Tampilkan postingan dengan label YAZMAN YAZID 1983-1992. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label YAZMAN YAZID 1983-1992. Tampilkan semua postingan

Rabu, 02 Maret 2011

YAZMAN YAZI 1983-1992

YAZMAN YAZID


Lahir di Batusangkar, 15 Januari 1952. Pendidikan cuma dua tahun di Akademi Sinematografi LPKJ. Kariernya diawali dari Pencatat Skrip dalam film “Bing Slamet Setan Jalanan” (1972). Menyusul produksi-produksi PT Safari Sinar Sakti Film lainnya yang disutradarai oleh Hasmanan. Tidak heran karena sebenarnya Yazman Yazid adalah keponakan Hasmanan.


Tahun 1975, Yazman meningkat menjadi astrada, tetap bersama pamannya, cuma dalam produksi PT Rapi Film, “Ateng Mata Keranjang”. Setelah berkali-kali magang sebagai astrada, baru pada tahun 1981, produser Th. A. Budi Susilo dari PT Gramedia Film mempercayainya menyutradarai “Tangan-tangan Mungil”. Karya penyutradaraannya yang kedua “Darah dan Mahkota Ronggeng” (1983) dan tahun ini, “Untukmu Kuserahkan Segalanya”. Yazman Yazid yang kini telah menjadi karyawan tetap PT Gramedia Film, lewat film terbarunya ingin mengungkapkan visi tentang anak-anak yatim piatu, tolong agar nasib mereka juga diperhatikan !

Untuk film drama, saya penggemar Sjuman Djaya. Saya salut padanya. Meski sekolah di luar negeri, saat kembali ke Indonesia dia selalu bikin film yang berlatar budaya Indonesia. Saya ingin seperti itu. Sebelum meninggal, dia pernah bikin skenario untuk saya sutradarai.

Katanya, "Kamu saya bikinin skenario, awas kalau nanti hasilnya enggak bagus." Dari skenario itu, jadilah film Masih Di Bawah Umur yang dibintangi Gladys Suwandi.

Untuk film komedi, saya suka Nya Abbas Akub karena setiap film yang disutradarainya selalu punya "sesuatu" untuk disampaikan. Jalinan ceritanya juga menarik, terutama Cintaku di Rumah Susun. Saya selalu menganggapnya sebagai guru. Kebetulan selama kuliah saya pernah jadi asistennya, sekitar tahun 70-an. Saking kagumnya, saya sampai berniat bikin versi baru Cintaku di Rumah Susun di Kemayoran. 

Tema, gagasan dan tokoh tetap sama, hanya saja disesuaikan dengan kondisi sekarang. Pada versi lamanya, pemain tidak banyak diekspos karena film hanya berdurasi 1,5 jam. Sebenarnya saya ingin bikin versi baru  mengekspos tokoh-tokohnya. Sayang, baru dua hari syuting sudah harus berhenti.

Soalnya, ide filmnya bagus dan menarik. Selain itu, saya juga ingin mengabadikan karya-karya para senior. Yang penting sesuai dengan visi saya. Sebagus apa pun film tersebut menurut orang, kalau tidak sesuai dengan visi saya, ya, saya tidak mau mengangkatnya.

Saya bisa bikin cerita sendiri, tapi tak ada salahnya, kan, mengangkat lagi karya orang yang besar pada zamannya dulu. Tidak sulit, kok, mendaur ulang film lawas. Asal gagasannya sudah jelas, semua pasti akan mengalir sendiri.

 Saya minta Ucup (Achmad Yusuf, sutradara WahCantiknya!!!, Red.) untuk menggantikan. Film komedi ini akan bagus kalau dikerjakan Ucup. Karakternya pas. Saya bilang ke produser, kalau ingin film tetap jalan sebaiknya Ucup yang jadi sutradara. Tapi kalau masih mempertahankan saya, tunggu sampai KKJM selesai.

Dorongan dari orang tua menjadi Sutradara Dari orang tua, sih, enggak ada dorongan karena sejak kelas 1 SMP saya sudah hijrah ke Jakarta, tinggal bersama tante. Biasa, orang Padang, kan, bangga kalau anaknya pergi merantau. Kata Ayah, kalau mau nasib berubah, ya harus merantau. Kecuali kalau ingin jadi petani.

Lulus SMA, saya kuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1971, jurusan sinematografi. Poppy Dharsono dulu teman kuliah saya. Dosen saya top-top semua, lho, antara lain Sjuman Djaya dan Asrul Sani. 

Semasa kuliah saya sudah mulai latihan bikin naskah untuk Nya Abbas Akub. Tapi tahun 1973 saya memilih keluar dari IKJ. Saya justru disuruh dosen untuk langsung praktik ke ahlinya, belajar bikin naskah dan editing.

Pertama terjun ke dunia penyutradaraan, saya justru lebih banyak menggarap film dokumenter. Lalu saya jadi asisten Chaerul Umam. Saat itu, dia dapat proyek dari Gramedia Film dan saya diminta membantunya. Itulah awal saya bergabung dengan Gramedia Film. 

Tahun 1978, saya diangkat menjadi karyawan perusahaan itu dengan status sutradara yang digaji bulanan. Saya bertahan di Gramedia sampai tahun 1984. Selama itu, saya sudah menghasilkan beberapa film seperti Untukmu Kuserahkan Segalanya (Rano Karno dan Lydia Kandau), Ronggeng Dukuh Paruk dan Tangan-tangan Mungil. 

Waktu Gramedia Film tutup tahun 1985, saya sempat ditawari bergabung ke Tabloid Bola, tapi saya tolak karena tidak sesuai dengan hati nurani. Berbeda dengan istri saya, Ace, yang sampai saat ini masih bertahan di Gramedia.

Ya. Kita dulu sama-sama kerja di Gramedia Film, tapi dia di bagian iklan. Kami sudah kenal sejak tahun 1980, tapi baru menikah sembilan tahun kemudian. Lama, ya? Soalnya, waktu itu saya belum berani mengambil keputusan untuk menikah. Sekarang kami dikaruniai dua anak lelaki, Ario dan Yogi. 

Kayaknya, mereka enggak mewarisi bakat ayahnya di bidang seni. Ke tempat syuting saja mereka ogah. Mereka masih suka protes kalau saya jarang di rumah. Beruntung saya enggak ada jadwal syuting di akhir pekan. Kalau istri, sih, enggak pernah karena sudah paham cara kerja saya.

Mungkin juga, karena Ayah saya adalah seorang pemusik. Sedangkan Ibu adalah ibu rumah tangga. Lahir di Batu Sangkar (Sumbar) 15 Januari 1952, sejak kecil saya sudah bisa main gitar dan piano. Sampai SMP bahkan masih aktif main band. Saya pernah bercita-cita jadi pemusik, lho. 

Tapi saya lebih tertarik mendalami dunia film karena lebih menantang. Sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, saya memang agak nyeleneh. Hanya saya yang terjun ke dunia film.   

Yazman saat membuat sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, dampak dari lesunya film saat itu sehingga semua orang film lari ke TV.


DARAH DAN MAHKOTA RONGGENG 1983 YAZMAN YAZID
Director
ANAK-ANAK MALAM 1986 YAZMAN YAZID
Director
PERNIKAHAN DINI 1987 YAZMAN YAZID
Director
PINTAR-PINTARAN 1992 YAZMAN YAZID
Director
PLIN PLAN 1992 YAZMAN YAZID
Director
DORCE SOK AKRAB 1989 YAZMAN YAZID
Director
GILIRAN SAYA MANA 1989 YAZMAN YAZID
Director
NONA MANIS 1990 YAZMAN YAZID
Director
UNTUKMU KUSERAHKAN SEGALANYA 1984 YAZMAN YAZID
Director
YANG MASIH DI BAWAH UMUR 1985 YAZMAN YAZID
Director
LENONG RUMPI II 1992 YAZMAN YAZID
Director
LENONG RUMPI 1991 YAZMAN YAZID
Director
KANAN KIRI OK II 1989 YAZMAN YAZID
Director
KANAN KIRI OK III 1990 YAZMAN YAZID
Director
KANAN KIRI O.K. 1989 YAZMAN YAZID
Director
BUKAN MAIN 1991 YAZMAN YAZID
Director
TANGAN-TANGAN MUNGIL 1981 YAZMAN YAZID
Director
BOLEH DONG UNTUNG TERUS 1992 YAZMAN YAZID
Director
CINTA YANG TERJUAL 1986 YAZMAN YAZID
Director
GAMPANG-GAMPANG SUSAH 1990 YAZMAN YAZID
Director

PINTAR-PINTARAN / 1992

PINTAR-PINTARAN


Kadir dan Doyok datang ke Jakarta untuk cari kerja. Mereka terbentur berbagai masalah akibat dari ketidakmampuan mereka sendiri. Mulai dari gagal sebagai tukang sulap, lalu jadi "salesman", tukang cat, hingga tukang parkir. Sepupu Kadir, Rosa (Baby Zelvia), mencoba membantu mereka, tapi tetap tak berhasil.

P.T. PARKIT FILM

DOYOK SUDARMADJI
BABY ZELVIA
ROBERT SYARIEF
KUSNO SUDJARWADI
PITRAJAYA BURNAMA
YUDHI AS
TILE
JAJA MIHARDJA
FUAD ALKAHAR

Rabu, 26 Januari 2011

PLIN PLAN / 1992

PLIN PLAN


Dalam ijinnya judulnyaKanan Kiri Ok 4

Kadir dan Doyok kesal akan istri mereka, Yurike dan Chintami, karena suka bergosip. Mereka lalu mengatur strategi untuk membuat para istri kapok. Celakanya, strategi itu malah jadi bumerang. Keadaan tambah kacau ketika pacar lama Yurike, Mamik, datang saat Kadir tak ada. Untuk meyakinkan Mamik bahwa ia telah bersuami, Yurike minta tolong Doyok untuk berpura-pura jadi suaminya. Secara demonstratif mereka masuk kamar bersama. Pada saat itu datang orangtua Kadir dari Madura dan menyaksikan Doyok dan Yurike masuk kamar. Heboh. 

P.T. PARKIT FILM

DOYOK SUDARMADJI
DOYOK SUDARMADJI
CHINTAMI ATMANEGARA
YURIKE PRASTICA
DEASY FARADINA
PITRAJAYA BURNAMA
TARSAN
MAMIEK SRIMULAT

BOLEH DONG UNTUNG TERUS / 1992

BOLEH DONG UNTUNG TERUS


Kali ini Kadir dan Doyok jadi pasangan yang keluar masuk tahanan. Mula-mula karena merampok bank, kemudian karena melarikan diri, lalu karena melarikan diri lagi. Di seputar itulah film ini mencoba menggali banyolan, dengan melibatkan juga Rosa (Nyoman Ayu Lenora), sebagai pacar Doyok. Kisah diakhiri dengan masuk laginya mereka ke penjara tanpa ada kemungkinan lolos.

P.T. PARKIT FILM

DOYOK SUDARMADJI
NYOMAN AYU LENORA
ADE YULIA
SOFIA WD
TILE
SRI SUPARMI
BAMBANG PRIYAWAN

BUKAN MAIN / 1991

BUKAN MAIN


Janda cantik jelita pemilik pub, Poppy (Meriam Bellina), menghadapi persaingan pub lain yang bertetangga, serta dua karyawannya yang berusaha mendapatkan cintanya, Johan (Onky Alexander) serta Marcel (Jeffry Waworuntu). Seluruh film ini diusahakan untuk melucu, mulai dari akal-akalan saling menjatuhkan antar dua pub hingga berbagai usaha Poppy menolak cinta dua karyawannya itu.
 P.T. PARKIT FILM

MERIAM BELLINA
ONKY ALEXANDER
NIA ZULKARNAEN
JEFFRY WAWORUNTU
FUAD ALKHAR
ROBERT SYARIEF
AOM KUSMAN

GAMPANG-GAMPANG SUSAH / 1990



Kisah seorang pemuda lajang bernama Rafi'i (Didi Petet) yang sulit mendapat jodoh, tapi harus segera kawin karena ibunya sudah sakit-sakitan dan merasa akan mati. Kisah ini berkembang menjadi komedi karena banyak orang berusaha mencarikan jodoh bagi Rafi'i, hingga pemuda ini sering salah menyebut nama wanita yang dikencaninya.

P.T. PARKIT FILM

DIDI PETET
NURUL ARIFIN
ZAINAL ABIDIN
EKO DEYE
KIKI FATMALA
GITTY SRINITA
LORENTINA VERONICA
IDA IASHA
TILE
DIDING BONENG
MATHIAS AGUS
NANI WIDJAJA

NONA MANIS / 1990

NONA MANIS
 
 
Roy (Ray Sahetapy), pengusaha, hanya sekali setahun pulang ke Indonesia. Melihat kebiasaan ini, pak Tile yang dipercaya menjaga dua vila Roy, dihasut untuk "mengkomersialkannya". Ketika tiba-tiba Roy datang untuk rencana nikah dengan pacarnya, maka pak Tile bingung. Di sini kesalahpahaman dijadikan bahan banyolan.

GILIRAN SAYA MANA / 1989

GILIRAN SAYA MAN


Pasangan muda Dewi dan Dewo (Ida Iasha, Ray Sahetapy) terpaksa kawin lari karena orangtua Dewi menginginkan anaknya kawin dengan orang kaya. Atas anjuran pembantu mereka, Doyok (Doyok Sudarmadji), Dewi menulis surat pada orangtuanya, bahwa mereka sudah kaya. Balasan orangtua: mereka mau datang. Maka paniklah Dewi dan Dewo. Pasangan muda ini kemudian berpura-pura menjadi kaya dan mengundang orangtua mereka. Untuk itu mereka ditolong oleh Kadir, seorang penunggu rumah mewah, dengan syarat hanya dua hari, karena rumah itu sudah ada yang mengontrak. Di sinilah banyolan disajikan. Kadir berpura-pura jadi suami, sementara Dewo jadi pelayan dan Doyok jadi satpam. Sandiwara ini terbongkar ketika pengontrak datang tapi tak boleh masuk, sementara ayah Dewi menemukan bukti pemilik rumah sebenarnya.
 P.T. PARKIT FILM

IDA IASHA
RAY SAHETAPY
ADE IRAWAN
ADE IRAWAN
ZAINAL ABIDIN
DIDING SUDARMADJI
H.I.M. DAMSJIK
LELA ANGGRAINIE
JOHNY KANE
ANTON INDRACAYA

DORCE SOK AKRAB / 1989


 
Pak Sugeng (Zainal Abidin) dan Pak Slamet (Tile) sama-sama punya anak kembar dan sama-sama menamakan anak masing-masing Dorce (Dorce Ashadi) dan Donny (Kadir). Kedua Dorce dan kedua Donny ini kemudian secara terpisah ke Jakarta, sedang Rudi (Johny Kane) anak Pak Koco (Doddy Sukma) yang berniat menjemput Dorce dan Donny anak Pak Sugeng justru keliru menjemput Dorce dan Donny anak Pak Slamet yang tiba lebih dahulu. Dorce dan Donny anak Pak Sugeng kemudian datang sendiri ke rumah Pak Koco, di sinilah keempat orang itu membuat kekacauan dan keanehan, sampai Pak Sugeng dan seorang pencari bakat datang. Kesalahpahaman itu terselesaikan.
 
 


News
05 Mei 1990 

Asal-asalan asal untung


DI sebuah bioskop kelas satu di kompleks perumahan pinggiran Jakarta, menjelang Lebaran yang lalu, film Dorce Sok Akrab hanya ditonton kurang dari 20 orang. Agaknya, penonton pun malas untuk tertawa, padahal Kadir dan Dorce setengah mati (maunya) melucu. Tapi lantaran "hubungan baik" antara produser dan pemilik gedung, ya, film mendapat jatah putar yang layak dengan dalih membantu perkembangan film nasional -- padahal gedung ini sebelumnya ogah memutar Dewi-Cipluk Semua Sayang Kamu atau Noesa Penida, yang dua-duanya kebagian Citra. Dan suasana hari raya Idul Fitri yang lalu pun dipenuhi film-film dagelan konyol khas Indonesia -- selain film legenda Saur Sepuh III Kembang Gunung Lawu. Memang sukses, jika arus penonton dilihat di gedung kelas menengah ke bawah. Asal tahu saja, Dorce yang menghabiskan dana sekitar Rp 200 juta, menurut data PT Peredaran Film Indonesia (Perfin), di Jakarta menyerap 70.000 penonton selama lima hari beredar. "Penggemar jenis film semacam ini lebih banyak dari kalangan bawah," kata Sandjojo, Penanggung Jawab Bina Peredaran Film PT Perfin. Apa boleh buat, "Penontonnya sendiri lebih suka banyolan slapstick daripada humor cerdas.

Kami kan tidak mungkin melawan arus," kata Subagyo, pemimpin Produksi PT Rapi Film, yang mempoduksi Makelar Kodok. "Pada dasarnya, penonton kita masih senang menertawakan orang lain. Orang bodoh ditertawakan," kata Deddy Arman, penulis skenario Dorce, yang sudah menggarap sekitar 80 skenario lawak itu. Produser pun, dengan bakat dagangnya, memanfaatkan situasi ini. "Kami memberikan apa yang penonton senangi," kata Direktur Parkit Film Dhamoo Punjabi. Kadir dan Doyok mampu menyedot penonton berlimpah ketika main dalam Kiri Kanan OK yang sudah dibuat dua seri. Sejak itu, keduanya dikontrak Parkit dengan target empat film setahun. Kontrak model begini dipelopori Warkop DKI. Hanya saja, Dono dan kawan-kawan membuat batasan, dua film setahun untuk peredaran Lebaran dan Tahun Baru. Kenapa produser-produser latah membuat film dagelan slapstick ini? "Mereka ditekan broker dari daerah-daerah," kata Deddy Arman. Selain itu, film model begini memang murah. Jika pun ongkos produksinya di atas Rp 200 juta, itu karena biaya terbanyak untuk membuat copy film. Film Warkop, agar bisa diputar serentak di seluruh Indonesia, dibuat dengan 70 copy. Dan sebulan setelah peredaran, kabarnya, produser untung lebih dari Rp 100 juta. Berapa honor pelucu-pelucu itu? Kabarnya, Warkop pasang harga Rp 150 juta sekali main (untuk tiga orang). Adapun Kadir dan Doyok baru dapat masing-masing Rp 4 juta. Sutradaranya dibayar sekitar Rp 5 juta. 

Bahan baku hemat. "Yang penting jadi, biar asal-asalan asal untung," kata seorang sutradara muda. Ide cerita dibicarakan bersama, biasanya datang dari produser yang membawa pesan pialang film di daerah. Penulis seperti Arman membutuhkan waktu kurang dari 10 hari menulis skenarionya.

Riset dan penelitian hampir tak ada. Shooting rata-rata sebulan. Bahkan Antri Dong (sutradara A. Rizal), produksi Parkit hanya perlu 17 hari. Antri Dong dan Jangan Bilang Siapa-Siapa (sutradara Chaerul Umam) memang mencoba tidak berkonyol-konyol. Kedua film ini ingin digolongkan komedi situasi. Tapi tetap Kadir dan Doyok dimunculkan. Apakah nanti bisa disejajarkan dengan Kejarlah Daku Kau Kutangkap -- baik mutu maupun pemasaran -- entahlah. Namun, ada pendapat di kalangan produser bahwa komedi situasi pun tak laku di bumi Indonesia. "Crocodile Dundee itu kurang apa. Filmnya bagus, lucu, bersih, berselera tinggi. Tapi penontonnya tetap masih kalah dibandingkan dengan film-film Warkop. Jadi, menurut saya, sebetulnya penonton lebih suka banyolan slapstick yang nggak usah pakai mikir. Produser pun tak bakal melawan arus," kata Subagyo. Nah, mau apa? Sri Pudyastuti R.

KANAN KIRI OK III / 1990

KANAN KIRI OK III 


Banyolan yang tidak dimainkan oleh pelawak, kecuali Doyok, Kadir, Diding Boneng dan Tile yang selalu digunakan karena "keanehan" wajahnya. Dasar banyolannya tetap kesalahpahaman yang dibuat-buat. Anita (Ida Iasha) dan Rio (Ray Sahetapy) dapat tawaran main film. Kadir (Kadir), pembantu mereka, ingin ikut. Tetangga mereka Tati (Rima Melati), dan pembantunya Doyok (Doyok), juga ingin ikut ketika mendengar, sementara suaminya, Goro (Zainal Abidin), asyik dengan dirinya saja. Rio, Anita dan Kadir diterima, setelah bisa menipu Tati dan Doyok. Maka terjadilah kesalahpahaman. Rio-Anita-Kadir yang latihan disangka cekcok karena Rio serong. Sementara Tati sendiri yang sering pinjam telpon di rumah Rio untuk menghubungi sutradara, juga disangka ada main, berkat laporan Kadir. Soal inilah yang kemudian diulur-ulur. Nampaknya ada keinginan untuk mengejek dunia film.

P.T. PARKIT FILM

RAY SAHETAPY
IDA IASHA
ZAINAL ABIDIN
ZAINAL ABIDIN
DOYOK SUDARMADJI
DIEN NOVITA
JOHNY KANE
NURUL ARIFIN
TILE
DIDING
EKO DEYE

KANAN KIRI OK II / 1989

KANAN KIRI OK II


Banyolan yang tidak dimainkan oleh pelawak, kecuali Doyok, Kadir, Diding Boneng dan Tile yang selalu digunakan karena "keanehan" wajahnya. Dasar banyolannya tetap kesalahpahaman yang dibuat-buat. Anita (Ida Iasha) dan Rio (Ray Sahetapy) dapat tawaran main film. Kadir (Kadir), pembantu mereka, ingin ikut. Tetangga mereka Tati (Rima Melati), dan pembantunya Doyok (Doyok), juga ingin ikut ketika mendengar, sementara suaminya, Goro (Zainal Abidin), asyik dengan dirinya saja. Rio, Anita dan Kadir diterima, setelah bisa menipu Tati dan Doyok. Maka terjadilah kesalahpahaman. Rio-Anita-Kadir yang latihan disangka cekcok karena Rio serong. Sementara Tati sendiri yang sering pinjam telpon di rumah Rio untuk menghubungi sutradara, juga disangka ada main, berkat laporan Kadir. Soal inilah yang kemudian diulur-ulur. Nampaknya ada keinginan untuk mengejek dunia film.
 P.T. PARKIT FILM

IDA IASHA
RIMA MELATI
RAY SAHETAPY
ZAINAL ABIDIN
BABY ZELVIA
DOYOK SUDARMADJI
DOYOK SUDARMADJI
DIDING BONENG
JOHNY KANE
DEDDY MIZWAR
NURUL ARIFIN
H.I.M. DAMSJIK

 
 

KANAN KIRI O.K. / 1989



Banyolan yang didasarkan pada salah paham. Janda cantik Vina (Nurul Arifin) membuat para istri tetangganya merasa suami mereka tak aman. Mereka lalu berupaya mencarikan jodoh. Ikut dalam usaha ini Anita (Ida Iasha) yang bersuamikan Rio (Ray Sahetapy). Pasangan ini punya perjanjian khusus: Rio yang pemarah tak boleh marah-marah, agar Anita bisa juga menghentikan kebiasaan belanja. Hal ini dicoba dieksploitir kelucuannya. Kemudian muncul tokoh Doyok-Kadir yang didatangkan ke rumah itu untuk jadi tukang cat, montir mobil dlsb. Anita menemukan calon yang cocok, Eddy Pasaribu(Dedy Mizwar), teman Rio dan Goro (Zainal Abidin), tetangga mereka. Eddy baru datang dari Medan dan menginap di hotel. Situasi jadi runyam saat Vina hendak dipertemukan dengan Eddy. Vina berhalangan datang, hingga Anita lah yang menemui Eddy. Eddy menyangka Anita ingin serong dengannya, padahal pertemuan mereka terlihat oleh Rio dan Goro. Semua menjadi beres ketika Vina datang.

Banyak yang Bilang Yazman pengorbit Kadir dan doyok. Terbukti dari film ini sukses dan dibuat selanjutnya Kanan Kiri Ok 2

Kalau dikatakan pengorbit, sebenarnya tidak juga karena ada kerja sama dengan produser. Bisa dibilang saya hanya mengarahkan para pemain yang disodorkan oleh produser.  Memang banyak film Kadir-Doyok yang saya sutradarai sukses di pasar. Salah satunya film Kanan Kiri Oke.

Dan tidak terbebani oleh WARKOP yang sangat menggila saat itu.? Tidak. Karena komedi yang diusung berbeda. Warkop lebih cenderung ke komedi slapstick, seperti adegan orang terpeleset dan sebagainya. Sedangkan saya lebih memilih komedi yang kuat pada adegan dan dialognya, seperti komedi situasi (sitkom). Biar ada gregetnya, dalam membuat film komedi seperti Kadir-Doyok saya selalu mengkombinasikan mereka dengan artis non-komedian. .? Tidak. Karena komedi yang diusung berbeda. Warkop lebih cenderung ke komedi slapstick, seperti adegan orang terpeleset dan sebagainya. Sedangkan saya lebih memilih komedi yang kuat pada adegan dan dialognya, seperti komedi situasi (sitkom). Biar ada gregetnya, dalam membuat film komedi seperti Kadir-Doyok saya selalu mengkombinasikan mereka dengan artis non-komedian.
 P.T. PARKIT FILM

IDA IASHA
RAY SAHETAPY
RIMA MELATI
ZAINAL ABIDIN
NURUL ARIFIN
SARAH ROTINSULU
DOYOK SUDARMADJI
DOYOK SUDARMADJI
DEDDY MIZWAR
BABY ZELVIA
ITANG YUNASZ
DIDING BONENG

CINTA YANG TERJUAL / 1986

CINTA YANG TERJUAL


Yanto (Ray Sahetapy) menilai cinta pacarnya, Astuti (Dewi Irawan), sebagai cinta yang terjual, karena Astuti memilih kaolin dengan seorang duda yang lebih memperhitungkan anak-anaknya dan anjuran orang tua. Yanto kemudian pergi mengadu nasib ke Jakarta. Bersama seorang teman ia akhirnya berusaha mandiri. Usahanya nyaris sukses, kalau tidak sahabatnya terbunuh perampok. Pengalaman-pengalaman ini membuat Yanto tak lagi mendendam pada suami Astuti. Ia menerima dijodohkan dengan seorang gadis. Dan sang gadis ini juga pasrah, sama seperti Astuti. 
 P.T. AMERO MITRA FILM

DEWI IRAWAN
RAY SAHETAPY
ADE IRAWAN
POPPY FARIDA
EKA GANDARA
DEDDY SUTOMO
YATTI SURACHMAN
ANDY CAROL
ANDY TANDJUNG
IDA KUSUMAH
AMBARSARI
H.I.M. DAMSJIK

 
 

YANG MASIH DI BAWAH UMUR / 1985

YANG MASIH DI BAWAH UMUR


Karena perkosaan ramai-ramai terjadi pada Diah (Dina Mariana) yang ditaksir Fahmi (Rano Karno), maka adiknya, Farah (Gladys Suwandhi), dikekang orang tuanya. Fahmi menolong Diah setelah perkosaan. Ibu Diah datang ke rumah Fahmi untuk minta tanggung jawab, karena menurut pengakuan Diah, hanya Fahmi yang dilihatnya. Fahmi mau mengawini Diah yang hamil, tapi ayahnya menyelesaikan masalah ini dengan minta Diah menggugurkan kandungan dan pergi, hingga Fahmi kecewa.

Kekangan terhadap Farah ternyata juga tak berhasil. Dalam liburan ramai-ramai yang diatur ayahnya di daerah pegunungan, Farah jumpa dengan Mahdi (Gusti Randa), pemuda desa itu yang romantis. Kehamilan terjadi ayahnya tak terima. Kali ini penyelesaiannya: begitu akad nikah berlangsung, Farah diungsikan ke luar negeri, sampai melahirkan bayinya. Bayinya hendak diangkat anak oleh tantenya. Farah tak mau. Fahmi memberi tahu Mahdi. Meski tak percaya, akhirnya Mahdi membawa lari Farah.

 Sementara Fahmi yang terus membela adiknya diusir dari rumah. Ayahnya yang mencoba menggunakan pengacara dan polisi untuk mengambil Farah, tak berhasil karena surat nikah sudah diambil Fahmi dan diserahkan pada adiknya. Fahmi sendiri belum berhasil meyakinkan Diah yang masih menderita, bahwa dia sangat mencintainya.

Film ini mempopulerkan Gladys Suwandi, dan seterusnya film Pernikahan dini yang di sutradarai sama juga Yazman. Yazman mengakuiuUntuk film drama, saya penggemar Sjuman Djaya. Saya salut padanya. Meski sekolah di luar negeri, saat kembali ke Indonesia dia selalu bikin film yang berlatar budaya Indonesia. Saya ingin seperti itu. Sebelum meninggal, dia pernah bikin skenario untuk saya sutradarai.  Katanya, "Kamu saya bikinin skenario, awas kalau nanti hasilnya enggak bagus." Dari skenario itu, jadilah film Masih Di Bawah Umur yang dibintangi Gladys Suwandi.
 P.T. GRAMEDIA FILM

GLADYS SUWANDHI
RANO KARNO
GUSTI RANDA
DINA MARIANA
MARIA OENTOE
GALEB HUSEIN
BUNG SALIM
AMINAH CENDRAKASIH
ALICIA DJOHAR
WENTY ANGGRAINI
RINA AYUNANI
AMI PRIJONO

TANGAN-TANGAN MUNGIL /1981

TANGAN-TANGAN MUNGIL


Lala (Kiki Amelia), anak perempuan usia 6 tahun punya sifat kelaki-lakian. Hal ini banyak disebabkan oleh ayahnya Anton Wijaya (Kusno Sudjarwadi) yang menghendaki kelahiran Lala sebagai laki-laki. Ny. Anton (Tutie Kirana) sangat mencemaskan tingkah laku anak bungsunya itu dan meminta bantuan kelompok bermain dan psikolog anak Kak Seto (Seto Mulyadi). Tingkah laku Lala yang bengal kerap kali menyulitkan semuanya. Bahkan sempat membuat renggang hubungan Kak Seto dengan pacarnya.

Kak Seto yang bisa lembut terhadap anak-anak juga dikagumi oleh Dina (Dina Mariana), kakak Lala, hingga ketika Dina kecewa dengan Kak Seto, sempat membuat marah Anton Wijaya. Ia menganggap Kak Seto ingin merusak keluarganya. Masalah berkembang dan semakin rumit. Untung ada tokoh lain bernama Bujel (Bujel Dipuro) yang gaya seenaknya dan tidak konvensional dapat mendekatkan kembali problem yang mereka alami.

Dari sinilah kemudian titik terang penyelesaian soal Lala dapat diatasi. Sebuah masalah psikologi anak-anak yang ditangani secara baik, sambil menyindir para psikolog.

Kuketuk pintu hatimu, tiada sahutan
Kucoba sentuh dirimu, hanya kehampaan
Betapa jauh rasanya, kau entah dimana
Laksana detik2 jam, bergema di tengah malam
Kelabu bayangan di malam gelap
Sinar harapan bagai impian
Baurkan pandangan pugar wajah ayu
Bersimbah kasih
(dimainkan oleh Lita dengan piano, dlm salah satu scene)


P.T. GRAMEDIA FILM

KIKI AMELIA
SETO MULYADI
DINA MARIANA
VITA YULIANTI
KUSNO SUDJARWADI
TUTY KIRANA
NIKEN BASUKI
BUJEL DIPURO
NAPIH

Film berjudul Tangan-Tangan Mungil ini kutonton semasa esde (kelas 4 klo ga salah). Saya rasa, itu film yang bagus. Entah untuk jaman itu atau sekarang yang jarang juga film bergenre anak2.

Bercerita tentang keluarga yang memiliki setelah kedua anak perempuannya, salah satunya diperankan oleh Dina Mariana, anak perempuan terakhirnya di”bentuk” menjadi seperti anak laki2 oleh sang bapak. Alhasil, si bungsu (diperankan oleh Kiki Amelia ---katanya pemain cilik berbakat saat itu) menjadi gadis cilik yang tomboy dan sangat nakal. Lalu kak Seto sebagai psikolog anak hadir untuk menangahi konflik (atau jadi sebaliknya ya? Entah :D). Cerita selebihnya, saya lupa.

Tapi beberapa adegannya masih ingat. Termasuk adegan yg menjadi favorit saya, yakni saat lagu ini dimainkan. Sempat membuat saya ingin belajar memainkan piano, sebelum akhirnya menyerah. (mending gitar atau harmonika, hehe).

Dan ajaibnya, saya bisa menghapal terus syair dan lagunya. Lalu sangat kesulitan menemukan orang yang pernah melihat film ini, untuk sekedar berbagi apresiasi.

Baru2 ini saya sempat gugling, dan senang banget bisa menemukan satu blogger yang memberikan kesan yang sama tentang film dan (terutama) lagunya. Hehe.Siapa lagi ya?

Buka pintu hatimu, terima salamku

Seluruh alam turut bernyanyi, bergandengan tangan

Merentangkan lingkaran, di seluruh dunia..
by: Ver02

film Tangan-tangan Mungil (TTM) yang diproduksi Gramedia Film tahun 1981.  
Saya yang menyutradarai, pemainnya Kiki Amelia yang berperan sebagai anak tomboi umur 8 tahun dan Kak Seto. Mungkin karena terkesan ilmiah dan temanya agak berat, tentang psikologi anak, film ini kurang sukses di pasaran. Kayaknya, cuma laris di kalangan psikolog saja.

31 Juli 1982
Ibarat Barang Yang Langka
TANGAN-TANGAN MUNGlL 
Pemain: Kiki Amelia, Dina Mariana, Kak Seto Skenario: Parakitri & Th. A. Budi Susilo Sutradara: Yazman Yazid ANAK perempuan kecil itu, Lala namanya, menyepak kaki asisten Kak Seto, membantah dengan kasar lalu tiba-tiba melemparkan kue yang kebetulan tergenggam di tangannya. Bersarang di blus asisten nan putih bersih, kue itu meninggalkan bercak cokelat yang lumayan besar. Seakan terkena lumpur: Ibu Lala minta maaf. Dia tahu anaknya bukan cuma nakal tapi tingkah-lakunya agak menyimpang.

Hal ini merisaukan hati si ibu (Tuti Kirana) tapi sebaliknya menyenangkan hati Anton Wijaya (Kusno Sudjarwadi), suaminya. Pada perbedaan sikap inilah terletak inti cerita. Meski mengangkat masalah kejiwaan, cerita yang dipilih Gramedia Film kali ini tidak begitu rumit. Di sini tidak ditemukan keluarga berantakan, anak morfinis atau gadis hamil di luar nikah. Tidak sedramatis itu, lebih sederhana. Tapi pentahapan cerita dikembangkan dengan rapi, mungkin sekali dengan perhitungan agar mudah diikuti anak-anak. Memang ada 3 anak: Lala, Mita dan Dina. Ketiganya perempuan memang, padahal sang ayah berharap setidaknya ada satu anak lelaki. Maka Anton, sang ayah, menciptakan bocah lanang itu dari raga Lala (Kiki Amelia), si bungsu. Sejak awal, informasi tentang anak ini cukup berwarna. Lala yang kelelaki-lakian leluasa mengusik kedua kakaknya dan selalu menggunakan tiap peluang untuk menggoda Bik Supi, pembantu rumahtangga. Ia pun berhak menikmati kasih sayang ayah yang nampaknya habis tercurah ke Lala seorang.



Tidak heran bila Dina yang perasa itu melarikan diri pada buku harian, piano atau puisi. Sampai pada suatu hari Kak Seto (diperankan oleh Kak Seto sendiri), yang memang sengaja didatangkan untuk "menyembuhkan" Lala, justru sebaliknya membawa kecerahan dalam hidup Dina. Sementara itu Lala masih saja menodongkan senapan, membawa cerek besar ke mana-mana atau menggendong ayam aduan. Dan Anton terkekeh-kekeh. Kehadiran Seto di antara mereka tidak segera mengubah keperkasaan Lala. Tapi psikolog muda ini terus berusaha. Malah ia menemukan, bahwa kasus Dina sebenarnya lebih serius dari Lala. Ia bermaksud menyembuhkan remaja tanggung itu lebih dahulu. Dan nampaknya berhasil. Tapi Seto tidak tahu satu hal. Bagi Dina, Seto adalah seorang idola, pengganti ayah yang "dirampas" Lala. Dina bahagia sebentar, tapi angan-angannya segera terhempas kala melihat Kak Seto berbimbingan tangan dengan seorang wanita. Dia kembali pada buku hariannya yang, karena ulah Mita, jatuh ke tangan Anton. 

Gara-gara buku ini sang ayah melabrak dan mempermalukan Kak Seto di depan orang banyak. Pendidik muda ini merasa karirnya tamat sudah. Banyak konflik terjadi, banyak tokoh terlibat, namun film ini menata semuanya dalam irama yang terpelihara. Musik yang digubah Gatot Sudarto, yang menjiwai isi cerita, dengan sopan mengantar film ke sebuah happy ending. Anton menyadari kesalahannya, Dina menemukan ayahnya kembali, dan si bungsu yang kelaki-lakian itu kini mengenakan baju renda dengan sebuah boneka di tangan. 

Tangan-Tangan Mungil memang menampilkan sebuah masalah kejiwaan secara demikian jernih dan cermat. Beberapa kejanggalan tak urung terselip juga di sana-sini. Anton sebagai sumber segala penderitaan, digarap kurang utuh. Ia disebut sebagai seorang eksakta, tapi yang bagaimana? Sebaliknya Kak Seto mendapat porsi lebih besar, hingga fokus bagai teralihkan. Kehadiran Bujel, musikus yang kocak urakan itu sempat membuat penonton bertanya-tanya. Penulis skenario mungkin terlalu sibuk dengan tiga pasang tangan mungil hingga Bujel agak terabaikan. 

Di samping itu pengisian titling dengan animasi, satu upaya yang tergolong baru di sini, nampak membawa kesegaran dan mampu mencerminkan jiwa cerita. Kalau tak salah beberapa variasi gerak tangan memang diulang, tapi kesan kelincahan tidaklah rusak. Pada masa para produser berlomba membuat film kekerasan, Gramedia membuat film tentang anak-anak yang bisa mengasyikkan orang dewasa. Ibarat satu jenis barang langka yang mudah-mudahan tidak senantiasa langka. Dan permainan Kiki Amelia yang demikian hidup dan mengesankan sebagai Lala adalah satu prestasi tersendiri. Ia juga merupakan satu sumbangan nyata. Tidak saja bagi seni peran, tapi bagi dunia anak-anak di Indonesia.

DARAH DAN MAHKOTA RONGGENG / 1983

DARAH DAN MAHKOTA RONGGENG


Sebuah film adaptasi dari Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari diberi judul “Darah dan Mahkota Ronggeng” dikerjakan oleh Gramedia Film dibawah sutradara Yazman Yazid dan kameramen Anthony Depary. Salah satu lokasi yang dipakai untuk pengambilan gambar adalah Imogiri.
 

Cerita ini juga Adaptasi dari novel "Ronggeng Dukuh Paruk", yang pertama kali dimuat secara bersambung di Kompas.
 
Di desa Paruk seorang gadis cilik dianggap memiliki darah ronggeng yang sudah lama tak dimiliki desa, yang hidup karena ronggeng. Itulah kepercayaan penduduk setempat yang diwariskan oleh almarhum perintis desa, yang terletak di wilayah tandus dan gersang. Ronggeng dianggap penyelamat baik material maupun rohani. Maka gadis cilik itu dipelihara dan diarahkan oleh Kartareja dan istrinya (Hassan Sanusi, Dhalia), tetua dan dukun desa, untuk jadi ronggeng.
 
Perkiraan itu benar. Setelah cukup umur, sang gadis, Srintil (Enny Beatrice) harus menjalani upacara pokok "buka klambu", alias menyerahkan keperawanannya pada mereka yang membayar termahal. Pacar Srintil, Rasus (Ray Sahetapy), mencoba melarikan kekasihnya, tapi digagalkan oleh jagoan desa tetangga, Sulam (Syamsuri Kaempuan) dan kawan-kawannya, yang menginginkan keperawanan Srintil.
 
Srintil digiring pulang, Rasus dibuang ke jurang. Upacara buka kelambu dilanjutkan. Pada saat kritis, Rasus yang ternyata selamat, muncul lagi dan bertindak bak Rambo. Anak buah Sulam satu per satu dijebaknya dan tewas. Yang terakhir Sulam. Maka larilah Rasus dan Srintil meninggalkan desa yang mereka anggap punya adat aneh itu.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 KAJIAN STILISTIKA NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK 
KARYA AHMAD TOHARI DAN PEMAKNAANNYA
Oleh Ali Imron A.M.

A. PENDAHULUAN 
Struktur novel dengan segala sesuatu yang dikomunikasikan, selalu dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang (Fowler, 1977: 3). Demi efektivitas pengungkapan, bahasa sastra disiasati, dimanipulasi, dieksploitasi, dan diberdayakan sedemikian rupa melalui stilistika. Oleh karena itu, bahasa karya sastra memiliki kekhasan yang berbeda dengan karya nonsastra (Wellek dan Warren, 1989: 15), yakni penuh ambiguitas dan memiliki kategori-kategori yang tidak beraturan dan tidak rasional, asosiatif, konotatif, serta mengacu pada teks lain atau karya sastra yang diciptakan sebelumnya. 
Style, 'gaya bahasa' dalam karya sastra merupakan sarana sastra yang turut memberikan kontribusi signifikan dalam memperoleh efek estetik dan penciptaan makna. Style membawa muatan makna tertentu. Setiap diksi yang dipakai dalam karya sastra memiliki tautan emotif, moral, dan ideologis di samping maknanya yang netral (Sudjiman, 1995: 15-16). Istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) menurut Chomsky (dalam Fowler, 1977: 6), identik dengan isi dan bentuk dalam style. Struktur lahir adalah performansi kebahasaan dalam wujudnya yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin merupakan gagasan yang ingin dikemukakan pengarang melalui gaya bahasanya. 

Sesuai dengan konvensi sastra, gaya bahasa merupakan tanda yang menandai sesuatu (Pradopo, 2004: 8). Wahana karya sastra adalah bahasa yang merupakan sistem tanda tingkat pertama (first order semiotics). Dalam karya sastra gaya bahasa itu menjadi sistem tanda tingkat kedua (second order semiotics). Gaya, bagi Junus (1989: 187-188), adalah tanda yang mempunyai makna dan gaya bahasa itu menandai ideologi pengarang. Oleh karena itu, demikian Junus (1989: xvii), stilistika, studi tentang gaya yang meliputi pemakaian gaya bahasa dalam karya sastra, merupakan bagian penting bagi ilmu sastra sekaligus bagi studi linguistik. 

Kajian ini bertujuan untuk:
(1) mendeskripsikan stilistika RDP yang difokuskan pada diksi, bahasa figuratif, dan citraan;
(2) mengungkapkan makna stilistika RDP dalam kaitannya dengan latar sosiohistoris pengarang, kesemestaan, dan tanggapan pembaca.

 
B. STILISTIKA RONGGENG DUKUH PARUK
Stilistika RDP karya Ahmad Tohari memiliki keunikan dan kekhasan ala Tohari yang tidak ditemukan dalam karya sastra lain. Keistimewaan stilistika RDP terletak pada pemberdayaan segenap potensi bahasa sebagai sarana sastra yang memiliki daya ekspresif, makna asosiatif, dan kaya akan kata konotatif dan berunsur alam. Mayoritas stilistika RDP merupakan hasil kreasi Tohari yang orisinal. Orisinalitas stilistika RDP mencerminkan individuasi Tohari yang tampak pada bentuk ekspresi, keselarasan bentuk dan isi (harmoni), kejernihan dan kedalaman tujuan yang berkaitan dengan intensitas bahasa. 

Stilistika RDP kaya nuansa intelektual, sarat muatan filosofis budaya Jawa, dan wawasan religius. Hal itu tidak terlepas dari latar sosiohistoris Tohari yang hidup dan dibesarkan dalam keluarga Jawa santri dan akrab dengan masyarakat peronggengan. Stilistika RDP sebagai sarana sastra tersebut terkesan ekspresif, asosiatif, dan provokatif. Ekspresif karena stilistika RDP mampu menghidupkan lukisan suasana, kondisi, dan peristiwa dalam imajinasi pembaca seolah-olah lukisan itu hidup. Asosiatif karena berbagai kreasi bahasa dan gaya bahasa yang diciptakan dan dimanfaatkan Tohari mampu menimbulkan asosiasi makna bagi pembaca sehingga memudahkan pemahaman akan gagasan dalam RDP. Adapun provokatif karena gaya bahasa dalam RDP dikolaborasikan sedemikian rupa antara gaya kata (diksi), kalimat, wacana, bahasa figuratif, dan citraan sehingga mengesankan pembaca. Adanya kolaborasi dengan sarana retorika menimbulkan unsur permainan bunyi berupa asonansi dan aliterasi sehingga melahirkan orkestrasi bunyi yang indah dalam eufoni dan kokofoni. 

Kekhasan stilistika RDP terlihat pada pemanfataan bentuk-bentuk kebahasaan antara lain pada diksi, bahasa figuratif, dan citraan. Diksi dalam RDP demikian kaya dan variatif. Di antara diksi dalam stilistika RDP, kata konotatiflah yang paling dominan, disusul kosakata bahasa Jawa, kata serapan dari bahasa asing, kata dengan objek alam. Kata sapaan khas dan nama diri, kata seru khas Jawa dan kata vulgar juga mewarnai RDP. Dominasi kata konotatif menunjukkan hakikat karya sastra sebagai karya fiksi yang memiliki sifat polyinterpretable dan kaya makna. Diperlukan ekspresi kata yang asosiatif dan prismatif dalam karya sastra. Sebagai saranaekspresi, tiap diksi memiliki fungsi masing-masing dalam mendukung gagasan yang dikemukakan. Khususnya kosakata bahasa Jawa yang bertebaran di RDP digunakan Tohari untuk menciptakan latar sosial budaya masyarakat Banyumas sesuai dengan latar cerita.
Sebagai ilustrasi, berikut dipaparkan contoh diksi dalam RDP. 
(1) Kelak Srintil bercerita padaku bahwa dia segera terjaga kembali ketika Dower membangunkannya dengan dengus napas lembu jantan. Srintil tidak mengatakan apa yang dialaminya kemudian sebagai suatu perkosaan. (hlm. 76) 

Bentuk dengus napas lembu jantan dengan gaya metaforis pada data di atas merupakan pelukisan khas tentang keadaan seseorang yang dilanda birahi. Ungkapan itu orisinal kreasi Tohari, tidak ditemukan pada karya sastra lain. Dengan ungkapan metaforis, dengus napas lembu jantan, pembaca akan memperoleh kesan lebih dalam sehingga dapat membayangkan lebih jelas bagaimana gejolak jiwa seorang lelaki yang sedang dikuasai renjana berahi . Lembu merupakan hewan yang dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai simbol kekuatan/ kejantanan lelaki. Tentu berbeda efeknya jika keadaan lelaki yang sedang dilanda birahi dilukiskan dengan kalimat biasa, misalnya ... dengan nafsu birahi yang membara .

Bahasa figuratif yang unik dan khas Tohari juga cukup dominan dalam RDP yang meliputi pemajasan, tuturan idiomatik, dan peribahasa. Melalui bahasa figuratif maka stilistika RDP menjadi lebih hidup, ekspresif, dan sensual. Majas dalam RDP memberi daya hidup, memperindah, dan mengefektifkan pengungkapan gagasan. Bahasa figuratif dalam RDP dominan dimanfaatkan oleh Tohari. Di antara jenis bahasa figuratif, majaslah yang paling dominan dibanding tuturan idiomatik. Majas dalam RDP didominasi oleh Metafora, disusul kemudian oleh Personifikasi, dan Simile. Adapun majas Metonimia sedikit, demikian pula Sinekdoki (pars pro toto dan totum pro parte). Ilustrasi berikut menunjukkan keunikan dan kekhasan majas dalam RDP. 


(2) Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. (hlm. 14)

Metafora pada data di atas melukiskan keindahan dunia anak-anak di pedukuhan kecil yang masih tradisional, serba gembira, bebas bermain, belum memiliki tanggung jawab keluarga, dan fisik masih prima. Dunia anak-anak merupakan fase kehidupan yang indah dan tidak mungkin terulang lagi pada kehidupan seseorang. Banyak kenangan yang tidak terlupakan, baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan. Tohari mengibaratkannya sebagai surga yang hanya sekali datang. Demikian plastis pelukisan dunia anak-anak dengan metafora tersebut. Yang lebih mengesankan, metafora itu dirangkai dengan gaya bahasa paralelisme di atasnya, Mereka pantas berkejaran, bermain dan bertembang. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah surga yang hanya sekali datang. Bila diekspresikan dengan bahasa biasa, misalnya, ...masa kanak-kanak adalah masa yang sangat indah dan hanya sekali terjadi dalam hidup ini , lukisan itu tentu tidak menarik, tidak mengesankan pembaca sehingga tidak memiliki daya pikat. Lebih memikat lagi metafora itu dipadukan dengan unsur permainan bunyi vokal /a/ dan konsonan /k/ dan /m/, asonansi dan aliterasi sehingga menimbulkan irama indah sebagai eufoni dan kokofoni.
Tuturan idiomatik cukup banyak dimanfaatkan dalam RDP. Tuturan idiomatik dalam RDP dapat dibagi menjadi dua jenis yakni tuturan idiomatik klise dan orisinal kreasi Tohari. Tuturan idiomatik klise mengindikasikan bahwa Tohari menguasai bentuk-bentuk idiom lama yang efektif dari segi ekspresi dan makna. Adapun tuturan idiomatik orisinal menunjukkan bahwa Tohari adalah pengarang yang kreatif dalam pemberdayaan segenap potensi bahasa.
Keunikan dan kekhasan tuturan idiomatik RDP terlihat dalam ilustrasi berikut.


(3) Dia yang hidup atas dasar kepercayaan menjalani alur cetak biru seorang ronggeng. (hlm. 231)

Idiom kreasi Tohari cetak biru pada data tersebut secara harfiah adalah blue print yang berarti suratan takdir yang harus dijalani oleh manusia sebagai jalan hidup yang harus dilaluinya. Diterimanya profesi sebagai ronggeng sebagai tugas hidup yang harus dijalaninya, yakni menjadi pemangku naluri primitif; naluri berahi yang membebaskan diri dari norma dan etika. Menjadi ronggeng, itulah dunianya, kesadarannya. Ronggeng adalah keperempuanan yang menari, menyanyi, serta kerelaan melayani kelelakian. Itulah cetak biru yang dipahami Srintil sebagai ronggeng.

Citraan dalam RDP meliputi tujuh jenis citraan. Dari ketujuh jenis citraan dalam RDP, citraan intelektual yang dominan, disusul citraan visual, gerak, pendengaran, dan perabaan. Dominasi citraan intelektual dalam RDP menunjukkan bahwa Tohari sebagai pengarang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi di samping keunggulan bercerita tentang masalah sosial, budaya, moral, jender, humanitas, dan religiositas.

Tohari memanfaatkan citraan dalam RDP untuk menghidupkan lukisan keadaan, peristiwa, latar cerita, penokohan, dan suasana batin tokoh dan menimbulkan imajinasi yang indah pada pembaca. Dengan citraan, berbagai gagasan menjadi memiliki daya ekspresif, indah, dan sensual. Citraan semakin indah karena dikolaborasikan dengan sarana retorika tertentu seperti Metafora, Simile, Personifikasi, dan Hiperbola. Kolaborasi itu menimbulkan eofoni dan kokofoni sehingga melahirkan orkestrasi bunyi dengan irama yang indah.

Ilustrasi berikut merupakan citraan intelektual dalam RDP yang khas Tohari.


 
(4) Selera agung yang transendental terhadap segala citakarsa manusia dan karena keagungannya manusia diminta untuk runduk oleh suara bening di dalam jiwa. Runduk dalam cita dan perilaku, runduk dalam karsa dan karya. Dan kemudian Srintil dengan nilai kemanusiaannya sendiri merasa selera agung, meski tanpa sepatah kata jua, membuka pintunya bagi segala manusia dan kepada tiap-tiap jiwa untuk masuk dan menyelaraskan diri kepadanya (hlm. 355)

Data di atas menunjukkan intensitas Tohari dalam memahami aspek transendental yang esensial bagi kehidupan manusia. Melalui citraan intelektual dengan majas Metonimia, Tohari menggelitik pembaca agar dalam berbuat dan berkarya selalu mengikuti suara hati nurani yang tidak pernah salah, selalu berbisik ke arah kebenaran. Manusia harus berusaha menyelaraskan segala perilakunya dengan ajaran Tuhan dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Agaknya pada bagian ini Tohari terilhami oleh makna firman Tuhan: Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji ii ilaa rabbiki radhiyatan mardhiyyah, fadkhulii fi ibaadii wadkhulii jannatii, artinya, Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu agar memperoleh keridhaan-Nya dan masuklah ke dalam golongan hamba-Ku (yang beriman) dan masuklah ke dalam surga-Ku (Q.S. al-Fajr: 27-30).


Dapat dikemukakan bahwa stilistika merupakan sarana sastra yang berperan penting dalam menciptakan daya estetis karya sastra. Sebagai sarana sastra, stilistika RDP diciptakan Tohari untuk mengekspresikan gagasan sebagai esensi sastra. 

C. GAGASAN MULTIDIMENSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK: 
SEBUAH PEMAKNAAN 
Melalui kajian stilistika RDP dan pemaknaan dengan menggunakan teori Semiotik, Resepsi Sastra, ditemukan bahwa RDP merupakan karya sastra yang mengandung gagasan multidimensi yang kaya nuansa. Multidimensi karena RDP mengandung gagasan-gagasan yang beragam dan penuh kejutan. Keberagaman itu dapat dilihat pada gagasan-gagasan yang meliputi dimensi kultural, sosial, moral, humanistik, jender, dan religiositas. Penuh kejutan karena ada beberapa gagasan yang selama ini belum pernah diungkapkan oleh kritikus/ peneliti RDP sebelumnya bahkan mengalami dekonstruksi. 

Adapun gagasan multidimensi itu adalah: 
(1) dimensi kultural meliputi: kesenian ronggeng sebagai kebudayaan lokal yang berdimensi global; ronggeng sebagai duta budaya; ronggeng dan pengukuhan mitos; kearifan lokal (local genius) pada zaman global (intertekstualitas dengan ajaran Islam); 
(2) dimensi sosial: empati terhadap rakyat kecil yang terpinggirkan; 
(3) dimensi humanistik: pembunuhan mental sebagai tragedi kemanusiaan yang terabaikan; (4) dimensi moral: moralitas yang terpinggirkan oleh budaya; 
(5) dimensi jender: resistensi perempuan terhadap hegemoni kekuasaan laki-laki gaya ronggeng; 
(6) dimensi religiositas meliputi: reaktualisasi ajaran tasawuf wahdatusy syuhud dan dakwah kultural; 
(7) dimensi multikultural: Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) sebagai sastra multikultural yang kaya makna. Stilistika RDP memiliki daya ekspresi yang kuat sebagai media artikulasi gagasan multidimensi yang tidak terlepas dari latar sosiohistoris pengarang dan kondisi social budaya pada dekade1 960-an berdasarkan resepsi pembaca.