Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label USMAR ISMAIL 1949-1970. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Februari 2011

USMAR ISMAIL 1949-1970


USMAR ISMAIL
Film Director
Nama :Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh
Lahir :Bukit Tinggi, Sumatera Barat 20 Maret 1921
Wafat :Jakarta, 2 Januari 1971

Pendidikan :
HIS, MULO-B, AMS-A II (Barat Klasik) 1941,
Jurusan Film Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat (BA-1953)

Karya :
“Puntung Berasap”(puisi), Sedih Dan Gembira dan Tjitra”(1949),
“Liburan Seniman”(1965),
“Darah Dan Doa dan Enam Djam di Jogya”(1950),
“Dosa Tak Berampun”(1951), “Terimalah Laguku”(1952), “Kafedo”dan “Krisis”(1953),
“Lewat Jam Malam”(1954),
“Tiga Buronan”(1957), “
Jendral Kancil”(1958), “
Asmara Dara”dan “Pejuang”(1959),
“Anak Perawan Disarang Penyamun”(1962).


Karier :
Ketua PWI (1947)
Ketua PPFI (1954-1965),
Ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia), Usmar Ismail, dikenal sebagai seniman serba bisa yang punya nama besar pada zamannya. Usmar adalah penyair, dramawan, wartawan, sutradara, dan pembuat film terkemuka Indonesia. Bapak perfilman Indonesia ini mewariskan karya-karya dalam bidang seni dan budaya yang masih bisa dinikmati hingga saat ini. Ia adalah sosok pejuang multidimensional yang penuh warna.

Kepeloporannya dalam perfilman Indonesia ditulis oleh Tatiek Malyati, sebagai berikut : “Saya kira dia pelopor pada zaman itu. Sebelumnya belum ada film-film yang bisa memberikan cerminan dari masyarakat, masalah-masalah yang ada dimasyarakat”. Sementara Chalid Arifin, dosen film di IKJ, menambahkan : “Ciri film Usmar itu linier, tidak berdasarkan urutan waktu dan terpecah-pecah. Ada beberapa kejadian yang semula lepas-lepas tetapi kemudian kumpul menjadi satu. Itu luar biasa, sampai sekarang mungkin nggak ada film Indonesia seperti itu”.

Dia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beribadah. Usia tujuh tahun Usmar sudah pandai mengaji. Setamat HIS dan Tawalib di Batusangkar bungsu dari enam bersaudara ini melanjutkan sekolah ke MULO di Padang Panjang. Kemudian Usmar yang pandai menggambar bersama dengan sahabatnya Rosihan Anwar merantau ke Jawa. Di Yogyakarta Usmar melanjutkan ke AMS-A II jurusan Klasik Timur. Masa sekolah Usmar Ismail yang indah di Yogyakarta terganggu oleh masuknya balatentara Dai Nippon ke Indonesia. Dengan Mengantongi ijazah darurat Usmar pergi ke Jakarta dan tinggal dengan kakaknya, Dr. Abu Hanifah. Ia kemudian bekerja di kantor pusat kebudayaan dan aktif mengembangkan bakatnya menulis cerpen, syair, dan naskah drama. Menutur Asrul Sani, dalam pengantar buku Usmar Ismail Mengupas Film, sebagai penyair ia merupakan generasi penutup yang menulis puisi dengan gaya Pujangga Baru.



AWAL
Pada tahun 1943, Usmar bersama Rosihan Anwar dan Abu Hanifah mendirikan perkumpulan sandiwara amatir Maya. Diperkumpulan sandiwara itu Usmar yang menikahi Sonia Hermine Sanawi, gadis Betawi dan rekan kerjanya. Menurut Nano Riantiarno, sutradara Teater Koma, apa yang diproduksi Maya boleh dibilang sebagai cikal-bakal teater modern Indonesia. Pada awal revolusi Usmar Ismail memasuki dinas ketentaraan dan aktif di bidang kewartawanan. Bersama dengan Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, Usmar dan kawannya mendirikan surat kabar Rakyat. Ketika para pemimpin Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta Usmar ikut serta. Di Yogya ia mendirikan harian Patriot dan majalah kebudayaan Arena. Pada tahun 1947 Usmar yang tetap aktif berkesenian terpilih sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia.

Usmar pada saat pendudukan Jepang.
Tahun 1946, pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, karena dinilai Jakarta tidak aman karena dikuasi Belanda. Mereka yang pro Republik akan mengungsi keluar Jakarta yaitu Yogjakarta mereka di sebut mengungsi ke pedalaman, yang disebut kaum Noon, Non Kooperatif. Mereka ikut pemerintah RI pindah ke Yogjakarta, juga pusat kebudayaan yang berisi Usmar Ismail, Suryo Sumanto, D.Djajakusuma, Gajus Siagian, dan Hamid T, Djamil. Di luar itu bergabung juga penyair muda Asrul Sani. Mereka di rekuit oleh Zulkiffli Lubis, bagian inteligen Propaganda. Usmar Ismail menjadi Mayor TNI, sedangkan yang lain berpangkat Kapten dan Letnan. Mereka mendirikan koran Patriot 1947. Usmar Ismail terpilih menjadi ketua umum PWI. Sedang Asrul Sani di kirim Kol, Lubis ke Jakarta dan bergabung dengan pasukan 0001, diwilayah yang dikuasi Belanda. Tugasnya untuk membantu dan menyiapkan untuk pasukan Indonesia yang menyegrap dan menyusup ke Belanda. Tugasnya mirip dengan mata-mata yang menganaisa pergerakan Belanda.

Sedangkan di tempat tinggal Usmar Ismail di Yogjakarta, ada kegiatan diskusi film, pesertanya adalah Usmar dan kawan-kawan, film yang diputar adalah Gone With the Wind, lalu mereka diskusikan film itu dari berbagai sudut. Sesekali mereka datangkan RM.Soetarto untuk mengajarkan proses pembuatan film. Usmar masih terkesan dengan makna, fungsi, dan arti film yang diberikan oleh Jepang. Mereka melihat film adalah benda seni, sedang jepang adalah benda propaganda, tetapi saat jaman Belanda film adalah sebuah hiburan belakan yang menitik beratkan pada penonton berbagai golongan, bawah, menengah, terpelajar, nigrat, Belanda totok dan lainnya, sehingga film mengikuti pasarnya.


Banyak yang mempertanyakan Usmar Ismail tiba-tiba muncul di stuio milik Belanda, sebagai asisten Andjar Asmara saat. Ini sangat aneh karena Usmar adalah seniman pemikir, Mayor TNI, Ketua PWI, bagaimana tiba-tiba ia muncul di Perusahaan film Belanda, studio Multi itu? Semua orang tahu, 1947 Usmarjuga direktur surat kabar Patriot, bertugas meliput perundingan Renville. Selanjutnya, ia di tangkap Belanda karena selain ia wartawan tapi juga Mayor TNI. Ia di jebloskan ke penjara Cipinang. Ia dibebaskan diduga karena Chairril Anwar melalui pertolongan sahabatnya berkebangsaan Belanda dan juga wartawan perang kantor Perancis. Saat muncul Komunis, beberapa seniman yang sehaluan menuding Usmar adalah pro Belanda pada masa Revolusi. Sitor Situmorang yang berhaluan kiri, menuding Usmar.

Tentu pertemuan rutin itu tidak bisa berkembang karena memang tidak ada yang paham sekali tentang proses pembuatan film. Ternyata pejabat pemerintah juga merasakan arti penting film dalam kemerdekaan Indonesia. Hal ini terbukti dari didirikannya sekolah film Kino Drama Atelier (KDA, adalah yayasan) dan Stichting Hiburan Mataram (STM) di Yogja oleh mentri penerangan. Adapun pendiri KDA adalah Dr.Huyung, Djajakusuma,D.Suraji. dan lainnya. Dr. HUyung adalah orang Jepang yang tidak mau pulang ke negerinya, ia pun ikut dalam kegiatan sandiwara. Muridnya antara lain Soemardjono. Sedangkan yang sekolah di Yogja adalah Alam Surawidjaja dan Deliana. Yang menarik dari sekolah itu adalah tidak adanya pengajar yang menguasai bidang film. Pernah datang seorang dengan membawa kamera ke dalam kelas. diletakan di depan kelas. Semua murid tentu antusias ingin mendengarkannya, sang pengajar menjelaskan alat yang ia bawa adalah kamera film, siswa jangan pegang, lalu ia cerita tentang pembuatan film pada umumnya., tidak menyinggung tentang kamera.

Sedang film Usmar memnyimpang dari model cerita film sebelum perang, karena ia berkembang dalam masa romance dan novel Balai Pustaka.


Usmar Ismail memenuhi panggilan hidupnya di dunia perfilman. Minatnya membuat film dengan kemampuan tenaga Indonesia semakin membara. Pada 1950 Usmar dan kawan-kawannya mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Usmar memproduksi film pertamanya Darah dan Doa tahun 1950, Enam Djam di Yogya”tahun 1950 dan Dosa Tak Berampun”tahun 1951. Dengan keterbatasan modal, sumber daya, dan peralatan Usmar bisa membuat film-film yang setara dengan film-film dari luar negeri pada zaman itu. Film pertamanya Darah dan Doa, atau lebih dikenal dengan judul asing The Long March, yang mengisahkan Long March pasukan Siliwangi diberi kesempatan diputar perdana di depan Presiden Soekarno.

Pada tahun 1953 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angeles, Amerika Serikat. Usmar Ismail juga mempunyai keinginan yang kuat untuk memajukan teater modern di Indonesia. Setelah mendirikan kelompok sandiwara Maya, pada tahun 1955 Usmar mendirikan Akademi Teater Nasioanl Indonesia (ATNI), sebuah cikal-bakal “Teater sekolahan” di Indonesia. Menurut Asrul Sani ini merupakan upaya lain Usmar untuk membuka jalan baru untuk pertumbuhan teater modern di Indonesia.

Dalam dunia perfilman Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film. Beberapa karyanya mendapat penghargaaan dari pemerintah dan dalam berbagai festival film internasional. Hari pertama syuting film Darah Doa, 30 Maret, dinyatakan sebagai Hari Film Nasional. Bersama dengan tokoh-tokoh perfilman luar negeri Usmar mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia Pasifik. Dalam rangka mempromosikan film dan artis Indonesia. Usmar Ismail yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama, mendapat penghargaan tertinggi Piagam Widjayakusumah dari Presiden Soekarno. Pengurus PBNU ini lalu memasuki kiprahnya sebagai anggota DPR-Gotong Royong.

Usmar Ismail adalah cermin insan film yang bekerja dengan penuh idealisme sekaligus sejumlah kompromi. Di tengah maraknya kritik dan lesunya film nasional Usmar mengembuskan nafasnya yang terakhir pada 2 Januari 1971 dalam usia 49 tahun karena pendarahan otak. Haji Usmar Ismail Mangkuto Ameh adalah sosok pejuang yang pantas menjadi teladan. Dan nama Bapak Perfilman H. Usmar Ismail dibilangan Kuningan Jakarta Selatan.***


LAGI-LAGI KRISIS1955USMAR ISMAIL
Director
LARUIK SANDJO 1960 USMAR ISMAIL
Director
PEDJUANG 1960 USMAR ISMAIL
Director
DOSA TAK BERAMPUN 1951 USMAR ISMAIL
Director
ANAK-ANAK REVOLUSI 1964 USMAR ISMAIL
Director
ANAK PERAWAN DI SARANG PENJAMUN 1962 USMAR ISMAIL
Director
TJITRA 1949 USMAR ISMAIL
Director
TAMU AGUNG 1955 USMAR ISMAIL
Director
AMOR DAN HUMOR 1961 USMAR ISMAIL
Director
DELAPAN PENDJURU ANGIN 1957 USMAR ISMAIL
Director
KRISIS 1953 USMAR ISMAIL
Director
BAYANGAN DI WAKTU FAJAR 1963 USMAR ISMAIL
Director
HARTA KARUN 1949 USMAR ISMAIL
Director
KAFEDO 1953 USMAR ISMAIL
Director
SENGKETA 1957 USMAR ISMAIL
Director
ANANDA 1970 USMAR ISMAIL
Director
TIGA DARA 1956 USMAR ISMAIL
Director
BIG VILLAGE 1969 USMAR ISMAIL
Director
LIBURAN SENIMAN 1965 USMAR ISMAIL
Director
TOHA, PAHLAWAN BANDUNG SELATAN 1961 USMAR ISMAIL
Director
BAJANGAN DIWAKTU FADJAR 1962 USMAR ISMAIL
Director
ENAM DJAM DI DJOGDJA 1951 USMAR ISMAIL
Director
ASRAMA DARA 1958 USMAR ISMAIL
Director
LONG MARCH, THE 1950 USMAR ISMAIL
Director
LEWAT DJAM MALAM 1954 USMAR ISMAIL
Director
JA MUALIM 1968 USMAR ISMAIL
Director


NEWS
Di Saat Usmar Ismail Tak Lelah Menghadapi Kekaburan Birokratis 1991
Sikap tidak proposional pemerintah pada saat itu, sehingga perfilman nasional mengalami kesulitan dalam peredarannya. Konsep ideal yang diselipkan Usmar Ismail, film yang dibuat harus merupakan ekspresi kesenian dan intelektual agar film Indonesia memiliki kepribadian. Usmar Ismail tak lelah menghadapi kekaburan birokratis dan mengumumkan perang di dua front, disatu Front berhadapan dengan selera pasar pembuat film nasional disisi lain harus menghadapi tantangan film-film produksi Barat yang segalanya sudah lebih canggih

Filem-filem Usmar Ismail dengan sutradara "Tempo Doeloe", belum bisa disaingi oleh orang2 filem masa kini 1987
Meskipun tokohnya dusah lama tiada, dan lambang "Banteng Ketatonnya" sudah pudar, tetapi kebesaran PERFINI yang didirikan oleh Usmar Ismail pada tanggal 30 Maret 1950 bersama teman seperjuangannya, masih tidak bisa dilepaskan dengan kebesarn Usmar Ismail. Dua nama yang lebur menjadi satu dalam lingkungan filem nasional, dan pembaharu yang melatarbelakangi sejarah perjuangan filem tempo doeloe dan masa kini.Pekan Filem Produksi PERFINI memutar sembilan buah filem yang disutradarai oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Nya Abbas Acup, merupakan retrospeksi bagi karya bermutu, yang pernah menghebohkan para pecandu filem nasiona, disaat situasi krisis menghadapi bombardir filem-filem Hollywood, yang saat itu merajalela di tanah air. Namun Usmar Ismail tidak memperdulikan hal itu, ia dan kawan tetap berjalan ever onward no retreat. Usmar Ismail terus mencari sesuatu yang bisa disumbangkan kepada bangsa dan negaranya. Usmar dan kawan-kawan menunjukkan kepada kita semua bagaimana sesungguhnya bekerja untuk filem, walau dengan peralatan sederhana namun mampu melahirkan filem berbobot.Dibandingkan dengan produksi masa kini, filem-filem Usmar dan sutradara lainnya di PERFINI masih tampak di atas.


Interview dengan Usmar Ismail : Tentang Festival Film Asia Ke-V di Manila 1958

Berdasarkan hasil kunjungannya ke Festival Film Asia Ke-V di Manila, Usmar Ismail sangatlah menyayangkan sikap Indonesia yang tidak mempergunakan kesempatan untuk mengirimkan film maupun utusan ke festival tersebut. Festival Film ini sebenarnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara negara-negara pembuat film di Asia dan juga memberikan dorongan kepada negara-negara yang hadir agar dapat membuat film yang lebih baik mutunya dari yang biasa dibuat. Dengan berdirinya Federation of Motion Picture Producers in Asia diperoleh manfaat bertambahnya usaha kerjasama antara berbagai negara Asia dalam rangka joint-production. Dalam Festival Film Asia ke-V ini ada 8 negara yang ikut serta dengan 22 buah film dan Hong Kong sebagai pemenangnya melalui film "Our Sister Hedy".

Mengenang kerja keras Usmar Ismail : Usmar terkadang galak soal disiplin nomor satu 1991
Syamsul Fuad assisten sutradara terakhir alm. H. Usmar Ismail berbicara tentang kesan-kesannya selama mendampingi alm. Usmar Ismail disaat menangani film Ananda. Kesan-kesan tersebut antara lain akan merasa beruntung bisa diajak bekerjasama dengan Usmar, kepemimpinan Usmar sebagai sutradara dapat mewujudkan kerjasama yang kompak diantara para karyawan PERFINI sehingga segalanya berjalan lancar, Usmar juga tidak pernah mengekang pada para pemainnya untuk berinisiatif menentukan blocking, hasil terpaan tangan Usmar Ismail berhasil mengorbitkan sederetan nama-nama artis kondang seperti Bambang Hermanto, Sukarno M. Noor, Mieke Widjaja, Lenny Marlina, dan lain-lain, Usmar memberikan petunjuk kepada para pemainnya secara jelas, terperinci, dan penuh kesabaran, dan hanya satu hal yang tidak disenangi oleh Usmar Ismail yaitu bila menghadapi pemain yang tidak disiplin. Ada juga satu kebiasaan bila Usmar sedang marah, dia akan menghendus-henduskan hidungnya, kemudian berjalan kiri-kanan sambil kedua tangannya merogoh kantong celana. Film Ananda adalah karya terakhirnya setelah dia kemudian meninggal 2 Januari 1971.


Pakar Film Indonesia Segala Zaman : untuk kesekiankalinya : Usmar Ismail 1989
Ledakan film Si Kabayan didelapan bioskop yang diserbu penoton dan berdecak kagum, terpukau oleh kebolehan El Badrun menciptakan sulapan-sulapan ajaib dalam karyanya bersama sutradara Imam Tantowi, Pesangrahan Kramat dan serial Saur Sepuh, mengingatkan kembali film Tiga Dara sebuah komedi karya Usmar Ismail. Sukses komersilnya mungkin tidak sehebat Si Kabayan. Namun menurut ukuran jamannya film yang dimainkan oleh Rendra Karno, Citra Dewi, Mieke Wijaya dan Bambang Irawan itu sebuah komedi yang sukses baik mutu maupun komersil pada jamannya.
Usmar Ismail sutradara yang dikenal sebagai wartawan, dramawan dan penyair bukan saja dihormati dinegaranya, juga di mancanegara. Film-film yang mendapat penghargaan seperti "Pejuang" dengan Bambang Hermanto sebagai aktor terbaik dalam Festival film di Moskow, Rendra Karno dinobatkan sebagai aktor pembantu dalam festival film Asia di Taiwan dan penghargaan lainnya. Sineas kelahiran Bukittinggi ini boleh dikatan serba bisa, jenis film apapun pernah digarapnya. Film perjuangan seperti, Enam Jam di Yogya, Darah dan Doa, Toha Pahlawan Bandung Selatan dan Anak anak Revolusi, dan Usmar Ismail membuat juga film-film komedi dan drama.

Penjelasan Pitradjaja Burnama : Usmar Ismail Mewariskan Cita-cita dan Dedikasi 1977
Pitradjaja Burnama menjelaskan tentang maksud dari tulisan `Momok Usmar Ismail` yang termuat dalam VISTA adalah idealisme yang Usmar Ismail pegang teguh dalam perfilman nasional, untuk sebagian produser film nasional sekarang ini, seolah-olah hanya berpegang pada masalah komersiil saja. Usmar Ismail sebagai tokoh dan guru dalam dunia perfilman nasional, yang mewariskan idealisme dan cita-cita luhur, khususnya terhadap perkembangan perfilman nasional. Dan tugas kita untuk melanjutkan cita-cita tersebut.


Pidato Usmar Ismail Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan
Usmar Ismail mengungkapkan pandangan umum tentang perfilman Indonesia, beliau dianggap mengetahui masalah seluk beluk perfilman Indonesia dan memperjuangkan film Indonesia secara keseluruhan dengan mengingat pentingnja dunia perfilman, dunia film dalam maupun luar negeri, bagi masyarakat dan negara kita. Dalam hal-hal tertentu tentu saja dia akan mendahulukan film nasional dari pada film asing yang manapun juga. Film dalam negeri tak mungkin akan maju tanpa adanya pemasukan film asing yang baik. Usmar Ismail mengusahakan supaya dalam menyusun rencana pembangunan 5 tahun, para pemimpin dan pembesar Indonesia tidak melupakan film sebagai alat komunikasi dan pembangunan kebudayaan


Saat-saat terakhir bersama Usmar Ismail 1991
Setiba dari Italia untuk mengurus copy Film Bali, hasil kerjasama Perfini dengan UGO Film dari Italia, Usmar Ismail merasa ditipu dan dia berpesan bila ingin membangun kerjasama dengan Italia harus jelas, terperinci dan zakelyk. Setelah itu dia terkena musibah lagi yang sangat memukul perasaannya, yaitu dilikwidirnya PT Ria Sari/ Miraca Sky Club yang dibangunnya sejak tahun 1967 dan harus mem-PHK karyawannya. Lewat Miraca Sky Club ini Usmar Ismail mendapat penghargaan sebagai warga teladan dari Pemda DKI, karena telah membantu Pemda dalam menarik arus wisatawan. Acara tutup tahun 31 Desember 1970 di Miraca Sky Club adalah terakhir kalinya Usmar Ismail berkumpul dengan segenap kerabat, handai tolan dan karyawan yang dikenal sangat akrab dan bersahaja, karena esok harinya dia diboyong ke rumah sakit karena pendarahan otak disusul kematiannya subuh jam 5.20 tanggal 2 Januari 1971. Usmar Ismail meninggalkan kita disaat tenaga dan pikirannya dibutuhkan oleh dunia perfilman Indonesia.


Tjeramah Usmar Ismail : Pembentukan dana film : beri harapan perusahaan-perusahaan film nasional

Usmar Ismail selaku Ketua Persatuan Importir Film Nasional menyatakan bahwa perusahaan film Indonesia sedang mengalami kendala-kendala antara lain masalah keuangan. Untuk itu dibentuk suatu Dana Film. Dana Film tersebut dikeluarkan oleh pemerintah berupa kredit sebesar 50 juta rupiah yang diberikan kepada para produsen film dan para penguasaha bioskop. Kredit tersebut dapat diharapkan dapat membantu perkembangan perindustrian film nasional

Tokoh Film Bulan Ini : Usmar Ismail 1955
Film Krisis produksi Perfini yang disutradarai oleh Usmar Ismail merupakan puncak atas daya kreasi dari dunia film Indonesia. Usmar Ismail adalah salah seorang sutradara Indonesia terbaik yang dicetak pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Pria kelahiran Bukit Tinggi, berotak pandai dan suka menulis ini tamat A.M.S bagian kesusasteraan pada usia 21 tahun. Di masa revolusi ia membentuk gerakan `seniman merdeka`, berpidato, menyanyi, main musik, agitasi, yang membangkitkan semangat patriotisme dan revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia. Kemudian Dia juga menjadi redaktur surat kabar `Harian Rakjat`, lalu di Yogyakarta menerbitkan majalah bulanan, mingguan, dan harian yang merupakan isi jiwanya sebagai seorang putera Indonesia yang sedang berevolusi. Usmar seorang mayor Tentara Nasional Indonesia, sebagai sastrawan, dan sebagai wartawan. Setelah dia keluar dari kedinasan tentara, bersama dengan S. Sumanto dan yang lainnya mendirikan Perusahaan Film Nasional yang terkenal dengan nama Perfini. Gelar BA didapatnya dari University of California atas bea siswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar drama dan cinematography. Selain sebagai sutradara, ia adalah presiden direktur perusahaan film nasional Indonesia. Usmar Ismail masih seorang putra Indonesia yang penuh rasa patriotisme diatas dasar nasionalisme yang besar, segenap jiwa dan pikirannya dicurahkan untuk nusa dan bangsanya.

Usmar Ismail angkatan 45 (1951)
Banyak orang yang menggolongkan bahwa Usmar Ismail merupakan sastrawan angkatan 45. Hal ini didasarkan atas karya-karya Usmar Ismail pada jaman penjajahan Jepang. Saat jaman pendudukan Jepang Usmar Ismail bersama teman-temannya mendirikan mingguan Tentara, Harian Patriot dan Majalah Kebudayaan Arena yang merupakan wadah tempat para seniman-seniman muda pada waktu itu. Setelah berlangsungnya aksi militer pertama Usmar Ismail menjadi wartawan Antara yang membawanya menghuni penjara dikarenakan tuduhan menjalankan gerakan bawah tanah oleh pihak Belanda. Setelah keluar dari penjara Usmar Ismail membuat film pertama dengan judul Harta Karun dan Tjitra. Berdasarkan pembuatan film inilah Usmar Ismail membuat perusahaan sendiri dengan nama Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Film pertama yang dibuat Perfini adalah Long March of Siliwangi (Darah dan Doa). Seiring dengan banyaknya film-film yang diproduksi oleh Perfini pada waktu itu dibandingkan dengan perusahaan film yang lain, membuat film-film produksi Perfini tersebut dapat dikatakan menjadi film yang sudah sempurna.

Usmar Ismail : tragedi sang seniman 1988
Artikel ini mengingatkan kita semua bahwa cita-cita menjadikan film Indonesia sebagai tuan rumah di negerinya sendiri tidak selayaknya dilakukan dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang malah mematikan semangat. Pernyataan yang mengesankan semangat orang yang kalah, kalau boleh pinjam ungkapan seorang pengamat film. Seperti yang terdengar belakangan ini yang ironisnya datang dari mereka yang dianggap paling tahu masalah perfilman nasional. Untuk itulah perlunya mempelajari perjuangan dan konsep pemikiran Usmar Ismail yang barangkali bisa dijadikan pedoman wajah perfilman nasional yang sebenarnya.
Kita tidak boleh terjebak oleh pendapat yang belum pasti nilai kebenarannya. Sebab ada kalanya apa yang tertulis berbeda jauh dengan kenyataan yang ada di lapangan. Hingga hari ini masih jadi tanda Tanya apakah benar masyarakat Indonesia kurang menyenangi film buatan bangsanya sendiri. Belum ada satupun studi atau penelitian yang komprehensif mengenai hal ini. Begitu pula bagaimana sebenarnya pengaruh film Barat terhadap aspek cultural, pranata-pranata sosial dan psikologis masyarakat Indonesia. Pada umumnya pendapat orang yang memojokkan film nasional hanya berdasarkan prasangka dan kesan selintas yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengkaji ulang perjalan hidup dan pikiran-pikiran Usmar Ismail kita merasakan getar daya hidup yang tak pernah berhenti dari sang seniman yang bernasib tragis ini. Sebaiknya tulisan ini kita akhiri dengan mengutip Asrul Sani, teman dekatnya: “Usmar adalah seorang tokoh yang tragis. Ia berdiri sendiri di tengah-tengah masyarakat yang mempunyai selera yang lain tentang film, selera yang dibentuk oleh berpuluh-puluh tahun pengalaman menonton film impor yang disajikan tidak lebih dari sekedar hiburan, yang sama sekali tidak menyadari kaitan antara kenyataan dan film.

Usmar Ismail dan Soerjosumanto Tokoh Perfilman Indonesia 1998
Presiden Soeharto memberikan anugerah Bintang Mahaputra Utama kepada Usmar Ismail dan Soerjosumanto atas jasa-jasa beliau memajukan perfilman di Indonesia. Usmar Ismail mendirikan suatu perisahaan film pertama yang memproduksi film-film Indonesia. Perfini (Perusahaan Film Nasional) berdiri pada tanggal 30 Maret 1950 lahir pada saat syuting pertama film yang diproduksi Perfini yaitu Darah dan Doa. Selanjutnya hari tersebut dijadikan sebagai Hari Film Nasional. Soerjosumanto lebih dikenal sebagai pemimpin Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) yang berdiri pada tahun 1956. Soerjosumanto dikenal sebagai Bapak artis karena berkat jasanya PARFI terhindar dari PKI

Usmar Ismail Gigih Perjuangkan Legitimasi Film Nasional 1991
Sejarah perfilman di negeri ini tak perpisahkan dari sejarah kehidupan dan perjuangan Usmar Ismail. Almarhum bukan hanya sebagai peletak dasar perfilman Indonesia, tetapi juga seorang kreator berjiwa nasionalisme yang kental. Simbol-simbol kebangsaan selalu mewarnai gerak kehidupannya, baik dalam bidang sosial maupun kebudayaan. Sikap ini dipertahankannya hingga ia menekuni film. Itu sebabnya, Usmar Ismail adalah sineas pertama yang memperjuangkan dengan gigih diakuinya film nasional, kendati ia harus berhadapan dengan pemilik-pemilik bioskop yang diantaranya warga asing. Ia telah memancangkan tonggak terpenting dalam sejarah perfilman nasional, dengan menunjukkan tekadnya bahwa orang pribumipun mampu menjadi “tuan rumah di negerinya sendiri.
Dari karya-karya film yang dibuatnya, sangat jelas betapa besar andilnya Usmar Ismail dalam merintis perfilman nasional, terutama dengan memanfaatkan semua potensi yang dimiliki sineas pribumi. Usmar, tentu saja ingin menunjukkan kepada dunia bahwa putra-putri Indonesia juga mampu membuat film yang berkualitas. Idealisme dan dedikasi Usmar yang dilandasi semangat nasionalisme, kiranya penting diaktualisasikan dalam proses kreatif sineas kita pada masa kini. Film bagi Usmar adalah bagian kebudayaan, yang harus dibuat dengan landasan moral dan tanggung jawab. Usmar juga seorang sineas yang meletakkan film inhern dengan bidang kebudayaan, bahkan dengan revolusi Indonesia. Pemikiran dan gagasan Usmar Ismail pada beberapa tulisan betapa ia dengan sangat gigihnya memperjuangkan legitimasi film nasional yang mampu menjadi alternatif bagi kemajuan manusia Indonesia. Dan menghendaki karya film Indonesia dapat menyumbangkan nilai-nilai positif bagi pembangunan bangsa dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Usmar Ismail ke Amerika Serikat Hollywood 1955
Tanggal 15 September 1955 Usmar Ismail Ketua PPFI sekaligus juga Presiden Direktur Perfini telah berangkat ke Amerika Serikat untuk mempelajari ilmu organisasi theater dan perusahaan film selama 3 bulan di Hollywood

Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film 1991
Usmar Ismail pun pernah menggugat peredaran film asing pada dasawarsa 60 an. Film-film impor Amerika mendominasi masa putar sebagian besar gedung-gedung bioskop di seluruh Indonesia. Pada masa itu nasib perfilman Indonesia masih jauh dari upaya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak ada kebijakan pemerintah untuk melindungi karya anak negeri, film Indonesia pun harus bersaing keras dengan film-film impor asal India, Malaysia, dan Philipina. Pengembangan kreativitas Usmar Ismail terhalang oleh sensor yang asal gunting, iklim politik pada masa itu merupakan kendala terberat baginya dan kecaman-kecaman dari Lembaga Kebudayaan Rakyat menjadi daftar keluhan Usmar Ismail sampai akhir hayatnya

Usmar Ismail tentang kesenian nasional : kegairahan untuk mentjipta harus di-kobar2kan lagi 1966

Kesenian yang diselenggarakan oleh Front Kebudayaan Revolusioner dimana pendirinya adalah Usmar Ismail bertujuan untuk menciptakan suatu gerakan yang bersifat nasional untuk mengembangkan kesenian daerah yang ada di Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya organisasi kebudayaan yang bersifat nasional agar kesenian daerah dapat berkembang. Organisasi tersebut harus bersifat luwes, tidak ada paksaan di antara berbagai golongan agar kesenian dapat berkembang serta dapat membangkitkan semangat para seniman untuk menciptakan karya-karya seninya

Usmar Ismail, jatuh dan bangunnya 1982
Dalam usia yang relatif muda Usmar Ismail berhasil menjadi penggerak dalam berbagai organisasi di dunia teater antara lain Ketua Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Sandiwara Ganesha, Sandiwara Penggemar Maya. Selain di bidang teater Usmar Ismail juga aktif dalam dunia wartawan dan militer hingga dunia politik. Karirnya jatuh pada saat Usmar Ismail mengembangkan usaha hiburan yang mendapat protes dari kalangan pemerintah.


Usmar Ismail (berdiri, ke-3 dari kiri), foto bersama dengan Hamidy T. Djamil (ke-5), dan juru kamera Max Tera serta aktor Sukarno M. Noor (jongkok ke-2) dan Wahid Chan (ke-3)


SEMANGAT kebangsaan telah ditunjukkan oleh salah seorang tokoh perfilman Indonesia H. Usmar Ismail ketika mendirikan NV Perfini pada tanggal 30 Maret 1950. Pada tanggal dan tahun itulah Usmar memulai shooting film produksi pertama NV Perfini "Darah dan Doa" (Long March). Dalam sejarah film Indonesia, film tersebut tercatat sebagai film Indonesia pertama yang penggarapan dan modalnya oleh orang-orang pribumi. Sebelumnya memang ada film "Lutung Kasarung" (1926) yang dianggap sebagai film cerita pertama di Indonesia, tetapi digarap oleh orang Belanda.

Semula film tersebut akan menggunakan judul "Long March", dan direncanakan akan dikirim ke Festival Film Intemasional di Cannes. Sayang hanya sampai sebatas rencana, sebab penggarapannya hampir terhambat akibat menyusutnya nilai uang setelah pemerintah waktu itu melakukan pemotongan nilai uang. Modal Rp 30.000 untuk shooting film tersebut tentu saja tidak mencukupi karena nilainya turun drastis jadi separuhnya. Agar tidak rugi total, Perfini mengadakan kerja sama dengan Spektra Exchange, sehingga film "Darah dan Doa" bisa diselesaikan seluruhnya. Sutradara Usmar Ismail juga sempat menghadapi kenyataan pahit ketika film "Darah dan Doa" dilarang beredar di beberapa daerah, termasuk di Jakarta.

Melalui film "Darah dan Doa" yang menceritakan hijrahnya pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat, Usmar telah menunjukkan bahwa orang-orang pribumi pun mampu berprestasi, menjadi pengusaha film, mengurus manajemen produksi, menjadi penata kamera, menjadi editor, pokoknya seluruh film tersebut dikerjakan oleh pribumi. Usmar sendiri berasal dari Sumatra Barat, penulis skenarionya sastrawan Sitor Situmorang dari Sumatra Utara, para pemainnya antara lain Del Yuzar dan Aedy Moward, dari berbagai daerah, sedangkan ceritanya lebih bernuansa Jawa Barat. Bahkan dalam film perjuangan berikutnya, Usmar banyak sekali mengungkapkan romantika perjuangan di Jawa Barat, misalnya melalui film "Pejuang", Toha Pahlawan Bandung Selatan" dan "Anak-Anak Revolusi". Berkat jasanya terhadap kebangkitan film nasional, pemerintah memberikan penghargaan sebagai "Perintis Perfilman Nasional" kepada Usmar Ismail.

Hari Film Nasional

Tangga) 11 Oktober 1962, berlangsung konferensi kerja Dewan Film dengan berbagai organisasi perfilman, antara lain memutuskan bahwa hari shooting pertama produksi perdana NV Perfini "Darah dan Doa" dijadikan Hari Hlm Nasional. Itulah sebabnya FFI pertama berlangsung 30 Maret, sebab dianggap sebagai hari bersejarah bagi kehadiran film yang sepenuhnya merupakan karya orang pribumi. Akan tetapi dalam penyelenggaraan berikutnya, tidak lagi diselenggarakan tangga) 30 Maret.

Sebelumnya telah terjadi perbedaan pendapat sebab peristiwa bersejarah tanggal 30 Maret hanya diakui oleh kalangan orang film swasta, sedangkan kalangan pemerintah masih memilih tanggal 6 Oktober sebagai mana usulan tokoh perfilman lainnya R.M. Soetarto. Alasannya, pada tanggal 6 Oktober 1945 ada peristiwa yang dianggap lebih penting, yakni bertepatan dengan Jepang yang menyerahkan studio Nippon Eiga Sha kepada Pemerintah RI. Dari pemerintah RI sendiri diwakili oleh R.M. Soetarto. Studio itu kemudian berganti nama menjadi PPFN (Pusat Produksi Film Negara).

Upaya untuk mengajukan tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional terus dilakukan. Akhirnya terwujud pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Melalui Keputusan Presiden No. 25, tanggal 29 Maret !999. yang ditandatangani langsung oleh BJ. Habibie, maka ditetapkan bahwa tanggal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional.Jika kita menyimak film-film penting dalam perjalanan sejarah film Indonesia, maka akan nampak bahwa pesona Jawa Barat menjadi bagian yang tak terpisahkan. Film cerita pertama yang dibuat di Indonesia adalah film berdasarkan cerita legenda dari Jawa Barat. Film karya Albert Balink dan Mannus Franken "Pareh" (1934), yang mendapat pujian dari para pengamat film, menampilkan keindahan panorama alam tatar Sunda dengan adaptasi dan tradisinya. Dan film "Darah dan Doa" yang shooting pertamanya dijadikan sebagai tangga] Hari Film Nasional, mengungkapkan kisah hijrahnya pasukan Siliwangi ke Jawa Barat.

Maka rasa nasionalisme yang bersumber dari keragaman potensi daerah, sesungguhnya telah digaungkan oleh para sineas tempo dulu, termasuk keterlibatan pemerintah daerah dalam pembuatan film, seperti dukungan bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V. terhadap film "Lutung Kasarung" dan "Pareh". Film adalah seni mutakhir yang memiliki pengaruh luar biasa, juga bisa menjadi dokumentasi berharga dari generasi ke generasi. Kini Iata bisa menyaksikan film "Pareh" dalam rentang waktu 76 tahun, atau "Darah dan Doa" setelah 60 tahun, dalam kondisi film yang masih terawat, lalu kita bisa melihat sendiri realita alam dan manusianya pada saat itu.Melalui Hari FOm Nasional sesungguhnya kita bisa memperluas wawasan melalui film tempo dulu yang tersimpan di Sinematek Indonesia untuk mengenal masa lampau Indonesia. ( Eddy D. Iskandar, Ketua UmumFFB/Pimred "Galura").

FOTO-FOTO USMAR ISMAIL



Usmar Ismail saat ikut shooting dengan Andjar Asmara ketika membuat Film "Djauh Dimata" (1948) Kedua dari kiri : Ali Yugo (aktor), Duduk, kedua dari kiri : sutradara Andjar Asmara, Ratna Asmara (aktris, isteri Andjar) dan juru kamera Denninghoff Stelling. Produksi South Pasifik Film Corporation (SPFC), "Djauh Dimata" (1948). Berdiri, kedua dari kanan : Usmar Ismail

















Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Budiardjo, Menteri Penerangan 1968-1973


























Berapa teaming di atas tidak akan disebut lengkap. Tuan perhatikan dari kiri : Usmar Ismail (produser-regisur), Mieke Widjaya (bintang), Anwar (distribusi), Amura (wartawan film) dan Djajakusuma (sutradara)

















Gubernur Ali Sadikin dan Usmar Ismail pada Festival Film Asia (Pasifik) 1970 di Jakarta.







 













Dari Festival Film Asia 1957 di Tokyo : wakil PPFI Usmar Ismail dengan aktris terbaik nona Lin Dai (dalam film "Golden Lotus" dari Hongkong)






















Usmar Ismail (ke-3 dari kanan) memegang piala ilustrasi musik untuk film "Harimau Tjampa" pada Festival Film Asia (Pasifik) 1955 di Singapura.
 






















Dua orang tokoh utama film Indonesia, jakni njonja Elly Djamaludin Malik dari Persari dan Pres Direktur Perfini Usmar Ismail dansa bersama pada malam peringatan lima tahun perkawinan dokter dan njonja Jahja (njonja Mimi Jahja adalah Ratu Katjamata Indonesia 




















Ismar Ismail bersalaman dengan Duta Besar Amerika untuk Indonesia



















Sutradara Usmar Ismail ketika ia masih berada di Hollywood beberapa waktu jang lalu, bertemu dan bincang-bincang dengan bintang box-office A.S. nomer satu, Rock Hudson.















Kritikus Gayus Siagian (ke-1) dan Usmar Ismail (ke-3) di negeri Belanda tahun 1951.





















Usmar Ismail, dalam rangka pembuatan Tauhid (1964), sempat jalan-jalan ke Mesir, tertanggal 9 Mei 1964.
















 






Festival Film Asia (Pasifik) tahun 1957 di Tokyo. Dari kiri : produser Kwee Thiam Liong (ke-3), Usmar Ismail (ke-5) dan aktor Bambang Hermanto (ke-8)






















Produser Kwee Thiam Liong (ke-2 dari kiri), Usmar Ismail (ke-6) dan Bambang Hermanto (paling kanan) dalam acara jamuan makan ketika menghadiri Festival Film Asia (Pasifik) 1957 di Jepang (Tokyo)





















Dari kanan : Gubernur Ali Sadikin, Ny. Nani Sadikin dan Usmar Ismail pada Festival Film Asia (Pasifik) 1970 di Jakarta.



















Bersama Marlon Brando-Fatmawati di Hollywood


















Pembuatan film Gadis Desa



















Bersama para artis















Akademi Teater Nasional


USMAR ISMAIL DAN LESBUMI


Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik pada tahun 1952.

Adalah Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani ?tiga serangkai?, Lesbumi berhasil menciptakan film yang digandrungi masyarakat pada saat itu seperti ?Pagar Kawat Berduri?, ?Tauhid?, dan sebagainya.

Memang jika karya-karya bapak Asrul Sani sangat begitu baik sebagai seorang penulis sekenario. Namun pak asrul sendiri pernah menyatakan kalau film-film Usmar pernah berbau Hollywood, hingga Usmar pun harus mengkompromikan idealismenya dalam film ?Tiga Dara?. Namun, bagaimanapun karya para pejuang-pejuang dalam bidang kebudayaan patut dihormati karena saat itu Indonesia memang membutuhkan Kebudayaan anak Indonesia yang benar-benar muncul dan lahir dari ide kreatif anak bangsa.

Meskipun Proklamasi Kemerdekaan RI dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan itu baru sepenuhnya dirasakan secara resmi setelah Desember 1949 dengan berakhirnya serangkaian pertempuran yang masih berlangsung pasca kemerdekaan. Situasi bebas dari serangkaian pertempuran ini membawa angina segar bagi kalangan perfilman Indonesia.

Di tahun 1950 ada sekitar 23 film diproduksi. Salah satu diantaranya adalah film garapan Usmar Ismail , Darah dan Doa. Sebelumnya, dari tahun 1945 hingga 1947, tidak satu pun film diproduksi. Baru pada tahun 1948 sebanyak tiga film dan pada tahun 1949 sebanyak delapan film diproduksi. Misbach Yusa Biran mencatat bahwa perusahaan film yang mula-mula didirikan orang pribumi setelah kemerdekaan Indonesia adalah Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) oleh Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. Beberapa bulan kemudian barulah Persari (Persatuan Artis Indonesia) didirikan oleh Djamaluddin Malik. Sejak itu dunia perfilman di Indonesia mulai ?tancap gas? dan penuh semangat. Namun, pada pertengahan tahun 1990-an dikesankan ada kelesuan produksi film nasional. Kesan itu rasanya jauh dari kenyataan kalau hanya melihat jumlah produksi.

Data menunjukkan tahun 1994 terdapat 26 judul film yang diproduksi, 1995, 1996, dan 1997. Tahun 1997 adalah awal krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis sosial-politik. Akibatnya, sangat terasa karena produksi tahun 1998 dan 1999 hanya empat film. Tahun 2000 naik jadi 11 film dan tahun berikutnya, 2001, turun lagi jadi tiga film. Mulai tahun 2002 produksi film nasional bangkit menjadi 14 film, 2003, dan 2004. Diperkirakan tahun 2005 sama dengan tahun sebelumnya.

Angka-angka ini berdasarkan data lolos sensor dari Lembaga Sensor Film, kecuali sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival entah di dalam negeri (JiFFest) entah di luar negeri.

Cita-cita Djamaluddin dengan Persarinya adalah membangun industri film nasional yang modern. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Djamaluddin membangun studio besar dan mewah di kawasan Polonia, Jatinegara, Jakarta. Studio ini juga dilengkapi dengan rumah-rumah tinggal yang mungil diperuntukkan bagi bintang-bintang layer perak. Djamaluddin juga memulai rintisan kerjasama dengan Negara Philipina dalam sebuah produksi film ? karena industri film di Manila pada saat itu jauh lebih baik dari Indonesia. Kondisi seperti ini berbeda dari kebanyakan para produser film saat itu yang masih berkutat dengan peralatan film yang sudah tua dan belum pernah terbayang untuk melangkah ke luar kandang.

Sebelum Lesbumi hadir, upaya negosiasi kepada pemerintah RI agar menetapkan kuota bagi film-film asing, khususnya film-film Amerika, sudah dilakukan oleh Usmar ? melalui Perfini ? bersama dengan Djamaluddin Malik ? melalui Persari ? sejak tahun 1950-an. Sepanjang tahun 1954-1962, mereka berupaya menggerakkan hati pemerintah untuk mengadakan pembatasan kuota terhadap film-film Amerika, dari yang semula 250 film per tahun menjadi 120 film. Akan tetapi, sangat disayangkan, pengurangan masuknya film-film Amerika ini tidak diimbangi oleh tindakan yang positif dalam bentuk memperbanyak produksi film-film nasional. Akibatnya, dominasi film asing tetap saja berlarut-larut. Sampai dengan tahun 1964, kuota untuk film-film Amerika ditetapkan menjadi 80 film.

Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh Usmar dan Djamaluddin sehubungan dengan pembatasan kekuasaan film-film Amerika. ?Sikap positif membatasi kekuasaan film Amerika di pasaran Indoneisa inilah,? tegas Usmar, ?jang kemudian diambil oper oleh Putjuk Pimpinan Lesbumi. Usmar menyebutkan bahwa penetapan kuota ini bersangkut paut dengan spek financial-ekonomis perdagangan film.

Dalam mengabdikan sejarah perfilman Indonesia tahun 1964-1965, Usmar, pada tahun 1970, mengatakan:

?Tahun 1964-1965 adalah masa hitam bagi perfilman nasional. Dunia film pecah menjadi dua blok yang akibatnya sekarang pun masih dirasakan, karena justru pada masa sesudah 30 September 1965, perpecahan itu telah dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk memenangkan kebijaksanaannya di bidang film??.

Meski sejak awal Djamaluddin Malik memimpin dan menjabat Ketua Umum Lesbumi, tidak diragukan lagi bahwa pemberi bentuk dan konseptor Lesbumi adalah Asrul Sani, disamping Usmar Ismail. Asrul (1927-2004) berusia paling muda di antara kedua rekannya, Djamaluddin Malik (1917-1970) dan Usmar Ismail (1921-1971).

?Tiga serangkai? seniman-budayawan tersebut telah mampu menjadi embrio dan perintis utama kemajuan dunia perfilman di Indonesia. Namun, perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun 1991 jumlah produksi hanya 25 judul film (padahal rata-rata produksi film nasional sekitar 70 - 100 film per tahun).

Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi, video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar yang beragam sekaligus saling berhubungan, namun juga masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.

Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya kwalitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.

Penurunan jumlah film maupun penonton di Indonesia sudah memprihatinkan. Jumlah penonton dalam skala nasional tahun 1977/78 - 1987/88 tercatat 937.700.000 penonton dan hingga tahun 1992 menurun sekitar 50 persen. Bahkan di Jakarta dari rata-rata 100.000 - 150.000 penonton, turun menjadi 77.665 penonton tahun 1991. Demikian juga dengan jumlah film, dari rata-rata 75 - 100 film pertahun, tahun 1991 / 92 menurun lebih daripada 50 % tahun 1993 surat izin produksi yang di keluarkan Deppen RI, sampai bulan Mei baru tercatat 8 buah film nasional untuk diproduksi. Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju ke sana telah terlihat.

Fenomena munculnya film-film Ayat-ayat Cinta yang diangkat dari novel Habiburrahman El Shirazy memukau banyak orang pecinta film. Tidak disangka jumlah penonton yang membludak membanjiri gedung-gedung bioskop di seluruh tanah air, khususnya di kota-kota besar. Kemudian, film ?kiamat sudah dekat? dan lainnya yang bernafaskan humanisme-religius terus menanjak. Hal ini tidak bisa dilupakan perjuangan tiga tokoh seniman dan budayawan Lesbumi tempo dulu.

KORBAN FITNAH / 1961

KORBAN FITNAH


Di film ini Usmar Ismail memakai nama PL Kapoor adalah nama samaran Usmar Ismail. Kerjasama Indonesia - Malaysia (masih bernama Malaya). Siput Serawak, Maria Menado dan Syed Hassan adalah pemain Malaysia. Husein (Sukarno M. Noor) diajukan ke pengadilan karena akan bunuh diri. Ia tak mau menjelaskan sebabnya, sampai desakan bertubi-tubi datang. Maka berkisahlah Husein. Ia duduk di universitas atas bantuan kakaknya, Hasan (AN Alcaff), yang belum juga kawin, karena hanya memikirkan Husein dan kakaknya, Munah (Siput Serawak) yang sakit jantung. Dalam masa itu ia berkenalan dengan Rahimah (Maria Menado), yang diaku pacar oleh Wahab (Syed Hassan), kawan Husein. Padahal dua orang tadi tak ada hubungan khusus, malah Husein kena damprat Rahimah. Kejadian ini membuat Wahab dendam pada Rahimah dan mengancam akan balas dendam. Hasan akhirnya kawin dengan Rahimah atas desakan Munah. Kebahagiaan tak berlangsung lama, karena Wahab mulai beraksi dan mencoba menggoda. Husein marah dan meninju Wahab. Wahab menyebar fitnah. Kepada Hasan dikatakan bahwa Husein serong dengan Rahimah. Kejadian-kejadian kecil di masa lalu, menyulut cemburu dan amarahnya, hingga Husein dan Rahimah yang tengah mengandung diusir. Munah menyurati Adi (Abdul Hadi), paman Rahimah, dan akhirnya Hasan berhasil diinsyafkan. Maka Rahimah dan Husein dicari. Yang dijumpai pertama Wahab. Ia mengaku salah setelah dihajar habis-habisan.

Celakanya Hasan ditabrak mobil, hingga buta. Peristiwa ini diketahui Rahimah dari surat kabar. Ia menjenguk ke rumah sakit. Hasan minta maaf. Rahimah bersedia mengorbankan matanya untuk suaminya, tapi dokter menolak. Dokter hanya mau mencangkok mata dari orang yang meninggal. Husein yang baru datang ke rumah sakit, mendengar percakapan itu. Ia memutuskan bunuh diri agar bisa membalas budi kakaknya. Ia menulis surat pada dokter untuk mengambil mata dari orang yang bunuh diri. Belum sempat bunuh diri, Husein ditangkap polisi. Mendengar kisah ini, hakim memutuskan Husein bebas hukuman.

BALI (BALI -INCONTRO D'AMORE) / 1970

BALI -INCONTRO D'AMORE

BALI -INCONTRO D'AMORE
BALI
INCONTRO D'AMORE A BALI
AVVENTURA A BALI

Disutradarai bersama UGO LIBERATORE


Glenn dan Carlo bekerja sama menyusun buku di Bali. Glenn sendiri sudah dua kali kawin ala Bali dan mempelajari ilmu mistik Bali. Kongsi ini retak, karena Carlo cemburu melihat Glenn rapat dengan istrinya dan mengajak pulang ke Eropa. Istrinya memilih tinggal di Bali, karena tahu Glenn sudah seia-sekata dengan guru mistiknya. Bila satu meninggal, yang lain akan ikut. Suatu hari Glenn bermaksud melaksanakan upacara mistik di Karangasem. Carlo muncul lagi. Istrinya mengatakan bahwa guru Glenn sudah meninggal dan minta suaminya tidak memberi tahu. Carlo memilih memberi tahu.

 INTERNATIONAL FILM CO.
GERICO SOUND (ROMA)
PERFINI N.V. di USMAR ISMAIL (GIACARTA)


JOHN STEINER
LAURA ANTONELLI
UMBERTO ORSINI
PETRA PAULY
JOHANNES SCHAAF
RENATO SPERA
CARLA MANCINI
WIDYAWATI
TIENPEKA BLANCO
MILA KAMILKI
FIFI YOUNG

Kenapa tidak ada nama Usmar Ismail dalam film Ini?

Pada 1970, Usmar Ismail, sebagai direktur Perfini bekerjasama dengan International Film Company dari Italia, membuat film Adventures in Bali. Namun, proses produksi dan setelah film jadi, bermasalah.

Dalam surat pembaca di majalah Ekspres, 21 Desember 1970, Usmar mengakui, “untuk diketahui perlu juga kami menjelaskan bahwa dalam usaha kerjasama ini ternyata pihak Perfini telah banyak sekali dikecewakan oleh pihak Italia, terutama mengenai penyelesaian soal honorarium artis dan karyawan, soal mengenai biaya hotel yang sekarang dibebankan kepada Perfini.”

Menurut perjanjian, kata Rosihan, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film yang diedarkan di Eropa. “Ternyata waktu Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film Bali itu namanya sama sekali tidak disebut. Usmar sudah ditipu oleh produser Italia,” kata Rosihan.

Pada 31 Desember 1970, Usmar pulang dari Italia untuk mengurus kopi film Adventure in Bali, yang ternyata untuk peredaran di Indonesia tidak dikirim. Film ini dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun gagal menggaet penonton. Film ini kemudian diedit ulang oleh sutradara Ugo Liberatore dan Paolo Heusch, dan diberi judul baru, Incontro d’amore a Bali.
Sementara itu, Usmar sedang berjuang mempertahankan Perfini, meskipun untuk menggaji karyawan harus melego peralatan studio. Sudah jatuh tertimpa tangga. Setiba di Indonesia, Usmar merumahkan 160 karyawannya di PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club, karena bisnis yang dibangunnya sejak 1967 itu dilikuidasi oleh toko serba ada, Sarinah. 

Malamnya, Usmar masih sempat menyelesaikan dubbing film terakhirnya, Ananda di studio Perfini. Setelah itu, menjelang pergantian tahun, seperti biasa dia mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya ke Miraca Sky Club. Dia mengadakan perpisahan dengan karyawannya.

“Saya terkejut, karena pada malam tahun baru, Usmar, saya dan Aboe Bakar Loebis beserta masing-masing istri masih kumpul di Miraca Sky Club di mana Usmar menjadi manajernya," kata Rosihan.

Tidak biasa, Usmar mengajak semua bawahannya berfoto. Dia memeluk satu per satu istri kolega dan bawahannya untuk mengucapkan selamat tahun baru sekaligus kata-kata perpisahan. Dia juga menghendaki sahabat-sahabatnya untuk tetap duduk di dekatnya. “Yang dianggap paling aneh, Usmar yang ketika muda pernah belajar dansa, malam itu ber-soul sendiri,” tulis Rita Sri Hastuti dalam “Mengenang 40 Tahun Kepergian Usmar Ismail dari Darah dan Doa,” lsf.go.id, 14 Maret 2011.

Esok sorenya pukul 17.00 Usmar tak sadarkan diri karena pendarahan di otak. “Ada pikiran untuk mengadakan operasi di otaknya. Namun, untuk itu tidak mungkin lagi,” kata Rosihan. Usmar meninggal pada 2 Januari 1971 dan dimakamkan di TPU Karet Jakarta.

“Usmar meninggal dunia dalam usia belum genap 50 tahun. Walaupun Usmar tidak pernah membicarakannya dengan saya, namun saya pikir dia telah mengalami kekecewaan berat dan stress akibat joint-production Perfini dengan sebuah perusahaan film Italia membuat film cerita dengan lokasi Bali,” tulis Rosihan dalam “Di Balik manusia Komunikasi,” tulisan persembahan untuk 75 Tahun M. Alwi Dahlan, kemenakan Usmar Ismail.