yang berliku-liku. Freddy pada awalnya terpaksa memperistri Rosliana (Lenny Marlina), yang hamil di luar nikah, karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab. Pasangan ini bisa disebut kakak-beradik, karena Freddy diangkat anak oleh orangtua Rosliana. Pasangan ini tentu saja tak serasi dan tak bahagia. Masing-masing lalu menjalin cinta dan cerita sendiri, hingga jalannya kisah berliku-liku, meski akhirnya bahagia dengan pasangan masing-masing.
 P.T. SARINANDE FILMS

LENNY MARLINA
ROBBY SUGARA
FAROUK AFERO
HENDRA CIPTA
ALICIA DJOHAR
ULLY ARTHA
ROBBY SUTARA
PONG HARDJATMO
WOLLY SUTINAH