Tampilkan postingan dengan label WIM UMBOH1955-1991. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label WIM UMBOH1955-1991. Tampilkan semua postingan

Jumat, 17 April 2020

SLAMET TINGGAL JEANETTE / 1988

SLAMET TINGGAL JEANETTE


Suryono (Mathias Muchus) berasal dari Solo dan masih keturunan ningrat. Jeanette (Meriam Bellina), wanita cantik asal Prancis. Suryono membawa Jeanette ke kota kelahirannya dan akhirnya menikah, sungguhpun pernikahan itu tak disetujui ibu Suryono. Cinta antar bangsa itu mengalami keretakan dan Jeanette pulang ke Prancis. Sementara itu, Suryono yang kesepian sempat menggagahi pembantunya, Trimah (Ria Irawan).

MENDUNG SENDJA HARI / 1960

 

Kusumo (AN Alcaff) hidup bahagia dengan istrinya (Fifi Young) dan dua anaknya, Tati (Wati Wahab) dan Toto (Pitrajaya Burnama), di Surabaya. Kebahagiaan itu guncang saat Kusumo jumpa dengan Maryati (Ariati), janda asal Yogya, yang kecopetan saat berbelanja. Pertemuan ini berbuntut perkawinan di Yogya. Kusumo meninggalkan keluarganya, yang sama sekali tak tahu tentang perkawinan ini. Seorang sahabat, Sulaiman (Rd Ismail) menyadarkan Kusumo, yang lalu pulang ke Surabaya. Di perjalanan mobilnya tabrakan, hingga Kusumo masuk rumah sakit. Kepada istrinya yang menjenguk, Kusumo minta maaf dan lalu meninggal.
 P.T. ARIES FILM

A.N. ALCAFF
FIFI YOUNG
ARIATI
PITRAJAYA BURNAMA
WATI WAHAB
RD ISMAIL

Jumat, 11 Februari 2011

WIM UMBOH 1955-1991

WIM UMBOH


Wim Umboh lahir di Wauilinei, Sulawesi Utara, pada tanggal 26 Maret 1933. Meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 24 Janauri 1996. Beragama Islam. Pendidikan : SLA, Penataran Sinematografi di Francis (1963).

Sutradara yang yatim-piatu sejak 8 tahun ini pertama-tama mengenal dunia film lewat wartawan Boes Boestami hingga ia bisa kerja jadi tukang sapu di Studio Film Golden Arrow (Panah Mas). Karena sejak kecil sudah dianggat jadi anak angkat seorang dokter (Liem), dan "dapat" nama Cina Liem Yan Yung ia sudah lancar bahasa Mandarin. Ia kerja "serabutan" pada bosnya Chok Chin Hsin/alias CC Hardy. (1907-1987) jadi "penerjemah" untuk kepentingan pemain dan karyawan film. Maka studio milik Mr. Chok inilah yang sebetulnya bisa disebut Akademi Sinemarografi Wim yang utama. Dari situ ia bisa belajar semua hal tentang film dan dia bilang "Kalau orang mengarakan guru saya adalah Mr. Chok itu memang betul".

Nama Wim sebagai sutradara tiba-tiba muncul ketika ia menghasilkan film Dibalik Dinding (1955) dan Terang Bulan Terang Di Kali (1956) berdasarkan tulisan S.M. Ardan. Tenaga yang penuh harapan ini lalu mendirikan perusahaan sendiri, Aries Film, bersama Any Mambo (1912-1973) dengan produksinya yang pertama Istana Jang Hilang (1960). Dari pernikahan pertama dengan R.O. Unarsih pada 1956, lahirlah anak perempuan yang diberi nama Maria Umboh pada 1957. Anak itulah yang dijadikan bintang utama salah satu film larisnya, Bintang Ketjil (1963).

Film-film yang dihasilkannya lewat perusahaannya sendiri bisa dibilang merupakan langkah-langkah berani dalam dunia perfilman di Indonesia. la orang pertama yang membuat film Cinemascope dan berwarna (Sembilan, 1967) lalu buat film 70 mm pertama dengan tata suara stereo dalam Mama (1972). Kalau bisa dibilang ia adalah kombinasi dari "senimannya" Usmar Ismail (1921-1971) dan jiwa "industriawannya" Djamaludin Malik (1917-1970). Karyanya cukup laku di pasaran, tapi juga bisa di pertanggung jawabkan nilai artistiknya. Dua kali berturut karyanya terpilih sebagai film terbaik Senyum Dipagi Bulan Desember (FFI 1975) dan Cinta (FFI 1976). Sementara itu membentuk juga pasangan romantis kedua setelah Rd. Moehtar -Roekiah (Terang Bulan, 1973), yakni Sophan Sophiaan dan Widyawati dalam Pengantin Remaja (Film Terbaik Festival Film Asia, 1971) dan Perkawinan (Film Terbaik FFI, 1973).

Lewat Perkawinan, Wim meraih tiga Citra, sebagai sutradara, penulis skenario dan editor. Perkawinan itu juga bikin rekor dengan memborong 8 Piala Citra dan baru bisa "kalah" oleh Ibunda-nya. Teguh Karya yang dapat 9 Piata Citra pada FFI 1986. Walau "resmi"nya adalah sutradara, tetapi ia cetak terbanyak meraih Citra jusrru sebagai edi¬tor (lima). Empat lainnya lewat Cinta {FFI 1979), Sesuatu Yang Indah (FFI 1977), Pengemis dan Tukang Becak (FFI 1979) dan Secawan Anggur Kebimbangan (FFI 1986). Jarang orang yang punya jiwa kepeloporan dan semangat yang tak kunjung padam seperti dia. Waktu-waktu terakhirnya di dunia diabadikan dengan masuk Islam mulai 1983, lalu bikin Pengantin Remaja (1991) serta sinetron Pahlawan Tak Dikenal (1995) dan sedang mempersiapkan sinetron Apsari.


Lahir di sebuah kota kecil bernama Wauilinei yang terletak di provinsi Sulawesi Utara pada 26 Maret 1933. Pada masa kanak-kanak, ia sudah harus mengecap kenyataan pahit. Di usia yang baru menginjak 6 tahun, Wim kecil sudah hidup sebatang kara ditinggal pergi kedua orangtuanya yang menghadap Sang Pencipta.
 
Meski begitu, bungsu dari 11 bersaudara ini tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Wim tetap semangat menjalani hidupnya dengan harapan suatu saat ia dapat menjadi orang yang bermanfaat. Untuk bertahan hidup, Wim sempat bekerja sebagai tukang sepatu. Untunglah, ada seorang dokter Tionghoa bernama Liem yang berbaik hati menjadi orang tua angkatnya. Oleh orangtua angkatnya itu, Wim dihadiahkan nama Cina, Liem Yan Yung. Dokter Liem yang masih memegang teguh tradisi leluhurnya, tak hanya memberikan Wim kasih sayang namun juga mengajarkan anak angkatnya itu berbagai hal. Salah satunya adalah bahasa Mandarin. Tak heran sejak kecil, Wim Umboh sudah fasih berkomunikasi dengan bahasa khas Negeri Tiongkok itu.

Walau tanpa dukungan orangtua kandungnya, ia cukup beruntung karena masih bisa mengenyam pendidikan di kampung halamannya, setidaknya hingga tingkat SMA. Setelah lulus, ia mengadu nasib ke Jakarta. Adalah Boes Boestami, seorang wartawan yang akhirnya memperkenalkan Wim dengan dunia film. Lewat perantara Boes pula, Wim akhirnya diterima bekerja sebagai tukang sapu di Studio Film Golden Arrow (Panah Mas).

Selain bekerja sebagai tukang sapu di studio itu, karena keahliannya berbahasa Mandarin, ia kemudian direkrut oleh sang bos, Chok Chin Hsin alias CC Hardy menjadi penerjemah untuk kepentingan pemain dan karyawan film. Selain menguasai bahasa Mandarin, Wim juga menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Berkat kepandaiannya menguasai berbagai macam bahasa itu, ia dipromosikan sebagai editor. Boleh dibilang, di studio milik Mr. Chok itulah, Wim menimba ilmu tentang film untuk pertama kalinya. Wim juga mengakui jika Mr. Chok adalah gurunya.

Akhirnya, berkat didikan sang guru, lelaki pengagum cinta ini berhasil menjadi seorang sutradara film ternama, khususnya film bercinta atau bertema cinta. Pada tahun 1955, nama Wim Umboh sebagai sutradara tiba-tiba muncul lewat film garapannya yang berjudul Dibalik Dinding. Disusul setahun kemudian dengan sebuah film yang diadaptasi dari tulisan SM Ardan, Terang Bulan Terang Di Kali.

Setelah itu, Wim melebarkan sayapnya di dunia film dengan mendirikan perusahaan sendiri bernama Aries Film. Perusahaan film yang dirintisnya bersama Any Mambo itu menelurkan film pertamanya di tahun 1960, berjudul Istana Jang Hilang.

Tiga tahun berselang, Wim Umboh sempat terbang ke Perancis untuk mengikuti penataran Sinematografi. Sekembalinya ke Indonesia, ia hadir dengan film terbarunya diberi judul Bintang Ketjil. Menariknya, bintang utama di film tersebut tak lain adalah putri kandungnya, Maria Umboh. Maria merupakan buah cintanya dengan dengan istri pertama, R.O. Unarsih, wanita yang dinikahi pada 1956. Bisa dibilang, film-film yang dihasilkan lewat perusahaannya sendiri merupakan langkah berani dalam dunia perfilman di Indonesia saat itu.



Pada tahun 1967, lelaki berperawakan tinggi besar ini merilis film Sembilan sekaligus berhasil mencatatkan namanya sebagai sutradara pertama yang membuat film Cinemascope dan berwarna. Terobosan terus dilakukan Wim demi perkembangan dunia perfilman Tanah Air dimana pada 1972, ia menggarap film bertajuk Mama yang merupakan film 70 mm pertama dengan tata suara stereo.

Dengan sederet karya-karyanya itu, ia berhasil menyabet 27 Piala Citra dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI), antara lain untuk kategori film terbaik lewat film Senyum Di Pagi Bulan Desember (FFI 1975) dan Cinta (FFI 1976).

Sebagai sutradara film romantis, intuisinya dalam memilih pemain juga tak bisa dipandang sebelah mata. Misalnya, pasangan Sophan Sophiaan dan Widyawati yang dipertemukannya dalam film Pengantin Remaja dan Perkawinan. Berkat chemistry indah yang dibangun pasangan itu, kedua film itu berhasil dinobatkan sebagai Film Terbaik, masing-masing dalam Festival Film Asia 1971 dan FFI 1973.

Lewat film ‘Perkawinan’ pula, Wim berhasil membawa pulang tiga piala Citra, untuk kategori sutradara, penulis skenario dan editor terbaik. Film produksi tahun 1972 itu bahkan mencatat rekor fantastis karena berhasil memborong 8 Piala Citra. Rekor itu baru bisa dipecahkan oleh sutradara Teguh Karya dengan raihan 9 Piata Citra pada FFI 1986.

Walau lebih banyak dikenal sebagai sutradara, tetapi Wim Umboh justru paling sering menyabet Piala Citra sebagai editor. Selain lewat Perkawinan, Wim juga dinobatkan sebagai editor terbaik dalam Cinta FFI (1979), Sesuatu Yang Indah (FFI 1977), Pengemis dan Tukang Becak (FFI 1979) dan Secawan Anggur Kebimbangan (FFI 1986).

Petualangan cinta yang mewarnai-film-filmnya, juga tercermin dalam kesehariannya. Sepanjang hidupnya, Wim tercatat menikah hingga tiga kali. Setelah pernikahan pertamanya dengan RO Unarsih berakhir di tengah jalan, ia kemudian mempersunting Paula Rumokoy, salah satu bintang cantik yang berhasil diorbitkannya.

Namun, seperti drama film cinta yang amat indah walau terkadang menyakitkan akibat diselilingi dengan kisah perselingkuhan, Wim Umboh juga menghadapi drama cinta dalam kehidupan rumah tangganya. Saat ia jatuh sakit dan sempat dirawat di RS Husada Jakarta karena menderita penyakit ginjal, liver dan maag, ia merasa ditinggal para sahabat dan pengagum cintanya, termasuk sang belahan jiwa, Paula.

Setelah merasa patah hati akibat dicampakkan Paula, bukan berarti Wim kapok untuk kembali memadu asmara. Terakhir, ia melabuhkan cintanya pada Inne Ermina Chomid. Pada 31 Mei 1984, kedua sejoli itu menikah di Interstudio, Jakarta. Saat pernikahan ketiganya, Wim Umboh memeluk Islam setelah mengucap dua kalimat syahadat dengan disaksikan oleh sutradara Sjuman Djaja dan Misbach Jusa Biran. Setelah resmi menjadi muslim, Wim pun berganti nama menjadi Achmad Salim.

Menjelang saat-saat terakhirnya di dunia, jiwa kepeloporan dan semangat yang dimilikinya sejak kecil hingga memasuki masa senjanya tak kunjung padam. Pada 1991, sebelum industri perfilman nasional mengalami mati suri, Wim sempat membesut sebuah film bertajuk Pengantin Remaja. Karya terakhirnya adalah sebuah sinetron berjudul Pahlawan Tak Dikenal yang dirilis sekitar tahun 1995. Sutradara film cinta nan romantis itu kemudian tutup usia di Jakarta, pada 24 Januari 1996. 


Awal tahun 1981 Wim Umboh akan kembali menyutradarai film yang diangkat dari novel Mira W yang berjudul "Disini Cinta Pertama Kali Bersemi". Novel ini merupakan hal yang dinantikan oleh Wim sejak kontrak pertama dengan pihak yang akan memproduksi filmnya. Dalam film tersebut Wim Umboh akan bekerja sama dengan PT Elang Perkasa Film dan PT. Garuda Film. Proses pembuatan film ini juga mempertimbangkan kondisi fisik Wim yang baru saja sembuh dari sakit dan masih memerlukan banyak istirahat. Pihak produser mengambil langkah pengamanan dengan menyusun karyawan yang dapat menghasilkan garapan tidak jauh dari Wim Umboh. Ketua Umum KFT mengingatkan untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki dikemudian hari, hendaknya antara sutradara dengan pendampingnya serta pihak produser harus disusun suatu kontrak yang jelas dan terperinci menyangkut hak.

Peringatan 40 Hari Perginya Seorang Sineas Besar Indonesia : Karya-karya Wim Umboh Paduan Komersil dan Artistik 1974

Inne Hermina, istri terakhir Wim Umboh menyatakan akan menyelenggarakan selamatan untuk memperingati 40 hari meninggalnya Wim Umboh yang akan diselenggarakan di rumahnya. Selain itu, orang-orang film juga merencanakan mengadakan acara peringatan khusus untuk mengenang sineas yang selama hidupnya mengabdi di dunia film melalui sebuah acara khidmat di TIM. Wim Umboh perlu dibicarakan dan diperingati karena Wim bukan hanya milik keluarganya semata, tetapi juga milik masyarakat khususnya masyarakat perfilman. Kepergiannya merupakan titik akhir hidupnya namun pengabdian dan karyanya tidak akan terlupakan. Bahkan pada saat-saat sakit, Wim Umboh masih menghasilkan sejumlah judul film layar bioskop dan sinetron. Wim Umboh juga dikenal sebagai perintis dan penemu terobosan baru di dunia perfilman nasional, Wim yang mengawali pembuatan film berwarna pertama di Indonesia dan juga pertama pembuat film layar sinemascope. Seluruh karya Wim Umboh telah menghasilkan 29 piala Citra sebagai sutradara dan editor terbaik, bahkan Wim juga pernah menerima penghargaan tertinggi dari pemerintah lewat Dewan Film Nasional.

Wim Umboh : bikin film komedi yang bermutu sulit, tapi... 1974
Wim Umboh merupakan sutradara besar yang terkenal dengan film film drama yang bertema percintaan kali ini mencoba untuk membuat fil komedi yang bermutu. Ternyata membuat film komedi yang bermutu itu sulit. Oleh karena itu Wim Umboh membuat film "Senyum di pagi Bulan Desember" dengan ciri film komedi yang unik berdasarkan dari sebuah cerita.

Wim Umboh Belum Ada Yang Saingi 1979
Menurut Hasaman, sutradara senior, di Indonesia ini belum ada sutradara Indonesia yang dapat melampaui Wim Umboh, baik pengetahuan maupun popularitasnya di dalam dan luar negeri.

Wim Umboh dan figuran-figuran 1974
Film "Senyum di Pagi Bulan Desember" yang mengambil lokasi syuting di penjara Sukamiskin Bandung ini membutuhkan 200 figuran untuk adegan perkelahian sesama narapidana. Dalam membuat film Wim Umboh sangat serius mengarahkan para pemainnya. Sebagai sutradara besar Wim Umboh selalu melahirkan film-film nasional yang bermutu.

Wim Umboh dan Peng-Kaderan Artis 1973
Film-film nasional mulai ditinggalkan penontonnya karena penonton mulai bosan dengan casting yang tidak berubah. Film-film nasional selalu menampakkan wajah beberapa pemain yang kadang bisa ditemui dalam produksi yang berlainan, sehingga akhirnya mengundang kesalahan pengertian tentang ketiadaan pengganti para artis dalam tahun-tahun mendatang. Menurut Wim Umboh, kasus ini muncul kemungkinan besar karena untuk menjaga mutu disamping segi komersil dari film yang akan dibuat, sedangkan disisi lain hal ini mengundang beberapa ketidakbaikan terhadap muka-muka baru yang sesungguhkan mempunyai bakat besar untuk menjadi aktor/aktris yang besar nantinya. Kekhawatiran ini dihadapi Wim Umboh dengan memunculkan muka baru dalam setiap produksi filmnya, semacam pengkaderan artis sehingga nantinya bisa mencetak bintang-bintang baru yang akan menggantikan bintang-bintang lama yang semakin tua dan kehilangan potensi besar dalam bermain.

Wim Umboh ingin bangkit bersama film nasional 1995
Wim Umboh merayakan hari ulang tahunnya yang ke-62 bertepatan dengan ulang tahun ke-19 PT. Internasional Pratama Studio. Saat itu kondisi kesehatannya sudah kelihatan mulai membaik dibandingkan pada beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut Wim Umboh mengajak para insan perfilman di Indonesia agar bersatu untuk meningkatkan perfilman nasional disamping itu juga perlunya dukungan pemerintah agar tidak mengeluarkan peraturan-peraturan yang dapat membatasi kreativitas orang film.

Wim Umboh marah-marah pada Joice Erna 1978
Joice Erna, Aktris terbaik FFI tahun 1978 menolak tawaran Wim Umboh untuk membintangi film "Pengemis dan Tukang Becak" sehingga Wim Umboh memarahinya. Awalnya Wim akan mempertemukan Joice Erna dengan Kaharuddin Syah Aktor Terbaik Tahun 1978, tetapi Joice menolak karena ia sudah menerima tawaran Pitrajaya Burnama untuk mendukung filmnya. Pada saat Joice Erna mendapat predikat Aktris Terbaik tahun 1978, dikatakannya bahwa dia tidak bersedia main dua film dalam waktu bersamaan. Wim Umboh bukanlah satu-satunya sutradara yang pernah ditolah oleh Joice, Turino Junaedy adalah sutradara pertama yang ditolak oleh Joice sebelum terpilih sebagai artis terbaik.

Wim Umboh Mulai Garap “Tokoh” 1973
Wim Umboh mengawali pembuatan film "TOKOH" (The Great Man) dengan mengadakan selamatan di kediamannya Rabu malam yang dihadiri oleh Ketua Badan Sensor Film; Ketua KFT dan sejumlah besar bintang-bintang film ibukota. Film "Tokoh" ini merupakan produksi yang ke-17 PT. Aries Raya International Film bersama PT. Far Eastern Film Coy.

Wim Umboh Peroleh Tiga Golden Marlion 1973
Wim Umboh sutradara film "Perkawinan" yang memperoleh tiga hadiah Golden Marlion duduk berdampingan dengan Ratno Timor pada penutupan Festival Film Asia Ke-19



WEDDING II 1982 WIM UMBOH
Director
JOHANNA 1983 WIM UMBOH
Director
ARRIANY 1958 WIM UMBOH
Director
PEDICAB DRIVER, THE 1979 WIM UMBOH
Director
SECAWAN ANGGUR KEBIMBANGAN 1986 WIM UMBOH
Director
BINTANG KETJIL 1963 WIM UMBOH
Director
PERKAWINAN 83 1982 WIM UMBOH
Director
PERKAWINAN 1972 WIM UMBOH
Director
LOVE BLOSSOMS FOR THE FIRST TIME 1980 WIM UMBOH
Director
ADIKKU KEKASIHKU 1989 WIM UMBOH
Actor Director
KABUT PERKAWINAN 1984 WIM UMBOH
Director
PENGANTIN 1990 WIM UMBOH
Director
PENGANTIN PANTAI BIRU 1983 WIM UMBOH
Director
PENGANTIN REMAJA 1971 WIM UMBOH
Director
PENGANTIN REMAJA 1991 WIM UMBOH
Director
SLAMET TINGGAL JEANETTE 1988 WIM UMBOH
Director
KEMBANG-KEMBANG PLASTIK 1977 WIM UMBOH
Director
AYU GENIT 1990 WIM UMBOH
Director
LAKI-LAKI TAK BERNAMA 1969 WIM UMBOH
Director
BIARKAN KAMI BERCINTA 1984 WIM UMBOH
Director
BIARLAH AKU PERGI 1971 WIM UMBOH
Director
DIBALIK DINDING 1955 WIM UMBOH
Director
KUNANG-KUNANG 1957 WIM UMBOH
Director
MENDUNG SENDJA HARI 1960 WIM UMBOH
Director
PONDOK CINTA 1985 WIM UMBOH
Director
ARINI II 1988 WIM UMBOH
Director
TERANG BULAN TERANG DI KALI 1956 WIM UMBOH
Director
BERCINTA DALAM MIMPI 1989 NASRI CHEPPY
Actor
DI SINI CINTA PERTAMA KALI BERSEMI 1980 WIM UMBOH
Director
SERPIHAN MUTIARA RETAK 1985 WIM UMBOH
Director
MATJAN KEMAJORAN 1965 WIM UMBOH
Director
PERMATA BIRU 1984 WIM UMBOH
Director
APA JANG KAUTANGISI 1965 WIM UMBOH
Director
DJUARA SEPATU RODA 1958 WIM UMBOH
Director
PENGEMIS DAN TUKANG BECAK 1978 WIM UMBOH
Director
AKU BENCI KAMU 1987 WIM UMBOH
Director
TOKOH 1973 WIM UMBOH
Director
DJUMPA DIPERJALANAN 1961 WIM UMBOH
Director
KASIH IBU 1955 WIM UMBOH
Actor Director
MAMA 1972 WIM UMBOH
Director
SEMBILAN 1967 WIM UMBOH
Director
CINTA 1975 WIM UMBOH
Director
DAN BUNGA-BUNGA BERGUGURAN 1970 WIM UMBOH
Director
HIDUP TANPA KEHORMATAN 1981 WIM UMBOH
Director
SEPUTIH KASIH SEMERAH LUKA 1988 WIM UMBOH
Director
TATKALA MIMPI BERAKHIR 1987 WIM UMBOH
Director
KUGAPAI CINTAMU 1977 WIM UMBOH
Director
KUNANTI DJAWABMU 1964 WIM UMBOH
Director
SESUATU YANG INDAH 1976 WIM UMBOH
Director
PUTRI SEORANG JENDRAL 1981 WIM UMBOH
Director
KRISTAL-KRISTAL CINTA 1989 WIM UMBOH
Director
SMILE ON A DECEMBER MORNING 1975 WIM UMBOH
Director
WHEN LOVE BREAKS THROUGH 1980 WIM UMBOH
Director
ISTANA YANG HILANG 1960 WIM UMBOH
Director
LINDA 1959 WIM UMBOH
Director
MERPATI TAK PERNAH INGKAR JANJI 1986 WIM UMBOH
Director
SENYUM DIPAGI BULAN SEPTEMBER 1974 WIM UMBOH
Director
SENYUM DIPAGI BULAN DESEMBER 1974 WIM UMBOH
Director

FILM YANG MEMBUAT SAYA HIDUP & MATI, WIM UMBOH


“FILMLAH satu-satunya yang membuat saya merasa hidup”.
Kata-kata ini diucapkan Wim Umboh bulan November 1981ketika ia tengah mempersiapkan film Putri Seorang Jendral.Padahal ia masih tertatih-tatih jalannya, karena sakit keras yangmembuatnya terkapar selama dua tahun di tengah pembuatanfilm Pengemis dan Tukang Becak (1978). Harap dicatat bahwaPutri Seorang Jendral adalah film ketiga sejak ia merasa “sehat”di tahun 1980. Saat itu ia baru seminggu mengalami perceraiandengan istri keduanya, almarhum Paula Rumokoy.Setelah itu, ia masih membuat 19 film lagi sebagai sutradara, dua filmsebagai editor, dan satu film tampil sebagai pemain.

Jadi, meski dalam keadaantak pernah sehat betul, selama 15 tahun terakhir ia sudah menyutradarai 22 film.Padahal sepanjang kariernya, sejak tahun 1955 (Kasih Ibu dan Di Balik Dinding),Wim Umboh telah menyutradarai 50 film. Artinya, dalam keadaan sehat (28 film) maupun sakit (22 film), ia sama produksinya. Sepanjang kariernya dalam film itu ia telah menerima lima piala Citrauntuk editing, tiga untuk film terbaik, dan satu untuk penyutradaraan. Catatanlain: hampir tidak ada filmnya yang “jatuh” di pasaran. Bahkan Pengantin Remaja(1971) dan Perkawinan (1972) merupakan film terlaris di zamannya dan dua filmyang mengorbitkan pasangan Sophan Sophian dan Widyawati sebagai bintanglaris hingga 20 tahun kemudian. Wim Umboh juga orang yang selalu ingin sebagai orang pertama. Iaadalah orang pertama yang membuat film berwarna pertama yang seluruhnyadikerjakan oleh tenaga Indonesia, yaitu sembilan (1967). Ia juga pertamamenggunakan film berukuran 70 mm dengan suara stereofonik enam jalur, yaituMama (1972).

Hingga saat jatuh sakit di tahun 1978, Wim Umboh memang selalumengebu-gebu. Selalu ingin nomor satu. Selalu ingin yang terbaik. Ini yangmembuatnya selalu kelihatan resah. Dalam peta perfilman tahun-tahun 70-andan 80-an itu, ada nama-namam seperti Syumanjaya, Teguh Karya,Djajakusumah, Asrul Sani, yang punya aura intelektual. Juga seperti Arifin C.Noor, Chaerul Umam di kemudiannya. Wim Umboh bukannya berasal dari lingkungannya seperti “saingannya” itu. Ia sudah menjadi yatim piatu sebelum berusia 10 tahun. Ia mulai karier filmnya di perusahaan Golden Arrow milik Chok Ching Shien sebagai tukang sapu dan pengantar surat panggilan shooting pada para pemain. Ini berarti Wim Umboh memulai karier filmnya dalam budaya“dagang”, budaya “anak wayang” yang merupakan kelanjutan dari budaya teater keliling Dardanella, atau film Terang Bulan. Sebuah budaya yang masih menjadiarus utama budaya film hingga sekarang, bahkan juga masuk ke televisi. Cirinyaantara lain adalah kebetulan yang sukar masuk akal, meratap-ratap, banyolan fisik.Agaknya karena menyadari kekurangan ini, maka Wim kemudian selalubekerja sama dengan orang lain dalam menuliskan gagasannya ke dalamskenario.



Misbach Yusa Biran, Syumanjaya dan Arifin C. Noer, adalah nama-nama yang juga ikut memberi warna pada film-filmnya.Wim di lokasi shoting mengarahkan pemain.

Nama-nama itu yangbersama Wim Umboh berhasil mengembangkan budaya tadi menjadi lebih baik.Tahun 70-an itu boleh dikatakan adalah puncak dari kariernya, karena setelah iajatuh sakit, maka Wim boleh dikatakan tinggal mengulang saja akan apa yangpernah dibuatnya. Sejak itu, kondisinya boleh dikatakan kondisi bertahan saja.Kerja sama dengan syumanjaya tidak hanya menghasilkan PengantinRemaja yang pop, manis dan laris, tapi juga Mama yang lebih bersifateksperimental. Film terakhir ini dibuat tanpa skenario yang rapi terlebih dahulu.Skenario ditulis oleh Syumanjaya bersamaan dengan rekaman gambar di tempat shooting. Struktur penceritaannya juga agak aneh, karena sebenarnya ada duacerita yang berlangsung tanpa hampirbersinggungan satu dengan yang lain.Dengan Arifin C. Noor, Wim menghasilkan percobaan seperti Senyum di Pagi Bulan Desember dan Sesuatu Yang Indah, yang punya warna “dongeng” dan sedikit surelistis, karena tempat kejadiannya dan fotografinya seolah takmenyarankan tempat yang jelas. Percobaan-percobaannya memang kemudian tak berlanjut. Tapi adaorang lain yang meneruskannya. Slamet Rahardjo dengan Rembulan danMatahari, maupun Garin Nugroho dengan Surat untuk Bidadari dan BulanTertusuk Ilalang adalah penerus percobaan-percobaan itu. Yang disayangkandari percobaan-percobaan itu adalah bahwa film-film itu belum sempat bergaungdan memberi warna pada arus utama perfilman nasional.

MESKI demikian Wim Umboh bukan hanya meninggalkan kisah-kisahcobanya. Yang jauh lebih penting adalah Wim Umboh yang boleh dikata seorangotodidak telah mendirikan sebuah “mashab” tersendiri dalam perfilman nasional,justru dari film-film “cinta” yang melodramatik. Dalam jenis ini, ia berhasil“menyempurnakan” jenis melodrama dari zaman-zamansebelumnya. Dalamjenis inilah sebetulnya keberhasilan Wim Umboh. Kisah percobaannya, bolehdikatakan adalah usahanya untuk lebih memberi bobot “intelektual” pada film-filmnya, dan karenanya juga lebih terasa sebagai sebuah percobaan dan kurangterasa “jujur”. Pergulatan Wim Umboh sebenarnya lebih pergulatan atas bentukbukan atas isi. Pengaruh film-film melodramanya itu sampai sekarang bisa dilihat dalamratusan sinetron yang bertebaran di siaran-siaran televisi, maka ia bisa disebutsebagai sebuah “mashab”. Cirinya antara lain adalah hampir tidak adanyamaster shot, atau sebuah rekaman adegan yang menyeluruh. Filmnya, 80persen terdiri dari rangkaian gambar medium shot dan close up. Rangkaian tadi dimanipulasikan sedemikian rupa dalam editing, hingga penonton mendapatkan kesan seperti yang dimauinya. Puncak dari permainan editingnya mungkin dari film Sesuatu yang Indah, dimana hampir separuh film dibuat hampir tanpa dialog. Gaya ini dipadukan dengan fotografi yang “lebih indah dari aslinya”,hingga penonton mendapat kesenangan terendiri dalam menonton.


 
Gaya demikian ini kemungkinan besar disebabkan karena Wim berangkat sebagai editor pertama-tama, hingga ia mempunyai ingatan fotografis yangsangat kuat akan rekaman gambar yang pernah dibuatnya dan yang akan dibuatnya. Daya ingat ini yang membuat para asistennya selalu terkagum-kagum. Ia seolah sudah memiliki film dalam otaknya sebelum film dibuat, hingga rekaman gambar hanyalah sebuah pelaksanaan saja. Daya ingat demikian ini yang tak pernah surut dari dirinya, meski fisiknya tidak pernah pulih karenasakitnya di tahun 1978.Gaya ini tidak hanya mempengaruhi banyak sutradara lain (Sophan Sophian yang kemudian terkenal sebagai sutradara boleh dikata adalah salah satu pengikutnya), tapi juga dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh semacamTeguh Karya dan Arifin C. Noor. Mungkin gaya inilah yang disumbangkan oleh Wim Umboh dalam perfilman nasional. Mungkin ada baiknya jika ada studi yang cukup serius terhadap gaya Wim Umboh ini, hingga menjadi lebih jelas tempatnya dalam perfilman nasional. Untuk perkembangan perfilman nasional sendiri, studi demikian ini juga diperlukan, karena jangan-jangan itulah salah satuciri film Indonesia.

FILM telah membuat Wim Umboh merasa hidup. Ia merasa hidup kalau membuat film, karena diluar itu baginya hidup tak ada artinya. Ini lanjutan dara kata-kata yang diucapkannya di atas. Ternyata film juga yang kemungkinan besar membuatnya meninggal. Sudah empat tahun ia tidak membuat film lagi, karena tidak ada lagi produser yang memintanya jadi sutradara, di sampingkarena begitu surutnya jumlah produksi sekarang ini. Tahun 1995 kemungkinan tidak lebih dari 15 film dibuat, tak sampai separuh dari tahun sebelumnya.Tahun 1991 adalah tahun kejayaan terakhir film Indonesia, karena sejak itu merosot dengan sangat tajam, dan tinggal film-film seks dan kekerasan yang dibuat sangat gampang, murahan dan menginjak-nginjakestetika sinema yang antara lain diperjuangkan dan dikembangkan oleh Wim Umboh. Seperti juga kebanyakan orang film, Wim Umboh lalu beralih ke televisi.Pahlawan tak Dikenal dan Apsari adalah dua serial televisi yang dibuatnya. Ia juga ikut-ikutan mendirikan rumah produksi meski belum sempat berproduksi ,sementara ia tengah mempersiapkan seri lain dan merencanakan pembuatan dokumentasi tentang riwayat hidupnya. Meski sama-sama berbentuk audiovisual, film televisi tampaknya hanya sekedar agar ia bisa bertahan hidup, karena seperti diketahui sakitnya juga membuat perusahaan dan keuangannya berantakan. Hal ini juga tak pernah bisa diraihnya kembali. Ia hanya bisa menghuni sebuah rumah sederhana di Perumnas Depok Utara. Di samping itu,umum diketahui bahwa film televisi tidak pernah bisa menandingi kehebatan film. Belum pernah ada sebuah film televisi yang menjadi “abadi” dan dikenang orang.



Jakarta, 24 Januari Sutradara film kawakan, Wim Umboh (63 tahun), Rabu pagi pukul 05.15 meninggal dunia di RS Husada, Jakarta Pusat, setelah dua malam dirawat karena diabetes. Jenazahnya dibawa ke rumah duka, Jalan Cengkeh No. 93 Depok Utara. Jenazah dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Pekerjaan film yang selama kariernya telah mengumpulkan 49 piala Citra (di antaranya 9 atas karyanya sendiri di bidang penyutradaraan, editing dan skenario), selepas tahun baru 1996 nampak sehat. Wim yang terakhir lebih suka dipanggil Achmad Salim, memang pernah menderita sakit ketika menggarap film “Pengemis dan Tukang Becak” (1979), dan kesehatannya kadang-kadang menurun. “Sekarang saya betul-betul sehat”, kata Wim Umboh ketika dijumpai Pembaharuan Rabu (3/1) malam dalam acara ulang tahun isteri ketiganya, Inne, yang dinikahinya tahun 1984 dan memberikan seorang putra, William (9 tahun). Wim Umboh menikah tiga kali. Dari yang pertama memperoleh putri, Maria, yang telah memberinya dua cucu. Pernikahannya yang kedua dengan aktris Paula Rumokoy (almarhumah), tanpa anak. Pengakuannya tentang kesehatannya itu oleh Wim ditunjukkan lewat semangatnya untuk berkiprah di bidang penyutradaraan sinetron. Wim yang mengawali karier di bidang penyutradaraan sebagai asisten dalam film “Tiga Benda Ajaib” (1952), terakhir menggarap film layar lebar “Ayu Genit” (1990). Ketika orang film banyak yang beralih menggarap sinetron, Wim juga menggarap serial “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang dibintangi oleh Lenny Marlina dan ditayangkan di TPI. Ketika berbincang dalam suasana santai tiga minggu lalu, Wim Umboh menyatakan keprihatinannya terhadap dunia film Indonesia. Dengan kalimat yang agak kurang jelas dia menuturkan, “Sebetulnya film nasional bisa bangun kalau kita masih punya semangat untuk bersaing, dengan televisi atau film impor. Saya yang masih punya semangat, tapi tidak didukung oleh orang-orang (maksudnya, karyawan film). Jadi ide saya terbengkalai. Laboratorium Film Almarhum yang kelahiran Watulinei, Sulawesi Utara, bukan cuma aktif sebagai pekerja film. Bersama Nyoo Han Siang (almarhum, pemilik Inter Studio Film), tahun 1972 mendirikan perusahaan laboratorium film kedua di Pasar Minggu, yang dilengkapi peralatan mutahir dan tenaga ahli dari Jepang. Lewat tangan kedua almarhum itu pula, didirikan suatu lembaga pendidikan artis yang melahirkan bintang-bintang baru. Ditengah ramainya produksi film. Inter Studio juga sempat memproduksi lima film sekaligus, diantaranya digarap oleh Teguh Karya, Wim Umboh dan Yung Indrajaya. Dia juga terkenal sebagai sutradara spesialis film percintaan. Dari tangannya pula muncul pasangan bintang Sophan Sophiaan - Widyawati yang diorbitkannya lewat film “Pengantin Remaja” yang ceritanya diakui diilhami dari film “Love Story”. Karena film itu sukses di perbioskopan nasional, Wim kemudian lebih tertarik mengangkat tema percintaan, antara lain “Perkawinan”, “Cinta”, dan “Sesuatu Yang Indah”. Padahal, menurut rekan terdekatnya, SM Ardan, pada dekade 1960-an almarhum lebih suka menggarap tema-tema kaum pinggiran. Hal ini tidak terlepas dari pengalaman kerja almarhum, yang dimulai sebagai pembantu umum (yang melayani kebutuhan artis) di studio Golden Arrow sampai menjadi produser di PT Aries Angkasa Internasional Film.

Sebagai sutradara, prestasi Wim Umboh luar biasa. Menghasilkan sejumlah film, ia juga sutradara pertama dengan karya film berwarna, dan film 70 mm. Karya-karyanya menawarkan kisah cinta – yang tak sempat dinikmatinya dalam kehidupan pribadi. SUTRADARA besar film Indonesia, Wim Umboh, Rabu pagi subuh lalu berpulang di RS Husada Jakarta dalam usia 63 tahun, setelah mengalami koma selama dua hari akibat stroke dan penyakit gula. Setelah disemayamkan di rumah, Depok Utara, dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Kedua penyakit berat itu memang sudah akrab dengan almarhum sejak 17 tahun silam. Gara-gara penyakit itu pula, ketika menggarap film “Pengemis dan Tukang Becak” (1978), Wim pingsan selama 11 hari. Meski sejak itu kondisinya terus merosot, pelan-pelan ia bangkit kembali menyutradarai film. Menurut Sophan Sophiaan, bintang film yang diorbitkan almarhum, Wim adalah sutradara terbesar Indonesia. Dia bahkan pelopor di bidang penyutradaraan yang benar-benar membuat karya film untuk meningkatkan mutu perfilman Indonesia. “Almarhum adalah sutradara film pertama membuat film berwarna, film 70 mm, dan film yang brlokasi di luar negeri”, tambah Sophan Sophiaan yang bermain dalam “Pengantin remaja” (1972). Sementara itu pengamat perfilman nasional,



Salim Said, menyatakan bahwa Wim Umboh merupakan profil yang jelas dari dunia film Indonesia. Ia memulai karirnya dari bawah. Yang menarik dari dirinya ialah kemampuannya yang besar dalam membuat film. “Dia selalu membuat film baru dengan bintang yang baru, dan bisa dipastikan film itu laris di pasaran”, ujar ketua Dewan Kesenian Jakarta itu. Wim, menurut Salim, bukan hanya membuat film yang bertema cerita serba manis atau cerita cinta saja, tetapi juga film yang bertema sosial, bahkan film eksperimental, seperti “Mama” (1972). Ketika masih menjadi wartawan dan kritikus film di Majalah Berita Mingguan TEMPO, Salim dipercaya tampil sebagai asisten sutradara dalam pembuatan film tersebut. Semangat dan stamina almarhum memang luar biasa. Meski dalam keadaan sakit, ia sempat membuat film “Pengemis dan Tukang Becak” (1974). Setiap kali memuat film, Wim biasanya sudah hafal arahan penyutradaraannya, begitu pula jalan ceritanya, hingga para pemain tidak dapat membohonginya. “Ia sutradara yang terampil dan editor terbagus yang pernah kita miliki. Ia memperlakukan film bukan seperti barang dagangan, jadi tidak bisa harus cepat selesai. Ia selalu mementingkan penyempurnaan teknis. Ketika sakit, ternyata ia masih survive, masih mampu membuat film yang didasarkan pada endapan hati nuraninya yang paling dasar”, tambah Salim Said. Almarhum dilahirkan di Manado, 26 Maret 1933 sebagai anak bungsu dari 11 bersaudara. Sudah yatim piatu sejak usia 6 tahun, ia sempat menjadi tukang sepatu. Setelah lulus SMA berangkat ke Jakarta (1952), Wim melamar di studio Golden Arrow milik Chok Chien Shien. Ia memulai karir sebagai tukang sapu, kemudian penerjemah film dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia, lalu sebagai editor. Di samping bahasa Cina, ia juga menguasai bahasa Inggris dan Belanda.

Almarhum merupakan sutradara yang banyak menciptakan ide-ide inovatif. Ia juga seorang otodidak yang berhasil mendirikan “mazhab film” tersendiri yaitu “cinta yang melodramatik”.

Dalam film-film yang bertemakan cinta itu, ia berusaha memberi bobot nilai yang besar. Metode dan eksperimen- eksperimen yang dilakukannya, banyak ditiru oleh sutradara-sutradara muda. Prestasinya sungguh luar biasa. Ia meraih 27 Piala Citra, dan masih tetap sebagai sutradara yang harus dipertimbangkan untuk film-film bertemakan cinta. Ketika tahu bahwa FFI 1984 di Yogyakarta tidak menghasilkan film terbaik, ia gusar. “Bagaimanapun harus dipilih, mana yang terbaik dan terjelek”, katanya. Ia sendiri menyertakan film Yohanna, yang dinilainya belum sempurna. Film-filmnya ialah “Sepiring Nasi” (1955), “Istana yang Hilang dan Mendung Senja Hari” (1961), “Bintang Kecil” (1963), “Apa yang Kau Tangisi” (1964), “Macan Kemayoran” (1965 dengan lensa sinemaskop), “Sembilan” (film berwarna pertama), dan “Bunga-bunga Berguguran” (1970), “Mama” (1972, film pertama ukuran 70 mm), “Pengantin Remaja” (film terbaik FFA 1972), “Tokoh”dan “Perkawinan”(Piala Citra untuk film, sutradara dan editor terbaik dalam FFI 1973), “Senyum Dipagi Bulan Desember” dan “Kugapai Cintamu” (1974), “Cinta” (1975, Piala Citra untuk film dan editor terbaik dalam FFI 1976), “Sesuatu yang Indah” (1977, Piala Citra untuk editor terbaik dalam FFI 1977), “Laki-laki tak Bernama” dan “Pengemis dan Tukang Becak” (1978, meraih film terbaik dalam FFA 1978), “Kembang-kembang Plastik” (1978), “Yohanna” (1982), “Permata Biru” (1983), “Kabut Perkawinan” (1984). Tapi karirnya yang gemilang, tak diimbangi dengan kebahagiaan dalam rumah tangganya. Rumah tangganya dua kali berantakan. Perkawinan dengan RO Sunarsih (1955), dikaruniai seorang anak perempuan, Lisa Maria, kini 40 tahun, patah di tengah jalan, mereka bercerai pada tahun 1957. Tujuh belas tahun kemudian, ia mempersunting bintang orbitannya sendiri, Paula Rumokoy, tapi mereka bercerai pada tahun 1982.

Sebelumnya tahun 1978, Wim yang perokok berat, menderita ginjal, lever dan maag. Ia merasa ditinggalkan oleh para sahabatnya, termasuk Paula. Belakangan, ia bertemu dengan Inne Ermina Chomid di Interstudio, Jakarta. Wim pun menikah dengan dara Sunda itu, meski usia mereka terpaut 28 tahun. Dan di tahun 1984 itu Wim pun memeluk agama Islam dengan nama baru, Achmad Salim. “Saya memeluk Islam semata karena Allah”, katanya usai upacara pengislaman, disaksikan Syumanjaya dan Misbach Jusa Biran. Dari pernikahannya ini almarhum dikaruniai seorang putra, William Umboh Ikhsan Salim, kini 10 tahun. Ketika film layar mulai sepi, maka seperti kebanyakan orang film lainnya, Wim juga beralih ke televisi. Dua sinetron yang telah digarapnya, Pahlawan tak Dikenal, ditayangkan TPI (1992-1993)dan Apsari ditayangkan SCTV (1994). Di akhir hayatnya, ia tengah mempersiapkan produksi sinetron Wibawa dan Tantangan yang akan ditayangkan di ANTeve

TOKOH / 1973

TOKOH


Amir Laksamana (Fadly), yang indekos di rumah Dr Surya (WD Mochtar), akhirnya malah mengawini ibu kosnya alias istri Surya, Artisa (Tatiek Tito), bahkan dengan restu Surya yang memberikan duapertiga kekayaannya agar Amir bisa meneruskan sekolah ke Belanda. Amir yang kemudian sukses sebagai pengacara, melupakan istrinya, dan kawin dengan dua perempuan lain, sebelum akhirnya jatuh miskin. Dalam keadaan demikian, ada perempuan pengagumnya, Maria (Paula Rumokoy), yang lalu merawatnya hingga meninggal. Maksud film ini antara lain melukiskan keagungan wanita Artisa, yang sayang malah tak tampak.
 P.T. ARIES RAYA INTERNATIONAL
FAR EASTERN FILM

TATIEK TITO
KUSNO SUDJARWADI
EMILIA CONTESSA
W.D. MOCHTAR
MIEKE WIDJAYA
PAULA RUMOKOY
RUTH PELUPESSY
RD MOCHTAR
























Hikayat laksamana & bekas nyonya...

MAKA ini adalah hikayat Laksmana, kelahiran Malang sebelum perang. Otaknya cerdas, tampangnyapun tidak buruk. Mungkin dengan modal pemberian alam itulah Nyonya Tisa Surya memberi perhatian berlebihan padanya. "Kau kuanggap sebagai adik sendiri", begitu Tisa terdengar berkata pada suatu hari. Tapi tinggal bersama dengan perempuan yang tak punya keturunan, isteri dari dokter yang selalu sibuk, bisa menyeret cerita ke sudut yang dengan cepat bisa diduga. Tapi bukan soal sex dan kesepian melulu yang memberanikan Amir Laksmana meminta Dr Surya menceraikan isterinya untuk kemudian mcnggantikan peranan dokter itu sebagai suami. Bekas nyonya dokter ini melihat lebih jauh, dan penglihatan itu memang tidak kabur. Sebab terbukti kemudian bahwa Laksmana sanggup menjadi manusia terpandang setelah - dengan biaya Tisa - berhasil menggondol ijazah ahli hukum dari Universitas Leiden di Negeri Belanda. Hotel Oranye. Tentang perjalanan hidup Amir Laksmana inilah sutradara Wim Umboh kali ini bercerita melalui karya terbarunya yang bernama Tokol. Cukup kronologis cara berceritanya, dan penontonpun boleh senang melihat sidang-sidang Landraad (pengadilan) Surabaya pada zaman sebelum perang di mana Laksmana berpraktek sebagai pembela. Masuknya Jepang juga diperlihatkan, revolusi Surabaya yang terkenal dengan insiden penyobekan bendera di Hotel Oranye juga dikerjakan dengan rapi oleh Wim Umboh bersama juru kamera Lukman lakim Nain. Dan adegan-adegan bersejarah ini muncul di layar lebar tentu saja tidak sekedar embel-embel. Itulah kalau Laksmana juga ikut berjuang. Tapi di tengah-tengah kancah pergolakan, sempat juga ia memadu cinta singkat dengan gadis cantik Juanita, wartawan asing yang bertugas di medan perang. Dengan Juanita tidak yang terakhir kalinya Laksmana mengkhianati Tisa, dan beberapa tahun kemudian, ia malah kawin dengan gadis lincah, remaja dan bebas, lrma (Emilia Contessa).

Nampaknya dengan gadis yang jauh lebih muda dari dirinya ini mengisi sesuatu yang sejak lama kosong dalam hati Laksmana. Maka dengan rambut beruban ia tiba-tiba kembali remaja di samping bini mudanya, yang ia bayar dengan perceraiannya dengan Tisa yang sudah tua. Tapi kebahagiaan tiba-tiba sirna. karena kenakalan Irma sebelum kawin ternyata tidak berubah setelah berumah tangga. Istirnewanya, perceraian bisa berlangsung rapi hanya lantaran bantuan Tisa yang cukup lihai menggunakan tukang potret untuk mendapatkan bukti keserongan Irma. Perempuan berikutnya yang dipersuntingkan Laksmana adalah Deliana (Mike Wijaya). Malangnya, perempuan ini lebih senang menikmati teman sejenisnya dari pada kehangatan suaminya. Tentu saja bercerai, juga setelah Laksmana konsultasi dengan bekas bininya yang bernama Tisa itu. Perceraian yang terakhir ini terjadi pada masa tua Laksmana. Dan keputusan pengadilan atas beberapa perpisahan dengan isteri-isterinya cukup berat memukul pundi-pundi tuan pengacara. Akhirnya memang ia terlantar, terhina terlunta-lunta. Tapi nasibnya yang masih belum beruk mempertemukan orang tua ini dengan gadis Maria nan misterius. Sambil mengagumi Tisa, Maria (Paula Rumokoy) diam-diam mengikuti dan mencintai Laksmana. Bekerja sembari kuliah, Maria sang gadis diam-diam merencanakan kawin dengan pak tua yang dikaguminya. Kalau terjadi perkawinan sekali lagi, memang boleh juga itu Laksmana.

Tapi usianya yang menua dan tubuhnya yang rapuh membawa Wim Umboh pada keputusan mengakhiri hidup bekas pengacara justru pada saat Maria baru saja menyelesaikan studinya. "Ibu", itulah kata terakhir yang terdengar dari mulut Laksmana, dan di Ujung sana, Tisa meneteskan air mata sambil memegang gagang telepon. Berpisah. Cinta mereka memang tidak habis. Tapi hidup telah menyeret keduanya kesana-kemari. Justru tragisnya kisah lahir dan bersatunya cinta dan keterpaksaan berpisah dalam diri dua tokoh utama karya Wim Umboh ini. Tapltragedi itu barangkali akan lebih terasa degupan jantungnya seandainya manusia-manusia yang ditemui Laksmana dalam perjalanan hidupnya cukup diberi kesempatan bergerak. Peran-peran sampingan macam Dr Surya (WD. Mochtar) maupun Deliana, kurang mendapat perhatian penulis skenario, sehingga timbul kesan hitam putih antara peranan utama dan peranan pembantu. Kelemahan Wim Umboh yang demikian ini bagi penggemar karya-karya Aries Film memang terasa tidak baru. Dari karya-karya Wim terdahulu mudah dilihat bahwa pada film yang alurnya sedikit rumit, sang sutradara kelelahan menata tokoh-tokoh sampingan yang juga menentukan jalan cerita, suatu hal yang sebenarnya bisa diakali pada saat skenario mulai disusun. Keadaan seperti itu kadang-kadang memang kurang diperhatikan oleh penonton. Yang mereka rasakan hanya akibatnya: kurang menyentuhnya sang tontonam Dalam film-filmnya yang sederhana, macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, misalnya konsentrasi Wim Umboh pada beberapa tokoh dengan persoalan yang tidak rumit, menghasilkan sesuatu yang sangat mengharukan. Pengacara sainan. Tapi terlepas dengan kekurangan yang sifatnya lebih teknis itu, karya terbaru Wim Umboh ini memang sebuah film yang patut diperhatikan.

Di tengah-tengah kelatahan membuat tontonan dengan segala macam resep yang disarankan oleh pemesan (booker) film, Wim tampil dengan sebuah kisah yang lebih dari sekedar serius.

Dia tidak cuma menghibur, tapi melalui media film yang sudah dikuasainya, Wim mengkomunikasikan sebuah ide kepada penontonnya. Tisa yang setia hingga tua, adalah lambang dari cinta agung seorang perempuan. Tapi dia tidak cuma menerima dan mengabdi, suatu saat ia juga bisa berkata: "Suatu kali pintu ini akan tertutup untukmu". Dan masa itu memang akhirnya datang ketika Laksmana tidak lagi tahu ke atap mana ia harus berteduh. Tapi Maria juga lambang cinta agung, demikian pula Laksmana yang tidak pernah lupa Tisa sebagai perempuan yang mulia dan ikhlas, meskipun ia juga menjadi mangsa gejolak kehidupan. Sayangnya bahwa peranan Tisa telah menjadi beban berat untuk pemain baru macam Dra Tatik Tito (d1h Tati Tamzil) sementara juru rias tidak bisa dikatakan berhasil menuakan Drg Fadli maupun Kusno Sujarwadi yang bermain sebagai pengacara saingan Laksmana. Yang barangkali juga masih bisa ditolong adalah pengarah artistik (Art Director) yang bekerja kurang cermat sehingga ilusi tentang masa lalu Laksmana dan Tisa tiba di hati penonton dalam keadaan kurang utuh. Nampaknya ini amat disadari sutradara setelah film selesai, sehingga muncul rencana untuk memperjelas waktu melalui hurup-hurup yang juga tersorot ke layar (lihat: Wim & Idris Sardi Memberi Keterangan) Tapi dengan bantuan juru kamera terbaik di Indonesia, Lukman Hakim Nain, gambar-gambar dalam film. Tokoh ini muncul dengan cemerlang di layar lebar. Barangkali terlalu kemilau bagi sebuah film serius macam karya Wim ini, suatu hal yang bisa ditafsirkan sebagai ukti bahwa film Indonesia belum lagi menggunakan warna sebagai unsur cerita. Tapi Idris Sardi ulempunyai andil besar dengan musik ilustrasi yang dibikinnya untuk film ini. Dan ini hanya makin meyakin kan saya betapa Idris Sardi sanggup membuat ilustrasi yang baik asal filmnya juga bermutu. Salim Said


26 Januari 1974


Wim dan idris memberi keterangan
SELEPAS menonton film Tokoh selama dua kali, kepala desk film TEMPO, Salim Said, melakukan percakapan dengan sutradara Wim Umboh dan ilustrator musik terkemuka Idris Sardi. Berikut ini bagian-bagian penting dari percakapan itu. WIM UMBOH. Film Tokoh ini hanya bercerita mengenai seorang laki-laki yang bernama Mr Amir Laksmana, dari ia berumur 17 tahun sampai saat meninggalnya di umur empat puluhan. Ini adalh kisah tentang persoalan yang ia temui dalam perjalanan hidupnya, percintaannya, hubungan langgeng antara ia dengan isteri pertamanya serta pandangan hidupnya. Dalam hidupnya ia berusaha selalu berbuat baik. Dia juga berterus terang meminta Dr Surya menceraikan isterinya dan mengawini sendiri bekas nyonya dokter itu. Karena apa? Yah, ia tidak dapat lagi melanjutkan sekolahnya lantaran kematian bapak angkatnya. Tapi perkawinan dengan perempuan yang tidak mendapatkan kepuasan seksuil dengan suaminya yang sibuk itu, kemudian ternyata mempunyai akar cinta diam-diam antara kedua belah fihak.

Perkawinannya yang kedua -- dengan Irma -- bagi saya merupakan usaha Laksmana untuk menemukan kembali cinta remaja yang tidak pernah didapatkan ketika masa mudanya. Dalam diri Irma yang lincah ini ia sekaligus menemukan hal yang tidak ia dapatkan pada diri isterinya yang beranjak tua. Dalam hidup manusia yang sibuk ini, pertemuaul berlangsung dengan banyak orang. Yang berkesan tentu saja tidak banyak, dan dari yang tidak banyak itu tentu saja tidak semuanya baik. Sebaik-baiknya orang, sesekali langkahnya bisa juga keliru. Itulah yang dialami oleh Laksmana ketika harus kawin dengan wanita lesbian, Deliana, setelah perkawinannya gagal dengan Irma. Tisah. Bahwa ada kesan hitam putih antara tokoh-tokoh utama dengan peran-peran selingan, saya jelaskan begini: cerita ini hanya mau menonjolkan Amir Laksmana. Peran-peran lain hanyalah peran-peran pelengkap yang akan hilang setelah perannya habis. Yang saya utamakan dalam film ini adalah Laksmana, yang lain hanya membantu menghidupkan tokoh tersebut. Tinggallah Laksmana, Tisah dan Maria di akhir cerita. Mereka bertiga itulah tokoh atau pencinta agung yang mencintai dengan penuh kejujuran dan keagungan. Bagi saya ketiga-tiganya adalah tokoh, tidak ada yang istimewa bagi saya, sama semua. Aries Film membuat banyak film. Kalau saya selalu berhasil dengan film-film sederhana macam Pengantin Remaja dan Perkawinan, dan kurang berhasil dengan film yang peluangnya banyak, saya kira hak anda untu mengatakannya sebagai kritikus. Tapi karena saya tahu film-film yang saya buat itu selalu laku, mengapa saya tidak berusaha mencoba membuat filmfilm yang serius dengan isi dan tema yang lain dan tidak terus-menerus berasyik-asyik dengan kecengengan macam yang diperlihatkan pada film-film sedrhana saya itu? Ya, terus-terang saya menyenangi Pengantin Remaja, tapi saya mengagumi Mama dan Tokoh.




IDRIS SARDI Saya memulai dengan mood (suasana hati). Setelah saya lihat rush copy, kalau senang, ada harapan ilustrasi nusik untuk film itu akan cepat jadi. Yang saya tuntut dari pemilik film dan sutradara adalah kebebasan untuk menentukan bagian mana yang akan saya isi musik dan bagian mana yang akan saya biarkan tanpa musik. Kadang-kadang bagian sepi itu justru merupakan ilustrasi yang baik. Di sini saya sering mengalami perdebatan sengit dengan sutradara atau pemilik film yang suka mengisi semua bagian filmnya dengan musik. Perdebatan macam-ini mengacaukan saya dan berakibat buruk pada karya saya. Saya tak boleh berontak, sih, Mood hilang. Bagi saya skenario itu cuma rangka dasar saja. Saya tidak bisa bekerja seperti illustrator musik di Amerika yang mencipta setelah mendapatkan skenario. Soalnya karena film-film kita kalau sudah jadi kebanyakan akan berbeda dengan skenario aslinya. Karena itu saya tidak mau buang-buang waktu. Yang penting juga saya sebut adalah soal alat dan orang. Di samping manusia dan alatnya terbatas di sini juga soal masaalah waktu cukup merepotkan saya. Dibutuhkan waktu lama untuk mewujudkan aransemen, karena kesempatan berlatih pemusik-pemusik kita sangat terbatas. Dan kalau saya paksakan juga, maksud saya cepat-cepat seperti maunya yang punya film, ya, hasilnya sih jadi, tapi tanpa mood. Tapi tidak benar juga kalau dikatakan bahwa saya kebanyakan membuat illustrasi di Tokyo. Kalau toh ke Jepang, itu kemauan pemilik film. Di Tokyo soal waktu terjamin, sebab disamping kelengkapan alat, juga manusianya yang terlatih cukup tersedia, sehingga dalam waktu singkat pekerjaan bisa beres. Bombo. Karena harus meladeni banyak film itulah maka terfikir oleh saya untuk membentuk suatu Musical Production yang bergiat dalam bidang illustrasi musik. Dengan cara ini, di samping bisa menjamin kehidupan para musisi kita oleh penghasilan yang teratur, juga meringankan beban saya sebagai komponis. Dengan cara ini terbuka kemungkinan sebuah film diisi musik oleh beberapa orang. 

Pimpinan Musical Production itu, misalnya saya, maka saya bisa tentukan bagian film mana yang sesuai dengan warna musik Bimbo, mana yang sesuai dengan Mus Mualim dan sebagainya. Dan orang-orang itu Inengisi bagian-bagian yang ditentukan. Tanggung jawab terakhir ada pada orang yang menentukan, saya itu, tadi. Sukar menentukan dalam film mana saya paling puas dengan musik saya.

Tapi barangkali film Perkawial. Itu keberuntungan bagi saya, karena film itu sendiri memberi kemungkinan untuk memasukkan musik-musik berbau klasik. Itu karena adegan Paris, Amsterdam dan sebagainya. Tapi pada film Si Mamat punya Syuman Djaya saya menghadapi kesukaran besar lantaran film itu berkisah tentang orang kecil yang bersih. Sulit mendapatkan materi musik untuk cerita demikian di sini. Karena-itu saya bawa ke Tokyo dengan resiko saya rugi uang, sebab kontrak menyebutkan pembuatan di Jakarta. Soal bahwa musik illustrasi saya baik pada film-film yang bermutu, tidak begitu saya perhatikan. Tapi beginilah, saya lihat rush copy, kalau saya mendapat mood dari situ, musiknya cepat jadi dan tentu baik. Kalau tidak, ya acak-acakan. Bahwa film yang baik itu lebih mudah menimbulkan mood saya, itu benar. Tapi kalau jadinya musik saya nanti menutup dialog film, itu bukan salah saya lagi, sebab yang menentukan pada saat miring (pencampuran musik dengan dialog) di studio adalah sutradara. Namun saya toh suka mendampinginya. Tapi jangan lupa, kerusakan suara film juga ditentukan oleh mutu proyektor bioskop dan voltase listrik yang berbeda di tempat merekam dengan tempat memutarnya. Perbedaan alat perekam dalam studio sendiri bisa mengacaukan musik dan suara.

TERANG BULAN TERANG DI KALI / 1956

 

Biar gadis itu (Lely Sulastri) telah punya pacar (B. Nast Efdal) yang miskin, tapi si bapak (Udjang) menerima "lamaran" yang dibawa mak comblang (Wolly Sutinah). Untunglah sang ibu (Fifi Young) tidak setuju, sehingga bisa mengganggu kelancaran proses bakal menantu (Rasjid AL) yang sakit-sakitan itu. "Happy end", sebab calon pengantin pria ambruk di depan pintu bakal isterinya..
GOLDEN ARROW

FIFI YOUNG
UDJANG
LELY SULASTRI
WOLLY SUTINAH
R.O. UNARSIH
B. NAST EFDAL
ROOS ITJANG
RAMELAN
HUSIN LUBIS
RASJID AL




SEPUTIH KASIH SEMERAH LUKA / 1988

SEPUTIH KASIH SEMERAH LUKA


Sejak kematian ibunya yang pencuci pakaian, Anisa (Ida Iasha) tak ingin miskin lagi. Kekasihnya ditinggalkan, dan ia kawin dengan pengusaha muda, Elanda (Ikang Fawzi). Ternyata Elanda impoten, penyakit yang tak diketahui ibu kandungnya sendiri. Anisa kemudian terjerumus pada lelaki iseng, bahkan juga dengan kekasih lamanya yang melihat peluang balas dendam. Dengan kekasih lamanya ini, Anisa hamil. Elanda tak gusar. Masalah menjadi terbuka, ketika mertuanya memergoki Anisa. Maka Anisa harus pisah dari Elanda, sementara kekasih lamanya kabur setelah puas membalas dendam, dan menghabiskan harta Anisa.
 P.T. ELANG PERKASA FILM

IDA IASHA
IKANG FAWZI
RIMA MELATI
RICO TAMPATTY
RATNA RIANTIARNO
SISKA WIDOWATI
FRANK RORIMPANDEY
SIMON PATIH
DIDIN SYAMSUDDIN
TEDDY MALA
DONGKY WARDOYO
R.A. DJAYENG PRAWIRO

SEMBILAN / 1967

SEMBILAN


Daerah Pantai Bukit, yang diperintah dua kepala suku, dikuasai perompak. Kebetulan datang ke desa itu sembilan pendekar dari berbagai penjuru Nusantara. Motifnya berbeda-beda. Ada yang mengembara, ada yang tertarik karena adanya intan di tempat itu, tapi juga ada yang memang sengaja datang karena mendengar adanya kerusuhan. Mereka berikrar hendak membebaskan suku itu dari kekuasaan perompak. Kepala suku tak setuju, karena ia mengambil keuntungan pribadi dari kekuasaan penjajah itu. Maka langkah pertama adalah menggulingkan kepala suku. Kepala Suku Bukit mati dikeroyok rakyatnya, sedang Kepala Suku Pantai akhirnya insyaf dan tewas melawan perompak. Seluruh perompak yang berjumlah 101 orang tewas, tapi lima pendekar juga tewas.

Film ini dibuat disaat anjuran Presiden Soekarnoyang dinamakan kerukunan nasional. Pada tahun sesudah pengkhianatan G30S, telah terbentuk sikap tegas kalangan nonkomunis untuk menghukum kalangan yang tadinya prokomunis. Dan Bung Karno sudah terpojok dan menghimbau agar semua kekuatan nasional tetap bersatu untuk memecahkan permasalahan ini.Film antikomunis menolak ajakan itu dan mengejek dengan sebutan Keruk Nasi (kerukunan Nasional). Sikap keras mereka adalah komunis harus dibubarkan dan yang bersalah harus di hukum. Maka dibuatlah film ini yang mengambarkan perlawanan terhadap serangan bajak laut dari luar. Perlawanan ini dilakukan oleh sembilan suku yang berkumpul disitu untyuk melawan musuh. Tetapi penonton tidak menangkap anjuran presiden tersebut, malah memuji tata gambar dan kostum yang diurancang oleh Teguh Karya.
  P.T. ARIES FILM

W.D. MOCHTAR
GABY MAMBO
RATNO TIMOER
FAROUK AFERO
JEFFRY SANI
TEGUH KARYA
USBANDA
JEFFRY SANI
HERMAN HADI
RAHAYU EFFENDI
RAHADI ISMAIL